Beberapa hari berlalu. Sabrina sudah mulai beradaptasi dan rekan kerjanya juga menyukai dirinya.“Sab, ini sudah aku susun. Minta tolong dicek apakah ada salah atau tidak, ya.” Salah satu rekan kerja memberikan dokumen yang sudah dikerjakannya.“Siap.” Sabrina penuh semangat memberikan bantuan. Dia mulai menyukai pekerjaannya sekarang.Sabrina mengecek dokumen yang tadi diberikan temannya, saat baru saja selesai ternyata Vano memanggil dirinya.“Ini sudah aku tandai yang salah, tinggal direvisi saja,” ucap Sabrina sambil memberikan dokumen itu.“Cepat sekali, terima kasih, ya.”Sabrina mengangguk lalu pergi ke ruangan Vano. Dia mengetuk pintu sebelum kemudian masuk.“Anda mencari saya,” tanya Sabrina saat masuk ruangan Vano..“Laporan yang kemarin kuminta susun sudah selesai?” tanya Vano.“Sudah, ada di meja saya,” jawab Sabrina.“Ambil, kamu ikut rapat denganku!” perintah Vano sambil berdiri dari kursinya.Sabrina terkejut mendengar Vano mengajaknya ikut rapat, tapi tanpa bertanya Sa
“Ih ... aku nggak mau ada kakak itu. Kakak nakal, aku nggak mau naik mobil! Itu kursiku!” Athalia langsung merajuk tahu Sabrina duduk di kursi yang biasa dia duduki ketika dijemput Vano.Tentu saja tingkah Athalia membuat Vano dan Sabrina terkejut, belum lagi mobil di belakang mereka sudah antri.“Turun dan bujuklah dia, aku akan memindahkan mobilnya dulu,” kata Vano.“Dia pasti tidak mau dengan saya, lebih baik saya yang memindahkan mobil,” ucap Sabrina memberi usul.Vano menoleh Sabrina dengan ekspresi terkejut mendengar ucapan gadis itu.“Kamu bisa naik mobil, punya SIM?” tanya Vano memastikan.“Bisa, SIM juga ada,” jawab Sabrina.Vano agak terkejut tapi ini bukan waktunya menginterogasi atau penasaran dengan kemampuan Sabrina. Dia akhirnya turun lalu meminta Sabrina pindah ke belakang stir.Sabrina mengambil alih kemudi, lantas melajukan mobil menuju area parkir yang kosong menunggu Vano membujuk Athalia.Vano menghampiri Athalia yang bersedekap dada sambil memanyunkan bibir. Dia
“Om, kenapa harus ajak-ajak kakak itu?” tanya Athalia sambil memasang wajah cemberut. Vano memandang ke Sabrina yang mengulum bibir akibat ucapan Athalia. “Thalia tidak tahu?” tanya Vano. “Tahu apa?” tanya Athalia menatap ke Vano. Vano melirik Sabrina yang terlihat penasaran juga, lalu menatap ke Athalia. “Yang mau bayar es krimnya Kak Sabrina. Kamu ditraktir, jadi minta apa pun yang kamu mau,” jawab Vano lalu kembali menoleh ke Sabrina. Sabrina terlihat sangat terkejut mendengar jawaban Vano. Apa maksud Vano mengatakan itu. Athalia masih memberengut mendengar jawaban Vano. Hingga Vano membungkuk lalu berbisik di telinga Athalia. “Kalau Kak Sabrina diusir, nanti nggak ada yang traktir. Kamu juga boleh minta yang lain, itu kata Kak Sabrina,” bisik Vano membujuk agar Athalia tidak terus kesal ke Sabrina. Sabrina mendadak tidak enak saat melihat Vano berbisik ke Athalia, membuatnya penasaran dan bertanya-tanya dengan apa yang dibisikkan Vano. “Apa benar?” tanya Athalia
Sabrina terkejut mendengar pertanyaan Vano. Dia menoleh ke pria itu lalu menjelaskan, “Memang berarti, tapi tidak tega melihat Thalia sedih jika tak mendapatkannya.”“Dari kekasihmu? Sampai kamu terlihat sedih seperti itu?” tanya Vano lalu mulai mengemudikan mobil.Biasanya Vano tak peduli dengan urusan orang, tapi tiba-tiba saja penasaran dan ingin tahu karena Sabrina terlihat sangat tulus ke Athalia.Sabrina malah tertawa kecil mendengar pertanyaan Vano, sampai membuat pria itu menoleh sekilas ke arahnya.“Ada yang lucu?” tanya Vano karena Sabrina tertawa.“Tidak ada,” jawab Sabrina, “gelang itu bukan dari pacar, tapi peninggalan satu-satunya ibuku.”Vano terkejut mendengar jawaban Sabrina, hingga kembali bertanya, “Kalau itu peninggalan ibumu, kenapa kamu malah memberikannya ke Thalia?”“Ya, anak seperti Thalia sebenarnya hanya penasaran saja dan ingin merasakan memiliki gelang itu. Kalau dia sudah bosan, dia pasti akan melepasnya. Aku juga sudah berpesan agar dia tak membuangnya k
Vano bicara sangat hati-hati agar Athalia tidak mengamuk. Dia memperhatikan Athalia yang diam memandang gelang itu. “Tapi kata Kakak Sabrina, boleh kok buat aku,” ucap Athalia lalu menyembunyikan gelang itu agar tidak diambil Vano. “Iya, tapi tahu nggak kenapa Kakak Sabrina kasih ke Thalia?” tanya Vano mencoba bicara dengan tenang. Athalia diam mendengar pertanyaan Vano, lalu menjawabnya dengan gelengan kepala. “Tidak,” jawab Athalia. Vano tersenyum lalu mencoba menjelaskan, “Itu karena Kakak Sabrina tidak mau Thalia sedih, makanya diberikan.” “Tapi, Thalia tahu nggak gelang itu sebenarnya punya siapa?” tanya Vano lagi. Athalia menjawab dengan gelengan kepala lagi. “Gelang itu sebenarnya punya mamanya yang sudah meninggal. Makanya Kakak Sabrina tadi agak sedih, tapi lebih sedih lagi kalau lihat Thalia nangis. Karena itu Kakak Sabrina kasihkan gelangnya ke Thalia. Kakak Sabrina kasihan, ya. Mamanya sudah meninggal,” ucap Vano mencoba membuat Athalia merasa simpati. Ath
Sabrina sangat terkejut melihat apa yang diberikan Vano, hingga memandang gelang itu lalu ke Vano secara bergantian.“Kenapa ada di Anda?” tanya Sabrina keheranan.“Thalia sudah mendapat gelang lain, jadi dia bilang suruh mengembalikan gelang itu kepadamu,” jawab Vano tak jujur kalau dirinya yang meminta gelang itu dari Athalia.Sabrina langsung tersenyum senang, lantas mengambil gelang itu dari meja.“Terima kasih,” ucap Sabrina sambil memakai gelang itu lagi. Dia terus tersenyum karena sangat senang.Vano memperhatikan Sabrina, dia merasa pernah melihat di mana senyum itu tapi tak bisa mengingat dengan pasti.“Boleh aku tanya sesuatu?” tanya Vano.“Ya, tanya saja,” jawab Sabrina tanpa menatap ke arah Vano.Vano agak ragu, tapi penasaran.“Apa kita pernah bertemu sebelumnya, mungkin di luar perusahaan sebelum kamu kerja di sini?” tanya Vano karena gagal mengingat di mana pernah melihat Sabrina menggerai rambut dan juga tersenyum seperti itu.Sabrina terkejut mendengar pertanyaan Vano
Sabrina baru saja selesai membereskan meja sebelum pulang. Dia merapikan dan memastikan barang penting tidak ada yang tertinggal di meja. “Ayo, Sab!” ajak Mala menunggu Sabrina selesai mengunci laci. Sabrina menoleh lalu menganggukkan kepala mendengar ajakan Mala. Mereka berjalan bersama, hingga saat baru saja akan keluar dari ruang divisi, ternyata Vano memanggil. “Tunggu, Sab!” panggil Vano. Sabrina dan Mala berhenti, lalu menoleh ke Vano yang sekarang berjalan menghampiri mereka. “Ada apa?” tanya Sabrina. Vano memandang ke Mala, lalu menatap Sabrina. “Ada yang perlu aku bahas denganmu,” jawab Vano. Sabrina agak terkejut karena berpikir jika Vano ingin membahas pekerjaan padahal sudah jam pulang, tapi demi menjadi pekerja yang profesional, dia menganggukkan kepala. “Kamu pulanglah dulu,” kata Sabrina ke Mala. Mala mengangguk lalu pamit ke Sabrina dan Vano. Kini tinggal Sabrina dan Vano di sana, karena yang lain sudah bubar sejak tadi. “Anda mau membahas apa?” tanya Sabri
“Biar aku antar pulang,” ucap Vano saat mereka keluar dari kafe.Sabrina terkejut dan gelagapan mendengar pertanyaan Vano, lalu mencoba menolak.“Sebenarnya aku tinggal di dekat sini, jadi tidak usah diantar,” balas Sabrina. Dia tak ingin Vano tahu kalau dirinya tinggal di apartemen mewah.Vano menaikkan sudut alis mendengar penolakan Sabrina.“Aku kos di dekat perusahaan agar mudah pulang dan pergi, jadi jalan saja juga sampai,” ucap Sabrina menjelaskan lagi agar Vano tak tersinggung atau berpikiran macam-macam karena dirinya menolak.“Baiklah kalau begitu, sampai jumpa besok,” ucap Vano lalu masuk mobil.Sabrina mengangguk mendengar ucapan Vano. Saat pria itu sudah masuk mobil, Sabrina mengetuk kaca pintu mobil hingga Vano menurunkan kaca pintu.“Ada apa?” tanya Vano.“Ingat janjiku, aku akan melakukan apa pun untuk membalas budi, jadi jika kamu membutuhkan bantuanku, bilang saja.” Sabrina bicara lalu melebarkan senyum.Vano tidak menyangka Sabrina ingin membalas budi meski dirinya