“Apa maksudnya kamera Cctv rusak?”Alaric begitu murka saat menemui kepala keamanan gedung apartemen yang mengatakan jika saat kejadian rekaman Cctv sedang rusak.“Seluruh instalasi kamera yang ada di gedung memang sedang tidak berfungsi dan sudah dijadwalkan untuk perbaikan,” jawab kepala keamanan sambil memperlihatkan monitor bergambar semut.Alaric emosi mendengar penjelasan kepala keamanan. Dia sampai mencengkram seragam kepala keamanan itu.“Al!” Billy terkejut Alaric berbuat kasar.“Jadi maksudmu, polisi pun tidak mendapat bukti dari rekaman Cctv!” Alaric mencengkram erar kerah seragam kepala keamanan, sampai-sampai wajah pria itu memucat karena tercekik.“Al, kamu bisa membunuhnya!” Billy mencoba melepas tangan Alaric yang mencengkram.Security yang ikut di sana pun membantu Billy menjauhkan Alaric dari kepala keamanan.Kepala keamanan itu terbatuk-batuk begitu Alaric sudah melepas cengkraman. Dia mengusap dada karena begitu sesak seakan tak ada udara yang masuk ke paru-parunya
“Makan yang banyak, hm ….”Alaric menemui Emily bersama pengacara agar bisa berkunjung di luar jam besuk. Dia membawakan makanan dan minuman kesukaan Emily, lantas penuh perhatian menyuapi istrinya itu.Emily mengangguk-angguk sambil mengunyah makanan yang sudah masuk mulut. Dia ingin menangis, tapi rasanya air mata sudah mengering.“Maaf, aku belum bisa mengeluarkanmu malam ini. Bertahanlah sebentar lagi, aku akan mengumpulkan bukti lebih banyak, juga menemukan pelakunya,” ucap Alaric mencoba menenangkan.Alaric mengusap lembut rambut Emily yang agak kusut karena belum disisir.“Aku pasti bertahan, aku percaya kepadamu,” ucap Emily tentunya menyerahkan nasibnya ke sang suami.Alaric mengangguk mendengar ucapan Emily. Dia pun menyuapi istrinya lagi penuh perhatian.“Kamu tidak makan?” tanya Emily karena sejak tadi Alaric terus menyuapinya.“Aku akan makan nanti, kamu makanlah sampai kenyang dulu. Aku yakin di sini makananya pasti tidak enak, jadi kamu harus makan banyak,” ujar Alaric
Alaric berjalan di koridor rumah sakit bersama Billy. Keduanya berjalan cepat menuju ke salah satu ruangan yang ada di tempat itu.Saat sampai di ruangan yang dimaksud, seorang dokter yang tak lain bibi Emily keluar dari sana.“Kukira kamu tidak bisa datang malam ini,” ucap sang bibi.“Aku sempatkan untuk bisa memastikan, Bi.” Alaric membalas lantas menoleh ke pintu ruangan yang dituju.“Aku belum memberitahu polisi karena mereka baru akan mengambil hasil autopsinya besok. Aku sebenarnya agak cemas jika malam ini kamu tidak datang dan besok polisi sudah lebih dulu ke sini,” ujar sang bibi.Alaric mengangguk paham mendengar ucapan bibi Emily. Sebagai dokter yang harusnya profesional, wanita itu tak seharusnya berbohong atau menyembunyikan sesuatu.Bibi Emily bukan dokter autopsi, tapi karena dia yang menerima pertama tubuh Aster, membuatnya yang pertama kali tahu kondisi sebenarnya wanita itu.“Ayo masuk! Kita bicara di dalam!” ajak sang bibi takut jika ada yang melihat mereka.Alaric
Alaric dan Billy pergi ke rumah sederhana. Mereka memarkirkan mobil di halaman depan rumah itu, lantas buru-buru turun dan menuju ke rumah itu. “Anda datang.” Saat Alaric akan mengetuk pintu, ternyata sudah ada yang membuka. Sekretaris Emily yang menghubungi, hingga Alaric langsung datang ke sana. “Saya tidak mungkin menghubungi Bu Emi karena beliau di penjara. Saya hanya punya nomor Anda, jadi menghubungi Anda,” ucap sekretaris Emily sambil menutup pintu saat Alaric dan Billy masuk. “Di mana dia?” tanya Alaric ke sekretaris Emily. “Di kamar ini. Saya sudah menawarinya ke rumah sakit, tapi dia menolak karena takut jika tertangkap lagi katanya,” ucap sekretaris Emily membuka pintu kamar. Alaric dan Billy melihat Fandy terbaring di sana, mereka pun langsung masuk untuk melihat kondisi anak buah mereka itu. “Di mana kamu menemukannya?” tanya Alaric ke sekretaris Emily. Kondisi Fandy kurang baik, wajahnya penuh lebam, kedua pergelangan tangan pun tampak memerah karena bek
“Awalnya tidak ada apa-apa, semua berjalan baik. Tiba-tiba saja ada yang membunuh Aster, jika berniat membunuh kenapa tidak sejak Aster di luar negeri, kenapa harus sekarang dan kenapa harus Emily yang menjadi sasarannya? Apa Papa akan diam dengan kecurigaanku?” tanya Mia ke Bobby malam itu di rumah.Bobby pun diam berpikir, memang benar jika semua yang terjadi kenapa berhubungan satu sama lain.“Entah kenapa aku merasa ini ada kaitannya dengan Lena,” ucap Mia mengungkap kecurigaannya.Bobby terlihat menarik napas panjang lantas mengembuskan kasar. Dia meraih gagang telepon karena ingin menghubungi seseorang.“Kirim data kegiatan Lena juga siapa saja yang ditemuinya!” perintah Bobby.Mia terkejut mendengar perintah Bobby. Dia tak menyangka jika mertuanya itu ternyata mengawasi Lena.“Sejak aku membuat perintah untuk mengalihkan saham ke Alaric, aku sudah menduga akan terjadi hal seperti ini. Entah Gio atau Lena pelakunya, aku akan benar-benar membuat keputusan tegas kali ini,” ucap Bo
Alaric pergi ke rumah bibi Emily. Rumah itu adalah tempat teraman untuk menyembunyikan Aster, tentu saja semua itu dilakukan atas izin bibi dan paman Emily.“Setelah dipindahkan semalam. Dia sempat sadar sebentar, tapi kemudian kembali tertidur karena kondisinya masih lemah,” ucap sang bibi ketika menemui Alaric dan Billy yang baru saja datang.“Terima kasih karena Bibi mau membantu,” ucap Alaric.“Tidak usah sungkan, semua juga demi Emily,” balas sang bibi lantas mengajak Alaric dan Billy menuju pavilium belakang.Ternyata di sana anak buah Alaric pun berjaga di depan pavilium untuk memastikan tidak ada yang masuk ke sana tanpa izin.“Kondisinya pagi ini mulai membaik, semoga saja dia sudah bisa diajak bicara,” ucap sang bibi lagi.Alaric pun menganggukkan kepala sambil mengikuti langkah bibi Emily.Mereka sampai di pavilium. Dia pun meminta anak buahnya beristirahat setelah berjaga semalaman di sana.Saat mereka masuk, ternyata Aster baru saja sadar. Wanita itu tampak terkejut melih
Emily diminta keluar dari sel karena ada yang hendak menemuinya. Dia penasaran karena polisi berkata jika yang menemuinya bukan suami atau keluarganya. “Pak, tapi ini ditemani, kan? Bagaimana kalau orang itu sebenarnya berniat jahat kepadaku?” tanya Emily mencoba waspada meski pertanyaannya agak konyol. Polisi menoleh Emily, lantas menjawab, “Boleh.” Emily melebarkan senyum mendengar ucapan polisi, sepertinya dipenjara tak membuatnya takut sekarang, malah nyaman karena semalam bisa banyak bercerita dengan para narapidana. Saat pintu ruang kunjungan dibuka. Emily melihat punggung seorang pria membelakangi pintu, sepertinya dia bisa menebak siapa datang. “Tidak usah ditemani, Pak. Aku kenal dia,” ucap Emily dengan ekspresi wajah tidak senang. Emily pun akhirnya mendekat ke pria yang tak lain Gio. Dia langsung menarik kursi yang ada di depan pria itu. “Mau apa kamu ke sini?” tanya Emily agak ketus. Dia lantas duduk di kursi yang berhadapan dengan Gio. Gio menatap Emily yang baru s
Alaric datang bersama pengacaranya untuk memberikan bukti yang mereka miliki sebelum kasus itu naik ke pengadilan karena Emily tak bersalah sama sekali. Namun, sebelum memberikan bukti yang sudah dirangkum, Alaric dan para pengacaranya memilih menemui Emily terlebih dahulu. “Aku sudah punya bukti dan saksi, juga nama pelakunya. Akan aku pastikan kamu bebas hari ini,” ujar Alaric ketika menemui Emily di ruang kunjungan. “Al, sebenarnya tadi Gio ke sini,” ucap Emily lantas mengeluarkan flashdisk yang diberikan Gio. “Dia memberiku ini, katanya ini bisa membuatku bebas,” imbuh Emily lagi sambil memberikan flashdisk itu ke Alaric. Alaric sangat terkejut mendengar ucapan Emily soal Gio yang mendatangi istrinya itu. Dia menerima flashdisk itu lantas memberikan ke pengacara untuk melihat apa isinya. Pengacara langsung mengecek isi flashdisk itu, sedangkan Emily menunggu dengan cemas karena tak tahu apa isi di dalamnya. Pengacara dan Alaric terlihat terkejut, hingga Alaric menatap
Vano baru saja selesai rapat saat membaca pesan dari Sabrina. Dia sangat terkejut membaca pesan dari Sabrina hingga terburu-buru meninggalkan tempat rapat begitu selesai, membuat semua orang sampai keheranan.Vano pergi ke rumah sakit. Dia mencari Sabrina di poliklinik, hingga bertemu dengan sang bibi.“Bi, Sabrina dan Mami ke sini?” tanya Vano.“Dia di ruang inap, tadi sudah diperiksa dan karena tekanan darahnya rendah serta dia pusing dan mual, jadi aku menyarankan untuk rawat inap,” jawab sang bibi.Vano sangat panik mendengar jawaban sang bibi.“Dia dirawat di ruang mana?” tanya Vano dengan wajah panik.Sang bibi tersenyum melihat kepanikan Vano, lalu memberitahu di mana Sabrina sekarang.Vano pergi ke ruang inap dengan terburu-buru, hingga akhirnya bertemu Sabrina yang berbaring lemas dengan selang infus terpasang di tangan.“Bagaimana kondisinya, Mi?” tanya Vano saat menghampiri Sabrina.“Dia baik, kamu jangan cemas,” jawab Oma Aruna.“Baik apanya, dia sampai dirawat seperti ini,
Sabrina duduk sambil menikmati cokelat hangat pagi itu, hingga satu tangannya yang bebas dari cangkir, digenggam sampai jemarinya bertautan dengan tangan lain. Sabrina menoleh Vano, melihat suaminya itu tersenyum sambil menggenggam erat tangannya. Vano duduk di samping Sabrina yang duduk di bangku panjang. Mereka berlibur di pantai, menikmati kebersamaan mereka setelah sah menjadi suami-istri. “Kamu tidak pesan kopi?” tanya Sabrina sambil menyandarkan kepala di pundak Vano. “Sudah, tinggal menunggu datang saja,” jawab Vano lalu memiringkan kepala hingga menyentuh kepala Sabrina. Keduanya saling bersandar satu sama lain, menatap hamparan pasir putih bersamaan dengan deburan ombak yang menghantam pantai. “Kamu yakin tidak masalah tinggal sama mami?” tanya Vano memastikan. Sabrina mengerutkan alis mendengar pertanyaan Vano. “Kenapa masih tanya lagi?” tanya Sabrina keheranan. Dia mengangkat kepala dari pundak Vano, lalu memandang suaminya itu. “Ya, aku hanya memastikan saja, takut
“Nggak mau pulang. Mau bobok sama Om Vano!” Athalia merengek menolak pulang saat kedua orang tuanya mengajak selepas pulang setelah pesta. Vano hanya mengusap tengkuk melihat kelakuan absurd keponakan satunya itu. Alaric sampai pusing, kenapa anaknya sampai bandelnya seperti itu. “Pulang beli es krim, ya.” Emily membujuk agar Athalia mau pulang. “Nggak mau!” Athalia menolak sampai memeluk kaki Vano. Sabrina menahan tawa dengan kelakuan Athalia, lalu dia ikut membujuk. “Papa mau beli bunga sama balon, Thalia nggak mau ikut?” tanya Sabrina ke Athalia. Athalia langsung menoleh ke sang papa, hingga melihat ayah dan ibunya terkejut mendengar ucapan Sabrina. “Ah, benar. Papa dan mama mau beli bunga, kamu nggak mau ikut?” tanya Emily mengiakan ucapan Sabrina. Athalia tiba-tiba bangun dan melepas kaki Vano, kemudian menggandeng tangan ibunya. “Ayo! Nanti kamarku harus dikasih bunga-bunga,” celoteh Athalia. Alaric dan Emily lega karena Athalia mau dibujuk, akhirnya mereka mengajak p
Mereka masih menautkan bibir, sampai terlena hingga sejenak lupa akan status mereka sekarang.Sabrina melepas pagutan bibir mereka, lalu sedikit mendorong dada Vano agar menjauh darinya.“Airnya sudah panas,” ucap Sabrina sambil masih menunduk karena malu.Vano mematikan mesin pemanas air, lantas kembali memandang Sabrina.Sabrina menatap Vano, melihat wajah pria itu yang merah mungkin dia juga.“Sekadar ciuman boleh, tapi jangan melebihi batas,” ujar Sabrina mengingatkan.Vano langsung mengulum bibir sambil memulas senyum.“Aku tidak mau kita berhubungan sebelum menikah. Kamu paham maksudku, kan?” tanya Sabrina kemudian agar Vano tak salah paham dengan ucapannya.“Hm … ya, tentu,” balas Vano sedikit canggung karena dia terlalu impulsif. Dia tentunya takkan marah dengan keinginan Sabrina yang mencoba menjaga diri sampai mereka benar-benar sah menjadi suami istri.Van
Setelah bertunangan, Vano dan Sabrina sering menghabiskan waktu bersama di akhir pekan. Mereka jarang jalan di tempat umum karena Raditya melarang, pria tua itu takut kalau terjadi sesuatu lagi dengan Sabrina, padahal ada Vano yang menjaganya. Seperti hari ini, mereka berada di apartemen menonton film seolah berada di bioskop. Vano duduk sambil melingkarkan tangan di belakang pundak Sabrina, sehingga gadis itu bisa bersandar di dadanya. “Besok Mami mengajak fitting gaun untuk pernikahan kita,” ucap Vano sambil melihat ke film yang sedang mereka tonton. Sabrina sedang mengunyah snack, lalu menoleh ke kalender yang ada di meja hias. Tak terasa sudah dua bulan semenjak mereka bertunangan, pantas saja Oma Aruna sudah ingin melakukan fitting baju. “Iya,” balas Sabrina menoleh sekilas ke Vano. Mereka kembali fokus ke film, hingga ponsel Sabrina yang ada di meja berdering. Sabrina menegakkan badan, lalu mengambil benda pipih itu dan melihat sang papa yang menghubungi. “Papa telepon, aku
Hari pertunangan Sabrina dan Vano pun tiba. Pertunangan mereka diadakan di rumah Vano sesuai dengan kesepakatan Raditya dan Opa Ansel.Malam itu halaman samping rumah disulap menjadi tempat pesta untuk pertunangan yang terlihat romantis. Acara itu didatangi keluarga terdekat dan rekan kerja Sabrina di divisinya.“Rumah Pak Vano ternyata sangat besar,” celetuk salah satu staff yang datang.“Pastilah, perusahaannya saja besar. Lupa kalau dia anak pemilik perusahaan,” timpal yang lain.“Iya, lupa,” balas staff itu sampai membuat yang lain tertawa.Sabrina keluar bersama ayahnya memakai gaun elegan hingga membuatnya tampak begitu cantik.Vano sudah menatap tanpa berkedip saat melihat Sabrina. Dia tak menyangka kalau hari ini tiba lalu tinggal menunggu hari lain yang luar biasa tiba.Sabrina tersenyum saat melihat Vano menatapnya, hingga akhirnya mereka berdiri berhadapan untuk melakukan prosesi pertunan
Hari berikutnya, Vano masih menemani Sabrina di apartemen. Pagi itu bersama Sabrina di sofa untuk mengganti perban gadis itu.“Tahan bentar,” ucap Vano saat membersihkan luka Sabrina sebelum diperban lagi.Sabrina melirik ke lengannya. Dia agak meringis karena terasa sedikit perih.Vano membungkus luka itu lagi dengan perlahan setelah selesai dibersihkan.Sabrina menatap Vano yang serius mengganti perban, hingga dia bertanya, “Apa kamu yakin kalau keputusanmu ingin menikah tidak terburu-buru?”Sabrina merasa Vano mengatakan itu hanya spontan saja.Vano melirik Sabrina, lalu menjawab, “Kamu juga setuju, kan? Lalu kenapa sekarang tanya?”“Ya, aku hanya syok saja. Tidak menyangka kamu akan semudah itu bilang mau menikahiku,” balas Sabrina.“Aku serius mengatakan itu,” ucap Vano sambil merapikan perban yang baru saja selesai dipasang.Vano kini menatap Sabrina, memb
Sabrina mengajak Raditya duduk agar bisa mengobrol dengan nyaman. Vano juga ikut bersama keduanya tapi hanya menjadi pendengar saja.“Bagaimana kejadiannya sampai kamu diserang seperti itu?” tanya Raditya penasaran.Sabrina menceritakan dari awal dan akhir apa yang terjadi sampai membuatnya terluka.“Aku hanya masih nggak nyangka kalau dia masih dendam karena dulu aku kabur, Pa. Dia bilang dihajar habis-habisan dan ganti rugi, makanya begitu melihatku dia mau membawaku,” ujar Sabrina menjelaskan.“Dia sudah salah karena menjualmu, lalu dengan enaknya bilang dendam. Dia benar-benar harus diberi pelajaran!” geram Raditya karena pria itu sangat jahat.“Tapi Papa tidak usah terlalu cemas, sekarang pelakunya juga sudah ditangkap,” kata Sabrina menenangkan sang papa.Saat mereka masih mengobrol, terdengar suara bel yang membuat mereka menoleh ke pintu.“Biar aku lihat siapa yang datang,” kata Vano.Vano berdiri menuju pintu, lalu mel
Sabrina terbangun karena lapar. Dia melihat Vano yang baru saja masuk kamar. “Kamu sudah bangun.” Vano langsung mendekat ke ranjang. Sabrina hendak bangun tapi kesusahan karena lengannya sakit. Vano dengan sigap membantu, lalu memastikan Sabrina duduk dengan nyaman. “Aku lapar,” ucap Sabrina karena siang tadi belum makan dan sudah ada tragedi yang membuatnya terluka. “Untung saja aku pesan makanan. Baru saja sampai dan kamu bangun. Biar aku ambilkan ke sini,” kata Vano hendak berdiri. “Aku makan di luar saja, tidak nyaman makan di sini,” kata Sabrina bersiap turun dari ranjang. Vano langsung membantu Sabrina turun dari ranjang karena lengan Sabrina yang terluka tidak bisa dibuat banyak gerak. Vano benar-benar perhatian ke Sabrina. Dia berjalan sambil memperhatikan Sabrina agar tak jatuh, padahal Sabrina bisa berjalan dengan baik karena lengannya saja yang sakit bukan seluruh tubuh. Sabrina sudah duduk di kursi meja makan. Vano membuka pembungkus makanan, lalu mengambil