“Apa benar Anda berselingkuh padahal baru berapa minggu menikah karena masih mencintai mantan tunangan Anda?”Pertanyaan pertama mulai dilontarkan. Alaric mendekat ke mic lantas mencoba menjelaskan.“Itu tidak benar. Jika soal mencintai, aku mencintai istriku, bukan mantanku.”Alaric menjawab dengan tenang, satu tangan masih terus menggenggam telapak tangan Emily.“Tapi, bagaimana Anda menjelaskan foto yang beredar?” tanya wartawan lain.“Keberadaan kami di sini ingin meluruskan itu. Jadi, di sini saya punya bukti rekaman dashboard mobil yang memperlihatkan jika pelaku datang secara tiba-tiba lalu memaksa saya agar menerimanya.”Emily tampak terkejut mendengar Alaric menyebut Aster dengan kata pelaku. Dia sampai menoleh ke pria itu dan melihat jika Alaric sepertinya bicara tanpa beban.Para wartawan terkejut mendengar jawaban Alaric, hingga melihat pria itu meminta ke tim untuk memutar rekaman saat Aster mendatanginya.Alaric dan Emily menoleh ke layar besar yang terpasang di belakang
Emily sangat terkejut saat Alaric menarik lalu memeluknya, hingga dia merasakan ada sesuatu yang memercik sedikit di tangan yang tak tertutup tubuh suaminya. Dia melihat Alaric memeluknya erat untuk melindunginya.Seorang wanita dan pria melempar telur ke punggung Alaric, hingga akhirnya satpam berhasil mencegah keduanya. Tentu saja hal itu membuat syok semua orang, termasuk orang tua Alaric dan Emily.“Mereka itu menjijikkan. Berani-beraninya mereka membuat idola kami menderita. Mereka memalukan hanya karena punya uang!” Seorang wanita berteriak keras sambil berusaha melempar telur lagi tapi ditahan satpam.Emily benar-benar syok, hingga Alaric melepas pelukan lantas pria itu menoleh ke Billy.“Jasmu kotor,” ucap Emily saat mencium bau amis.“Tidak masalah, ayo pergi! Biarkan dua orang itu ditangani Billy dan security,” ajak Alaric tak ingin Emily berlama-lama di sana yang bisa jadi sasaran orang lain lagi.Orang tua Alaric dan Emily langsung menyambut keduanya. Mereka meraih tangan
“Sialan!” Gio membanting gelas yang dipegang setelah melihat berita klarifikasi dari Alaric.Aster yang juga bersama pria itu, hanya diam melihat Gio mengamuk.“Gagal semua!” geram Gio.Gio membuat banyak skenario untuk menjatuhkan Alaric, tapi kenyataannya semua gagal.“Sekarang bagaimana? Aku sudah berusaha semampuku. Alaric bukan pria yang mudah terbujuk rayu, bahkan meski aku membuka seluruh pakaianku di depannya, jika dia tak ingin maka dia takkan tertarik!” Aster mencoba membela diri lebih dulu sebelum disalahkan.Menjadi calon tunangan Alaric selama berbulan-bulan, tentu membuat Aster sedikit bagaimana sifat Alaric. Jangankan berciuman, jika Alaric tak menginginkan, disentuh pun takkan mau.“Sepertinya dia punya kelainan. Nyatanya, aku berkali-kali merayunya agar mau tidur denganku dia selalu menolak. Dia sangat hati-hati saat bersamaku, bahkan mabuk pun tak mau jika tanpa asisten atau temannya itu,” ucap Aster lagi lantas menggigit ujung kuku jempolnya.Gio menatap tajam ke As
Emily memberanikan diri mengambil ponsel Alaric. Dia mengamati dengan seksama layar ponsel suaminya, hingga menutup mulut menggunakan satu tangan karena sangat terkejut.Layar ponsel itu redup, Emily buru-buru menekan tombol agar layarnya kembali menyala untuk memastikan karena dia tak bisa membuka kunci pengaman ponsel itu.“Kenapa?” Emily benar-benar tak percaya dengan apa yang dilihat, bahkan merasa itu mustahil meski sudah mengamatinya dengan seksama.Di saat Emily masih larut dengan rasa tak percayanya. Pintu kamar mandi terbuka, Alaric keluar dari sana sambil mengusap rambut basah menggunakan handuk kecil.Emily menoleh Alaric yang baru saja keluar dari kamar mandi. Pria itu juga ternyata sudah menatapnya, hingga pandangan suaminya itu turun ke ponsel yang dipegang Emily.“Apa ini?” tanya Emily sambil menunjukkan wallpaper di ponsel Alaric.Alaric sangat terkejut dengan yang dilihat Emily. Dia buru-buru mendekat untuk merebut ponsel itu, tapi Emily mengangkat ponsel tinggi-tinggi
Emily memperhatikan wajah Alaric saat menanyakan hal itu. Saat melihat ekspresi wajah Alaric biasa saja, membuat Emily langsung berdecak. “Ah … ekspresimu ga asyik, terkejut saja tidak,” ucap Emily yang sebenarnya sedang menggoda Alaric. Emily mendekat ke Alaric, lantas memberikan ponsel pria itu ke tangan Alaric. Alaric malah membeku karena ucapan Emily, bahkan dia tak merespon sama sekali saat Emily melontarkan pertanyaan itu lalu memberikan ponselnya. “Aku paham, kok. Kamu pasti memasang fotoku untuk memperkuat akting kita, jadi kalau ada yang lihat, mereka pasti langsung berpikir kalau kamu sangat mencintaiku,” cerocos Emily seperti biasa. Alaric menggenggam ponselnya mendengar ucapan Emily. “Lagian, mana mungkin pria sepertimu suka dengan wanita sepertiku yang pasti kamu anggap cerewet,” ucap Emily kemudian lantas tertawa karena merasa lucu. Namun, siapa sangka saat Emily masih tertawa, tiba-tiba saja Alaric merengkuh pinggangnya, membuat Emily terkejut sampai menghentikan
Emily menatap Alaric dengan rasa tak percaya. Bahkan kelopak matanya tampak mengerjap-ngerjap. “Aku akan batalkan perjanjian itu.” “Apa?” Emily lagi-lagi dibuat syok dengan pernyataan Alaric. Emily tiba-tiba mengulurkan tangan, lantas menyentuhkan punggung tangan ke kening Alaric. “Tidak panas, tidak demam, kenapa kamu melantur?” tanya Emily masih tak percaya dengan ucapan pria itu. Alaric menurunkan tangan Emily dari kening, lantas menggenggamnya erat. Dia hanya menatap Emily, tapi bisa membuat jantung wanita itu berdegup cepat. Emily mencoba menarik tangannya, karena posisinya yang berbaring, membuatnya kesulitan melepaskan diri dari Alaric. “Setelah dibatalkan, apa yang kamu inginkan?” tanya Emily memastikan. “Entah, mungkin memulai semuanya dari awal.” Alaric menjawab sambil menatap Emily. Emily menggigit bibir bawahnya, tanpa perjanjian itu, apakah Alaric nantinya akan mencampakkannya? “Kalau begitu jawab dulu. Sejak kapan kamu mengambil foto itu?” tanya Emily
Emily membuka mata saat pagi hari, tapi ada yang berbeda pagi ini. Jika biasanya dia akan bangun dalam kondisi sendiri karena Alaric pasti sudah bangun lebih dulu, tapi pagi ini pria itu masih memeluknya erat. “Al, sudah pagi. Bangunlah.” Emily mencoba membangunkan Alaric yang memeluknya dari belakang. Setelah semalaman bicara membahas masalah konferensi pers hanya untuk mengurai kecanggungan, keduanya tidur hingga Emily membiarkan Alaric memeluknya. “Lima menit lagi,” bisik Alaric masih belum membuka mata. Embusan napas Alaric menerpa tengkuk leher Emily, membuat bulu kuduknya merinding. “Al bangun atau aku akan menjadi alarm yang akan terus berbunyi sampai kamu bangun,” ancam Emily dengan nada candaan. Alaric tersenyum tipis mendengar ancaman Emily. Dia akhirnya melepas pelukan hingga Emily bisa membalikkan badan ke arahnya. “Biasanya jam segini kamu sudah keluar dari kamar mandi dengan aroma wangi menguar ke mana-mana, sekarang lihat mukamu. Muka bantal, bahkan apa ini? Ada
“Kenapa tidak membalas panggilanku semalam?”Alaric menatap Billy yang baru saja datang dan langsung mengamuk.“Aku tidak lihat,” balas Alaric dengan santainya.“Ck … tidak lihat, sepertinya kamu memang mengabaikan,” gerutu Billy sambil menarik kursi yang ada di depan meja kerja Alaric dan duduk di sana.“Ada apa?” tanya Alaric menatap Billy yang baru saja duduk.Billy menatap Alaric, tapi sedetik kemudian mencebik kesal karena sahabatnya itu baru sekarang bertanya.“Aku hanya ingin memberitahu informasi soal Aster,” jawab Billy.Alaric langsung memasang wajah tak senang saat mendengar nama Aster.“Apa yang ingin kamu sampaikan?” tanya Alaric.“Dia kabur ke luar negeri, sepertinya tahu jika akan terkena masalah besar karena klarifikasimu, sebab itu dia memilih pergi lebih dulu,” jawab Billy menjelaskan.“Bersama siapa? Gio?” tanya Alaric memastikan.“Tidak. Sepupumu itu masih di kota ini. tampaknya Aster pergi untuk menghindari masalah yang akan menjeratnya karena kasus ini,” jawab Bi
Vano baru saja selesai rapat saat membaca pesan dari Sabrina. Dia sangat terkejut membaca pesan dari Sabrina hingga terburu-buru meninggalkan tempat rapat begitu selesai, membuat semua orang sampai keheranan.Vano pergi ke rumah sakit. Dia mencari Sabrina di poliklinik, hingga bertemu dengan sang bibi.“Bi, Sabrina dan Mami ke sini?” tanya Vano.“Dia di ruang inap, tadi sudah diperiksa dan karena tekanan darahnya rendah serta dia pusing dan mual, jadi aku menyarankan untuk rawat inap,” jawab sang bibi.Vano sangat panik mendengar jawaban sang bibi.“Dia dirawat di ruang mana?” tanya Vano dengan wajah panik.Sang bibi tersenyum melihat kepanikan Vano, lalu memberitahu di mana Sabrina sekarang.Vano pergi ke ruang inap dengan terburu-buru, hingga akhirnya bertemu Sabrina yang berbaring lemas dengan selang infus terpasang di tangan.“Bagaimana kondisinya, Mi?” tanya Vano saat menghampiri Sabrina.“Dia baik, kamu jangan cemas,” jawab Oma Aruna.“Baik apanya, dia sampai dirawat seperti ini,
Sabrina duduk sambil menikmati cokelat hangat pagi itu, hingga satu tangannya yang bebas dari cangkir, digenggam sampai jemarinya bertautan dengan tangan lain. Sabrina menoleh Vano, melihat suaminya itu tersenyum sambil menggenggam erat tangannya. Vano duduk di samping Sabrina yang duduk di bangku panjang. Mereka berlibur di pantai, menikmati kebersamaan mereka setelah sah menjadi suami-istri. “Kamu tidak pesan kopi?” tanya Sabrina sambil menyandarkan kepala di pundak Vano. “Sudah, tinggal menunggu datang saja,” jawab Vano lalu memiringkan kepala hingga menyentuh kepala Sabrina. Keduanya saling bersandar satu sama lain, menatap hamparan pasir putih bersamaan dengan deburan ombak yang menghantam pantai. “Kamu yakin tidak masalah tinggal sama mami?” tanya Vano memastikan. Sabrina mengerutkan alis mendengar pertanyaan Vano. “Kenapa masih tanya lagi?” tanya Sabrina keheranan. Dia mengangkat kepala dari pundak Vano, lalu memandang suaminya itu. “Ya, aku hanya memastikan saja, takut
“Nggak mau pulang. Mau bobok sama Om Vano!” Athalia merengek menolak pulang saat kedua orang tuanya mengajak selepas pulang setelah pesta. Vano hanya mengusap tengkuk melihat kelakuan absurd keponakan satunya itu. Alaric sampai pusing, kenapa anaknya sampai bandelnya seperti itu. “Pulang beli es krim, ya.” Emily membujuk agar Athalia mau pulang. “Nggak mau!” Athalia menolak sampai memeluk kaki Vano. Sabrina menahan tawa dengan kelakuan Athalia, lalu dia ikut membujuk. “Papa mau beli bunga sama balon, Thalia nggak mau ikut?” tanya Sabrina ke Athalia. Athalia langsung menoleh ke sang papa, hingga melihat ayah dan ibunya terkejut mendengar ucapan Sabrina. “Ah, benar. Papa dan mama mau beli bunga, kamu nggak mau ikut?” tanya Emily mengiakan ucapan Sabrina. Athalia tiba-tiba bangun dan melepas kaki Vano, kemudian menggandeng tangan ibunya. “Ayo! Nanti kamarku harus dikasih bunga-bunga,” celoteh Athalia. Alaric dan Emily lega karena Athalia mau dibujuk, akhirnya mereka mengajak p
Mereka masih menautkan bibir, sampai terlena hingga sejenak lupa akan status mereka sekarang.Sabrina melepas pagutan bibir mereka, lalu sedikit mendorong dada Vano agar menjauh darinya.“Airnya sudah panas,” ucap Sabrina sambil masih menunduk karena malu.Vano mematikan mesin pemanas air, lantas kembali memandang Sabrina.Sabrina menatap Vano, melihat wajah pria itu yang merah mungkin dia juga.“Sekadar ciuman boleh, tapi jangan melebihi batas,” ujar Sabrina mengingatkan.Vano langsung mengulum bibir sambil memulas senyum.“Aku tidak mau kita berhubungan sebelum menikah. Kamu paham maksudku, kan?” tanya Sabrina kemudian agar Vano tak salah paham dengan ucapannya.“Hm … ya, tentu,” balas Vano sedikit canggung karena dia terlalu impulsif. Dia tentunya takkan marah dengan keinginan Sabrina yang mencoba menjaga diri sampai mereka benar-benar sah menjadi suami istri.Van
Setelah bertunangan, Vano dan Sabrina sering menghabiskan waktu bersama di akhir pekan. Mereka jarang jalan di tempat umum karena Raditya melarang, pria tua itu takut kalau terjadi sesuatu lagi dengan Sabrina, padahal ada Vano yang menjaganya. Seperti hari ini, mereka berada di apartemen menonton film seolah berada di bioskop. Vano duduk sambil melingkarkan tangan di belakang pundak Sabrina, sehingga gadis itu bisa bersandar di dadanya. “Besok Mami mengajak fitting gaun untuk pernikahan kita,” ucap Vano sambil melihat ke film yang sedang mereka tonton. Sabrina sedang mengunyah snack, lalu menoleh ke kalender yang ada di meja hias. Tak terasa sudah dua bulan semenjak mereka bertunangan, pantas saja Oma Aruna sudah ingin melakukan fitting baju. “Iya,” balas Sabrina menoleh sekilas ke Vano. Mereka kembali fokus ke film, hingga ponsel Sabrina yang ada di meja berdering. Sabrina menegakkan badan, lalu mengambil benda pipih itu dan melihat sang papa yang menghubungi. “Papa telepon, aku
Hari pertunangan Sabrina dan Vano pun tiba. Pertunangan mereka diadakan di rumah Vano sesuai dengan kesepakatan Raditya dan Opa Ansel.Malam itu halaman samping rumah disulap menjadi tempat pesta untuk pertunangan yang terlihat romantis. Acara itu didatangi keluarga terdekat dan rekan kerja Sabrina di divisinya.“Rumah Pak Vano ternyata sangat besar,” celetuk salah satu staff yang datang.“Pastilah, perusahaannya saja besar. Lupa kalau dia anak pemilik perusahaan,” timpal yang lain.“Iya, lupa,” balas staff itu sampai membuat yang lain tertawa.Sabrina keluar bersama ayahnya memakai gaun elegan hingga membuatnya tampak begitu cantik.Vano sudah menatap tanpa berkedip saat melihat Sabrina. Dia tak menyangka kalau hari ini tiba lalu tinggal menunggu hari lain yang luar biasa tiba.Sabrina tersenyum saat melihat Vano menatapnya, hingga akhirnya mereka berdiri berhadapan untuk melakukan prosesi pertunan
Hari berikutnya, Vano masih menemani Sabrina di apartemen. Pagi itu bersama Sabrina di sofa untuk mengganti perban gadis itu.“Tahan bentar,” ucap Vano saat membersihkan luka Sabrina sebelum diperban lagi.Sabrina melirik ke lengannya. Dia agak meringis karena terasa sedikit perih.Vano membungkus luka itu lagi dengan perlahan setelah selesai dibersihkan.Sabrina menatap Vano yang serius mengganti perban, hingga dia bertanya, “Apa kamu yakin kalau keputusanmu ingin menikah tidak terburu-buru?”Sabrina merasa Vano mengatakan itu hanya spontan saja.Vano melirik Sabrina, lalu menjawab, “Kamu juga setuju, kan? Lalu kenapa sekarang tanya?”“Ya, aku hanya syok saja. Tidak menyangka kamu akan semudah itu bilang mau menikahiku,” balas Sabrina.“Aku serius mengatakan itu,” ucap Vano sambil merapikan perban yang baru saja selesai dipasang.Vano kini menatap Sabrina, memb
Sabrina mengajak Raditya duduk agar bisa mengobrol dengan nyaman. Vano juga ikut bersama keduanya tapi hanya menjadi pendengar saja.“Bagaimana kejadiannya sampai kamu diserang seperti itu?” tanya Raditya penasaran.Sabrina menceritakan dari awal dan akhir apa yang terjadi sampai membuatnya terluka.“Aku hanya masih nggak nyangka kalau dia masih dendam karena dulu aku kabur, Pa. Dia bilang dihajar habis-habisan dan ganti rugi, makanya begitu melihatku dia mau membawaku,” ujar Sabrina menjelaskan.“Dia sudah salah karena menjualmu, lalu dengan enaknya bilang dendam. Dia benar-benar harus diberi pelajaran!” geram Raditya karena pria itu sangat jahat.“Tapi Papa tidak usah terlalu cemas, sekarang pelakunya juga sudah ditangkap,” kata Sabrina menenangkan sang papa.Saat mereka masih mengobrol, terdengar suara bel yang membuat mereka menoleh ke pintu.“Biar aku lihat siapa yang datang,” kata Vano.Vano berdiri menuju pintu, lalu mel
Sabrina terbangun karena lapar. Dia melihat Vano yang baru saja masuk kamar. “Kamu sudah bangun.” Vano langsung mendekat ke ranjang. Sabrina hendak bangun tapi kesusahan karena lengannya sakit. Vano dengan sigap membantu, lalu memastikan Sabrina duduk dengan nyaman. “Aku lapar,” ucap Sabrina karena siang tadi belum makan dan sudah ada tragedi yang membuatnya terluka. “Untung saja aku pesan makanan. Baru saja sampai dan kamu bangun. Biar aku ambilkan ke sini,” kata Vano hendak berdiri. “Aku makan di luar saja, tidak nyaman makan di sini,” kata Sabrina bersiap turun dari ranjang. Vano langsung membantu Sabrina turun dari ranjang karena lengan Sabrina yang terluka tidak bisa dibuat banyak gerak. Vano benar-benar perhatian ke Sabrina. Dia berjalan sambil memperhatikan Sabrina agar tak jatuh, padahal Sabrina bisa berjalan dengan baik karena lengannya saja yang sakit bukan seluruh tubuh. Sabrina sudah duduk di kursi meja makan. Vano membuka pembungkus makanan, lalu mengambil