Sesaat sebelumnya di rumah. Emily keluar dari kamar karena ingin mengambil air hangat, dia berjalan menuju dapur dan bertemu Mia.“Mau makan?” tanya Mia penuh perhatian.“Nggak, Ma. Pinggangku tiba-tiba pegal dan panas, jadi mau isi ini pakai air panas,” jawab Emily memperlihatkan kantong air panas untuk mengompres pinggangnya.Mia menatap kantong itu lalu mengambilnya dari tangan Emily.“Kamu tunggu di ruang keluarga saja, biar mama yang isiin, ya.” Mia tidak mau Emily ceroboh lalu menyiram tangan atau bagian lain saat menuang air panas.Emily mengangguk saja, lalu pergi ke ruang keluarga. Saat berjalan, Emily merasa pinggangnya semakin sakit, bahkan perutnya jadi mulas.“Perasaan pagi tadi sudah buang air besar, kenapa mulas lagi? Aku juga tidak salah makan,” gumam Emily sambil mengusap perutnya.Mia datang membawa kantong yang sudah berisi air panas. Saat sampai di ruang keluarga, Mia melihat Emily yang terus mengusap perut dan pinggang bergantian.“Ada apa, Emi?” tanya Mia lalu du
Akhirnya Billy dan Alaric sampai di rumah sakit. Alaric turun begitu saja dari mobil padahal belum parkir dengan sempurna.“Dasar bucin,” ledek Billy karena Alaric banyak berubah setelah menikah dengan Emily.Alaric berlari masuk IGD, hingga melihat sang mama yang sedang bicara dengan perawat.“Ma, di mana Emi?” tanya Alaric cemas.Mia menoleh Alaric, lalu menjawab, “Masih di ruang pemeriksaan. Ini menunggu ruang bersalinnya siap karena Emily sudah pembukaan sempurna bahkan ketubannya sudah merembes.”Alaric sangat terkejut mendengar jawaban sang mama. Pagi tadi istrinya tidak mengeluh atau ada tanda-tanda melahirkan, sehingga sangat cemas ketika mendapat kabar dari pelayan.Alaric masuk ruang pemeriksaan dan melihat Emily yang tampak kesakitan.“Emi.” Alaric mendekat lalu menggenggam telapak tangan Emily.“Ini sakit sekali,” keluh Emily sambil sesekali meringis menahan kontraksi yang mulai terjadi berulang kali.“Iya, sabar ya. Dia sepertinya tidak sabar ingin bertemu dengan kita, ka
Emilio baru saja berbalas pesan dengan Emily. Dia berkata agar putrinya mendoakan dirinya bisa cepat mendapat izin bepergian jauh tapi siapa sangka Emilio sudah berada di Indonesia dan kini ada di bandara baru saja turun dari pesawat lalu menghubungi Emily. Dia sengaja tak memberitahu Emily karena ingin memberi kejutan.“Emi pasti senang karena kita datang, kan?” tanya Emilio tak sabar ingin bertemu putrinya.“Tentu saja dia sangat senang, apalagi kalau kita berencana tinggal agak lama sampai dia melahirkan,” jawab Grace,Simon hanya tersenyum mendengar percakapan kedua orang tua angkatnya itu. Meski dia cemas orang tuanya itu berpaling kasih sayang darinya, tapi Simon mencoba menepis pikiran itu karena bagaimanapun selama 22 tahun ini dia sudah diberi banyak kasih sayang.Ansel dan Aruna ternyata menjemput Emilio di bandara. Emilio memang meminta tolong Ansel karena ingin memberi kejutan ke Emily.“Apa itu mereka?&rdq
“Bukannya Papa belum boleh bepergian jauh?” tanya Emily sambil menatap heran dan bingung.Emilio malah tertawa lalu mendekat ke Emily begitu juga dengan yang lain.“Papa bilang seperti itu karena ingin memberimu kejutan. Sebenarnya kami sampai di sini pagi tadi, ingin memberimu kejutan tapi malah dikejutkan dengan kabar kamu melahirkan,” balas Emilio.Emily sangat terharu, sampai-sampai buliran kristal bening terus luruh dari kelopak mata.Emilio dan Ansel menatap Emily bersamaan, membuat Emily seperti sedang ditaksir dua pria sekaligus.“Kalian membuatku malu, jangan menatapku begitu,” ucap Emily sambil menghapus air mata yang membasahi wajah.Ansel mendekat lebih dulu lalu memeluk Emily yang sedang terharu, sedangkan Emilio berdiri di sisi satunya mengusap rambut Emily.Alaric memberi ruang untuk dua pria itu agar melepas rindu dan memberikan kasih sayang ke Emily.Grace sendiri memilih melihat bayi Emily yang ada di baby box.“Lucunya dia, gemuk sekali,” ucap Grace saat melihat pipi
Waktu cepat berlalu, tak terasa enam tahun terlewati begitu saja. Di perusahaan keluarga Emily, Vano kini bekerja di sana sebagai manager keuangan setelah berusaha bekerja menjadi karyawan biasa selama dua tahun.Vano sedang mengecek berkas laporan dari staff, hingga ponselnya berdering membuat fokusnya teralihkan ke benda pipih itu.“Apa?” tanya Vano saat menjawab panggilan.“Galak sekali kamu, berani kamu sama atasan!”Vano menghela napas kasar, lalu membalas, “Iya, Bu Emily yang cantik, Anda butuh apa?”“Vano, aku ada rapat dadakan. Thalia tidak ada yang menjemput karena papanya ke luar kota, jadi bantu jemput dia di sekolah, ya.”Vano membuang napas dari mulut lalu membalas, “Aku tidak bekerja di divisimu, kenapa kamu memerintahku?”“Hei, bocah nakal! Kulaporkan ke Papi kalau kamu nggak nurut, lagian perhitungan sekali sama keponakan. Sana buruan jemput, lima belas menit lagi dia keluar. Aku harus rapat, bye.”Vano terkejut dengan perintah sang kakak, bisa-bisanya sang kakak menga
“Kamu pikir, nyari orang dengan hanya bermodal nama itu mudah? Nggak hanya satu yang punya nama itu, mungkin ada beberapa di satu kota, kamu mau cek satu-satu?”Seorang gadis menghela napas kasar mendengar ucapan temannya. Dia jauh-jauh kembali ke kota itu untuk mencari seseorang, tapi ternyata mencari orang bermodal nama saja memang sulit.Sabrina duduk di bangku yang terdapat di trotoar, memandang langit yang tampak cerah dengan matahari yang begitu terik.“Apa aku berhenti mencarinya saja?” Sabrina mendadak putus asa, seperti ucapan temannya memang benar.Saat Sabrina sedang duduk memikirkan apa yang harus dilakukan setelah ini, dia melihat gadis kecil berlari ke arah jalan raya hingga membuatnya langsung berdiri. Sabrina berada di seberang jalan agak jauh dengan gadis kecil itu, membuatnya terkejut karena jalanan cukup ramai siang itu.“Thalia!”Sabrina mendengar suara pria memanggil sebuah nama. Tatapannya tertuju ke pria yang sedang berlari kencang menghampiri gadis kecil yang h
Vano kembali ke perusahaan setelah mengantar Athalia pulang. Saat dia baru saja menginjakkan kaki di lobi, Vano menghentikan langkah ketika melihat siapa yang baru saja keluar dari lift. “Om Vano.” Suara anak kecil memanggil Vano, membuat pria itu tak bisa menghindar atau berpura tak melihat. Vano terpaksa bersikap biasa saat melihat Claudia bersama putranya menghampiri Vano. “Kamu dari mengantar Athalia pulang?” tanya Claudia saat menghampiri Vano untuk sekadar menyapa. “Ya,” jawab Vano singkat. Tampaknya Vano takkan pernah bisa memperbaiki hubungannya dengan Claudia meski sebagai teman. “Om Vano, aku baru beli mobil baru lho,” kata anak Claudia yang berumur tiga tahun. Vano sedikit membungkuk lalu mengusap kepala bocah laki-laki itu. “Iya, bagus.” Vano tersenyum ke anak Claudia tapi tidak dengan ibunya. “Om Vano kembali kerja dulu,” ucap Vano lalu berdiri dengan tegap lagi. Vano menatap sekilas ke Claudia tanpa ekspresi, lalu memilih meninggalkan Claudia. Claudia memilih be
“Baru pulang? Kemarilah!” perintah Oma Aruna saat melihat Vano datang. Vano berjalan agak malas ke arah sang mami duduk, lalu memandang sang mami yang memintanya duduk. “Ada apa, Mi? Aku baru pulang mau mandi dan istirahat dulu,” kata Vano karena pusing mengurus banyak laporan hari ini. “Bentar saja, mami hanya mau tanya,” balas Oma Aruna. “Tanya apa?” Vano terlihat malas karena lelah. “Mami punya temen, temannya punya anak gadis cantik dan pandai main celo. Kamu mau nggak kenalan sama dia?” tanya Oma Aruna. Sejak kuliah, Oma Aruna tak pernah melihat sekalipun putranya berpacaran, hal itu membuat Oma Aruna cemas apalagi di usia Vano yang menginjak usia 28 tahun, masih tak ada tanda-tanda putranya itu punya kekasih. “Tunggu! Maksud Mami apa? Mami mau jodohin aku? Mi, nggak zamannya!” Vano langsung bisa menebak lalu menolak. Oma Aruna terkejut mendengar tebakan dan penolakan Vano, lalu menjelaskan, “Mami hanya ingin kamu tuh kenal sama gadis. Mami nggak pernah tuh lihat kamu deke