Hari itu Gio menghadiri acara lelang. Dia sengaja menghadiri sendiri acara itu untuk melihat sampai mana perusahaannya bertahan melawan perusahaan besar lain untuk memenangkan tender.Berkas yang diajukan perusahaan Gio tersusun rapi dan dengan perencanaan matang karena dibuat saat masih dipegang Alaric. Hasilnya siang itu perusahaan Gio bisa memenangkan tender itu.“Kita bisa mendapatkan proyek ini dengan baik. Lakukan sesuai dengan perencanaan awal, jangan sampai ada yang mengganti atau melakukan korupsi bahannya,” ujar Gio menegaskan saat berjalan keluar dari ruang rapat lelang.“Tentu, Pak. Kami akan melakukan sesuai instruksi,” balas staff yang bersama Gio.Saat mereka berjalan menuju pintu keluar gedung, langkah Gio terhenti saat ada yang memanggil namanya. Gio menoleh hingga melihat Christina berjalan mendekat ke arahnya.“Kalian kembalilah ke perusahaan dulu!” perintah Gio ke para staffnya.“
“Chris!”Christina terkejut saat mendengar namanya dipanggil. Dia sedang melamun sambil tersenyum-senyum, sampai membuatnya tak tahu kalau sedang diperhatikan bahkan disebut namanya.Christina melihat semua orang memandang ke arahnya, hingga dia berdeham lalu menegakkan badan sambil memandang ke arah ayahnya yang memimpin rapat sore itu.“Ya, Pak.” Christina memanggil secara formal ke ayahnya karena sedang berada di forum rapat.Pria berumur 50 tahunan itu menatap Christina yang baru saja sadar dari lamunan.“Tender kali ini perusahaan kita kalah, kan?” tanya pria itu sambil menatap Christina untuk meminta penjelasan.Semua staff yang hadir di sana juga menunggu Christina menjelaskan.“Ah, ya. Seperti yang Anda ketahui, saingan kita dalam lelang kali ini cukup berat. Saat acara lelang saya mengamati penawaran yang masing-masing perusahaan ajukan. Memang penawaran perusahaan kita ada selisih sedikit dengan perusahaan Byantara, tapi karena nominal mereka yang lebih mendekati dengan nila
Emily berjalan keluar dari lift. Alaric baru saja mengabarinya jika tak bisa menjemput karena masih di luar melakukan peninjauan proyek.Saat baru saja akan keluar dari lobi. Emily melihat mobil berhenti di depan lobi. Dia memperhatikan hingga melihat Gio turun dari mobil.“Kenapa kamu di sini?” tanya Emily keheranan.“Al masih di luar, kan? Aku datang untuk menjemputmu. Sekalian mau ke rumah untuk bertemu Kakek,” jawab Gio sambil membuka pintu mobil.Emily mengangguk-angguk mendengar jawaban Gio, akhirnya ikut bersama sepupunya itu masuk mobil.Gio mengemudikan mobil meninggalkan perusahaan Emily.“Mau mampir makan es krim?” tanya Gio sambil memperhatikan jalanan yang dilewati.Emily langsung menoleh Gio dengan senyum lebar dan menganggukkan kepala. “Boleh.”Gio terlihat senang karena Emily mau menerima tawarannya. Mereka pergi ke kedai es krim lalu makan di sana.“Rasanya menyenangkan setelah seharian pusing dengan pekerjaan, lalu makan makanan manis seperti ini,” ucap Emily kemudia
“Berhenti melakukan itu, Al!”Gio berteriak kencang karena sedang dianiaya Alaric.“Aku tadi tidak bisa mengamukmu, sekarang rasakan balasanku!”Alaric benar-benar membalas perbuatan Gio yang berani mengerjai dan membuatnya cemburu. Gio berada di sofa dengan posisi telungkup karena punggungnya ditahan Alaric sehingga membuatnya tak bisa berkutik.Alaric sendiri tak memukuli atau melakukan kekerasan fisik, hanya menggelitik bagian belakang telinga Gio karena tahu jika sepupunya itu sensitif di bagian itu.“Baiklah! Aku tidak akan melakukannya lagi!” teriak Gio sudah tidak tahan. Lebih baik dia dihajar, daripada mendapat gelitikan di area belakang telinganya.Mia dan Emily baru saja kembali dari dapur membawa buah dan minuman, dua wanita itu melongo melihat kelakuan dua pria dewasa di hadapan mereka itu.“Kalian ini sedang apa? Ternyata tidak ingat umur juga?” tanya Mia sampai menggeleng kepala.Emily tertawa terpingkal melihat kelakuan absurd suami dan sepupunya itu. Ternyata mereka bi
Christina duduk di ayunan samping kolam renang. Dia mengayunkan pelan sambil memandang ke langit dan senyum-senyum sendiri.“Lihat, apa menurutmu ada yang aneh? Kemarin pulang dari Amerika tidak seperti itu, kenapa sekarang jadi begitu?” tanya Bastian ke istrinya.Nana—ibu Christina memandang putrinya yang memang terlihat aneh karena senyum-senyum sendiri, lalu membalas pertanyaan sang suami.“Mirip denganmu dulu waktu menyukaiku,” jawab Nana lalu menoleh Bastian.Bastian kaget lalu langsung menatap sang istri.“Bukan kebalikannya?” tanya Bastian.“Mengelak, kamu yang dulu kesengsem duluan,” jawab Nana mengelak.“Yang tiap malam minta ditemani tidur siapa?” Bastian malah membahas ke mana-mana.Nana tak bisa menjawab, hingga memukul lengan suaminya itu.“Ish, kenapa malah membahas kita. Bukannya lagi membahas Chris. Kalau memang tebakan kita benar, be
Alaric tak melihat Emily di ruang keluarga, membuatnya menebak jika sang istri pasti bersama Gio. Lama-lama dia benar-benar cemburu karena Gio seperti ingin mengambil alih waktu yang seharusnya dihabiskan Emily bersamanya jadi bersama Gio.Alaric mencari keberadaan Emily dan Gio, hingga melihat sepupunya itu duduk di samping rumah, membuat Alaric langsung menghampiri.“Di mana Emi?” tanya Alaric saat tak melihat istrinya.“Tuh.” Gio menunjuk menggunakan dagu ke arah Emily berdiri.Alaric mengerutkan dahi melihat Emily menerima panggilan sampai harus menjauh. Dia ikut duduk di kursi yang tadi ditempati Emily.“Memangnya dapat panggilan dari siapa sampai menjauh seperti itu?” tanya Alaric penasaran.“Entah,” jawab Gio masih sibuk makan mangga muda.Alaric menoleh Gio, melihat sepupunya itu terus makan hingga membuatnya sampai meringis karena melihat Gio makan seperti tak merasakan asam sam
“Dia suka makan siang sendiri di restoran kalau sedang tak menggangguku dan suamiku. Dia suka makan sendiri di sana.”Christina mengingat ucapan Emily. Dia sudah berada di restoran yang Emily maksud untuk bisa bertemu dengan Gio.“Semoga dia ada di sini,” gumam Christina.Christina masuk restoran untuk melihat dulu apakah ada Gio. Dia tahu restoran itu memiliki banyak meja dan ruangan untuk makan, mana mungkin harus mengecek satu persatu.Christina belum melihat Gio di tempat itu, membuatnya putus asa dan merasa Gio tak ada di sana. Saat akan membalikkan badan, Christina malah tanpa sengaja menabrak pelayan yang sedang membawa nampan berisi minuman.“Maaf, Nona.” Pelayan itu sangat panik saat tak sengaja mengotori pakaian Christina.Christina sendiri masih sangat syok karena terkena siraman kopi panas. Meski tak langsung terkena kulitnya, tapi Christina bisa merasakan panas kopi yang mengotori pakaiannya.“Maaf, Nona. Saya benar-benar tidak sengaja,” ucap pelayan itu panik karena taku
Gio pergi ke salah satu rumah sakit. Dia berjalan menuju ke salah satu kamar yang terdapat di sana. Gio melihat sipir penjara berdiri di depan salah satu kamar, hingga dia menghampiri.Dia dihubungi pihak lapas yang mengatakan kalau Lena dilarikan ke rumah sakit karena kondisinya yang mendadak drop. Gio memilih pergi untuk memastikan kondisi Lena.“Bagaimana kondisinya?” tanya Gio saat menemui sipir wanita itu.“Anda putra Bu Lena?” tanya sipir itu memastikan.Gio mengangguk-angguk menjawab pertanyaan sipir itu.“Dia semalam mengalami demam tinggi, lalu pagi ini tiba-tiba tak sadarkan diri. Dokter sudah memeriksanya, tekanan darahnya terlalu rendah, kami masih menunggu hasil pemeriksaan menyeluruhnya,” jawab sipir menjelaskan.Gio diam mendengar jawaban sipir. Dia ingin melihat, tapi langkahnya terasa berat.“Anda bisa menemuinya, tapi tak bisa lama,” kata sipir itu. Gio mengangguk lalu akhirnya masuk ke ruang inap itu. Dia melihat Lena berbaring memejamkan mata, satu tangannya diborg
Vano baru saja selesai rapat saat membaca pesan dari Sabrina. Dia sangat terkejut membaca pesan dari Sabrina hingga terburu-buru meninggalkan tempat rapat begitu selesai, membuat semua orang sampai keheranan.Vano pergi ke rumah sakit. Dia mencari Sabrina di poliklinik, hingga bertemu dengan sang bibi.“Bi, Sabrina dan Mami ke sini?” tanya Vano.“Dia di ruang inap, tadi sudah diperiksa dan karena tekanan darahnya rendah serta dia pusing dan mual, jadi aku menyarankan untuk rawat inap,” jawab sang bibi.Vano sangat panik mendengar jawaban sang bibi.“Dia dirawat di ruang mana?” tanya Vano dengan wajah panik.Sang bibi tersenyum melihat kepanikan Vano, lalu memberitahu di mana Sabrina sekarang.Vano pergi ke ruang inap dengan terburu-buru, hingga akhirnya bertemu Sabrina yang berbaring lemas dengan selang infus terpasang di tangan.“Bagaimana kondisinya, Mi?” tanya Vano saat menghampiri Sabrina.“Dia baik, kamu jangan cemas,” jawab Oma Aruna.“Baik apanya, dia sampai dirawat seperti ini,
Sabrina duduk sambil menikmati cokelat hangat pagi itu, hingga satu tangannya yang bebas dari cangkir, digenggam sampai jemarinya bertautan dengan tangan lain. Sabrina menoleh Vano, melihat suaminya itu tersenyum sambil menggenggam erat tangannya. Vano duduk di samping Sabrina yang duduk di bangku panjang. Mereka berlibur di pantai, menikmati kebersamaan mereka setelah sah menjadi suami-istri. “Kamu tidak pesan kopi?” tanya Sabrina sambil menyandarkan kepala di pundak Vano. “Sudah, tinggal menunggu datang saja,” jawab Vano lalu memiringkan kepala hingga menyentuh kepala Sabrina. Keduanya saling bersandar satu sama lain, menatap hamparan pasir putih bersamaan dengan deburan ombak yang menghantam pantai. “Kamu yakin tidak masalah tinggal sama mami?” tanya Vano memastikan. Sabrina mengerutkan alis mendengar pertanyaan Vano. “Kenapa masih tanya lagi?” tanya Sabrina keheranan. Dia mengangkat kepala dari pundak Vano, lalu memandang suaminya itu. “Ya, aku hanya memastikan saja, takut
“Nggak mau pulang. Mau bobok sama Om Vano!” Athalia merengek menolak pulang saat kedua orang tuanya mengajak selepas pulang setelah pesta. Vano hanya mengusap tengkuk melihat kelakuan absurd keponakan satunya itu. Alaric sampai pusing, kenapa anaknya sampai bandelnya seperti itu. “Pulang beli es krim, ya.” Emily membujuk agar Athalia mau pulang. “Nggak mau!” Athalia menolak sampai memeluk kaki Vano. Sabrina menahan tawa dengan kelakuan Athalia, lalu dia ikut membujuk. “Papa mau beli bunga sama balon, Thalia nggak mau ikut?” tanya Sabrina ke Athalia. Athalia langsung menoleh ke sang papa, hingga melihat ayah dan ibunya terkejut mendengar ucapan Sabrina. “Ah, benar. Papa dan mama mau beli bunga, kamu nggak mau ikut?” tanya Emily mengiakan ucapan Sabrina. Athalia tiba-tiba bangun dan melepas kaki Vano, kemudian menggandeng tangan ibunya. “Ayo! Nanti kamarku harus dikasih bunga-bunga,” celoteh Athalia. Alaric dan Emily lega karena Athalia mau dibujuk, akhirnya mereka mengajak p
Mereka masih menautkan bibir, sampai terlena hingga sejenak lupa akan status mereka sekarang.Sabrina melepas pagutan bibir mereka, lalu sedikit mendorong dada Vano agar menjauh darinya.“Airnya sudah panas,” ucap Sabrina sambil masih menunduk karena malu.Vano mematikan mesin pemanas air, lantas kembali memandang Sabrina.Sabrina menatap Vano, melihat wajah pria itu yang merah mungkin dia juga.“Sekadar ciuman boleh, tapi jangan melebihi batas,” ujar Sabrina mengingatkan.Vano langsung mengulum bibir sambil memulas senyum.“Aku tidak mau kita berhubungan sebelum menikah. Kamu paham maksudku, kan?” tanya Sabrina kemudian agar Vano tak salah paham dengan ucapannya.“Hm … ya, tentu,” balas Vano sedikit canggung karena dia terlalu impulsif. Dia tentunya takkan marah dengan keinginan Sabrina yang mencoba menjaga diri sampai mereka benar-benar sah menjadi suami istri.Van
Setelah bertunangan, Vano dan Sabrina sering menghabiskan waktu bersama di akhir pekan. Mereka jarang jalan di tempat umum karena Raditya melarang, pria tua itu takut kalau terjadi sesuatu lagi dengan Sabrina, padahal ada Vano yang menjaganya. Seperti hari ini, mereka berada di apartemen menonton film seolah berada di bioskop. Vano duduk sambil melingkarkan tangan di belakang pundak Sabrina, sehingga gadis itu bisa bersandar di dadanya. “Besok Mami mengajak fitting gaun untuk pernikahan kita,” ucap Vano sambil melihat ke film yang sedang mereka tonton. Sabrina sedang mengunyah snack, lalu menoleh ke kalender yang ada di meja hias. Tak terasa sudah dua bulan semenjak mereka bertunangan, pantas saja Oma Aruna sudah ingin melakukan fitting baju. “Iya,” balas Sabrina menoleh sekilas ke Vano. Mereka kembali fokus ke film, hingga ponsel Sabrina yang ada di meja berdering. Sabrina menegakkan badan, lalu mengambil benda pipih itu dan melihat sang papa yang menghubungi. “Papa telepon, aku
Hari pertunangan Sabrina dan Vano pun tiba. Pertunangan mereka diadakan di rumah Vano sesuai dengan kesepakatan Raditya dan Opa Ansel.Malam itu halaman samping rumah disulap menjadi tempat pesta untuk pertunangan yang terlihat romantis. Acara itu didatangi keluarga terdekat dan rekan kerja Sabrina di divisinya.“Rumah Pak Vano ternyata sangat besar,” celetuk salah satu staff yang datang.“Pastilah, perusahaannya saja besar. Lupa kalau dia anak pemilik perusahaan,” timpal yang lain.“Iya, lupa,” balas staff itu sampai membuat yang lain tertawa.Sabrina keluar bersama ayahnya memakai gaun elegan hingga membuatnya tampak begitu cantik.Vano sudah menatap tanpa berkedip saat melihat Sabrina. Dia tak menyangka kalau hari ini tiba lalu tinggal menunggu hari lain yang luar biasa tiba.Sabrina tersenyum saat melihat Vano menatapnya, hingga akhirnya mereka berdiri berhadapan untuk melakukan prosesi pertunan
Hari berikutnya, Vano masih menemani Sabrina di apartemen. Pagi itu bersama Sabrina di sofa untuk mengganti perban gadis itu.“Tahan bentar,” ucap Vano saat membersihkan luka Sabrina sebelum diperban lagi.Sabrina melirik ke lengannya. Dia agak meringis karena terasa sedikit perih.Vano membungkus luka itu lagi dengan perlahan setelah selesai dibersihkan.Sabrina menatap Vano yang serius mengganti perban, hingga dia bertanya, “Apa kamu yakin kalau keputusanmu ingin menikah tidak terburu-buru?”Sabrina merasa Vano mengatakan itu hanya spontan saja.Vano melirik Sabrina, lalu menjawab, “Kamu juga setuju, kan? Lalu kenapa sekarang tanya?”“Ya, aku hanya syok saja. Tidak menyangka kamu akan semudah itu bilang mau menikahiku,” balas Sabrina.“Aku serius mengatakan itu,” ucap Vano sambil merapikan perban yang baru saja selesai dipasang.Vano kini menatap Sabrina, memb
Sabrina mengajak Raditya duduk agar bisa mengobrol dengan nyaman. Vano juga ikut bersama keduanya tapi hanya menjadi pendengar saja.“Bagaimana kejadiannya sampai kamu diserang seperti itu?” tanya Raditya penasaran.Sabrina menceritakan dari awal dan akhir apa yang terjadi sampai membuatnya terluka.“Aku hanya masih nggak nyangka kalau dia masih dendam karena dulu aku kabur, Pa. Dia bilang dihajar habis-habisan dan ganti rugi, makanya begitu melihatku dia mau membawaku,” ujar Sabrina menjelaskan.“Dia sudah salah karena menjualmu, lalu dengan enaknya bilang dendam. Dia benar-benar harus diberi pelajaran!” geram Raditya karena pria itu sangat jahat.“Tapi Papa tidak usah terlalu cemas, sekarang pelakunya juga sudah ditangkap,” kata Sabrina menenangkan sang papa.Saat mereka masih mengobrol, terdengar suara bel yang membuat mereka menoleh ke pintu.“Biar aku lihat siapa yang datang,” kata Vano.Vano berdiri menuju pintu, lalu mel
Sabrina terbangun karena lapar. Dia melihat Vano yang baru saja masuk kamar. “Kamu sudah bangun.” Vano langsung mendekat ke ranjang. Sabrina hendak bangun tapi kesusahan karena lengannya sakit. Vano dengan sigap membantu, lalu memastikan Sabrina duduk dengan nyaman. “Aku lapar,” ucap Sabrina karena siang tadi belum makan dan sudah ada tragedi yang membuatnya terluka. “Untung saja aku pesan makanan. Baru saja sampai dan kamu bangun. Biar aku ambilkan ke sini,” kata Vano hendak berdiri. “Aku makan di luar saja, tidak nyaman makan di sini,” kata Sabrina bersiap turun dari ranjang. Vano langsung membantu Sabrina turun dari ranjang karena lengan Sabrina yang terluka tidak bisa dibuat banyak gerak. Vano benar-benar perhatian ke Sabrina. Dia berjalan sambil memperhatikan Sabrina agar tak jatuh, padahal Sabrina bisa berjalan dengan baik karena lengannya saja yang sakit bukan seluruh tubuh. Sabrina sudah duduk di kursi meja makan. Vano membuka pembungkus makanan, lalu mengambil