:-0
"Ponsel siapa, Mbak?" Tanya Rosita.Kepalaku menggeleng seraya menatap ponsel yang bagian belakangnya terdapat logo apel tidak utuh. Ponsel yang bila kutaksir harganya tidaklah murah. "Wiiih, ponsel idaman itu, Mbak! Umpetin aja!" Seru Rosita. Aku menatap Rosita sambil menaikkan kedua alis."Ya Tuhan, Rosita. Nggak baik itu."Lalu Mbak Mini menoel lengan Rosita."Kamu ini setan deh, Ros! Jangan ngajari Mbak Jihan jadi orang jelek!""Habisnya bagus banget, Mbak Min."Kemudian aku meletakkan ponsel itu di meja. "Kita tunggu sampai ada yang menghubungi. Kalau nggak ada nanti aku serahin ke pihak keamanan mall."Sembari menunggu ponsel itu dihubungi pemiliknya, aku mengajak Mbak Mini dan Rosita memilih menu apa yang akan dipesan. "Mbak Jihan, filingku bilang kalau itu ponselnya orang kaya deh. Mana ada orang kaleng-kaleng punya ponsel semahal entu," ucap Rosita dengan memegang buku menu. Kepalaku menggeleng sekilas, "Udah, nggak usah dibahas, Ros. Mending pilih menu mau makan apa.""S
Mbak Mini dan Rosita sengaja duduk di pojok restaurant. Sedang aku duduk berhadapan dengan Merissa.Dengan dagu terangkat seraya mengibaskan rambut panjangnya yang tertata rapi, Merissa menatapku lekat.“Gue heran sama takdir. Kenapa selalu ada lo dalam bagian perjalanan hidup gue, Han?”Aku masih menatapnya intens tanpa membuka suara. Karena aku ingin tahu apa yang dia ingin katakan tentang cinta segita diantara kami.Sudah sejauh apa dia memahami apa yang terjadi?“Waktu SMA, satu sekolah sama lo. Waktu kuliah, satu kampus sama lo. Waktu punya gebetan pun ternyata gebetan gue juga ada hubungan sama lo!”Dan kalimat yang terakhir, dia mengucapkannya dengan tegas dan jelas.“Apa nggak bisa lo nyingkir dari kehidupan gue, heh?! Nggak ngerecokin hidup gue gitu? Bosen gue kalau lo lagi lo lagi!”Memangnya aku tidak jauh lebih muak melihatnya?“Awalnya gue syok waktu Mas Tara jelasin semuanya! Kalau lo itu ternyata bininya!” ucapnya dengan wajah kesal.“Lo tiba-tiba datang lalu bikin masal
Perutku tidak merasa lapar padahal terakhir melahap sesuatu itu saat siang tadi. Rupanya stres memikirkan Pak Akhtara dan Merissa juga bisa membuatku 'kenyang'.Kenyang dengan masalah!Ketika jarum jam sudah bertengger di angka sembilan malam, aku memutuskan untuk menenggelamkan diri di bawah selimut. Jika biasanya aku akan memakai gaun malam yang menggoda untuk menyambut kedatangan Pak Akhtara setelah dikepung dengan penatnya pekerjaan, tapi tidak dengan kali ini.Aku sedih dan .... terluka.Dan terlelap bersama mimpi adalah hal yang kuinginkan. Bukan menghabiskan waktu di atas ranjang dengan Pak Akhtara. Baru saja aku selesai merapal doa sebelum tidur, terdengar suara deru mobil Pak Akhtara memasuki garasi. Tanpa mempedulikan kedatangan beliau, aku memilih pura-pura terlelap saja.Bukan bermaksud durhaka pada suami, namun istri mana yang bisa menyembunyikan luka hatinya di depan suami sehabis berseteru dengan selingkuhan suami?Brak!Ehm ... akan ada drama apa lagi ini?Mengapa pint
Sujud merupakan posisi terbaik dan ternyaman manakala aku sedang berbahagia atau bersedih. Bahwa tidak ada yang lebih baik selain kembali menyerahkan masalah itu pada Tuhan.Cintaku pada Pak Akhtara adalah anugerah dari-Nya.Ujian yang sedang kuterima saat ini pun juga adalah anugerah dari-Nya. Sejauh mana aku berpasrah pada ketetapan-Nya.Jalan hidup dan cintaku telah tertulis dalam buku kehidupan yang tersimpan di langit ketujuh sejak enam puluh ribu tahun silam. Begitu juga dengan Merissa yang telah tertulis sebagai perempuan lain yang ada di dalam kehidupan rumah tangga keduaku dengan Pak Akhtara. Semua ini tidak terlepas dari campur tangan-Nya.Ingin hati menganggap kehadiran Merissa sebagai kepanjangan tangan Tuhan ingin menguji iman ini. Namun ternyata, aku tidak sekuat itu untuk menjalaninya tanpa rasa sakit di hati. Baru saja aku berhasil meyakinkan diri bahwa bisa melewati ujian ini, kemudian perutku berbunyi. Maklum aku tidak makan sejak kemarin siang dan sudah terbangun se
“Gue nggak punya cerita apapun yang bisa gue bagi sama lo, Mer. Niat gue ngajak lo ketemuan karena … gue pengen denger, udah sejauh apa hubungan lo sama Pak Akhtara.”“Kalau emang perasaan beliau lebih condong ke lo, mungkin gue siap untuk mundur. Bukankah sejauh apapun batu itu dilempar, kalau udah jadi takdir bakal balik lagi? Dan sekuat apapun digenggam, kalau bukan takdir bakalan terlepas juga?”Wajah geram Merissa perlahan memudar lalu menatapku biasa saja. Ternyata, semudah inilah mempermainkan hati perempuan yang tengah dimabuk cinta.Cukup menggombali Merissa dengan kata-kata manis, dia sudah percaya.“Akhirnya lo nyadar juga. Kalau lo tuh pelakor sebenarnya!” ucapnya tajam.Kepalaku mengangguk pelan seraya menatap Merissa.“Ya, gue akui emang gue yang layak dipanggil pelakor. Karena ngerebut Pak Akhtara dari sisi lo.”“Sekarang gue tanya, kenapa lo manggil Mas Tara pakai sebutan Pak Akhtara? Emang dia Bapak lo?!”Kepalaku menggeleng pelan.“Gue menghormati beliau yang usianya
Setelah meletakkan secangkir minuman segar di meja, Mamanya Pak Akhtara berkata …“Duduk di sini!”Beliau menunjuk ke lantai yang berdekatan dengan kakinya.Apa maksudnya, aku disuruh duduk bersimpuh di lantai?Dengan wajah bingung, aku pun mendekat lalu beliau menarikku agar duduk di lantai dengan begitu kasar.Beliau adalah orang yang paling menentang pernikahan keduaku dengan Pak Akhtara. Beliau tidak menyukaiku sama sekali setelah mengetahui masa laluku yang sebenarnya.“Akhtara dimana?!” Tanyanya ketus.“Pak Akhtara bekerja, Nyonya.” Jawabku dengan menatapnya takut.Beliau kemudian mendekatkan wajahnya ke arahku.“Aku punya pertanyaan dan kamu harus jawab jujur! Awas kalau kamu sampai bohong!”Kepalaku mengangguk sekilas dengan duduk di bersimpuh di lantai.“Apa kamu rajin menggoda Akhtara tiap malam, heh?!” Beliau bertanya dengan nada yang tidak mengenakkan di telinga.“Maaf, Nyonya. Maksud Nyonya apa?”“Nggak usah banyak gaya! Jawab aja! Kamu tiap malam menggoda Akhtara atau ngg
"Kalau perpisahan yang kamu mau ..."Pak Akhtara kemudian melewatiku menuju lemari, lalu mengambil kaos dan celana pendek rumahan."Akan saya kabulkan."Lalu beliau mengenakan kaos dan celana pendek itu dihadapanku tanpa malu. Sedang aku memalingkan wajah untuk tidak menatap tubuh polos beliau.Meski kami suami istri dan sering melakukan hubungan, namun aku masih memiliki rasa malu memandang beliau tanpa busana. "Tapi jangan kaget kalau usaha kecil Papamu, mendadak macet, nggak ada pembeli, atau kehilangan lahan. Apa kamu siap, Jihan?"Aku langsung menoleh ke arah Pak Akhtara dengan raut terkejut. Sungguh, ancaman beliau yang akan menjatuhkan bisnis Papa adalah satu hal penting yang amat kutakuti.Papa telah merintisnya dengan susah payah dari nol dan ... mana mungkin aku tega membiarkan Pak Akhtara menghancurkannya.Pak Akhtara memiliki kuasa dan harta yang melimpah. Hanya dengan satu ketipan mata saja, beliau bisa mengubah mimpi indah Papa menjadi mimpi buruk yang menyedihkan."Tolo
“Mbak Jihan?” Aku membuka mata perlahan ketika mendengar suara Mbak Mini. Ternyata, aku terlelap di atas sajadah dan masih mengenakan mukenah. Lalu aku segera duduk dan melepasnya. “Ada apa, Mbak Min?” Tanyaku setengah mengantuk. “Makan malamnya udah siap di meja.” Makan? Entah mengapa aku tidak berselera melahap makanan apapun. Mungkin karena suasana hatiku yang tidak baik-baik aja. “Makasih, Mbak Min. Tapi aku nggak lapar. Aku minum aja.” Bukannya pergi, Mbak Mini justru duduk di lantai kamarku dengan duduk bersila. “Mbak Jihan ada masalah? Kok aku perhatiin dari tadi pagi nggak makan apa-apa. Diem di kamar terus.” Sejak tadi pagi, setelah kepergian Pak Akhtara menuju Bali dengan rekan-rekannya sesama eksekutif muda, aku merasa sangat tidak tenang. Pasalnya dengan siapa saja Pak Akhtara menghabiskan waktunya di Bali, aku tidak tahu pasti. Juga, beliau tidak mengatakan dengan detail soal kepergiannya yang mendadak itu. Seakan-akan aku tidak diperkenankan untuk me