:-0
Sujud merupakan posisi terbaik dan ternyaman manakala aku sedang berbahagia atau bersedih. Bahwa tidak ada yang lebih baik selain kembali menyerahkan masalah itu pada Tuhan.Cintaku pada Pak Akhtara adalah anugerah dari-Nya.Ujian yang sedang kuterima saat ini pun juga adalah anugerah dari-Nya. Sejauh mana aku berpasrah pada ketetapan-Nya.Jalan hidup dan cintaku telah tertulis dalam buku kehidupan yang tersimpan di langit ketujuh sejak enam puluh ribu tahun silam. Begitu juga dengan Merissa yang telah tertulis sebagai perempuan lain yang ada di dalam kehidupan rumah tangga keduaku dengan Pak Akhtara. Semua ini tidak terlepas dari campur tangan-Nya.Ingin hati menganggap kehadiran Merissa sebagai kepanjangan tangan Tuhan ingin menguji iman ini. Namun ternyata, aku tidak sekuat itu untuk menjalaninya tanpa rasa sakit di hati. Baru saja aku berhasil meyakinkan diri bahwa bisa melewati ujian ini, kemudian perutku berbunyi. Maklum aku tidak makan sejak kemarin siang dan sudah terbangun se
“Gue nggak punya cerita apapun yang bisa gue bagi sama lo, Mer. Niat gue ngajak lo ketemuan karena … gue pengen denger, udah sejauh apa hubungan lo sama Pak Akhtara.”“Kalau emang perasaan beliau lebih condong ke lo, mungkin gue siap untuk mundur. Bukankah sejauh apapun batu itu dilempar, kalau udah jadi takdir bakal balik lagi? Dan sekuat apapun digenggam, kalau bukan takdir bakalan terlepas juga?”Wajah geram Merissa perlahan memudar lalu menatapku biasa saja. Ternyata, semudah inilah mempermainkan hati perempuan yang tengah dimabuk cinta.Cukup menggombali Merissa dengan kata-kata manis, dia sudah percaya.“Akhirnya lo nyadar juga. Kalau lo tuh pelakor sebenarnya!” ucapnya tajam.Kepalaku mengangguk pelan seraya menatap Merissa.“Ya, gue akui emang gue yang layak dipanggil pelakor. Karena ngerebut Pak Akhtara dari sisi lo.”“Sekarang gue tanya, kenapa lo manggil Mas Tara pakai sebutan Pak Akhtara? Emang dia Bapak lo?!”Kepalaku menggeleng pelan.“Gue menghormati beliau yang usianya
Setelah meletakkan secangkir minuman segar di meja, Mamanya Pak Akhtara berkata …“Duduk di sini!”Beliau menunjuk ke lantai yang berdekatan dengan kakinya.Apa maksudnya, aku disuruh duduk bersimpuh di lantai?Dengan wajah bingung, aku pun mendekat lalu beliau menarikku agar duduk di lantai dengan begitu kasar.Beliau adalah orang yang paling menentang pernikahan keduaku dengan Pak Akhtara. Beliau tidak menyukaiku sama sekali setelah mengetahui masa laluku yang sebenarnya.“Akhtara dimana?!” Tanyanya ketus.“Pak Akhtara bekerja, Nyonya.” Jawabku dengan menatapnya takut.Beliau kemudian mendekatkan wajahnya ke arahku.“Aku punya pertanyaan dan kamu harus jawab jujur! Awas kalau kamu sampai bohong!”Kepalaku mengangguk sekilas dengan duduk di bersimpuh di lantai.“Apa kamu rajin menggoda Akhtara tiap malam, heh?!” Beliau bertanya dengan nada yang tidak mengenakkan di telinga.“Maaf, Nyonya. Maksud Nyonya apa?”“Nggak usah banyak gaya! Jawab aja! Kamu tiap malam menggoda Akhtara atau ngg
"Kalau perpisahan yang kamu mau ..."Pak Akhtara kemudian melewatiku menuju lemari, lalu mengambil kaos dan celana pendek rumahan."Akan saya kabulkan."Lalu beliau mengenakan kaos dan celana pendek itu dihadapanku tanpa malu. Sedang aku memalingkan wajah untuk tidak menatap tubuh polos beliau.Meski kami suami istri dan sering melakukan hubungan, namun aku masih memiliki rasa malu memandang beliau tanpa busana. "Tapi jangan kaget kalau usaha kecil Papamu, mendadak macet, nggak ada pembeli, atau kehilangan lahan. Apa kamu siap, Jihan?"Aku langsung menoleh ke arah Pak Akhtara dengan raut terkejut. Sungguh, ancaman beliau yang akan menjatuhkan bisnis Papa adalah satu hal penting yang amat kutakuti.Papa telah merintisnya dengan susah payah dari nol dan ... mana mungkin aku tega membiarkan Pak Akhtara menghancurkannya.Pak Akhtara memiliki kuasa dan harta yang melimpah. Hanya dengan satu ketipan mata saja, beliau bisa mengubah mimpi indah Papa menjadi mimpi buruk yang menyedihkan."Tolo
“Mbak Jihan?” Aku membuka mata perlahan ketika mendengar suara Mbak Mini. Ternyata, aku terlelap di atas sajadah dan masih mengenakan mukenah. Lalu aku segera duduk dan melepasnya. “Ada apa, Mbak Min?” Tanyaku setengah mengantuk. “Makan malamnya udah siap di meja.” Makan? Entah mengapa aku tidak berselera melahap makanan apapun. Mungkin karena suasana hatiku yang tidak baik-baik aja. “Makasih, Mbak Min. Tapi aku nggak lapar. Aku minum aja.” Bukannya pergi, Mbak Mini justru duduk di lantai kamarku dengan duduk bersila. “Mbak Jihan ada masalah? Kok aku perhatiin dari tadi pagi nggak makan apa-apa. Diem di kamar terus.” Sejak tadi pagi, setelah kepergian Pak Akhtara menuju Bali dengan rekan-rekannya sesama eksekutif muda, aku merasa sangat tidak tenang. Pasalnya dengan siapa saja Pak Akhtara menghabiskan waktunya di Bali, aku tidak tahu pasti. Juga, beliau tidak mengatakan dengan detail soal kepergiannya yang mendadak itu. Seakan-akan aku tidak diperkenankan untuk me
Aku sangat menantikan hari lusa yang dijanjikan Pak Akhtara untuk berlibur bersama. Namun kenyataannya justru ….“Pak, apa besok kita jadi berlibur?” Tanyaku sembari memeluk tubuh polosnya yang berbaring di sebelahku.Baru saja kami selesai melakukan kegiatan malam yang rajin beliau pinta.“Kayaknya nggak bisa, Han.”Mendadak hatiku disambangi mendung kekecewaan. Lalu aku menatap wajahnya dari jarak sedekat ini.“Kenapa nggak jadi?”Dengan setengah mengantuk usai mendapatkan puncak surga dunia yang diinginkan, beliau berkata lirih.“Ada kerjaan yang nggak bisa saya tinggal, Han.”Padahal aku sangat menantikan liburan esok hari yang beliau janjikan. Tapi ternyata, masih saja ada halangan yang membuat liburan yang kuiinginkan itu tidak terealisasi.“Kerjaan apa, Pak?”Tapi, beliau tidak menjawab pertanyaanku karena matanya sudah lebih dulu terpejam. Dan aku hanya bisa menghela nafas dan bersabar menunggu kapan beliau menepati janjinya.Lagi-lagi, aku harus menelan pil kekecewaan dari bel
Begitu sampai di jalan tol Jagorawi, mobil Pak Akhtara tidak memilih jalur putar balik. Beliau tetap fokus mengemudi dan menambah kecepatan mobil.Aku menoleh jalur putar balik yang semakin menjauh lalu menatap Pak Akhtara. "Pak, kok kita lurus? Bukannya belok disitu tadi?" Tanyaku. Pak Akhtara tidak menoleh ke arahku. Beliau tetap fokus mengemudi dan berkata ..."Mending kamu duduk, diem. Nanti kamu bakal tahu kita mau kemana."Kemudian aku memilih duduk dan tidak bertanya lagi. Hubunganku dengan Pak Akhtara sedang tidak baik-baik saja, jadi .... lebih baik aku memainkan ponsel saja. Menit demi menit berlalu. Tidak kupungkiri bila perasaan takut mulai membayangi. Ingatan tentang ucapan Pak Akhtara dulu yang ingin memberikanku pada rekan relasi bisnisnya mulai mengusik pikiran.Bukankah beliau sudah puas menikmatiku dan telah memilih Merissa sebagai pelabuhan cintanya?Jika beliau sudah tidak membutuhkanku, bukankah tidak mungkin jika apa yang mengusik pikiranku bisa saja terjadi?T
"Ris, saya berangkat dulu ke Korea. Kamu handle tugas saya tiga hari ke depan.""Baik, Pak Akhtara.""Dan terima kasih karena udah mempersiapkan segala keperluan perjalanan saya sama Jihan. Tanpa kamu pasti saya keteteran.""Sama-sama, Pak. Kebetulan kopian data Bu Jihan masih ada sama saya."Memangnya apa yang tidak bisa dilakukan oleh orang berduit seperti Pak Akhtara. Relasi Faris, asisten pribadinya, pasti merupakan kumpulan orang-orang ternama dengan jabatan mentereng. Memangnya apa yang tidak bisa dilakukan jika memiliki orang dalam?Usai menghubungi Faris, panggilan untuk check in tujuan Korean mulai terdengar. Pak Akhtara kemudian membuka kopernya dan mengambil dokumen keberangkatan kami untuk ditunjukkan pada petugas bandara."Pak, apa saya boleh tanya?" Tanyaku ketika kami berjalan bersisian dengan menggeret koper masing-masing. "Apa?"Tangan kami tidak bergandengan karena satu tangan Pak Akhtara digunakan untuk memegang dokumen penerbangan kami yang baru saja diverifikasi