:-0
Di lantai dua stand, aku dan Mas Hadza duduk bersisian sambil memegang secangkir cappucino dingin. Kedua mata kami menatap keluar jendela kaca besar yang menampilkan pemandangan malam di sekitar stand. "Mas, aku ... udah bilang ke orang tuaku."Kepalanya lantas menoleh padaku."Bilang apa?"Dengan tersenyum malu-malu aku berkata ..."Soal mempercepat lamaranmu ke aku."Mas Hadza tersenyum lebar hingga menampilkan gigi putih rapi dan secuil lesung pipitnya yang begitu menawan. "Gimana jawaban orang tuamu?""Papa bilang ... lamarannya nggak apa-apa dilakukan di bulan ini. Tapi akad nikahnya tetap nunggu bulan baik itu."Sebenarnya bukan alasan mencari bulan baik, melainkan menunggu habis masa iddahku. Bagaimanapun, Papa dan Mama tidak akan mengizinkan aku melanggar masa iddah.Baiklah ... dari pada aku makin berdosa usai mengkhianati Pak Akhtara, lebih baik patuh pada orang tua. "Benarkah? Boleh tunangan bulan ini?" Tanya Mas Hadza penuh binar bahagia. Kepalaku mengangguk dan sejurus
"Kamu kerja dimana?"Mas Hadza kemudian mendongak dan menatap wajah Papa. "Eh ... saya supervisor gudang. Satu kantor dengan Jihan, Pak.""Kalau satu kantor, apa boleh menikah dan tetap kerja disana?"Lalu Mas Hadza kembali menatapku."Eh ... nanti kami akan bicarakan hal ini. Karena sepertinya ... Jihan harus merelakan karirnya. Biar saya yang tetap bekerja di sana."Kepala Papa mengangguk paham lalu kembali berucap ..."Tugas laki-laki itu ... kerja dan mencukupi kebutuhan keluarga. Termasuk membimbing istri dan anak. Jadi, tugasmu nanti ... selain bekerja juga membimbing Jihan ke arah yang benar. Karena .... "Papa kemudian menatapku."Anakku ini banyak banget kekurangannya, Za. Kalau di kemudian hari ... kamu mendapati kekurangannya atau sifat buruknya, tolong kamu maklumi. Karena dengan kamu berani datang kemari, itu berarti kamu sudah siap untuk meminta Jihan menjadi istrimu.""Kalau kamu nggak bisa mendidiknya, kembalikan padaku dengan cara baik-baik. Jangan sakiti dia."Aku sa
Surat pengunduran diriku sudah siap. Surat yang kuketik sendiri dengan penuh kesungguhan hati. Meski ada secuil kegalauan saat membuatnya.Masa iddahku juga akan berakhir hari ini. Akhirnyaaaa ....."Han?" Aku langsung menoleh ke sumber suara. Ternyata Mas Hadza sudah datang. Hari ini kami sepakat bertemu di depan ruangan HRD kantor untuk menyerahkan surat pengunduran diriku. Karena rencananya kami akan akan menikah tiga minggu lagi. Kantor pun memiliki aturan dengan tidak mengizinkan karyawannya tetap bekerja di sini jika akan menikah. Harus ada salah satu yang mengundurkan diri jika masih ingin bekerja disini.Dan akhirnya sesuai kesepakatan, aku yang mengundurkan diri dari kantor dan Mas Hadza yang tetap bekerja di sini. Karena tidak mungkin Mas Hadza yang mengatur bisnis sedang aku yang bekerja di kantor. "Siap?"Aku mengangguk ragu dengan mendekap map berisi surat pengunduran diri. "Siap nggak siap, harus siap, Mas. Meski ... di kantor ini banyak banget kenangannya. Awal mula
"Jihan .... batalin rencana pernikahanmu sama Hadza."Kedua bola mataku melebar mendengar ucapan Papa. Tubuhku mendadak panas dingin sejadi-jadinya bahkan aku seperti lupa bagaimana cara bernafas.Apa yang Papa bicarakan dengan Pak Akhtara hingga menyuruhku membatalkan rencana pernikahan dengan Mas Hadza?Apa Pak Akhtara mengungkap semuanya hingga habis tak bersisa?"Jihan .... anak kesayangan Papa satu-satunya .... " Suara Papa terdengar makin lirih dan seperti menahan tangis."Papa minta maaf kalau Papa belum bisa jadi orang tua yang baik. Papa payah, Han."Kemudian terdengar isak lirih Papa.Astaga ... benarkah Papa telah mengetahui masa laluku yang pernah bekerja menjadi pacara sewaan banyak lelaki lalu berakhir menjadi istri kontrak Pak Akhtara?"Papa nggak nyangkan, Han. Nggak nyangka! Kalau kamu ... kamu ... " Papa tidak melanjutkan ucapannya dan hanya terdengar isak tangis yang membuatku ikut tersayat."Hentikan semua ini, Jihan. Hentikan, Nak! Demi Tuhan, Papa malu sama Akhtar
"Han? Kenapa telfonku nggak kamu angkat?""Maaf, Mas. Kemarin ... aku kurang enak badan. Jadi ... semalam aku tidur mulu."Esok harinya aku baru mengangkat telfon dari Mas Hadza. Suaraku sudah tidak sengau namun kelopak mataku masih bengkak. Bahkan aku malu untuk datang ke stand dengan kondisi seperti ini. "Sakit apa, Han? Kok kamu diam aja?""Cuma ... panas dingin biasa aja kok, Mas."Bukan sakit, melainkan aku tidak mungkin menerima panggilan dari Mas Hadza dengan suara sengau. Apalagi waktu video call nanti dia bisa melihat wajah sembab dan mata bengkakku. Pasti dia bertanya-tanya tentang kondisiku. "Beneran?""Iya.""Nggak mau ke rumah sakit?""Cuma panas dingin biasa, Mas. Mungkin karena pergantian cuaca."Iya ... cuaca hati maksudnya. Keinginan bulat Papa untuk membatalkan pernikahanku dengan Mas Hadza bagaikan tornado di tengah hujan yang dipenuhi kilatan halilintar. Aku tetap ingin menikah dengannya namun kini terhalang oleh restu Papa selaku wali nikahku. Dan mana mungkin
Tidak enak makan. Tidak enak tidur. Bahkan tidak enak melakukan apapun. Itu semua karena Papa dengan jelas dan terang-terangan telah menolak memberi restunya padaku untuk menikah dengan Mas Hadza. Bahkan beliau memintaku untuk meminta maaf dan mengembalikan stand ini pada Pak Akhtara yang susah payah kudapatkan. Akhirnya aku memasrahkan kedua stand pada salah satu karyawan yang bisa kupercaya. Karena hati dan pikiranku tidak bisa diajak bekerja. [Pesan untuk Papa : Pa, aku mencintai Mas Hadza dan udah berjuang sebesar ini. Kenapa Papa tega mau bikin impianku hancur?] [Pesan untukku : Jihan, itu bukan cinta. Itu ambisi, Nak. Papa minta maaf nggak bisa kasih kamu restu. Ayo kembali ke jalan yang benar, Han. Jangan diterusin.] [Pesan untuk Papa : Apa Papa tega lihat persiapan pernikahanku batal?] Selanjutnya, Papa tidak membalas pesanku pun tidak mengangkat telfonku sama sekali. Beliau benar-benar tidak akan memberikan restunya padaku. Bahkan ketika aku mengirim pesan tentang wa
Masih dengan mencengkeram rahangku, Mas Hadza makin memajukan wajah bengisnya dengan mata membola. "Lepas, Mas! Sakit!" Keluhku."Sakitmu ini nggak sebanding sama pengkhianatan yang kamu kasih buat aku, Han! Kamu ngasih aku harapan! Cinta! Kasih sayang! Aku pikir kamu tulus tapi ternyata kamu penipu!" Bentaknya."Karena aku sayang sama kamu, Mas! Makanya aku tega nutup rahasia masa laluku! Aku mau ninggalin masa laluku lalu hidup bahagia sama kamu!" ucapku dengan tangan berusaha melepaskan cengkeram tangannya di rahangku."Kalau kamu sayang sama aku, nggak mungkin kamu tega nipu aku sejauh ini, Han!""Aku sayang kamu, Mas! Sampai aku mati-matian nyari cara biar kita punya bisnis sendiri! Ini bentuk rasa cintaku ke kamu yang nggak main-main besarnya!"Mas Hadza tertawa ngeri dengan menatapku."Demi sebuah bisnis, kamu tega ngasih aku bekasnya Pak Akhtara? Gitu?!""Aku nggak ada cara lain, Mas! Ibumu nggak akan ngasih kita restu kalau kita nggak punya bisnis! Aku harap kamu nggak lupa s
Dengan wajah menunduk sembari menatap punggung tangan kiri yang tertancap jarum infus, aku menunggu Papa mengutarakan keinginannya untuk berbicara serius.Sedang Mama berdiri di samping Papa sembari berkata lirih."Jangan keras-keras sama Jihan, Pa. Dia masih sakit.""Aku tahu. Mama tolong jangan ikut campur dulu. Duduk dan cukup dengarkan kami bicara. Papa nggak mau Mama menyela. Bisa?"Mendengar ucapan Papa seperti itu, jantungku mendadak berdetak seperti genderang. Rupanya, Papa sedang tidak main-main dengan apa yang kualami.Dan apakah Papa sudah tahu jika .... aku batal menikah dengan Mas Hadza?Kemudian Mama mengangguk dan duduk di sofa penunggu."Jihan?" Papa memanggilku.Lalu aku mendongak dan menatap wajah Papa yang teramat serius itu."Ya ... Pa?""Bisa cerita kenapa kamu bisa sakit kayak gini?" Tanya Papa tenang namun dengan intonasi mengintimidasi.Aku membasahi bibir lalu mengangguk pelan."Aku ... sedih, Pa.""Sedih karena apa?"Kemudian aku teringat kejadian saat Mas Had
POV AKHTARA“Maaf katamu?” Tanya Farhan dengan suara sinis.“Waktu Jihan merawat Akhtira sendirian, dihina orang lain perempuan nggak benar karena melahirkan tanpa suami, lalu Akhtira dihina anak haram, siapa yang jadi tameng untuk mereka heh?!”Aku tidak menjawab dan hanya menatap Farhan. Membiarkan dia menyelesaikan ucapannya. “Aku!” Dia menepuk dadanya dengan wajah benar-benar kesal.“Bukan kamu! Yang tiba-tiba datang ngambil semua yang aku usahakan!” ucapnya dengan menunjuk dadaku.“Kamu memang ayah kandung Akhtira, tapi aku yang lebih banyak berjasa ke mereka! Aku menyayangi mereka itu tulus!”“Dan Jihan nggak mungkin berpaling kalau bukan karena kamu pakai acara pura-pura mau mati! Biar apa, heh?! Dapat simpati Jihan dengan cara pintas? Iya?!”Kepalaku menggeleng dengan menatap Farhan yang begitu kecewa dan sakit hati.“Munafik!”“Saya nggak perlu menjelaskannya ke kamu karena saya tahu kamu nggak butuh itu, Far.”Tanpa berkata lagi, Farhan kemudian menaiki motornya dengan eksp
POV AKHTARA [Pesan dariku : Han, saya mau ke rumahmu malam ini. Apa boleh?]Aku menunggu jawaban Jihan dengan sangat tidak sabaran. Menit demi menit itu terasa sangat lama sekali. Kemana dia? Mengapa sedang tidak online?Setelah lima menit dan mondar-mandir sendiri di dalam apartemen, aku kembali melihat ponsel yang masih saja belum menunjukkan ada notifikasi dari Jihan.Baru kemarin Jihan bertamu ke apartemenku, dan hari ini aku langsung bergerak cepat. Memangnya mau menunggu apa?Ting …Aku segera meraih ponsel yang ada di meja dengan harap-harap cemas semoga saja itu dari Jihan.Dan ...[Pesan dari Jihan : Maaf, Pak. Mau apa memangnya?]Kemudian aku langsung menekan gambar telfon dan terhubung ke nomer Jihan. Aku merasa berbicara langsung itu lebih jelas dan gamblang dari pada mengatakannya melalui pesan singkat.“Halo?”“Saya mencintai kamu, Han.”Ini mungkin terlihat sangat frontal dan tidak sabaran. Karena aku langsung mengatakan isi hatiku kepada Jihan tanpa ada basa basi sama
POV AKHTARAJihan kemudian menoleh dengan mata berkaca-kaca kemudian dia berdiri tanpa membawa paper bag. Lalu dia berjalan ke arahku hingga terlihat jelas ekspresi wajahnya.Kecewa, sedih, dan marah bercampur menjadi satu.“Ketika Bapak mau pergi meninggalkan saya dan Akhtira, setelah nyuruh Faris datang ke rumah dengan memberikan deretan surat berharga beserta rekening berisi uang yang nggak main-main banyaknya, kenapa Bapak nggak angkat telfon saya?”“Kenapa Bapak main pergi aja waktu itu?”Lalu air matanya kembali jatuh setetes membasahi pipi.“Bapak ngasih saya dan Akhtira harta sebanyak itu lalu pergi gitu aja, saya kayak merasa semuanya bisa Bapak hargai pakai uang!”Kemudian air mata Jihan makin deras membasahi pipinya. Bahkan bibirnya ikut bergetar menahan isak tangis.“Saya tahu Bapak itu kaya, tapi kenapa semuanya selalu Bapak putuskan sendiri tanpa dengerin saya dulu! Kenapa Bapak selalu menilainya pakai uang?! Bapak punya hati dan cinta kan?! Kenapa nggak mencoba menggunak
POV AKHTARATujuh hari aku berada di tanah suci untuk benar-benar menghambakan diri pada Tuhan. Segala urusan duniawi kukesampingkan.Aku benar-benar mengharap ampunan turun bersama dengan kesungguhanku saat bersujud, menengadahkan tangan, dan tetesan air mata penyesalan.Kugunakan waktu itu sebaik mungkin dengan memperbanyak ibadah. Aku hanya pulang ke hotel jika benar-benar mengantuk.Aku tidak tahu apakah pemeriksaan keseluruhan terhadap kesehatanku itu lolos ataukah tidak. Bila lolos dan dinyatakan cocok, setidaknya aku telah membasuh jiwaku di tanah suci sebelum kembali pada sang Khaliq.Tapi bila tidak lolos, aku harap Tuhan memberi jalan kehidupan yang lebih baik. Karena aku sudah tidak lagi muda dan waktunya lebih fokus pada ibadah serta keluarga.Faris melambaikan tangannya begitu aku keluar dari pintu kedatangan penerbangan luar negeri. Dengan menggeret koper, aku menghampirinya yang menatapku dengan pandangan berkaca-kaca.Dia sudah kuanggap seperti adik dan langsung merangk
POV AKHTARA Faris yang berdiri di samping itu kemudian menatapku penuh keterkejutan. Pun dengan dokter yang kuajak berbicara dan masih memegang hasil laboratorium pasien yang menderita sakit keras itu. "Pak, apa ... maksudnya?" Tanya dokter itu. "Maksud saya seperti yang dokter pikirkan."Dokter itu kemudian menatap Faris dengan penuh keterkejutan. Pasalnya mana ada orang yang sudi mendonorkan hatinya dengan terang-terangan seperti aku?Mungkin mereka pikir aku sedang main-main dengan hal ini. Padahal aku benar-benar merasa bahwa ini adalah titik balik untuk memperbaiki diri dan mendapatkan ampunan dari Tuhan atas semua kesalahanku. "Pak Akhtara, maaf. Ini bukan perkara sederhana, Pak. Mendonorkan hati itu tidak sama dengan mendonorkan ginjal. Manusia punya dua ginjal dan masih bisa bertahan hidup dengan satu ginjal. Tapi kalau hati ... manusia hanya punya satu, Pak. Kalau itu diambil, maka --- ""Saya mati. Begitu kan alurnya?" Jawabku tenang. Dokter dan Faris saling bertatapan d
POV AKHTARA“Mas, mau gendong Tira nggak?” Tanya Abid dengan suara sangat lirih.Aku yang tengah duduk di bangku belakang sambil menatap keluar jendela mobil pun beralih atensi pada adikku itu.Dia tengah memangku putraku, Akhtira, yang sudah tertidur dengan lelap. Sedang kedua anaknya masing-masing dipangku istrinya dan Papa. Hanya aku saja yang tidak memangku anak kecil.Kemudian aku melongok ke arah putraku itu. Dia benar-benar damai terlelap di atas pangkuan adikku. Dan selalu enggan untuk berdekatan denganku.“Apa dia nanti nggak kebangun, Bid?” Tanyaku dengan suara sama lirihnya.“Pelan-pelan aja, Mas.”Lalu aku mengusap pipi halusnya itu dengan ibu jari untuk memastikan apakah Akhtira benar-benar sangat terlelap. Ternyata putraku itu tetap tidur dengan sangat pulas.“Kayaknya dia kecapekan habis main air terus perutnya kenyang. Jadi deh ngorok.”Aku menahan tawa karena guyonan Abid lalu mengangguk dengan mengulurkan kedua tangan untuk menerima putraku.Galau di hati yang sedari
POV AKHTARAAku harus tetap professional dengan tidak mencampuradukkan urusan pribadi dengan urusan pekerjaan. Meski terasa sulit dengan tidak memikirkan penolakan Jihan saat aku sedang bekerja seperti ini.Permintaan Jihan yang tidak bersedia rujuk adalah sebuah keputusan yang tidak boleh kupaksa. Dia memiliki hak yang harus kuhormati sekalipun itu melukai hatiku.Cintaku pada sesama manusia telah habis di Jihan.Meski Humaira begitu baik secara sifat dan iman, tetap saja aku selalu terbayang Jihan. Bukankah akan makin menyakiti Humaira jika dia mengerti jika hatiku masih tertambat pada Jihan?“Mungkin jika Bu Jihan sudah menikah lagi, Bapak akan benar-benar bisa melepas dan melupakannya. Karena pintu untuk mendapatkannya benar-benar telah tertutup,” ucap Faris.Aku menghela nafas panjang dengan menatap gelas minumku yang mengembun. Kami sedang makan malam bersama karena aku tidak mau makan malam sendirian. Kebetulan tempat tinggal Faris tidak jauh dari apartemen tempatku berteduh.“M
POV AKHTARAKarena putraku, Akhtira, sedang duduk di pangkuan seorang lelaki dengan menghadap wajah orang itu. Bahkan senyum putraku terlihat mengembang penuh tawa apalagi saat lelaki itu menyerukkan kepalanya ke arah dada putraku.Tira kembali tertawa terpingkal karena geli dan mencengkeram rambut lelaki itu. Semakin Tira terpingkal, dia semakin menyerukkan kepalanya ke dada putraku hingga tawa keduanya menguar bebas dan membuatku … iri.Lelaki yang masih memakai kemeja putih dan celana kain hitam khas pakaian ASN itu, apakah dia yang bernama Farhan?Seorang aparatur sipil negara yang berstatus duda dan sedang mendekati Jihan.Karena lelaki itu sibuk menyerukkan kepalanya di dada putraku, dia tidak menyadari kehadiranku yang menatap ke arahnya dengan penuh rasa iri dan sedih.Iri karena putraku bisa seakrab itu dengannya. Padahal aku ini ayah biologisnya.Dan sedih karena aku belum pernah sekalipun menggendong putraku sama sekali.Sudah berapa lama mereka bersama? Sudah berapa lama le
POV AKHTARA“Saya panggilin Papa biar Tira dipangku Papa. Jadi Bapak bisa menyentuh Tira.”Aku sedikit mengerutkan kening mendapati jawaban Jihan.“Kenapa harus sama Papamu?”“Kita ini udah bukan suami istri secara agama, Pak. Kalau kita berdekatan, nanti jadi dosa.”Mulutku terkunci ketika Jihan berkata seperti itu. Satu kenyataan yang hampir kulupakan bahwa wanita yang sangat kucintai ini sebenarnya telah terlepas dari genggamanku secara agama.Statusnya hanya istri secara hukum negara.Tapi aku ingat perkataan Papa bahwa masih memiliki kesempatan untuk mendapatkan Jihan kembali dengan rajin mengunjungi Tira.Ketika Jihan hendak berdiri, aku berkata …“Tolong kamu dudukkan aja Tira di kursi. Nggak usah panggil Papamu.”Karena aku yakin jika Papanya Jihan akan membuat pembatas antara aku dan Tira. Apalagi jika putraku itu menangis karena baru pertama kali bertemu denganku.Jihan mengangguk lalu membujuk Tira untuk duduk di kursi. Putraku itu nampak tidak kooperatif namun Jihan terus m