:-0
Surat pengunduran diriku sudah siap. Surat yang kuketik sendiri dengan penuh kesungguhan hati. Meski ada secuil kegalauan saat membuatnya.Masa iddahku juga akan berakhir hari ini. Akhirnyaaaa ....."Han?" Aku langsung menoleh ke sumber suara. Ternyata Mas Hadza sudah datang. Hari ini kami sepakat bertemu di depan ruangan HRD kantor untuk menyerahkan surat pengunduran diriku. Karena rencananya kami akan akan menikah tiga minggu lagi. Kantor pun memiliki aturan dengan tidak mengizinkan karyawannya tetap bekerja di sini jika akan menikah. Harus ada salah satu yang mengundurkan diri jika masih ingin bekerja disini.Dan akhirnya sesuai kesepakatan, aku yang mengundurkan diri dari kantor dan Mas Hadza yang tetap bekerja di sini. Karena tidak mungkin Mas Hadza yang mengatur bisnis sedang aku yang bekerja di kantor. "Siap?"Aku mengangguk ragu dengan mendekap map berisi surat pengunduran diri. "Siap nggak siap, harus siap, Mas. Meski ... di kantor ini banyak banget kenangannya. Awal mula
"Jihan .... batalin rencana pernikahanmu sama Hadza."Kedua bola mataku melebar mendengar ucapan Papa. Tubuhku mendadak panas dingin sejadi-jadinya bahkan aku seperti lupa bagaimana cara bernafas.Apa yang Papa bicarakan dengan Pak Akhtara hingga menyuruhku membatalkan rencana pernikahan dengan Mas Hadza?Apa Pak Akhtara mengungkap semuanya hingga habis tak bersisa?"Jihan .... anak kesayangan Papa satu-satunya .... " Suara Papa terdengar makin lirih dan seperti menahan tangis."Papa minta maaf kalau Papa belum bisa jadi orang tua yang baik. Papa payah, Han."Kemudian terdengar isak lirih Papa.Astaga ... benarkah Papa telah mengetahui masa laluku yang pernah bekerja menjadi pacara sewaan banyak lelaki lalu berakhir menjadi istri kontrak Pak Akhtara?"Papa nggak nyangkan, Han. Nggak nyangka! Kalau kamu ... kamu ... " Papa tidak melanjutkan ucapannya dan hanya terdengar isak tangis yang membuatku ikut tersayat."Hentikan semua ini, Jihan. Hentikan, Nak! Demi Tuhan, Papa malu sama Akhtar
"Han? Kenapa telfonku nggak kamu angkat?""Maaf, Mas. Kemarin ... aku kurang enak badan. Jadi ... semalam aku tidur mulu."Esok harinya aku baru mengangkat telfon dari Mas Hadza. Suaraku sudah tidak sengau namun kelopak mataku masih bengkak. Bahkan aku malu untuk datang ke stand dengan kondisi seperti ini. "Sakit apa, Han? Kok kamu diam aja?""Cuma ... panas dingin biasa aja kok, Mas."Bukan sakit, melainkan aku tidak mungkin menerima panggilan dari Mas Hadza dengan suara sengau. Apalagi waktu video call nanti dia bisa melihat wajah sembab dan mata bengkakku. Pasti dia bertanya-tanya tentang kondisiku. "Beneran?""Iya.""Nggak mau ke rumah sakit?""Cuma panas dingin biasa, Mas. Mungkin karena pergantian cuaca."Iya ... cuaca hati maksudnya. Keinginan bulat Papa untuk membatalkan pernikahanku dengan Mas Hadza bagaikan tornado di tengah hujan yang dipenuhi kilatan halilintar. Aku tetap ingin menikah dengannya namun kini terhalang oleh restu Papa selaku wali nikahku. Dan mana mungkin
Tidak enak makan. Tidak enak tidur. Bahkan tidak enak melakukan apapun. Itu semua karena Papa dengan jelas dan terang-terangan telah menolak memberi restunya padaku untuk menikah dengan Mas Hadza. Bahkan beliau memintaku untuk meminta maaf dan mengembalikan stand ini pada Pak Akhtara yang susah payah kudapatkan. Akhirnya aku memasrahkan kedua stand pada salah satu karyawan yang bisa kupercaya. Karena hati dan pikiranku tidak bisa diajak bekerja. [Pesan untuk Papa : Pa, aku mencintai Mas Hadza dan udah berjuang sebesar ini. Kenapa Papa tega mau bikin impianku hancur?] [Pesan untukku : Jihan, itu bukan cinta. Itu ambisi, Nak. Papa minta maaf nggak bisa kasih kamu restu. Ayo kembali ke jalan yang benar, Han. Jangan diterusin.] [Pesan untuk Papa : Apa Papa tega lihat persiapan pernikahanku batal?] Selanjutnya, Papa tidak membalas pesanku pun tidak mengangkat telfonku sama sekali. Beliau benar-benar tidak akan memberikan restunya padaku. Bahkan ketika aku mengirim pesan tentang wa
Masih dengan mencengkeram rahangku, Mas Hadza makin memajukan wajah bengisnya dengan mata membola. "Lepas, Mas! Sakit!" Keluhku."Sakitmu ini nggak sebanding sama pengkhianatan yang kamu kasih buat aku, Han! Kamu ngasih aku harapan! Cinta! Kasih sayang! Aku pikir kamu tulus tapi ternyata kamu penipu!" Bentaknya."Karena aku sayang sama kamu, Mas! Makanya aku tega nutup rahasia masa laluku! Aku mau ninggalin masa laluku lalu hidup bahagia sama kamu!" ucapku dengan tangan berusaha melepaskan cengkeram tangannya di rahangku."Kalau kamu sayang sama aku, nggak mungkin kamu tega nipu aku sejauh ini, Han!""Aku sayang kamu, Mas! Sampai aku mati-matian nyari cara biar kita punya bisnis sendiri! Ini bentuk rasa cintaku ke kamu yang nggak main-main besarnya!"Mas Hadza tertawa ngeri dengan menatapku."Demi sebuah bisnis, kamu tega ngasih aku bekasnya Pak Akhtara? Gitu?!""Aku nggak ada cara lain, Mas! Ibumu nggak akan ngasih kita restu kalau kita nggak punya bisnis! Aku harap kamu nggak lupa s
Dengan wajah menunduk sembari menatap punggung tangan kiri yang tertancap jarum infus, aku menunggu Papa mengutarakan keinginannya untuk berbicara serius.Sedang Mama berdiri di samping Papa sembari berkata lirih."Jangan keras-keras sama Jihan, Pa. Dia masih sakit.""Aku tahu. Mama tolong jangan ikut campur dulu. Duduk dan cukup dengarkan kami bicara. Papa nggak mau Mama menyela. Bisa?"Mendengar ucapan Papa seperti itu, jantungku mendadak berdetak seperti genderang. Rupanya, Papa sedang tidak main-main dengan apa yang kualami.Dan apakah Papa sudah tahu jika .... aku batal menikah dengan Mas Hadza?Kemudian Mama mengangguk dan duduk di sofa penunggu."Jihan?" Papa memanggilku.Lalu aku mendongak dan menatap wajah Papa yang teramat serius itu."Ya ... Pa?""Bisa cerita kenapa kamu bisa sakit kayak gini?" Tanya Papa tenang namun dengan intonasi mengintimidasi.Aku membasahi bibir lalu mengangguk pelan."Aku ... sedih, Pa.""Sedih karena apa?"Kemudian aku teringat kejadian saat Mas Had
Begitu pintu rumah Mas Hadza terbuka, sosok Ibunya lah yang pertama kali terlihat.Matanya membola melihat kedatanganku dengan ekspresi terkejut. Kemudian aku sedikit membungkuk sopan."Sore, Bu. Apa ... Mas Hadza udah pulang kerja?" Tanyaku dengan wajah memelas.Beliau masih menatapku dengan keterkejutan dan menelisik penampilanku dari atas hingga bawah."Buat apa kamu kemari dan nyari Hadza?""Saya ... mau minta maaf, Bu," ucapku lirih.Beliau terdiam sejenak lalu wajahnya berubah sendu."Kamu nggak usah repot-repot kemari lalu minta maaf, Jihan. Karena kami nggak butuh maafmu. Percuma. Maaf nggak akan menyelesaikan masalah yang kamu buat."Kemudian kepalaku tertunduk sedih mendengar penolakannya."Mending kami nggak usah ketemu kamu lagi. Entah dosa apa yang Ibu perbuat sampai diberi cobaan yang memalukan kayak gini. Sakit hati keluarga Ibu sekarang jadi bahan gunjingan tetangga karena Hadza batal nikah.""Udah, kamu pulang sana! Nggak usah kemari lagi!"Ibunya Mas Hadza kemudian me
"Maya ... menjual barang-barang stand, Mbak."Aku melongo usai mendengar ucapan Cintya. Hingga bulu kudukku meremang."A ... apa? Menjual barang-barang stand?" Tanyaku ulang. Kepala Cintya mengangguk dengan wajah nelangsa. "G ... gimana bisa Maya menjual semua barang-barang milikku?!" Reflek aku bertanya dengan suara berteriak lantang.Hingga Cintya beringsut takut. "K ... karena Mbak Jihan nggak pernah kemari, Mas Hadza juga katanya lembur di pabrik. Lalu Mbak Jihan mempercayakan semua isi stand ke Maya. Dia kalap lihat pemasukan segitu banyaknya tiap hari. Lalu dia bilang kalau uangnya disuruh Mbak Jihan masukin ke bank. Entah dimasukin bank betulan atau nggak.""Lalu esok harinya ada orang ke stand ambil barang-barang. Katanya stand mau pindah. Waktu aku tanya sendiri sama orang yang ambil barang-barang itu kalau Maya menjualnya.""Aku bilang sama Maya kalau apa yang dia lakukan ini salah. Tapi dia malah ngancam aku, Mbak. Dia ngelakuin ini sama Dila. Mereka yang habisin uangnya