:-0
Ludes!Satu kata itu yang bisa kuucapkan untuk saat ini.Aku tidak memiliki pilihan selain menjual kedua bisnis kuliner itu. Satunya berasal dari hasil menggerogoti harta Pak Akhtara. Dan satunya berasal dari keuntungan bisnis pertama yang kudirikan bersama Mas Hadza.Berawal dari hal tidak baik lalu aku membuat cabang dari hal tidak baik itu pula. Alhasil ⊠sesuatu yang dibangun dengan pondasi yang tidak baik, akan berakhir hancur.âUangnya udah saya transfer ya, Mbak Jihan,â ucap pamannya Riska.Akhirnya aku setuju menjual barang-barang yang ada di dalam stand kedua untuk bertahan hidup dan karena tidak memiliki tempat untuk menyimpan aset sebanyak ini. Hidupku saja masih di kos.Keuntungan dari stand pertama telah raib digondol kedua karyawanku.âMakasih, Pak Irfan.ââBisa dicek rekeningnya, Mbak.âTransaksi ini berlangsung sangat cepat karena dua hari lagi bangunan ini akan dirobohkan oleh petugas pemerintahan. Dan Pak Irfan bergerak cepat karena memerlukan waktu untuk mengambil ba
"Mending lo minta maaf ke Pak Akhtara, Han. Soalnya beliau itu korban utama yang paling banyak lo sakiti. Bener nggak sih omongan gue?"Dengan kepala menunduk, kemudian aku mengangguk pelan. "Pak Akhtara udah berkorban banyak buat kebahagiaan lo. Lalu lo sakiti kayak gitu. Apalagi posisinya waktu itu masih sah jadi suami lo. Wajar lah kalau karma yang lo dapat tuh nggak main-main."Aku menghela nafas lalu kembali menganggukkan kepala. Sikap ceplas ceplos Rara itu sudah bawaan lahir. Dan aku tahu, dia menasehatiku seperti itu pasti karena menyayangiku. Ingin mengoreksi kesalahanku."Emang lo udah minta maaf ke Pak Akhtara?""Belum, Ra.""Nunggu apa lagi?!""Gue nggak punya kontaknya. Nomer gue diblokir." Akuku. "Datang ke rumahnya lah, Han?! Kayak nggak ada solusi aja lo."Kepalaku menggeleng ketika Rara menyebut rumah Pak Akhtara."Kenapa? Takut mau bertandang ke rumahnya?! Cemen!""Bukan, Ra. Tapi ... rumahnya udah dijual."Rara menaikkan kedua alisnya dengan mulut membentuk huruf
"Pertemuan Pak Akhtara dan Mas Hadza?" Tanyaku kembali.Kemudian kepala Papa mengangguk pelan dengan mata menatapku lekat. "Apa maksudnya, Pa?""Maaf, Jihan. Papa minta maaf sebanyak-banyaknya. Begitu juga sama Mamamu. Kami berdua punya prinsip bahwa ... serapi apapun seseorang membungkus bangkai, pasti kelak akan tercium juga.""Pa, aku ... nggak ngerti. Memangnya Papa mau bilang apa?""Jihan, tanggung jawab orang tua berat. Nggak cuma sekedar menghidupi anaknya sampai dewasa. Tapi juga harus ngasih pendidikan yang baik. Memberi makan dari uang yang halal. Bahkan walau anaknya udah jadi janda, peran orang tua tetaplah utama. Jangan sampai anak perempuannya salah jalan.""Aku masih nggak paham sama ucapan Papa.""Han, batalnya pernikahanmu sama Hadza ... itu karena ulah Papa."Deg!!!Aku langsung membelalakkan mata tidak percaya. Bahwa yang menghancurkan pernikahan impianku dengan Mas Hadza adalah Papaku sendiri.Ini terdengar gila!Jika orang tua yang lain akan mendukung anaknya untu
"Memangnya mau pergi kemana?" Tanya Abah Yai.Aku, Papa, dan Mama sedang duduk di sofa ruang tamu rumah Abah Yai."Mau saya ajak jalan-jalan sebentar, Abah," ucap Papa santun.Kemudian Abah Yai tersenyum dengan tangan terus menggeser butir demi butir bulatan tasbih yang dipegang."Ya udah, aku izinin. Bentar aja, ya?"Lalu beliau memandangku."Soalnya hari ini ngaji kitabnya dimajuin jamnya. Kamu jangan telat datang."Kepalaku mengangguk pelan lalu berkata ..."Iya, Abah."Usai meminta izin keluar barang sejenak, Papa menarik tanganku menuju pintu masuk asrama."Han, ganti baju dulu." Perintah Papa.Lalu aku sedikit menaikkan alis mendengar perintah Papa lalu menatap gamis coklat yang kupakai."Kenapa mesti ganti, Pa? Gamis yang kupakai nggak apa-apa kok.""Ganti sama yang lebih bagus, Han.""Emangnya kita mau kemana sih, Pa? Kok aku disuruh ganti gamis segala?""Kamu ganti dulu. Nanti Papa jelasin kita mau kemana."Bukankah mendebat orang tua itu hal yang dilarang Tuhan? Jadi, tanpa b
Ketika Pak Akhtara menoleh dan mendapati kehadiranku, beliau seketika melebarkan kedua mata penuh keterkejutan. Aku pun sama terkejutnya melihat keberadaan beliau di restaurant ini. Untuk apa Pak Akhtara diundang kemari?Dan untuk apa melibatkan aku juga ke dalam urusan ini?"Ayo duduk dulu, Tar."Papa kemudian menarik sebuah kursi untuk Pak Akhtara yang ternyata saking terkejutnya dengan kehadiranku, beliau sampai lupa untuk duduk. Setelah kursi ditarik oleh Papa, barulah Pak Akhtara seperti tersadar dari keterkejutannya karena kehadiranku. Entah beliau terkejut melihat kehadiranku disini atau terkejut karena melihat penampilanku yang suda tertutup hijab dan gamis.Usai menduduki kursi, Pak Akhtara dengan cepat menguasai situasi. Beliau memasang wajah tenang tanpa mau menatapku. Penampilannya pun masih sama seperti dulu. Gagah.Berisi.Rapi. Bersih.Wangi.Dan ... bersahaja.Kemeja bergaris itu telah digulung sebatas siku. Hingga menampilkan kulit sawo matangnya. Celana kain hit
"Saya ... minta maaf untuk ... kesalahan-kesalahan saya dulu. Saya minta maaf, Pak Akhtara."Beliau hanya menganggukkan kepala tanpa memandangku."Saya harap, Bapak benar-benar tulus memaafkan saya. Walau itu terdengar mustahil. Karena kelakuan yang saya perbuat, sangat melukai hati Bapak. Tapi, saya ingin dimaafkan dengan tulus ikhlas."Beliau kembali menganggukkan kepala tanpa menatapku lalu memandang Papa."Pak Rusli, saya pamit dulu. Saya kebetulan sudah ada janji."Sebenarnya masih banyak hal yang ingin kukatakan pada Pak Akhtara. Tapi mulutku seperti terkunci rapat-rapat.Begitu Pak Akhtara berdiri, hatiku berteriak untuk menahannya. Karena benar apa kata Papa, jika aku belum tentu memiliki keberanian, waktu, dan kesempatan untuk bertemu Pak Akhtara lagi. Dan moment kali ini harus kumanfaatkan sebaik mungkin."Tara, makasih untuk semuanya. Makasih untuk maaf yang kamu berikan. Makasih udah mengikhlaskan rumah yang Jihan beli tapi di dalamnya ada uangmu juga.""Saya ikhlas, Pak. P
"Maaf, Mbak Jihan. Baru datang. Gara-gara si Abang nih!"Lalu Shifa mencubit perut lelaki yang berdiri di sampingnya hingga lelaki itu meringis."Sakit, Dek!"Aku mengangguk lalu melirik lelaki muda yang berdiri di sebelah Shifa. Tangannya dengan begitu enteng melingkar di pundak Shifa meski ada aku dihadapan mereka.Apakah ini kekasih Shifa?Lelaki itu memakai sarung warna hitam bermotif dan memakai baju koko warna biru muda berlengan pendek. Rambutnya sedikit panjang dengan ... mata kiri tidak sempurna.Tapi garis wajahnya lumayan tampan. Terutama bibirnya yang tipis dan hidungnya yang mancung. Ditambah warna kulitnya yang kuning bersih."Apa pak tukangnya nggak butuh apa-apa, Mbak Jihan?""Nggak, Ning. Kalau butuh apa-apa, aku pasti bilang ke Ning apa yang dibutuhkan."Kepala Shifa kembali mengangguk tapi lelaki itu masih melingkarkan tangannya di pundak Shifa sambil menatap pengerjaan interior di stand ini."Suka nggak, Bang?" Tanya Shifa pada lelaki itu."Suka. Bagus. Kayaknya bak
Shifa berhenti tertawa lirih lalu menatapku lekat."Nggak ada yang aneh dari pertanyaan Mbak Jihan. Wajar kok."Oh ... Jika Shifa berkata demikian, bukankah itu berarti jika dia dan Gus Kahfi memanglah sepasang kekasih?Kemudian aku memberanikan diri bertanya kembali."Kapan rencana pernikahan Ning Shifa dan Gus Kahfi digelar?"Shifa seketika kembali tertawa lirih dengan menutup mulut dengan kedua telapak tangan. Bahkan tawanya hingga bisa membuat matanya menyipit.Karena tawanya itu, aku berubah insecure. Memangnya apa aku salah berkata lagi?"Atau Ning Shifa sebenarnya udah menikah sama Gus Kahfi?"Kepala Shifa menggeleng dengan tawa sedikit lebih keras. Bahkan air keluar dari matanya.Selucu itukah pertanyaan dariku? Padahal aku sendiri merasa tidak ada yang lucu.Usai menghabiskan tawanya itu, Shifa berdehem sebentar lalu menatapku lekat."Mbak Jihan salah total!"Aku mengerutkan alis mendengar jawaban Shifa."Salah total yang gimana, Ning?!""Ya soal dugaan aku sama Abang Kahfi."
POV AKHTARAâMaaf katamu?â Tanya Farhan dengan suara sinis.âWaktu Jihan merawat Akhtira sendirian, dihina orang lain perempuan nggak benar karena melahirkan tanpa suami, lalu Akhtira dihina anak haram, siapa yang jadi tameng untuk mereka heh?!âAku tidak menjawab dan hanya menatap Farhan. Membiarkan dia menyelesaikan ucapannya. âAku!â Dia menepuk dadanya dengan wajah benar-benar kesal.âBukan kamu! Yang tiba-tiba datang ngambil semua yang aku usahakan!â ucapnya dengan menunjuk dadaku.âKamu memang ayah kandung Akhtira, tapi aku yang lebih banyak berjasa ke mereka! Aku menyayangi mereka itu tulus!ââDan Jihan nggak mungkin berpaling kalau bukan karena kamu pakai acara pura-pura mau mati! Biar apa, heh?! Dapat simpati Jihan dengan cara pintas? Iya?!âKepalaku menggeleng dengan menatap Farhan yang begitu kecewa dan sakit hati.âMunafik!ââSaya nggak perlu menjelaskannya ke kamu karena saya tahu kamu nggak butuh itu, Far.âTanpa berkata lagi, Farhan kemudian menaiki motornya dengan eksp
POV AKHTARA [Pesan dariku : Han, saya mau ke rumahmu malam ini. Apa boleh?]Aku menunggu jawaban Jihan dengan sangat tidak sabaran. Menit demi menit itu terasa sangat lama sekali. Kemana dia? Mengapa sedang tidak online?Setelah lima menit dan mondar-mandir sendiri di dalam apartemen, aku kembali melihat ponsel yang masih saja belum menunjukkan ada notifikasi dari Jihan.Baru kemarin Jihan bertamu ke apartemenku, dan hari ini aku langsung bergerak cepat. Memangnya mau menunggu apa?Ting âŠAku segera meraih ponsel yang ada di meja dengan harap-harap cemas semoga saja itu dari Jihan.Dan ...[Pesan dari Jihan : Maaf, Pak. Mau apa memangnya?]Kemudian aku langsung menekan gambar telfon dan terhubung ke nomer Jihan. Aku merasa berbicara langsung itu lebih jelas dan gamblang dari pada mengatakannya melalui pesan singkat.âHalo?ââSaya mencintai kamu, Han.âIni mungkin terlihat sangat frontal dan tidak sabaran. Karena aku langsung mengatakan isi hatiku kepada Jihan tanpa ada basa basi sama
POV AKHTARAJihan kemudian menoleh dengan mata berkaca-kaca kemudian dia berdiri tanpa membawa paper bag. Lalu dia berjalan ke arahku hingga terlihat jelas ekspresi wajahnya.Kecewa, sedih, dan marah bercampur menjadi satu.âKetika Bapak mau pergi meninggalkan saya dan Akhtira, setelah nyuruh Faris datang ke rumah dengan memberikan deretan surat berharga beserta rekening berisi uang yang nggak main-main banyaknya, kenapa Bapak nggak angkat telfon saya?ââKenapa Bapak main pergi aja waktu itu?âLalu air matanya kembali jatuh setetes membasahi pipi.âBapak ngasih saya dan Akhtira harta sebanyak itu lalu pergi gitu aja, saya kayak merasa semuanya bisa Bapak hargai pakai uang!âKemudian air mata Jihan makin deras membasahi pipinya. Bahkan bibirnya ikut bergetar menahan isak tangis.âSaya tahu Bapak itu kaya, tapi kenapa semuanya selalu Bapak putuskan sendiri tanpa dengerin saya dulu! Kenapa Bapak selalu menilainya pakai uang?! Bapak punya hati dan cinta kan?! Kenapa nggak mencoba menggunak
POV AKHTARATujuh hari aku berada di tanah suci untuk benar-benar menghambakan diri pada Tuhan. Segala urusan duniawi kukesampingkan.Aku benar-benar mengharap ampunan turun bersama dengan kesungguhanku saat bersujud, menengadahkan tangan, dan tetesan air mata penyesalan.Kugunakan waktu itu sebaik mungkin dengan memperbanyak ibadah. Aku hanya pulang ke hotel jika benar-benar mengantuk.Aku tidak tahu apakah pemeriksaan keseluruhan terhadap kesehatanku itu lolos ataukah tidak. Bila lolos dan dinyatakan cocok, setidaknya aku telah membasuh jiwaku di tanah suci sebelum kembali pada sang Khaliq.Tapi bila tidak lolos, aku harap Tuhan memberi jalan kehidupan yang lebih baik. Karena aku sudah tidak lagi muda dan waktunya lebih fokus pada ibadah serta keluarga.Faris melambaikan tangannya begitu aku keluar dari pintu kedatangan penerbangan luar negeri. Dengan menggeret koper, aku menghampirinya yang menatapku dengan pandangan berkaca-kaca.Dia sudah kuanggap seperti adik dan langsung merangk
POV AKHTARA Faris yang berdiri di samping itu kemudian menatapku penuh keterkejutan. Pun dengan dokter yang kuajak berbicara dan masih memegang hasil laboratorium pasien yang menderita sakit keras itu. "Pak, apa ... maksudnya?" Tanya dokter itu. "Maksud saya seperti yang dokter pikirkan."Dokter itu kemudian menatap Faris dengan penuh keterkejutan. Pasalnya mana ada orang yang sudi mendonorkan hatinya dengan terang-terangan seperti aku?Mungkin mereka pikir aku sedang main-main dengan hal ini. Padahal aku benar-benar merasa bahwa ini adalah titik balik untuk memperbaiki diri dan mendapatkan ampunan dari Tuhan atas semua kesalahanku. "Pak Akhtara, maaf. Ini bukan perkara sederhana, Pak. Mendonorkan hati itu tidak sama dengan mendonorkan ginjal. Manusia punya dua ginjal dan masih bisa bertahan hidup dengan satu ginjal. Tapi kalau hati ... manusia hanya punya satu, Pak. Kalau itu diambil, maka --- ""Saya mati. Begitu kan alurnya?" Jawabku tenang. Dokter dan Faris saling bertatapan d
POV AKHTARAâMas, mau gendong Tira nggak?â Tanya Abid dengan suara sangat lirih.Aku yang tengah duduk di bangku belakang sambil menatap keluar jendela mobil pun beralih atensi pada adikku itu.Dia tengah memangku putraku, Akhtira, yang sudah tertidur dengan lelap. Sedang kedua anaknya masing-masing dipangku istrinya dan Papa. Hanya aku saja yang tidak memangku anak kecil.Kemudian aku melongok ke arah putraku itu. Dia benar-benar damai terlelap di atas pangkuan adikku. Dan selalu enggan untuk berdekatan denganku.âApa dia nanti nggak kebangun, Bid?â Tanyaku dengan suara sama lirihnya.âPelan-pelan aja, Mas.âLalu aku mengusap pipi halusnya itu dengan ibu jari untuk memastikan apakah Akhtira benar-benar sangat terlelap. Ternyata putraku itu tetap tidur dengan sangat pulas.âKayaknya dia kecapekan habis main air terus perutnya kenyang. Jadi deh ngorok.âAku menahan tawa karena guyonan Abid lalu mengangguk dengan mengulurkan kedua tangan untuk menerima putraku.Galau di hati yang sedari
POV AKHTARAAku harus tetap professional dengan tidak mencampuradukkan urusan pribadi dengan urusan pekerjaan. Meski terasa sulit dengan tidak memikirkan penolakan Jihan saat aku sedang bekerja seperti ini.Permintaan Jihan yang tidak bersedia rujuk adalah sebuah keputusan yang tidak boleh kupaksa. Dia memiliki hak yang harus kuhormati sekalipun itu melukai hatiku.Cintaku pada sesama manusia telah habis di Jihan.Meski Humaira begitu baik secara sifat dan iman, tetap saja aku selalu terbayang Jihan. Bukankah akan makin menyakiti Humaira jika dia mengerti jika hatiku masih tertambat pada Jihan?âMungkin jika Bu Jihan sudah menikah lagi, Bapak akan benar-benar bisa melepas dan melupakannya. Karena pintu untuk mendapatkannya benar-benar telah tertutup,â ucap Faris.Aku menghela nafas panjang dengan menatap gelas minumku yang mengembun. Kami sedang makan malam bersama karena aku tidak mau makan malam sendirian. Kebetulan tempat tinggal Faris tidak jauh dari apartemen tempatku berteduh.âM
POV AKHTARAKarena putraku, Akhtira, sedang duduk di pangkuan seorang lelaki dengan menghadap wajah orang itu. Bahkan senyum putraku terlihat mengembang penuh tawa apalagi saat lelaki itu menyerukkan kepalanya ke arah dada putraku.Tira kembali tertawa terpingkal karena geli dan mencengkeram rambut lelaki itu. Semakin Tira terpingkal, dia semakin menyerukkan kepalanya ke dada putraku hingga tawa keduanya menguar bebas dan membuatku ⊠iri.Lelaki yang masih memakai kemeja putih dan celana kain hitam khas pakaian ASN itu, apakah dia yang bernama Farhan?Seorang aparatur sipil negara yang berstatus duda dan sedang mendekati Jihan.Karena lelaki itu sibuk menyerukkan kepalanya di dada putraku, dia tidak menyadari kehadiranku yang menatap ke arahnya dengan penuh rasa iri dan sedih.Iri karena putraku bisa seakrab itu dengannya. Padahal aku ini ayah biologisnya.Dan sedih karena aku belum pernah sekalipun menggendong putraku sama sekali.Sudah berapa lama mereka bersama? Sudah berapa lama le
POV AKHTARAâSaya panggilin Papa biar Tira dipangku Papa. Jadi Bapak bisa menyentuh Tira.âAku sedikit mengerutkan kening mendapati jawaban Jihan.âKenapa harus sama Papamu?ââKita ini udah bukan suami istri secara agama, Pak. Kalau kita berdekatan, nanti jadi dosa.âMulutku terkunci ketika Jihan berkata seperti itu. Satu kenyataan yang hampir kulupakan bahwa wanita yang sangat kucintai ini sebenarnya telah terlepas dari genggamanku secara agama.Statusnya hanya istri secara hukum negara.Tapi aku ingat perkataan Papa bahwa masih memiliki kesempatan untuk mendapatkan Jihan kembali dengan rajin mengunjungi Tira.Ketika Jihan hendak berdiri, aku berkata âŠâTolong kamu dudukkan aja Tira di kursi. Nggak usah panggil Papamu.âKarena aku yakin jika Papanya Jihan akan membuat pembatas antara aku dan Tira. Apalagi jika putraku itu menangis karena baru pertama kali bertemu denganku.Jihan mengangguk lalu membujuk Tira untuk duduk di kursi. Putraku itu nampak tidak kooperatif namun Jihan terus m