:-0
"Memangnya mau pergi kemana?" Tanya Abah Yai.Aku, Papa, dan Mama sedang duduk di sofa ruang tamu rumah Abah Yai."Mau saya ajak jalan-jalan sebentar, Abah," ucap Papa santun.Kemudian Abah Yai tersenyum dengan tangan terus menggeser butir demi butir bulatan tasbih yang dipegang."Ya udah, aku izinin. Bentar aja, ya?"Lalu beliau memandangku."Soalnya hari ini ngaji kitabnya dimajuin jamnya. Kamu jangan telat datang."Kepalaku mengangguk pelan lalu berkata ..."Iya, Abah."Usai meminta izin keluar barang sejenak, Papa menarik tanganku menuju pintu masuk asrama."Han, ganti baju dulu." Perintah Papa.Lalu aku sedikit menaikkan alis mendengar perintah Papa lalu menatap gamis coklat yang kupakai."Kenapa mesti ganti, Pa? Gamis yang kupakai nggak apa-apa kok.""Ganti sama yang lebih bagus, Han.""Emangnya kita mau kemana sih, Pa? Kok aku disuruh ganti gamis segala?""Kamu ganti dulu. Nanti Papa jelasin kita mau kemana."Bukankah mendebat orang tua itu hal yang dilarang Tuhan? Jadi, tanpa b
Ketika Pak Akhtara menoleh dan mendapati kehadiranku, beliau seketika melebarkan kedua mata penuh keterkejutan. Aku pun sama terkejutnya melihat keberadaan beliau di restaurant ini. Untuk apa Pak Akhtara diundang kemari?Dan untuk apa melibatkan aku juga ke dalam urusan ini?"Ayo duduk dulu, Tar."Papa kemudian menarik sebuah kursi untuk Pak Akhtara yang ternyata saking terkejutnya dengan kehadiranku, beliau sampai lupa untuk duduk. Setelah kursi ditarik oleh Papa, barulah Pak Akhtara seperti tersadar dari keterkejutannya karena kehadiranku. Entah beliau terkejut melihat kehadiranku disini atau terkejut karena melihat penampilanku yang suda tertutup hijab dan gamis.Usai menduduki kursi, Pak Akhtara dengan cepat menguasai situasi. Beliau memasang wajah tenang tanpa mau menatapku. Penampilannya pun masih sama seperti dulu. Gagah.Berisi.Rapi. Bersih.Wangi.Dan ... bersahaja.Kemeja bergaris itu telah digulung sebatas siku. Hingga menampilkan kulit sawo matangnya. Celana kain hit
"Saya ... minta maaf untuk ... kesalahan-kesalahan saya dulu. Saya minta maaf, Pak Akhtara."Beliau hanya menganggukkan kepala tanpa memandangku."Saya harap, Bapak benar-benar tulus memaafkan saya. Walau itu terdengar mustahil. Karena kelakuan yang saya perbuat, sangat melukai hati Bapak. Tapi, saya ingin dimaafkan dengan tulus ikhlas."Beliau kembali menganggukkan kepala tanpa menatapku lalu memandang Papa."Pak Rusli, saya pamit dulu. Saya kebetulan sudah ada janji."Sebenarnya masih banyak hal yang ingin kukatakan pada Pak Akhtara. Tapi mulutku seperti terkunci rapat-rapat.Begitu Pak Akhtara berdiri, hatiku berteriak untuk menahannya. Karena benar apa kata Papa, jika aku belum tentu memiliki keberanian, waktu, dan kesempatan untuk bertemu Pak Akhtara lagi. Dan moment kali ini harus kumanfaatkan sebaik mungkin."Tara, makasih untuk semuanya. Makasih untuk maaf yang kamu berikan. Makasih udah mengikhlaskan rumah yang Jihan beli tapi di dalamnya ada uangmu juga.""Saya ikhlas, Pak. P
"Maaf, Mbak Jihan. Baru datang. Gara-gara si Abang nih!"Lalu Shifa mencubit perut lelaki yang berdiri di sampingnya hingga lelaki itu meringis."Sakit, Dek!"Aku mengangguk lalu melirik lelaki muda yang berdiri di sebelah Shifa. Tangannya dengan begitu enteng melingkar di pundak Shifa meski ada aku dihadapan mereka.Apakah ini kekasih Shifa?Lelaki itu memakai sarung warna hitam bermotif dan memakai baju koko warna biru muda berlengan pendek. Rambutnya sedikit panjang dengan ... mata kiri tidak sempurna.Tapi garis wajahnya lumayan tampan. Terutama bibirnya yang tipis dan hidungnya yang mancung. Ditambah warna kulitnya yang kuning bersih."Apa pak tukangnya nggak butuh apa-apa, Mbak Jihan?""Nggak, Ning. Kalau butuh apa-apa, aku pasti bilang ke Ning apa yang dibutuhkan."Kepala Shifa kembali mengangguk tapi lelaki itu masih melingkarkan tangannya di pundak Shifa sambil menatap pengerjaan interior di stand ini."Suka nggak, Bang?" Tanya Shifa pada lelaki itu."Suka. Bagus. Kayaknya bak
Shifa berhenti tertawa lirih lalu menatapku lekat."Nggak ada yang aneh dari pertanyaan Mbak Jihan. Wajar kok."Oh ... Jika Shifa berkata demikian, bukankah itu berarti jika dia dan Gus Kahfi memanglah sepasang kekasih?Kemudian aku memberanikan diri bertanya kembali."Kapan rencana pernikahan Ning Shifa dan Gus Kahfi digelar?"Shifa seketika kembali tertawa lirih dengan menutup mulut dengan kedua telapak tangan. Bahkan tawanya hingga bisa membuat matanya menyipit.Karena tawanya itu, aku berubah insecure. Memangnya apa aku salah berkata lagi?"Atau Ning Shifa sebenarnya udah menikah sama Gus Kahfi?"Kepala Shifa menggeleng dengan tawa sedikit lebih keras. Bahkan air keluar dari matanya.Selucu itukah pertanyaan dariku? Padahal aku sendiri merasa tidak ada yang lucu.Usai menghabiskan tawanya itu, Shifa berdehem sebentar lalu menatapku lekat."Mbak Jihan salah total!"Aku mengerutkan alis mendengar jawaban Shifa."Salah total yang gimana, Ning?!""Ya soal dugaan aku sama Abang Kahfi."
Kepala Shifa mengangguk kaku dengan menggembungkan pipinya. Sedang kedua matanya membelalak terkejut. Dan ekspresiku juga tidak berbeda jauh dengan keterkejutan yang Shifa rasakan. Lalu aku buru-buru membalikkan badan dan pura-pura membetulkan cadar yang tidak mengapa.Astaga ... Malu sekali aku!Ini jauh lebih memalukan dari pada jatuh terpeleset di depan banyak orang."Ning, aku mau keluar bentar ya?" ucapku.Mumpung stand belum ada pengunjung, aku pun berniat menjauh sementara untuk menyembunyikan muka. "O ... oke, Mbak."Ning Shifa pun tampak canggung menjawab pertanyaanku. Sepertinya kami memiliki pikiran yang sama. Dan minimarket yang berada tidak jauh dari toko Ning Shifa itu menjadi tujuanku. Usai membeli sekaleng kopi dingin, aku duduk di teras minimarket lalu melepas cadar. "Malu banget kedengeran Gus Kahfi kalau aku sengaja pakai cadar buat dia. Semoga aja Gus Kahfi nggak tersinggung."Lalu aku meneguk kopi dingin itu sampai habis. Dan rasa malu ini sepertinya sudah bis
Baru saja aku tiba di asrama usai bekerja di tokonya Shifa, ponselku langsung berdenting. Aku pun urung berganti pakaian dan langsung membuka pesan darinya. Siapa tahu itu pesan penting tentang toko.[Pesan dari Shifa : Mbak, jangan lupa bilang ke orang tua dulu kalau ada lelaki yang pengen serius ngajak nikah.]Aku menghela nafas panjang setelah membaca pesan darinya. Perihal itu, tadi Shifa tidak mau mengatakan padaku siapa nama lelaki yang mau mengajakku menikah. Aneh kan?! Lagi pula, tidak ada letupan bahagia ketika ada lelaki yang diam-diam menyukaiku. Seolah-olah ada sesuatu yang membuat hatiku mati rasa dengan cinta yang ditawarkan lelaki lain. Kemudian aku memutuskan untuk menghubungi Shifa. "Ya, Mbak?""Ning Shfa, aku benar-benar nggak mikirin jodoh dulu."Shifa menghela nafas lalu berucap ..."Seenggaknya, kasih laki-laki itu kesempatan untuk bilang apa yang jadi keinginannya, Mbak. Setelahnya, Mbak Jihan boleh kasih jawaban apapun. Dia siap sama jawaban terburuknya. Kar
"Kamu benar-benar masih sendiri atau ada lelaki lain yang ingin melamarmu?"Kali ini keterkejutanku tidak bisa dibendung lagi seraya menatap Gus Kahfi dari samping. Masalahnya, untuk apa Gus Kahfi bertanya hal seperti itu? Mengapa bukan Gus Fikri sendiri yang bertanya dari awal kalau memang ingin menikahiku?Dari sini saja, aku sudah menaruh rasa ragu pada Gus Fikri. 'Masih kenalan aja nggak gentleman. Gimana kalau jadi istrinya?!' Batinku berseloroh. Lalu Gus Kahfi memanggil namaku ulang. "Han?""Eh ... nggak ada, Gus."Kepala Gus Kahfi mengangguk dengan seulas senyum bahagia lalu tangan Gus Fikri menoel lengan Gus Kahfi. Untuk apa menoel Gus Kahfi? Apa minta dibantu melamarkan juga?Sedang Shifa seperti menahan tawa dengan pipi bersemu malu. Aneh, aku yang akan dilamar tidak merasa ada letupan di dada tapi mengapa tingkah Shifa bertingkah malu-malu. "Ayo, Gus Kahf," ucap Gus Fikri. Nah, mengapa jadi Gus Fikri yang menyemangati Gus Kahfi sih?!Sebenarnya ketidakberesan yang kur
POV AKHTARA Satu tahun kemudian ... "Selamat, Pak. Bayinya lahir sehat. Perempuan."Aku yang sedang menemani Jihan melahirkan secara sesar itu pun tidak kuasa menahan haru dan bahagia karena kami dipercaya Tuhan untuk merawat cipataan-Nya yang sangat lucu dan menggemaskan.Adiknya Akhtira. Setelah suster membersihkan putri kami tercinta, aku segera menggendongnya. Lalu melafadzkan suara adzan di telinganya. Dengan mata berkaca-kaca, aku mencium pipinya penuh cinta. Lalu memberikannya pada Jihan yang masih terbaring di atas meja operasi. "Mau Ayah kasih nama siapa?""Aksara Badsah Ubaid."Kemudian Jihan terlihat sedikit memanyunkan bibir."Aku yang hamil susah payah, tapi nama kedua anakku mirip Ayah semua." Protesnya. "Ya udah saya ganti.""Diganti apa?""Aksara Febriana Ubaid."Jihan menganggukkan kepala setuju dengan melakukan skin ship bersama putri kami. "Namanya kelihatan ada ceweknya. Kalau yang pertama kayak laki-laki, Yah.""Apapun yang kamu mau, Sayang."Kemudian aku da
POV AKHTARARumah megahku yang berada di Bogor terasa begitu sepi, dingin, dan mati. Tidak ada suara tawa atau celotehan Akhtira.Dulu aku mendiami rumah ini hanya untuk menaruh lelap, berganti pakaian, dan berpesta dengan rekan-rekan bisnis. Bukan sebagai tempat untuk melepas kepenatan atau mendulang kebahagiaan.“Dulu saya suka pulang ke rumah ini karena ada kamu, Han,” ucapku.Sambil bergelung dengan satu selimut yang sama dengan Jihan. Di kamar yang ia tempati dulu.“Gombal. Nyatanya Bapak juga masih keluar sama Merissa padahal ada saya di rumah.”Kemudian aku membawanya dalam pelukan hingga kulit kami saling bersentuhan.“Saya nemenin Merissa belanja doang. Dan sengaja pulang agak malam biar kamu cemburu.”Tangan Jihan kemudian memukul dadaku.“Jahat!”Aku tersenyum lalu mencium kening dan memeluknya.“Saya jahat sama kamu dan jahat sama diri saya sendiri. Saya pengen cepat pulang, ketemu kamu, lalu mendapatkan hak saya. Tapi saya sengaja ngulur-ngulur waktu biar kamu cemburu. Soa
POV AKHTARA“Pa, aku sama Ayahnya Tira mau ke Bogor,” ucap Jihan ketika kami semua duduk di kursi meja makan.“Ngapain ke Bogor?!” Tanya Papanya Jihan ketus.Jihan yang sedang menyuapi Akhtira kemudian menatapku yang duduk di sebelah putraku itu.Kemudian Papanya Jihan langsung menatapku dengan ekspresi tidak suka.“Mau merencanakan apa lagi kamu, Akhtara?! Nggak usah bawa-bawa Jihan pergi jauh dari kami! Kami nggak percaya sama kamu!”Inilah alasan kuat mengapa Jihan dan Akhtira tidak diperbolehkan untuk tinggal seatap saja denganku. Mereka berpikir jika aku masihlah jahat seperti dulu. Dan sudah pasti aku harus sabar dan kuat menghadapi sikap mereka.“Aku khawatir kamu udah bikin rencana di Bogor lalu Jihan sama Tira nggak pulang-pulang! Kalau kamu mau ke Bogor, pergi aja sendiri sana!”“Meski Jihan udah kembali jadi hakmu, tapi aku sebagai Papanya nggak mau kejadian buruk itu kembali terulang!”Usai menelan makanan, aku menatap Papanya Jihan, mertuaku.Aku menyadari mengapa amarah b
POV AKHTARA Dengan jarak sedekat ini sambil menatap wajah cantik Jihan, aku benar-benar terlena. Wanita yang ada di hadapanku saat ini telah resmi menjadi istriku, pendamping hidupku. Tidak ada kata terlarang untuk menyentuh wajahnya dengan kedua tanganku. Bahkan aku dihalalkan untuk menyentuhnya lebih dari ini. Andai tidak lupa akan janjiku untuk membuatnya nyaman terlebih dahulu, mungkin aku bisa memilikinya saat ini juga.Kemudian aku menurunkan kedua tangan dari wajahnya lalu berdiri dari bersimpu dan mundur dua langkah. Sungguh, berdekatan dengan Jihan membuat naluriku sebagai seorang pria tergugah sepenuhnya.Kini aku benar-benar tahu mengapa saat bersama Merissa, aku tidak pernah sukses menjadi pria sejati. Jawabannya sudah pasti karena aku tidak mencintai dia sama sekali dan hatiku benar-benar menginginkan Jihan seorang. "Kenapa, Pak?" Aku menggeleng sembari tersenyum. "Saya cuma mau kamu nyaman dulu, Han. Saya takut kalau nggak menjaga sikap, justru kamu yang terpaksa."
POV AKHTARA Usiaku hampir menyentuh angka empat puluh lima tahun. Sedang Jihan masih berusia tiga puluh tahun. Perbedaan usia kami membuat ia lebih cocok menjadi keponakanku. Dan sebagai pria yang sudah berumur, siapa yang tidak senang jika memiliki istri yang masih muda, cantik, dan solehah?Inilah yang disebut dengan perhiasan dunia. Apalagi dia telah melahirkan keturunanku yang sehat dan tampan, Akhtira."Khilaf?" Tanya Jihan keheranan.Dengan bersedekap sambil menyandarkan punggung pada pintu kamar hotel yang kami tempati, aku fokus menikmati wajah cantik Jihan yang penuh dengan riasan pengantin dari kejauhan.Sungguh cantik!Lalu aku mengangguk sekilas. "Maksudnya?""Kalau kemarin saya cuma bisa mencintai kamu tanpa bisa memiliki, maka berbeda dengan sekarang. Saya boleh mencintai kamu sedalam apapun karena kamu resmi hanya akan menjadi milik saya aja, Han."Jihan nampak sedikit salah tingkah dengan ucapanku lalu dia membuang muka. Imut dan menggemaskan sekali.Andai aku tidak
POV AKHTARA Aku sudah tidak merasa asing lagi dengan sebutan 'perjanjian pra nikah'. Karena ketika aku akan menikahi Jihan untuk kedua kalinya dan memberinya madu dengan menikahi Merissa, aku menggunakan perjanjian pra nikah dengan alasan untuk melindungi harta bendaku. Saat itu, aku mencampuradukkan hal yang disebut cinta dan sayang dengan racun bernama dendam. Hingga aku menganggap Jihan dan Merissa adalah sama-sama perempuan yang harus kuwaspadai mana kala akan mengeruk hartaku semata.Tapi ternyata, aku keliru besar. Karena saat menikahi Jihan untuk kedua kalinya, dia benar-benar sudah berubah. Hanya aku saja yang tidak menyadari. Hingga tega menduakannya dengan Merissa. "Aku restui niat baikmu kembali menikahi Jihan untuk ketiga kalinya, Akhtara."Aku langsung tersenyum lega dengan perasaan bahagia tiada terkira mendengar ucapan Papanya Jihan. Meski beliau mengatakannya dengan ekspresi yang datar dan acuh. "Agama cuma ngasih kamu batas menikahi Jihan hanya tiga kali. Dan jang
POV AKHTARA Satu unit motor untuk kaum lelaki baru saja kubayar lunas. Dan kini motor itu tengah dinaikkan ke mobil pick up menuju alamat Farhan. "Apa Farhan mau menerimanya, Pak?" Tanya Faris yang duduk di sebelahku."Saya nggak peduli dia mau menerima hadiah dari saya atau nggak, Ris. Karena saya berniat memberikan hadiah itu sebagai ucapan terima kasih ia pernah berjasa dalam kehidupan Jihan dan Akhtira. Saya nggak mau jadi orang yang nggak tahu terima kasih."Kami duduk bersebelahan dengan menatap proses motor seharga lima puluh juta itu akhirnya berhasil dinaikkan ke atas bak mobil. Segala kelengkapannya kuserahkan pada pihak penjual motor. "Kamu urus sisanya ya, Ris. Saya mau ketemu Tira."Kemudian aku menyetir mobil dan sengaja singgah sebentar ke salah satu mall untuk mengunjungi salah satu gerai yang menjual mainan. Apalagi jika bukan untuk membelikan Tira mainan baru. Putraku itu ternyata tidak mudah untuk didekati. Dan sepertinya aku harus membelikan mainan yang sangat m
POV AKHTARA Sepasang tiket VIP dari biro perjalanan ke tanah suci sudah siap di tangan. "Apa kamu yakin ini adalah cara terbaik bikin kedua orang tua Jihan mau merestui hubungan saya sama Jihan, Ris?" Tanyaku."Kita coba saja dulu, Pak. Kalau Bapak ngasih harta atau rumah baru, belum tentu orang tua Bu Jihan luluh. Justru marah yang iya. Tapi kalau hadiah sepaket perjalanan ke tanah suci, saya rasa itu adalah hadiah terbaik sepanjang masa."Apa yang dikatakan Faris ada benarnya. "Oke. Saya akan hubungi Jihan kalau nanti malam mau bertamu ke rumahnya.""Semoga semuanya lancar, Pak."Hampir satu minggu ini aku dan Faris berpikir tentang hadiah terbaik untuk kedua orang tua Jihan agar sudi menerimaku lagi. Dan pilihan kami jatuh pada tanah suci. Dan selama satu minggu itu pula, aku selalu memikirkan Jihan dan Akhtira. Apakah Jihan mendapat omongan yang tidak mengenakkan dari kedua orang tuanya karena memilihku?Ataukah semuanya baik-baik saja tidak seperti dugaanku?Sebab, satu minggu
POV AKHTARA“Maaf katamu?” Tanya Farhan dengan suara sinis.“Waktu Jihan merawat Akhtira sendirian, dihina orang lain perempuan nggak benar karena melahirkan tanpa suami, lalu Akhtira dihina anak haram, siapa yang jadi tameng untuk mereka heh?!”Aku tidak menjawab dan hanya menatap Farhan. Membiarkan dia menyelesaikan ucapannya. “Aku!” Dia menepuk dadanya dengan wajah benar-benar kesal.“Bukan kamu! Yang tiba-tiba datang ngambil semua yang aku usahakan!” ucapnya dengan menunjuk dadaku.“Kamu memang ayah kandung Akhtira, tapi aku yang lebih banyak berjasa ke mereka! Aku menyayangi mereka itu tulus!”“Dan Jihan nggak mungkin berpaling kalau bukan karena kamu pakai acara pura-pura mau mati! Biar apa, heh?! Dapat simpati Jihan dengan cara pintas? Iya?!”Kepalaku menggeleng dengan menatap Farhan yang begitu kecewa dan sakit hati.“Munafik!”“Saya nggak perlu menjelaskannya ke kamu karena saya tahu kamu nggak butuh itu, Far.”Tanpa berkata lagi, Farhan kemudian menaiki motornya dengan ekspr