;-0
Baru saja aku tiba di asrama usai bekerja di tokonya Shifa, ponselku langsung berdenting. Aku pun urung berganti pakaian dan langsung membuka pesan darinya. Siapa tahu itu pesan penting tentang toko.[Pesan dari Shifa : Mbak, jangan lupa bilang ke orang tua dulu kalau ada lelaki yang pengen serius ngajak nikah.]Aku menghela nafas panjang setelah membaca pesan darinya. Perihal itu, tadi Shifa tidak mau mengatakan padaku siapa nama lelaki yang mau mengajakku menikah. Aneh kan?! Lagi pula, tidak ada letupan bahagia ketika ada lelaki yang diam-diam menyukaiku. Seolah-olah ada sesuatu yang membuat hatiku mati rasa dengan cinta yang ditawarkan lelaki lain. Kemudian aku memutuskan untuk menghubungi Shifa. "Ya, Mbak?""Ning Shfa, aku benar-benar nggak mikirin jodoh dulu."Shifa menghela nafas lalu berucap ..."Seenggaknya, kasih laki-laki itu kesempatan untuk bilang apa yang jadi keinginannya, Mbak. Setelahnya, Mbak Jihan boleh kasih jawaban apapun. Dia siap sama jawaban terburuknya. Kar
"Kamu benar-benar masih sendiri atau ada lelaki lain yang ingin melamarmu?"Kali ini keterkejutanku tidak bisa dibendung lagi seraya menatap Gus Kahfi dari samping. Masalahnya, untuk apa Gus Kahfi bertanya hal seperti itu? Mengapa bukan Gus Fikri sendiri yang bertanya dari awal kalau memang ingin menikahiku?Dari sini saja, aku sudah menaruh rasa ragu pada Gus Fikri. 'Masih kenalan aja nggak gentleman. Gimana kalau jadi istrinya?!' Batinku berseloroh. Lalu Gus Kahfi memanggil namaku ulang. "Han?""Eh ... nggak ada, Gus."Kepala Gus Kahfi mengangguk dengan seulas senyum bahagia lalu tangan Gus Fikri menoel lengan Gus Kahfi. Untuk apa menoel Gus Kahfi? Apa minta dibantu melamarkan juga?Sedang Shifa seperti menahan tawa dengan pipi bersemu malu. Aneh, aku yang akan dilamar tidak merasa ada letupan di dada tapi mengapa tingkah Shifa bertingkah malu-malu. "Ayo, Gus Kahf," ucap Gus Fikri. Nah, mengapa jadi Gus Fikri yang menyemangati Gus Kahfi sih?!Sebenarnya ketidakberesan yang kur
Setelah melipat mukenah, aku berganti pakaian dengan gamis warna biru motif bunga dan mengenakan hijab segi empat. Lalu memoles wajah dengan sedikit bedak padat untuk menyamarkan kesedihan yang terpancar. Kemudian aku keluar kamar dan menuju ruang tamu. Di kursi ruang tamu rumah kecilku ini, sudah duduk Umi, istri Abah Yai, dan putrinya, Ning Fitri. Mereka adalah tamu yang Mama katakan tadi.Aku segera berjalan setengah merunduk lalu mencium punggung tangan kedua orang solikhah ini kemudian mengambil duduk di sisi Papa. "Gimana kabarmu, Han?" Tanya Umi. Aku mengangguk dengan menatap beliau."Baik, Umi. Alhamdulillah.""Kalau kamu baik, kenapa sampai seminggu nggak balik ke asrama?"Ya ... aku berpamitan akan pulang selama tiga hari, tapi nyatanya aku justru berada satu minggu lamanya di rumah. Alasannya sudah barang pasti karena aku tengah bersedih dengan semua keadaan ini. Terutama sikap Ning Shifa yang seakan-akan membenciku karena status asliku terkuak. Entah apa yang dia piki
Sudah tiga malam ini aku melakukan sholat istikharah untuk meminta petunjuk Ilahi tentang lamaran Gus Kahfi. Dan hasilnya, aku belum mendapat mimpi apapun. "Papa nggak maksa kamu harus nerima lamaran Gus Kahfi, Han. Karena Rasulullah sendiri pun nggak pernah memaksa putrinya Fatimah untuk menerima lamaran lelaki yang datang melamar. Sekalipun lelaki itu kaya raya dan terpandang.""Rasulullah juga nggak pernah memandang sebelah mata lelaki yang dipilih putrinya untuk dijadikan suami sekalipun pekerjaannya tidak seberapa. Dan Papa meniru suri tauladan beliau."Lalu Papa memegang tanganku. "Karena Papa tahu, kamu masih kepikiran Akhtara kan?!"Tanpa menjawab, kepalaku kemudian tertunduk. "Diammu adalah iya.""Aku juga lagi berusaha ngelupain Pak Akhtara, Pa. Tapi ... semakin dilupain semakin ada. Semakin diabaikan, semakin kangen. Semakin acuh, semakin pengen minta maaf terus. Kayak ada yang belum tuntas di dadaku, Pa.""Papa tahu, Han. Tapi ... kamu nggak boleh bergelung terus-terusa
Pepatah berkata ....- Seorang perempuan ketika akan memilih laki-laki itu seperti memilih antara surga dan neraka. Dan seorang laki-laki ketika memilih perempuan seperti memilih sebuah madrasah untuk keturunannya. -Sekarang, aku mengerti arti dari sepenggal pepatah lama itu. Bahwa ketika aku memutuskan memilih Gus Kahfi itu seperti memilih pemimpin yang akan membawaku menuju surga atau neraka. Dan aku yakin dengan perangainya yang begitu baik dan soleh, Gus Kahfi bisa membimbingku menuju surga. Sekaligus ... membantuku menghapus Pak Akhtara dari dalam hati. Mustahil aku bisa melupakan Pak Akhtara. Karena beliau pernah bersamaku mengarungi perjalanan hidup ini. Yang bisa kulakukan hanya membuang cinta ini untuknya.Dan aku sebagai perempuan yang Gus Kahfi pilih untuk mendampingi hidupnya, haruslah memberikan yang terbaik sepanjang perjalan rumah tangga kami kelak. Aku harus memberikan yang terbaik untuk Gus Kahfi dan ... anak-anak kami kelak. Terasa aneh ketika aku membayangkan m
Aku keluar menuju ruang tamu dengan perasaan tidak enak. Di sana sudah ada Shifa yang sedang duduk bersebelahan dengan perempuan cantik tak berhijab. Aku tidak mengenal siapa perempuan itu. Tapi riasannya cukup memukau."Lho, Ning Shifa? Kok kesini jam segini? Ada apa?" Tanyaku pada Shifa. "Bukan apa-apa, Mbak Jihan. Aku kesini cuma mau nganter Mbak Bella aja."Lalu perempuan cantik tanpa hijab itu tersenyum dan mengangguk padaku. Oh ... namanya Bella."Memangnya ada apa, Ning?""Mbak Bella ini penata rias untuk pengantin, Mbak."Aku tertegun dengan ucapan Shifa. Mengapa dia membawa penata rias pengantin ke rumah? Padahal nanti malam hanya acara lamaran saja."Lho? Lalu apa maksudnya, Ning?""Bang Kahfi nyuruh aku nyari penatas rias untuk merias Mbak Jihan untuk acara nanti malam. Soalnya menurut Bang Kahfi, apa yang Mbak Jihan beli untuk seserahan lamaran itu terlalu sedikit. Abang ngerasa gagal membahagiakan Mbak Jihan. Akhirnya dia mutusin nyuruh aku nyari penata rias."Syukurlah.
"Pak Akhtara ...."Kakiku reflek terhenti dengan kedua mata menatap lebar Pak Akhtara yang berada jauh di sana. Jarak kami tidak dekat namun bagaimana bisa kedua mataku begitu awas dengan kehadirannya?Masih dengan kedua mata membola dan keterkejutan yang mendominasi hati, aku membiarkan diriku berdiri di tengah-tengah jalanan pusat perbelanjaan. Bahkan aku tidak peduli ketika tubuhku berkali-kali tertabrak orang dari belakang.Yang jelas, kedua mataku tetap tertuju satu ke arah Pak Akhtara yang sedang berdiri di ujung sana dengan seorang .... perempuan. Keduanya tertawa bersama sambil berdiri melihat sesuatu. Dengan tangan Pak Akhtara melingkar di pundak perempuan berambut panjang itu.Siapa perempuan itu?Apakah itu kekasih Pak Akhtara atau justru istri barunya?'Apa? Istri baru?' Batinku bertanya dengan hati serasa tercubit.Sama-sama memakai pakaian casual, keduanya nampak begitu akrab dan mesra di tempat umum. Hal yang bukan menjadi sifat Pak Akhtara selama aku hidup bersama bel
"Saya mau minta maaf, Pak."Beliau menatapku bengis dengan kedua tangan bersedekap. Begitu saja nyaliku sudah menciut. Lalu aku memutus pandangan terlebih dulu karena tidak kuat dengan auranya yang begitu mengintimidasi. "Saya minta maaf untuk semua kesalahan saya di masa lalu. Kesalahan yang sangat melukai hati Pak Akhtara.""Saya tahu kalau permintaan maaf saya ini tergolong sangat terlambat. Kesalahannya dua tahun silam, tapi baru minta maafnya sekarang.""Tapi ... meski terlambat, saya tetap ingin minta maaf secara langsung. Lebih baik terlambat dari pada tidak sama sekali. Dan bukan melalui perantara Papa."Hening. Tidak ada suara apapun kecuali deru pelan mesin blower pusat perbelanjaan. Lalu aku sedikit mendongak untuk melihat wajah Pak Akhtara. Beliau masih memandangku dengan tatapan tidak bersahabatnya. "Saya mohon, maafkan semua kesalahan saya, Pak.""Maaf katamu?" Beliau bertanya dengan nada yang teramat sinis hingga mampu mengiris hati. Aku mengangguk pelan dengan tatap