:-0 siap-siap aja setelah ini.
"Saya mau minta maaf, Pak."Beliau menatapku bengis dengan kedua tangan bersedekap. Begitu saja nyaliku sudah menciut. Lalu aku memutus pandangan terlebih dulu karena tidak kuat dengan auranya yang begitu mengintimidasi. "Saya minta maaf untuk semua kesalahan saya di masa lalu. Kesalahan yang sangat melukai hati Pak Akhtara.""Saya tahu kalau permintaan maaf saya ini tergolong sangat terlambat. Kesalahannya dua tahun silam, tapi baru minta maafnya sekarang.""Tapi ... meski terlambat, saya tetap ingin minta maaf secara langsung. Lebih baik terlambat dari pada tidak sama sekali. Dan bukan melalui perantara Papa."Hening. Tidak ada suara apapun kecuali deru pelan mesin blower pusat perbelanjaan. Lalu aku sedikit mendongak untuk melihat wajah Pak Akhtara. Beliau masih memandangku dengan tatapan tidak bersahabatnya. "Saya mohon, maafkan semua kesalahan saya, Pak.""Maaf katamu?" Beliau bertanya dengan nada yang teramat sinis hingga mampu mengiris hati. Aku mengangguk pelan dengan tatap
Mataku membola menatap kedatangan Shifa dan Pamannya.Bagaimana mereka bisa menemukanku disini?"Mbak Jihan, dia siapa?" Tanya Shifa dengan menunjuk Pak Akhtara yang masih ada di hadapanku. "Dia ... eh ... dia ... "Mendadak aku bimbang untuk berkata jujur ataukah harus berbohong?Sungguh, jika dulu mulutku begitu licin untuk berbohong, maka itu berbeda dengan sekarang. Yang seolah-olah seperti memiliki rem dan ketidakberdayaan untuk berbohong. "Mbak, kenapa diam aja?" Shifa kembali bertanya. "Eh ... dia ... " Lidahku pun mendadak kelu."Mbak, aku sama Abah ... lihat kalian pelukan. Siapa dia, Mbak?!!!" Shifa kembali bertanya dengan suara berteriak. Ya Tuhan, dia dan Pamannya melihat bagaimana Pak Akhtara melecehkanku?Mereka salah paham dengan menganggap kami berpelukan. Padahal yang benar adalah Pak Akhtara tadi sedang melecehkanku."Ning Shifa, aku bisa jelasin. Tadi kita nggak pelukan seperti yang Ning Shifa dan Abah lihat. Kalian salah paham.""Salah paham apanya?! Aku lihat s
Usai membayar ongkos ojek online yang mengantar pulang, aku langsung masuk ke dalam kamar. Menumpahkan kesedihanku seorang diri di sana hingga sore menjelang. Lampu kamar sengaja tidak kuhidupkan dan meringkuk di atas lantai. Dengan mata menatap gelang dan cincin emas pemberian Gus Kahfi saat ia melamarku dua hari yang lalu. "Han, kok gelap-gelapan?" Tanya Papa.Lalu saklar lampu kamarku dihidupkan."Udah magrib. Ayo ke mushola." Ajaknya. Kemudian Papa mencari keberadaanku."Lho? Kamu ngapain tidur di lantai?"Papa yang sudah siap dengan baju koko dan sarungnya itu kemudian berjongkok di depanku. "Han, kamu ini kenapa? Belum ganti baju terus tiduran di lantai?"Sejurus kemudian air mataku kembali melesak keluar dari sudut mata sembari menatap gelang dan cincin emas dari Gus Kahfi. "Aku tadi ketemu Pak Akhtara, Pa," ucapku dengan suara bergetar."Apa?! Dimana!?" "Lalu aku difitnah Pak Akhtara dihadapan Ning Shifa dan Abahnya. Sampai mereka ngira aku lagi main gila sama Pak Akhtara
Aku tidak menjawab pertanyaan Mama. Lalu memilih menuju teras dan meletakkan ketiga kotak seserahan lamaran itu di meja."Aku nggak akan nahan kamu untuk tetep disisiku kalau kamu emang bukan untukku. Aku tahu, sekuat apapun aku nahan kamu, kalau Allah nggak menggariskan kamu jadi milikku, pasti semuanya akan terlepas," ucapku dengan menatap ketiga kotak seserahan itu. Aku sudah memantapkan hati untuk membawa ketiga kotak seserahan itu. Aku hanya tidak mau bolak balik ke rumah untuk mengambil barang yang makin melukai hati dan kedua orang tua.Bukan untuk mendahului takdir, namun ... keluarga sholeh mana yang sudi membiarkan putra mereka tetap menikah dengan perempuan 'terfitnah' sepertiku?Aku bukan Aisyah yang mendapat pembelaan dari Allah ketika dia dituduh melakukan hubungan gelap dibelakang Rasulullah. Aku hanya seorang Jihan yang memiliki masa lalu buruk dan kini sedang menjalani masa pembalasan. "Han, kenapa kamu bawa kotak seserahan itu?" Tanya Papa dengan menepuk pundakku l
“Aku pengen nyelesein urusanku sama Pak Akhtara, Pa.”Kemudian Papa menatapku lekat dengan menyentuh kedua pundakku.“Han, jangan membalas api dengan api. Jangan membalas keburukan dengan keburukan, Nak.”Kepalaku menggeleng lalu mengambil tangan Papa dan menggenggamnya. Meyakinkan Papa jika aku yang sekarang sudah bukanlah aku yang dulu.“Aku nggak akan membalas keburukan dengan keburukan, Pa. Aku nggak akan membalas fitnah yang Pak Akhtara lakukan dengan fitnah dariku.”“Lalu? Kamu mau apa ketemuan sama Akhtara?”“Mau bicara baik-baik. Apa keinginan beliau biar bisa maafin aku setulus hati.”“Han, menurut Papa, kamu nggak usah ketemuan sama Akhtara. Papa takut dia kembali kurang ajar sama kamu. Kemarin di parkiran aja dia berani kurang ajar sama kamu! Main peluk dan cium seenaknya!”Terlihat wajah cemas dan tidak terima Papa karena sikap Pak Akhtara kemarin.“Pa, kalau aku nggak nyelesein masalah ini, besar kemungkinan hidupku bakal terus dibayang-bayangi kesialan. Aku gagal nikah sa
[Pesan dari Pak Akhtara : Saya baru bisa datang jam delapan.]Aku mengerutkan kening membaca sebaris kalimat pesan darinya. Jika sekarang saja pukul lima sore, bukankah aku masih harus menunggu beliau tiga jam lagi?Dan keterlambatannya itu tidak disertai dengan kata 'maaf'. "Kayaknya aku harus punya pabrik kesabaran untuk ngadepin Pak Akhtara." Gumamku.Pesan itu terkirim sepuluh menit sebelum taksi yang kutumpangi tiba di restaurant ini. Entah beliau sengaja mengirim pesannya terlambat atau memang memiliki urusan yang tidak bisa ditinggalkan. Aku tidak mau memikirkannya dan hanya mau fokus pada tujuan awalku, yaitu meminta maaf. Lalu tanpa membalas pesan darinya, aku berjalan ke arah Papa yang sudah duduk dengan khidmat di pojok restaurant. "Kenapa, Han?""Pak Akhtara baru bisa datang jam delapan, Pa."Papa mengangkat kedua alisnya mendengar ucapanku. "Kok mbeleset dari janji?"Aku mengendikkan kedua bahu lalu kembali berkata ..."Mending kita nyari masjid aja, Pa. Kita tunggu s
Dengan alis berkerut dan perasaan meragu, aku memandang Pak Akhtara sambil kembali bertanya ..."Apa maksud Pak Akhtara?"Beliau kini tertawa lirih dengan nada mengejek. Jauh berbeda dengan Pak Akhtara dua tahun silam yang ... berwibawa. "Kamu tanya, apa yang bisa kamu lakukan untuk mendapatkan maaf dari saya, benar kan?"Kepalaku mengangguk pelan dengan perasaan tidak nyaman. Apakah ucapanku memiliki nada ambigu yang menimbulkan spekulasi ganda di benak Pak Akhtara?"Kalau saya suruh kamu mati, apa kamu bakal bunuh diri untuk mendapatkan maaf saya?"Reflek aku menggeleng tegas. "Saya tidak mau bunuh diri!""Itu artinya kamu nggak bisa melakukan apa yang saya mau untuk memberimu maaf. Jelas sampai sini?"Kemudian aku mengangguk. Benar jika beliau menganggap ambigu ucapanku. Padahal maksudku tidak begitu."Iya, Pak.""Sekarang konteksnya saya ganti, karena saya nggak mungkin nyuruh kamu mati atau saya yang bisa masuk penjara. Cuma gara-gara nyuruh perempuan mu-ra-han kayak kamu mati!"
"Tolong jangan sumpahi hidup saya lebih menderita dari ini, Pak!""Makanya kalau nggak mau saya lebih murka, kamu jangan lagak-lagak sok suci!" Sepertinya perdebatan kami tidak akan habisnya jika tidak ada yang mau mengalah. Dan rupanya sebanyak apapun aku membela diri, Pak Akhtara tetap pada pendiriannya. Memandang rendah aku. "Pakai acara minta izin segala. Itu kalau kamu masih gadis! Kenyataannya, kamu itu cuma janda murahan!" ucpnya ketus."Pak Akhtara --- ""Diem! Nggak usah mbantah! Berani mbantah omongan saya atau bakal saya bayar murah upah tenagamu jadi babu di rumah! Ngerti!?"Aku urung bersuara jika diancam begitu. Jangan sampai hutangku tidak lunas sebelum mati. Sampai disini, aku sudah bertekad untuk tidak akan menikah lagi. Aku akan memfokuskan diri pada pelunasan uang sebesar satu milyar itu agar hidupku tidak memiliki sangkut paut lagi dengan Pak Akhtara. Kedua mataku memandang Pak Akhtara dengan sorot sedih, hancur, terluka, marah, namun tanpa bisa berbuat apa-apa