:-0 habis gelap, masih ada hujan.
“Aku pengen nyelesein urusanku sama Pak Akhtara, Pa.”Kemudian Papa menatapku lekat dengan menyentuh kedua pundakku.“Han, jangan membalas api dengan api. Jangan membalas keburukan dengan keburukan, Nak.”Kepalaku menggeleng lalu mengambil tangan Papa dan menggenggamnya. Meyakinkan Papa jika aku yang sekarang sudah bukanlah aku yang dulu.“Aku nggak akan membalas keburukan dengan keburukan, Pa. Aku nggak akan membalas fitnah yang Pak Akhtara lakukan dengan fitnah dariku.”“Lalu? Kamu mau apa ketemuan sama Akhtara?”“Mau bicara baik-baik. Apa keinginan beliau biar bisa maafin aku setulus hati.”“Han, menurut Papa, kamu nggak usah ketemuan sama Akhtara. Papa takut dia kembali kurang ajar sama kamu. Kemarin di parkiran aja dia berani kurang ajar sama kamu! Main peluk dan cium seenaknya!”Terlihat wajah cemas dan tidak terima Papa karena sikap Pak Akhtara kemarin.“Pa, kalau aku nggak nyelesein masalah ini, besar kemungkinan hidupku bakal terus dibayang-bayangi kesialan. Aku gagal nikah sa
[Pesan dari Pak Akhtara : Saya baru bisa datang jam delapan.]Aku mengerutkan kening membaca sebaris kalimat pesan darinya. Jika sekarang saja pukul lima sore, bukankah aku masih harus menunggu beliau tiga jam lagi?Dan keterlambatannya itu tidak disertai dengan kata 'maaf'. "Kayaknya aku harus punya pabrik kesabaran untuk ngadepin Pak Akhtara." Gumamku.Pesan itu terkirim sepuluh menit sebelum taksi yang kutumpangi tiba di restaurant ini. Entah beliau sengaja mengirim pesannya terlambat atau memang memiliki urusan yang tidak bisa ditinggalkan. Aku tidak mau memikirkannya dan hanya mau fokus pada tujuan awalku, yaitu meminta maaf. Lalu tanpa membalas pesan darinya, aku berjalan ke arah Papa yang sudah duduk dengan khidmat di pojok restaurant. "Kenapa, Han?""Pak Akhtara baru bisa datang jam delapan, Pa."Papa mengangkat kedua alisnya mendengar ucapanku. "Kok mbeleset dari janji?"Aku mengendikkan kedua bahu lalu kembali berkata ..."Mending kita nyari masjid aja, Pa. Kita tunggu s
Dengan alis berkerut dan perasaan meragu, aku memandang Pak Akhtara sambil kembali bertanya ..."Apa maksud Pak Akhtara?"Beliau kini tertawa lirih dengan nada mengejek. Jauh berbeda dengan Pak Akhtara dua tahun silam yang ... berwibawa. "Kamu tanya, apa yang bisa kamu lakukan untuk mendapatkan maaf dari saya, benar kan?"Kepalaku mengangguk pelan dengan perasaan tidak nyaman. Apakah ucapanku memiliki nada ambigu yang menimbulkan spekulasi ganda di benak Pak Akhtara?"Kalau saya suruh kamu mati, apa kamu bakal bunuh diri untuk mendapatkan maaf saya?"Reflek aku menggeleng tegas. "Saya tidak mau bunuh diri!""Itu artinya kamu nggak bisa melakukan apa yang saya mau untuk memberimu maaf. Jelas sampai sini?"Kemudian aku mengangguk. Benar jika beliau menganggap ambigu ucapanku. Padahal maksudku tidak begitu."Iya, Pak.""Sekarang konteksnya saya ganti, karena saya nggak mungkin nyuruh kamu mati atau saya yang bisa masuk penjara. Cuma gara-gara nyuruh perempuan mu-ra-han kayak kamu mati!"
"Tolong jangan sumpahi hidup saya lebih menderita dari ini, Pak!""Makanya kalau nggak mau saya lebih murka, kamu jangan lagak-lagak sok suci!" Sepertinya perdebatan kami tidak akan habisnya jika tidak ada yang mau mengalah. Dan rupanya sebanyak apapun aku membela diri, Pak Akhtara tetap pada pendiriannya. Memandang rendah aku. "Pakai acara minta izin segala. Itu kalau kamu masih gadis! Kenyataannya, kamu itu cuma janda murahan!" ucpnya ketus."Pak Akhtara --- ""Diem! Nggak usah mbantah! Berani mbantah omongan saya atau bakal saya bayar murah upah tenagamu jadi babu di rumah! Ngerti!?"Aku urung bersuara jika diancam begitu. Jangan sampai hutangku tidak lunas sebelum mati. Sampai disini, aku sudah bertekad untuk tidak akan menikah lagi. Aku akan memfokuskan diri pada pelunasan uang sebesar satu milyar itu agar hidupku tidak memiliki sangkut paut lagi dengan Pak Akhtara. Kedua mataku memandang Pak Akhtara dengan sorot sedih, hancur, terluka, marah, namun tanpa bisa berbuat apa-apa
Setelah menekan bel di dinding kokoh itu, pagar terbuka otomatis dan menampilkan seorang satpam. "Cari siapa, Mbak?""Pak Akhtara ada?"Lalu satpam itu menelisik penampilanku dari atas hingga bawah. Dan berakhir di koper yang berada di sampingku."Mbak siapa ya?""Saya .... eh .... yang mau kerja disini," ucapku jujur. "Oh ... yang gantiin Mbak Mini sama Rosanti?"Mbak Mini dan Rosanti? Siapa mereka?"Eh .... saya kurang paham. Tapi .... saya kemari mau kerja."Satpam itu mengangguk lalu kembali menelisik penampilanku. "Tapi .... masak iya pembantu secantik Mbak?"Mendapat pujian bukannya merasa senang, aku langsung memundurkan langkah untuk berjaga-jaga manakala satpam itu ingin melecehkanku seperti majikannya. "Jangan kurang ajar!" Seruku. Satpam itu langsung mengatupkan tangan dengan ekspresi bingung. "Maaf, Mbak. Bukannya mau bersikap buruk. Cuma, mana ada perempuan secantik Mbak mau jadi pembantu.""Itu bukan urusan anda! Dan saya mau bertemu Pak Akhtara! Kami udah bikin ja
Kamar khusus pembantu yang kutempati mengapa berantakan sekali?Kasurnya keluar dari dipan. Sepreinya tergulung tak beraturan di pojok. Pintu lemari kayu yang berbentuk kupu tarung itu terbuka satu dan satunya tertutup. Tirainya pun terlepas sebagian dari gantungannya.Dan .... ada sampah plastik berserakan di lantai kamar berukuran tiga kali dua meter itu.Mengapa rumah semegah ini masih saja memiliki kamar yang kotor seperti ini?Lalu apa tugas kedua pembantu sebelumnya yang bekerja disini?Apa mereka hanya makan dan minum saja tanpa bekerja?"Kenapa bengong?!"Pak Akhtara tiba-tiba muncul dengan membawa minuman kaleng dan itu mengagetkanku.Lalu beliau berjalan ke arahku dan melongok ke arah kamar pembantu. Kemudian senyumnya terbit begitu cerah. Seperti mentari pagi."Kotor ya?"Kepalaku mengangguk pelan tanpa bersuara."Kalau kotor ya bersihkan! Bukan bengong?!" Bentaknya."Iya, Pak. Akan saya bersihkan."“Buruan! Jangan banyak omong doang! Sampahnya nggak akan pindah ke tong samp
Kepalaku menggeleng dengan perasaan ingin tahu.“Memangnya ada apa, Mas?”“Lho? Berarti Mbak tuh kerja disini nggak pernah dapat informasi apa-apa dari Mbak Mini?”Mbak Mini siapa lagi?“Mbak Mini itu siapa?”Ekspresi satpam itu juga berubah makin bingung lalu menggaruk kepalanya.“Mbak, maaf ya saya tanya. Mbak tuh kenal Mbak Mini apa nggak sih?”Kepalaku menggeleng jujur.“Mbak Mini yang jadi pembantu sebelumnya disini?”Kembali aku menggelengkan kepala.“Lha terus, Mbak itu bisa kerja disini tuh dikasih tahu siapa?”Untuk yang satu ini, aku memilih diam tidak menjawab. Tidak mungkin kan jika aku mengatakan pada satpam rumah tentang masalahku dengan Pak Akhtara.“Eh … ya katanya rumah ini butuh pembantu. Terus aku ngelamar dan diterima Pak Akhtara. Kenapa emangnya?”“Soalnya Pak Akhtara bilang kalau nanti ada temannya Mbak Mini yang gantiin tugasnya Mbak Mini. Lha sampai sini, Mbak kok bilang nggak kenal Mbak Mini. Saya jadi bingung.”Aku rasa membicarakan asal usulku itu tidak penti
Ceklek!Usai mengunci pintu kamar, aku segera melepas hijab untuk mengeringkan rambut yang setengah basah.Maklum kamar mandi berada di luar kamar pembantu yang kutempati.Aku setengah menggigil usai mandi karena airnya lumayan dingin. Beruntung, Mama membawakan selimut di dalam koper.Ketika aku akan mengambil gamis bersih dan mukenah di dalam lemari, mataku membelalak tidak percaya. Karena ….“Siapa yang berantakin baju-bajuku di lemari?”Tadi, usai membersihkan kamar, aku telah menata semua isi koperku ke dalam lemari dengan rapi. Tapi, mengapa sekarang berantakan sekali?Kemudian aku mengecek kotak kecil berisi uang simpananku. Syukurlah masih ada.Aku mengingat-ingat siapa saja penghuni rumah ini.“Cuma aku, Pak Akhtara, dan satpam. Aku belum masuk kamar setelah bersih-bersih. Satpam cuma ambil air di dapur lalu balik lagi.”“Pak Akhtara tadi keluar tapi … “Apakah waktu aku membersihkan sampah di depan gerbang tadi beliau mengobrak-abrik isi lemariku?Tapi … untuk apa?Mencari ap