:-0 Siap-siap dengan perubahan sifat Akhtara.
Kepalaku menggeleng dengan perasaan ingin tahu.“Memangnya ada apa, Mas?”“Lho? Berarti Mbak tuh kerja disini nggak pernah dapat informasi apa-apa dari Mbak Mini?”Mbak Mini siapa lagi?“Mbak Mini itu siapa?”Ekspresi satpam itu juga berubah makin bingung lalu menggaruk kepalanya.“Mbak, maaf ya saya tanya. Mbak tuh kenal Mbak Mini apa nggak sih?”Kepalaku menggeleng jujur.“Mbak Mini yang jadi pembantu sebelumnya disini?”Kembali aku menggelengkan kepala.“Lha terus, Mbak itu bisa kerja disini tuh dikasih tahu siapa?”Untuk yang satu ini, aku memilih diam tidak menjawab. Tidak mungkin kan jika aku mengatakan pada satpam rumah tentang masalahku dengan Pak Akhtara.“Eh … ya katanya rumah ini butuh pembantu. Terus aku ngelamar dan diterima Pak Akhtara. Kenapa emangnya?”“Soalnya Pak Akhtara bilang kalau nanti ada temannya Mbak Mini yang gantiin tugasnya Mbak Mini. Lha sampai sini, Mbak kok bilang nggak kenal Mbak Mini. Saya jadi bingung.”Aku rasa membicarakan asal usulku itu tidak penti
Ceklek!Usai mengunci pintu kamar, aku segera melepas hijab untuk mengeringkan rambut yang setengah basah.Maklum kamar mandi berada di luar kamar pembantu yang kutempati.Aku setengah menggigil usai mandi karena airnya lumayan dingin. Beruntung, Mama membawakan selimut di dalam koper.Ketika aku akan mengambil gamis bersih dan mukenah di dalam lemari, mataku membelalak tidak percaya. Karena ….“Siapa yang berantakin baju-bajuku di lemari?”Tadi, usai membersihkan kamar, aku telah menata semua isi koperku ke dalam lemari dengan rapi. Tapi, mengapa sekarang berantakan sekali?Kemudian aku mengecek kotak kecil berisi uang simpananku. Syukurlah masih ada.Aku mengingat-ingat siapa saja penghuni rumah ini.“Cuma aku, Pak Akhtara, dan satpam. Aku belum masuk kamar setelah bersih-bersih. Satpam cuma ambil air di dapur lalu balik lagi.”“Pak Akhtara tadi keluar tapi … “Apakah waktu aku membersihkan sampah di depan gerbang tadi beliau mengobrak-abrik isi lemariku?Tapi … untuk apa?Mencari ap
Empat jam kemudian …Air kolam barulah habis setelah penutup saluran airnya kubuka. Tentu saja dengan bantuan satpam yang bertugas di rumah Pak Akhtara.Aku tidak cukup kuat untuk memutar penutup air yang besar itu.“Air kolamnya masih jernih, Mbak. Kenapa Pak Akhtara nyuruh diisi air baru?”“Ikuti perintah aja, Mas. Dari pada saya kena semprot.”Kemudian aku masuk ke dalam kolam yang sudah tidak ada airnya itu dengan membawa perlengkapan bersih-bersih.Kolam seluas dua puluh meter kali dua puluh meter ini harus kubersihkan seorang diri. Beruntung, lantai dinding-dindingnya tidak berlumut. Hanya ada beberapa saja yang perlu disikat ringan.Satu jam lamanya aku membersihkan kolam dengan ketinggian yang bervariasi itu. Setelah selesai, satpam rumah kembali membantuku menyalakan mesin diesel mini yang digunakan untuk menyedot air dari tanah untuk dialirkan ke dalam kolam.“Saya heran loh, Mbak.”Kami berdua duduk di bawah pohon ketapang rindang dekat kolam, dengan aku mengusap peluh yang
Aku ingat apa yang telah terjadi.Aku tenggelam di kolam rumah Pak Akhtara. Lalu berakhir di sini. Kira-kira, siapa yang membawaku kemari?"Gimana, Mbak Jihan? Udah lebih baik?" Tanya dokter yang baru saja memeriksaku. "Sudah, dokter.""Dimakan ya makan siangnya?"Bukannya menjawab pertanyaan dokter itu, aku justru bertanya hal lain."Saya nggak sadar berapa hari, dokter?"Dokter itu membaca rekam medikku dan berkata ..."Kemarin malam baru masuk rumah sakit. Kurang lebih seharian lah, Mbak. Ada lagi yang ditanyakan?""Dokter, apa bisa bantu saya?""Apa?""Saya ... mau pulang," ucapku dengan suara tercekat. Lalu air mataku merembes melalui kedua sudut mata.Sungguh aku merasa tidak kuat lagi tinggal di rumah Pak Akhtara. Beliau memperlakukanku dengan sangat buruk dan kejam."Saya ... mau pulang ke rumah Papa."Kemudian tangisku tak terbendung hingga tergugu. Lalu perawat yang berdiri memberiku usapan lembut. "Mbak Jihan ingat nomer ponsel Papa atau Mamanya?"Kepalaku mengangguk den
Kekhawatiranku makin menjadi ketika mobil rumah sakit yang kunaiki melaju ke arah perumahan Pak Akhtara. Mengapa menuju ke sana lagi?"Ma, Pa! Kita mau kemana?!" Tanyaku cemas. "Han, Papa pengen dengar sendiri dari mulut Akhtara kenapa dia berani kurang ajar sama kamu! Dia berani bikin kamu hampir kehilangan nyawa dan berani melecehkan kamu lagi!" Kemudian kepala Papa menggeleng, "Demi Allah, Papa nggak terima kalau kamu diperlakukan nggak bermartabat kayak gitu!"Jelas kentara di wajah Papa jika emosi dan amarah itu bertumpuk menjadi satu. "Pa, ingat, mereka keluarga kaya. Punya kekuasaan! Kita mending mundur! Ayo kita pergi aja, Pa!""Papanya Akhtara udah ngundang kita ke rumah Akhtara hari ini, Han! Papa nggak puas sebelum Akhtara mempertanggungjawabkan perbuatannya! Kamu datang kesana untuk kerja! Ngembaliin uangnya yang kamu pakai! Bukan untuk memperbudak kamu atau melecehkan kamu lagi!"Aku paham bagaimana perasaan Papa sekarang. Maklum, aku adalah anak Papa satu-satunya."Mes
"Apa ini bagian dari skenario anda, Pak Ubaid?! Menekan keluarga kami yang hanya dari kalangan biasa dengan kekuasaan dan uang yang anda punya?!" ucap Papa dengan nada kesal tidak terima."Bukan skenario saya, Pak Rusli. Tapi skenario Akhtara yang bodoh! Lalu skenarionya hampir membunuh dan melecehkan anak anda. Sekarang saya tanya, apakah ada hukuman yang pantas untuk Akhtara selain menikahi Jihan kembali demi mempertanggungjawabkan perbuatannya?"Papa terdiam mendengar penuturan bijak Papanya Pak Akhtara. Sedang aku hanya memperhatikan dan memegang lengan Papa. "Dalam keadaan setengah sadar, Akhtara berani melecehkan Jihan di hari pertama kedatangannya di rumah ini. Saya lihat semua bukti cctv-nya."Lalu Papanya menoleh ke arah Pak Akhtara yang menunduk dan membuang pandangan."Benar begitu kan, Tara!?"Pak Akhtara hanya diam."Tara! Papa tanya!" Seru Papanya.Barulah kepala Pak Akhtara mengangguk terpaksa. Sedang ekspresi Mamanya berubah tidak menyangka dengan perbuatan Pak Akhtar
"Air putihnya mana, Han?" Tanya Papa begitu aku baru menapakkan kaki di kamar kami bertiga. Air putih? "Air putih apa, Pa?" Tanyaku kembali. "Lha, katanya kamu ambil air putih? Mana? Papa minta." Astaga ... Aku kan tadi berkata pada Papa jika ingin mengambil air putih. Padahal yang sebenarnya, aku sedang mengejar Mbak Mini lalu bertanya tentang pergaulan Pak Akhtara ketika menyelenggarakan pesta di rumahnya ini. Alhasil, jawaban Mbak Mini tadi membuat kepalaku serasa penuh dan melupakan kebohongan yang kukarang sendiri. "Udah aku minum di dapur, Pa." Bohongku. "Bisa minta tolong kamu ambilin?" Kepalaku mengangguk lalu kembali keluar kamar. Ketika tiba di dapur, tidak ada pembantu satu pun. Mungkin mereka sedang mengerjakan pekerjaan yang lain. Lalu aku mengambil segelas air putih lalu kembali ke kamar. Namun, langkahku terhenti ketika melihat Pak Akhtara dan Papanya sedang duduk di kursi santai yang berada di pinggir kolam renang. Dan entah mengapa kakiku begitu lancang
“Jangan mengharap lebih dari pernikahan ini! Dan jangan berani sekali-kali bilang apa yang terjadi soal pernikahan ini ke siapapun! Ngerti kamu?!” Bisik Pak Akhtara.Seketika aku langsung menelan ludah susah payah. Dan remasan tangannya masih terasa begitu erat bahkan mulai menyakiti tanganku.“Pasang senyum terbaikmu, ja***g!”Astaga, aku masih disebut buruk oleh suamiku sendiri.Ayolah, Jihan. Cukup tambah kesabaranmu hingga Pak Akhtara malu sendiri.Kemudian Pak Akhtara menarik wajahnya dan melepas cengkeraman tangannya.Seketika itu pula aku tersenyum seperti apa yang beliau perintahkan. Dan beliau tetap saja memasang wajah biasa dan datar.Sedang Papa mertuaku ikut tersenyum melihatku yang seakan-akan bahagia dengan pernikahan ini.Mungkin beliau berpikir jika Pak Akhtara membisikkan doa seusai ijab kabul. Padahal, yang ada justru sebaliknya.Berulang kali pula aku meletakkan telapak tangan kanan ke arah dada bagian atas yag tidak tertutup brokat kebaya. Rasanya sangat malu diliha