:-0
Aku ingat apa yang telah terjadi.Aku tenggelam di kolam rumah Pak Akhtara. Lalu berakhir di sini. Kira-kira, siapa yang membawaku kemari?"Gimana, Mbak Jihan? Udah lebih baik?" Tanya dokter yang baru saja memeriksaku. "Sudah, dokter.""Dimakan ya makan siangnya?"Bukannya menjawab pertanyaan dokter itu, aku justru bertanya hal lain."Saya nggak sadar berapa hari, dokter?"Dokter itu membaca rekam medikku dan berkata ..."Kemarin malam baru masuk rumah sakit. Kurang lebih seharian lah, Mbak. Ada lagi yang ditanyakan?""Dokter, apa bisa bantu saya?""Apa?""Saya ... mau pulang," ucapku dengan suara tercekat. Lalu air mataku merembes melalui kedua sudut mata.Sungguh aku merasa tidak kuat lagi tinggal di rumah Pak Akhtara. Beliau memperlakukanku dengan sangat buruk dan kejam."Saya ... mau pulang ke rumah Papa."Kemudian tangisku tak terbendung hingga tergugu. Lalu perawat yang berdiri memberiku usapan lembut. "Mbak Jihan ingat nomer ponsel Papa atau Mamanya?"Kepalaku mengangguk den
Kekhawatiranku makin menjadi ketika mobil rumah sakit yang kunaiki melaju ke arah perumahan Pak Akhtara. Mengapa menuju ke sana lagi?"Ma, Pa! Kita mau kemana?!" Tanyaku cemas. "Han, Papa pengen dengar sendiri dari mulut Akhtara kenapa dia berani kurang ajar sama kamu! Dia berani bikin kamu hampir kehilangan nyawa dan berani melecehkan kamu lagi!" Kemudian kepala Papa menggeleng, "Demi Allah, Papa nggak terima kalau kamu diperlakukan nggak bermartabat kayak gitu!"Jelas kentara di wajah Papa jika emosi dan amarah itu bertumpuk menjadi satu. "Pa, ingat, mereka keluarga kaya. Punya kekuasaan! Kita mending mundur! Ayo kita pergi aja, Pa!""Papanya Akhtara udah ngundang kita ke rumah Akhtara hari ini, Han! Papa nggak puas sebelum Akhtara mempertanggungjawabkan perbuatannya! Kamu datang kesana untuk kerja! Ngembaliin uangnya yang kamu pakai! Bukan untuk memperbudak kamu atau melecehkan kamu lagi!"Aku paham bagaimana perasaan Papa sekarang. Maklum, aku adalah anak Papa satu-satunya."Mes
"Apa ini bagian dari skenario anda, Pak Ubaid?! Menekan keluarga kami yang hanya dari kalangan biasa dengan kekuasaan dan uang yang anda punya?!" ucap Papa dengan nada kesal tidak terima."Bukan skenario saya, Pak Rusli. Tapi skenario Akhtara yang bodoh! Lalu skenarionya hampir membunuh dan melecehkan anak anda. Sekarang saya tanya, apakah ada hukuman yang pantas untuk Akhtara selain menikahi Jihan kembali demi mempertanggungjawabkan perbuatannya?"Papa terdiam mendengar penuturan bijak Papanya Pak Akhtara. Sedang aku hanya memperhatikan dan memegang lengan Papa. "Dalam keadaan setengah sadar, Akhtara berani melecehkan Jihan di hari pertama kedatangannya di rumah ini. Saya lihat semua bukti cctv-nya."Lalu Papanya menoleh ke arah Pak Akhtara yang menunduk dan membuang pandangan."Benar begitu kan, Tara!?"Pak Akhtara hanya diam."Tara! Papa tanya!" Seru Papanya.Barulah kepala Pak Akhtara mengangguk terpaksa. Sedang ekspresi Mamanya berubah tidak menyangka dengan perbuatan Pak Akhtar
"Air putihnya mana, Han?" Tanya Papa begitu aku baru menapakkan kaki di kamar kami bertiga. Air putih? "Air putih apa, Pa?" Tanyaku kembali. "Lha, katanya kamu ambil air putih? Mana? Papa minta." Astaga ... Aku kan tadi berkata pada Papa jika ingin mengambil air putih. Padahal yang sebenarnya, aku sedang mengejar Mbak Mini lalu bertanya tentang pergaulan Pak Akhtara ketika menyelenggarakan pesta di rumahnya ini. Alhasil, jawaban Mbak Mini tadi membuat kepalaku serasa penuh dan melupakan kebohongan yang kukarang sendiri. "Udah aku minum di dapur, Pa." Bohongku. "Bisa minta tolong kamu ambilin?" Kepalaku mengangguk lalu kembali keluar kamar. Ketika tiba di dapur, tidak ada pembantu satu pun. Mungkin mereka sedang mengerjakan pekerjaan yang lain. Lalu aku mengambil segelas air putih lalu kembali ke kamar. Namun, langkahku terhenti ketika melihat Pak Akhtara dan Papanya sedang duduk di kursi santai yang berada di pinggir kolam renang. Dan entah mengapa kakiku begitu lancang
“Jangan mengharap lebih dari pernikahan ini! Dan jangan berani sekali-kali bilang apa yang terjadi soal pernikahan ini ke siapapun! Ngerti kamu?!” Bisik Pak Akhtara.Seketika aku langsung menelan ludah susah payah. Dan remasan tangannya masih terasa begitu erat bahkan mulai menyakiti tanganku.“Pasang senyum terbaikmu, ja***g!”Astaga, aku masih disebut buruk oleh suamiku sendiri.Ayolah, Jihan. Cukup tambah kesabaranmu hingga Pak Akhtara malu sendiri.Kemudian Pak Akhtara menarik wajahnya dan melepas cengkeraman tangannya.Seketika itu pula aku tersenyum seperti apa yang beliau perintahkan. Dan beliau tetap saja memasang wajah biasa dan datar.Sedang Papa mertuaku ikut tersenyum melihatku yang seakan-akan bahagia dengan pernikahan ini.Mungkin beliau berpikir jika Pak Akhtara membisikkan doa seusai ijab kabul. Padahal, yang ada justru sebaliknya.Berulang kali pula aku meletakkan telapak tangan kanan ke arah dada bagian atas yag tidak tertutup brokat kebaya. Rasanya sangat malu diliha
Aku lebih memilih masuk kamar!Segera kuputar kunci kamar lalu menjauh dari pintu. Kulit dadaku terlihat jelas naik turun gugup karena memakai kebaya brokat pernikahan yang menerawang ini. Semoga saja, Pak Akhtara tidak kemari atau mengetuk ....Brak!Brak!Brak!"Jihan! Buka!"Belum selesai aku membatin, beliau sudah menggedor pintu kamar yang kutempati. Bukan diketuk perlahan selayaknya akan bertamu pada kamar orang lain. Beliau benar-benar seenaknya sendiri dan tetaplah .... jahat!"Jihan! Saya bilang bu-ka!"Kepalaku yang masih memakai sanggul pengantin dengan hiasan bunga melati dan mawar juga cunduk mentul sebanyak lima biji, lalu menggeleng pelan dengan perasaan tidak karuan takutnya. Kali ini, apa yang akan Pak Akhtara lakukan padaku setelah kedua orang tua kami pergi dari rumah ini?"Jihan! Jangan buat kesabaran saya habis!"Aku menelan ludah susah payah sambil memandangi pintu kamar yang terus digedor dari luar oleh Pak Akhtara. "Saya hitung sampai tiga! Kalau kamu masih
“Pak Akhtara kenapa, Mbak Min?!”Mbak Mini menghampiriku dengan raut cemas dan khawatir.“Pak Akhtara, Mbak! Tangannya berdarah-darah!”“Hah?! Kok bisa?”“Aku juga nggak tahu, Mbak! Ayo kita ke ruang tengah.”Dengan langkah yang tidak leluasa karena masih mengenakan jarik, aku berjalan lamban menuju ruang tengah.Setahuku, tadi saat beliau berpamitan akan keluar, tubuhnya masih baik-baik saja. Tapi mengapa pulang-pulang tangannya berdarah-darah?“Mbak Mini! Ambilin kapas atau apapun itu!” Seru Pak Akhtara.Beliau sedang duduk di sofa bed ruang tengah dengan mendekap tangan kirinya yang terluka. Kemeja putihnya juga terkena cipratan darah.Dari mana beliau hingga terluka seperti itu?Mbak Mini segera berlalu untuk mengambilkan perlengkapan pertolongan pertama. Sedang aku berjalan mendekati beliau yang nampak meringis kesakitan.“Pak, kenapa bisa terluka?” Tanyaku.“Diem!” Bentaknya.Dan itu tidak luput dari pandangan Rosita yang termangu dengan apa yang terjadi pada majikannya itu.Lalu
Kemudian tangan beliau turun membelai pundakku tapi wajahnya masih setia berada di dekat pipiku.Beliau kembali melabuhkan ciuman hangat dan manis di pipiku. Perlakuannya ini membuatku teringat akan sikapnya dulu yang begitu romantis. Penuh kelembutan dan cinta.Dan tidak kupungkiri jika aku seperti mendapat hujan di tengah sahara.Aku sedang berjuang untuk perasaan cintaku pada Pak Akhtara sekaligus mengembalikan cintanya padaku yang telah hilang. Semoga saja, aku masih mendapatkan sisa cinta itu.“Jihaaan … ,”Beliau kembali menyebut lirih namaku di sela mencium pipiku.“Ya, Pak?” Tanyaku dengan seulas senyum tipis.Lalu tangannya turun dari pundak menuju pinggangku. Kubiarkan saja beliau ingin melakukan apa padaku. Toh, aku sudah kembali menjadi istrinya dan aku ingin membaktikan hidupku untuknya.“Kenapa kamu wangi banget?” Bisiknya.Bahkan nafasnya yang menerpa daun telingaku seperti sebuah isyarat alam yang mampu membangkitkan hasratku. Detik itu juga.“Kamu mau kemana?” Tanyanya