:-0 maaf baru up .....
Sudah tiga malam ini aku melakukan sholat istikharah untuk meminta petunjuk Ilahi tentang lamaran Gus Kahfi. Dan hasilnya, aku belum mendapat mimpi apapun. "Papa nggak maksa kamu harus nerima lamaran Gus Kahfi, Han. Karena Rasulullah sendiri pun nggak pernah memaksa putrinya Fatimah untuk menerima lamaran lelaki yang datang melamar. Sekalipun lelaki itu kaya raya dan terpandang.""Rasulullah juga nggak pernah memandang sebelah mata lelaki yang dipilih putrinya untuk dijadikan suami sekalipun pekerjaannya tidak seberapa. Dan Papa meniru suri tauladan beliau."Lalu Papa memegang tanganku. "Karena Papa tahu, kamu masih kepikiran Akhtara kan?!"Tanpa menjawab, kepalaku kemudian tertunduk. "Diammu adalah iya.""Aku juga lagi berusaha ngelupain Pak Akhtara, Pa. Tapi ... semakin dilupain semakin ada. Semakin diabaikan, semakin kangen. Semakin acuh, semakin pengen minta maaf terus. Kayak ada yang belum tuntas di dadaku, Pa.""Papa tahu, Han. Tapi ... kamu nggak boleh bergelung terus-terusa
Pepatah berkata ....- Seorang perempuan ketika akan memilih laki-laki itu seperti memilih antara surga dan neraka. Dan seorang laki-laki ketika memilih perempuan seperti memilih sebuah madrasah untuk keturunannya. -Sekarang, aku mengerti arti dari sepenggal pepatah lama itu. Bahwa ketika aku memutuskan memilih Gus Kahfi itu seperti memilih pemimpin yang akan membawaku menuju surga atau neraka. Dan aku yakin dengan perangainya yang begitu baik dan soleh, Gus Kahfi bisa membimbingku menuju surga. Sekaligus ... membantuku menghapus Pak Akhtara dari dalam hati. Mustahil aku bisa melupakan Pak Akhtara. Karena beliau pernah bersamaku mengarungi perjalanan hidup ini. Yang bisa kulakukan hanya membuang cinta ini untuknya.Dan aku sebagai perempuan yang Gus Kahfi pilih untuk mendampingi hidupnya, haruslah memberikan yang terbaik sepanjang perjalan rumah tangga kami kelak. Aku harus memberikan yang terbaik untuk Gus Kahfi dan ... anak-anak kami kelak. Terasa aneh ketika aku membayangkan m
Aku keluar menuju ruang tamu dengan perasaan tidak enak. Di sana sudah ada Shifa yang sedang duduk bersebelahan dengan perempuan cantik tak berhijab. Aku tidak mengenal siapa perempuan itu. Tapi riasannya cukup memukau."Lho, Ning Shifa? Kok kesini jam segini? Ada apa?" Tanyaku pada Shifa. "Bukan apa-apa, Mbak Jihan. Aku kesini cuma mau nganter Mbak Bella aja."Lalu perempuan cantik tanpa hijab itu tersenyum dan mengangguk padaku. Oh ... namanya Bella."Memangnya ada apa, Ning?""Mbak Bella ini penata rias untuk pengantin, Mbak."Aku tertegun dengan ucapan Shifa. Mengapa dia membawa penata rias pengantin ke rumah? Padahal nanti malam hanya acara lamaran saja."Lho? Lalu apa maksudnya, Ning?""Bang Kahfi nyuruh aku nyari penatas rias untuk merias Mbak Jihan untuk acara nanti malam. Soalnya menurut Bang Kahfi, apa yang Mbak Jihan beli untuk seserahan lamaran itu terlalu sedikit. Abang ngerasa gagal membahagiakan Mbak Jihan. Akhirnya dia mutusin nyuruh aku nyari penata rias."Syukurlah.
"Pak Akhtara ...."Kakiku reflek terhenti dengan kedua mata menatap lebar Pak Akhtara yang berada jauh di sana. Jarak kami tidak dekat namun bagaimana bisa kedua mataku begitu awas dengan kehadirannya?Masih dengan kedua mata membola dan keterkejutan yang mendominasi hati, aku membiarkan diriku berdiri di tengah-tengah jalanan pusat perbelanjaan. Bahkan aku tidak peduli ketika tubuhku berkali-kali tertabrak orang dari belakang.Yang jelas, kedua mataku tetap tertuju satu ke arah Pak Akhtara yang sedang berdiri di ujung sana dengan seorang .... perempuan. Keduanya tertawa bersama sambil berdiri melihat sesuatu. Dengan tangan Pak Akhtara melingkar di pundak perempuan berambut panjang itu.Siapa perempuan itu?Apakah itu kekasih Pak Akhtara atau justru istri barunya?'Apa? Istri baru?' Batinku bertanya dengan hati serasa tercubit.Sama-sama memakai pakaian casual, keduanya nampak begitu akrab dan mesra di tempat umum. Hal yang bukan menjadi sifat Pak Akhtara selama aku hidup bersama bel
"Saya mau minta maaf, Pak."Beliau menatapku bengis dengan kedua tangan bersedekap. Begitu saja nyaliku sudah menciut. Lalu aku memutus pandangan terlebih dulu karena tidak kuat dengan auranya yang begitu mengintimidasi. "Saya minta maaf untuk semua kesalahan saya di masa lalu. Kesalahan yang sangat melukai hati Pak Akhtara.""Saya tahu kalau permintaan maaf saya ini tergolong sangat terlambat. Kesalahannya dua tahun silam, tapi baru minta maafnya sekarang.""Tapi ... meski terlambat, saya tetap ingin minta maaf secara langsung. Lebih baik terlambat dari pada tidak sama sekali. Dan bukan melalui perantara Papa."Hening. Tidak ada suara apapun kecuali deru pelan mesin blower pusat perbelanjaan. Lalu aku sedikit mendongak untuk melihat wajah Pak Akhtara. Beliau masih memandangku dengan tatapan tidak bersahabatnya. "Saya mohon, maafkan semua kesalahan saya, Pak.""Maaf katamu?" Beliau bertanya dengan nada yang teramat sinis hingga mampu mengiris hati. Aku mengangguk pelan dengan tatap
Mataku membola menatap kedatangan Shifa dan Pamannya.Bagaimana mereka bisa menemukanku disini?"Mbak Jihan, dia siapa?" Tanya Shifa dengan menunjuk Pak Akhtara yang masih ada di hadapanku. "Dia ... eh ... dia ... "Mendadak aku bimbang untuk berkata jujur ataukah harus berbohong?Sungguh, jika dulu mulutku begitu licin untuk berbohong, maka itu berbeda dengan sekarang. Yang seolah-olah seperti memiliki rem dan ketidakberdayaan untuk berbohong. "Mbak, kenapa diam aja?" Shifa kembali bertanya. "Eh ... dia ... " Lidahku pun mendadak kelu."Mbak, aku sama Abah ... lihat kalian pelukan. Siapa dia, Mbak?!!!" Shifa kembali bertanya dengan suara berteriak. Ya Tuhan, dia dan Pamannya melihat bagaimana Pak Akhtara melecehkanku?Mereka salah paham dengan menganggap kami berpelukan. Padahal yang benar adalah Pak Akhtara tadi sedang melecehkanku."Ning Shifa, aku bisa jelasin. Tadi kita nggak pelukan seperti yang Ning Shifa dan Abah lihat. Kalian salah paham.""Salah paham apanya?! Aku lihat s
Usai membayar ongkos ojek online yang mengantar pulang, aku langsung masuk ke dalam kamar. Menumpahkan kesedihanku seorang diri di sana hingga sore menjelang. Lampu kamar sengaja tidak kuhidupkan dan meringkuk di atas lantai. Dengan mata menatap gelang dan cincin emas pemberian Gus Kahfi saat ia melamarku dua hari yang lalu. "Han, kok gelap-gelapan?" Tanya Papa.Lalu saklar lampu kamarku dihidupkan."Udah magrib. Ayo ke mushola." Ajaknya. Kemudian Papa mencari keberadaanku."Lho? Kamu ngapain tidur di lantai?"Papa yang sudah siap dengan baju koko dan sarungnya itu kemudian berjongkok di depanku. "Han, kamu ini kenapa? Belum ganti baju terus tiduran di lantai?"Sejurus kemudian air mataku kembali melesak keluar dari sudut mata sembari menatap gelang dan cincin emas dari Gus Kahfi. "Aku tadi ketemu Pak Akhtara, Pa," ucapku dengan suara bergetar."Apa?! Dimana!?" "Lalu aku difitnah Pak Akhtara dihadapan Ning Shifa dan Abahnya. Sampai mereka ngira aku lagi main gila sama Pak Akhtara
Aku tidak menjawab pertanyaan Mama. Lalu memilih menuju teras dan meletakkan ketiga kotak seserahan lamaran itu di meja."Aku nggak akan nahan kamu untuk tetep disisiku kalau kamu emang bukan untukku. Aku tahu, sekuat apapun aku nahan kamu, kalau Allah nggak menggariskan kamu jadi milikku, pasti semuanya akan terlepas," ucapku dengan menatap ketiga kotak seserahan itu. Aku sudah memantapkan hati untuk membawa ketiga kotak seserahan itu. Aku hanya tidak mau bolak balik ke rumah untuk mengambil barang yang makin melukai hati dan kedua orang tua.Bukan untuk mendahului takdir, namun ... keluarga sholeh mana yang sudi membiarkan putra mereka tetap menikah dengan perempuan 'terfitnah' sepertiku?Aku bukan Aisyah yang mendapat pembelaan dari Allah ketika dia dituduh melakukan hubungan gelap dibelakang Rasulullah. Aku hanya seorang Jihan yang memiliki masa lalu buruk dan kini sedang menjalani masa pembalasan. "Han, kenapa kamu bawa kotak seserahan itu?" Tanya Papa dengan menepuk pundakku l