"Saya ... minta maaf untuk ... kesalahan-kesalahan saya dulu. Saya minta maaf, Pak Akhtara."Beliau hanya menganggukkan kepala tanpa memandangku."Saya harap, Bapak benar-benar tulus memaafkan saya. Walau itu terdengar mustahil. Karena kelakuan yang saya perbuat, sangat melukai hati Bapak. Tapi, saya ingin dimaafkan dengan tulus ikhlas."Beliau kembali menganggukkan kepala tanpa menatapku lalu memandang Papa."Pak Rusli, saya pamit dulu. Saya kebetulan sudah ada janji."Sebenarnya masih banyak hal yang ingin kukatakan pada Pak Akhtara. Tapi mulutku seperti terkunci rapat-rapat.Begitu Pak Akhtara berdiri, hatiku berteriak untuk menahannya. Karena benar apa kata Papa, jika aku belum tentu memiliki keberanian, waktu, dan kesempatan untuk bertemu Pak Akhtara lagi. Dan moment kali ini harus kumanfaatkan sebaik mungkin."Tara, makasih untuk semuanya. Makasih untuk maaf yang kamu berikan. Makasih udah mengikhlaskan rumah yang Jihan beli tapi di dalamnya ada uangmu juga.""Saya ikhlas, Pak. P
"Maaf, Mbak Jihan. Baru datang. Gara-gara si Abang nih!"Lalu Shifa mencubit perut lelaki yang berdiri di sampingnya hingga lelaki itu meringis."Sakit, Dek!"Aku mengangguk lalu melirik lelaki muda yang berdiri di sebelah Shifa. Tangannya dengan begitu enteng melingkar di pundak Shifa meski ada aku dihadapan mereka.Apakah ini kekasih Shifa?Lelaki itu memakai sarung warna hitam bermotif dan memakai baju koko warna biru muda berlengan pendek. Rambutnya sedikit panjang dengan ... mata kiri tidak sempurna.Tapi garis wajahnya lumayan tampan. Terutama bibirnya yang tipis dan hidungnya yang mancung. Ditambah warna kulitnya yang kuning bersih."Apa pak tukangnya nggak butuh apa-apa, Mbak Jihan?""Nggak, Ning. Kalau butuh apa-apa, aku pasti bilang ke Ning apa yang dibutuhkan."Kepala Shifa kembali mengangguk tapi lelaki itu masih melingkarkan tangannya di pundak Shifa sambil menatap pengerjaan interior di stand ini."Suka nggak, Bang?" Tanya Shifa pada lelaki itu."Suka. Bagus. Kayaknya bak
Shifa berhenti tertawa lirih lalu menatapku lekat."Nggak ada yang aneh dari pertanyaan Mbak Jihan. Wajar kok."Oh ... Jika Shifa berkata demikian, bukankah itu berarti jika dia dan Gus Kahfi memanglah sepasang kekasih?Kemudian aku memberanikan diri bertanya kembali."Kapan rencana pernikahan Ning Shifa dan Gus Kahfi digelar?"Shifa seketika kembali tertawa lirih dengan menutup mulut dengan kedua telapak tangan. Bahkan tawanya hingga bisa membuat matanya menyipit.Karena tawanya itu, aku berubah insecure. Memangnya apa aku salah berkata lagi?"Atau Ning Shifa sebenarnya udah menikah sama Gus Kahfi?"Kepala Shifa menggeleng dengan tawa sedikit lebih keras. Bahkan air keluar dari matanya.Selucu itukah pertanyaan dariku? Padahal aku sendiri merasa tidak ada yang lucu.Usai menghabiskan tawanya itu, Shifa berdehem sebentar lalu menatapku lekat."Mbak Jihan salah total!"Aku mengerutkan alis mendengar jawaban Shifa."Salah total yang gimana, Ning?!""Ya soal dugaan aku sama Abang Kahfi."
Kepala Shifa mengangguk kaku dengan menggembungkan pipinya. Sedang kedua matanya membelalak terkejut. Dan ekspresiku juga tidak berbeda jauh dengan keterkejutan yang Shifa rasakan. Lalu aku buru-buru membalikkan badan dan pura-pura membetulkan cadar yang tidak mengapa.Astaga ... Malu sekali aku!Ini jauh lebih memalukan dari pada jatuh terpeleset di depan banyak orang."Ning, aku mau keluar bentar ya?" ucapku.Mumpung stand belum ada pengunjung, aku pun berniat menjauh sementara untuk menyembunyikan muka. "O ... oke, Mbak."Ning Shifa pun tampak canggung menjawab pertanyaanku. Sepertinya kami memiliki pikiran yang sama. Dan minimarket yang berada tidak jauh dari toko Ning Shifa itu menjadi tujuanku. Usai membeli sekaleng kopi dingin, aku duduk di teras minimarket lalu melepas cadar. "Malu banget kedengeran Gus Kahfi kalau aku sengaja pakai cadar buat dia. Semoga aja Gus Kahfi nggak tersinggung."Lalu aku meneguk kopi dingin itu sampai habis. Dan rasa malu ini sepertinya sudah bis
Baru saja aku tiba di asrama usai bekerja di tokonya Shifa, ponselku langsung berdenting. Aku pun urung berganti pakaian dan langsung membuka pesan darinya. Siapa tahu itu pesan penting tentang toko.[Pesan dari Shifa : Mbak, jangan lupa bilang ke orang tua dulu kalau ada lelaki yang pengen serius ngajak nikah.]Aku menghela nafas panjang setelah membaca pesan darinya. Perihal itu, tadi Shifa tidak mau mengatakan padaku siapa nama lelaki yang mau mengajakku menikah. Aneh kan?! Lagi pula, tidak ada letupan bahagia ketika ada lelaki yang diam-diam menyukaiku. Seolah-olah ada sesuatu yang membuat hatiku mati rasa dengan cinta yang ditawarkan lelaki lain. Kemudian aku memutuskan untuk menghubungi Shifa. "Ya, Mbak?""Ning Shfa, aku benar-benar nggak mikirin jodoh dulu."Shifa menghela nafas lalu berucap ..."Seenggaknya, kasih laki-laki itu kesempatan untuk bilang apa yang jadi keinginannya, Mbak. Setelahnya, Mbak Jihan boleh kasih jawaban apapun. Dia siap sama jawaban terburuknya. Kar
"Kamu benar-benar masih sendiri atau ada lelaki lain yang ingin melamarmu?"Kali ini keterkejutanku tidak bisa dibendung lagi seraya menatap Gus Kahfi dari samping. Masalahnya, untuk apa Gus Kahfi bertanya hal seperti itu? Mengapa bukan Gus Fikri sendiri yang bertanya dari awal kalau memang ingin menikahiku?Dari sini saja, aku sudah menaruh rasa ragu pada Gus Fikri. 'Masih kenalan aja nggak gentleman. Gimana kalau jadi istrinya?!' Batinku berseloroh. Lalu Gus Kahfi memanggil namaku ulang. "Han?""Eh ... nggak ada, Gus."Kepala Gus Kahfi mengangguk dengan seulas senyum bahagia lalu tangan Gus Fikri menoel lengan Gus Kahfi. Untuk apa menoel Gus Kahfi? Apa minta dibantu melamarkan juga?Sedang Shifa seperti menahan tawa dengan pipi bersemu malu. Aneh, aku yang akan dilamar tidak merasa ada letupan di dada tapi mengapa tingkah Shifa bertingkah malu-malu. "Ayo, Gus Kahf," ucap Gus Fikri. Nah, mengapa jadi Gus Fikri yang menyemangati Gus Kahfi sih?!Sebenarnya ketidakberesan yang kur
Setelah melipat mukenah, aku berganti pakaian dengan gamis warna biru motif bunga dan mengenakan hijab segi empat. Lalu memoles wajah dengan sedikit bedak padat untuk menyamarkan kesedihan yang terpancar. Kemudian aku keluar kamar dan menuju ruang tamu. Di kursi ruang tamu rumah kecilku ini, sudah duduk Umi, istri Abah Yai, dan putrinya, Ning Fitri. Mereka adalah tamu yang Mama katakan tadi.Aku segera berjalan setengah merunduk lalu mencium punggung tangan kedua orang solikhah ini kemudian mengambil duduk di sisi Papa. "Gimana kabarmu, Han?" Tanya Umi. Aku mengangguk dengan menatap beliau."Baik, Umi. Alhamdulillah.""Kalau kamu baik, kenapa sampai seminggu nggak balik ke asrama?"Ya ... aku berpamitan akan pulang selama tiga hari, tapi nyatanya aku justru berada satu minggu lamanya di rumah. Alasannya sudah barang pasti karena aku tengah bersedih dengan semua keadaan ini. Terutama sikap Ning Shifa yang seakan-akan membenciku karena status asliku terkuak. Entah apa yang dia piki
Sudah tiga malam ini aku melakukan sholat istikharah untuk meminta petunjuk Ilahi tentang lamaran Gus Kahfi. Dan hasilnya, aku belum mendapat mimpi apapun. "Papa nggak maksa kamu harus nerima lamaran Gus Kahfi, Han. Karena Rasulullah sendiri pun nggak pernah memaksa putrinya Fatimah untuk menerima lamaran lelaki yang datang melamar. Sekalipun lelaki itu kaya raya dan terpandang.""Rasulullah juga nggak pernah memandang sebelah mata lelaki yang dipilih putrinya untuk dijadikan suami sekalipun pekerjaannya tidak seberapa. Dan Papa meniru suri tauladan beliau."Lalu Papa memegang tanganku. "Karena Papa tahu, kamu masih kepikiran Akhtara kan?!"Tanpa menjawab, kepalaku kemudian tertunduk. "Diammu adalah iya.""Aku juga lagi berusaha ngelupain Pak Akhtara, Pa. Tapi ... semakin dilupain semakin ada. Semakin diabaikan, semakin kangen. Semakin acuh, semakin pengen minta maaf terus. Kayak ada yang belum tuntas di dadaku, Pa.""Papa tahu, Han. Tapi ... kamu nggak boleh bergelung terus-terusa
POV AKHTARA“Maaf katamu?” Tanya Farhan dengan suara sinis.“Waktu Jihan merawat Akhtira sendirian, dihina orang lain perempuan nggak benar karena melahirkan tanpa suami, lalu Akhtira dihina anak haram, siapa yang jadi tameng untuk mereka heh?!”Aku tidak menjawab dan hanya menatap Farhan. Membiarkan dia menyelesaikan ucapannya. “Aku!” Dia menepuk dadanya dengan wajah benar-benar kesal.“Bukan kamu! Yang tiba-tiba datang ngambil semua yang aku usahakan!” ucapnya dengan menunjuk dadaku.“Kamu memang ayah kandung Akhtira, tapi aku yang lebih banyak berjasa ke mereka! Aku menyayangi mereka itu tulus!”“Dan Jihan nggak mungkin berpaling kalau bukan karena kamu pakai acara pura-pura mau mati! Biar apa, heh?! Dapat simpati Jihan dengan cara pintas? Iya?!”Kepalaku menggeleng dengan menatap Farhan yang begitu kecewa dan sakit hati.“Munafik!”“Saya nggak perlu menjelaskannya ke kamu karena saya tahu kamu nggak butuh itu, Far.”Tanpa berkata lagi, Farhan kemudian menaiki motornya dengan eksp
POV AKHTARA [Pesan dariku : Han, saya mau ke rumahmu malam ini. Apa boleh?]Aku menunggu jawaban Jihan dengan sangat tidak sabaran. Menit demi menit itu terasa sangat lama sekali. Kemana dia? Mengapa sedang tidak online?Setelah lima menit dan mondar-mandir sendiri di dalam apartemen, aku kembali melihat ponsel yang masih saja belum menunjukkan ada notifikasi dari Jihan.Baru kemarin Jihan bertamu ke apartemenku, dan hari ini aku langsung bergerak cepat. Memangnya mau menunggu apa?Ting …Aku segera meraih ponsel yang ada di meja dengan harap-harap cemas semoga saja itu dari Jihan.Dan ...[Pesan dari Jihan : Maaf, Pak. Mau apa memangnya?]Kemudian aku langsung menekan gambar telfon dan terhubung ke nomer Jihan. Aku merasa berbicara langsung itu lebih jelas dan gamblang dari pada mengatakannya melalui pesan singkat.“Halo?”“Saya mencintai kamu, Han.”Ini mungkin terlihat sangat frontal dan tidak sabaran. Karena aku langsung mengatakan isi hatiku kepada Jihan tanpa ada basa basi sama
POV AKHTARAJihan kemudian menoleh dengan mata berkaca-kaca kemudian dia berdiri tanpa membawa paper bag. Lalu dia berjalan ke arahku hingga terlihat jelas ekspresi wajahnya.Kecewa, sedih, dan marah bercampur menjadi satu.“Ketika Bapak mau pergi meninggalkan saya dan Akhtira, setelah nyuruh Faris datang ke rumah dengan memberikan deretan surat berharga beserta rekening berisi uang yang nggak main-main banyaknya, kenapa Bapak nggak angkat telfon saya?”“Kenapa Bapak main pergi aja waktu itu?”Lalu air matanya kembali jatuh setetes membasahi pipi.“Bapak ngasih saya dan Akhtira harta sebanyak itu lalu pergi gitu aja, saya kayak merasa semuanya bisa Bapak hargai pakai uang!”Kemudian air mata Jihan makin deras membasahi pipinya. Bahkan bibirnya ikut bergetar menahan isak tangis.“Saya tahu Bapak itu kaya, tapi kenapa semuanya selalu Bapak putuskan sendiri tanpa dengerin saya dulu! Kenapa Bapak selalu menilainya pakai uang?! Bapak punya hati dan cinta kan?! Kenapa nggak mencoba menggunak
POV AKHTARATujuh hari aku berada di tanah suci untuk benar-benar menghambakan diri pada Tuhan. Segala urusan duniawi kukesampingkan.Aku benar-benar mengharap ampunan turun bersama dengan kesungguhanku saat bersujud, menengadahkan tangan, dan tetesan air mata penyesalan.Kugunakan waktu itu sebaik mungkin dengan memperbanyak ibadah. Aku hanya pulang ke hotel jika benar-benar mengantuk.Aku tidak tahu apakah pemeriksaan keseluruhan terhadap kesehatanku itu lolos ataukah tidak. Bila lolos dan dinyatakan cocok, setidaknya aku telah membasuh jiwaku di tanah suci sebelum kembali pada sang Khaliq.Tapi bila tidak lolos, aku harap Tuhan memberi jalan kehidupan yang lebih baik. Karena aku sudah tidak lagi muda dan waktunya lebih fokus pada ibadah serta keluarga.Faris melambaikan tangannya begitu aku keluar dari pintu kedatangan penerbangan luar negeri. Dengan menggeret koper, aku menghampirinya yang menatapku dengan pandangan berkaca-kaca.Dia sudah kuanggap seperti adik dan langsung merangk
POV AKHTARA Faris yang berdiri di samping itu kemudian menatapku penuh keterkejutan. Pun dengan dokter yang kuajak berbicara dan masih memegang hasil laboratorium pasien yang menderita sakit keras itu. "Pak, apa ... maksudnya?" Tanya dokter itu. "Maksud saya seperti yang dokter pikirkan."Dokter itu kemudian menatap Faris dengan penuh keterkejutan. Pasalnya mana ada orang yang sudi mendonorkan hatinya dengan terang-terangan seperti aku?Mungkin mereka pikir aku sedang main-main dengan hal ini. Padahal aku benar-benar merasa bahwa ini adalah titik balik untuk memperbaiki diri dan mendapatkan ampunan dari Tuhan atas semua kesalahanku. "Pak Akhtara, maaf. Ini bukan perkara sederhana, Pak. Mendonorkan hati itu tidak sama dengan mendonorkan ginjal. Manusia punya dua ginjal dan masih bisa bertahan hidup dengan satu ginjal. Tapi kalau hati ... manusia hanya punya satu, Pak. Kalau itu diambil, maka --- ""Saya mati. Begitu kan alurnya?" Jawabku tenang. Dokter dan Faris saling bertatapan d
POV AKHTARA“Mas, mau gendong Tira nggak?” Tanya Abid dengan suara sangat lirih.Aku yang tengah duduk di bangku belakang sambil menatap keluar jendela mobil pun beralih atensi pada adikku itu.Dia tengah memangku putraku, Akhtira, yang sudah tertidur dengan lelap. Sedang kedua anaknya masing-masing dipangku istrinya dan Papa. Hanya aku saja yang tidak memangku anak kecil.Kemudian aku melongok ke arah putraku itu. Dia benar-benar damai terlelap di atas pangkuan adikku. Dan selalu enggan untuk berdekatan denganku.“Apa dia nanti nggak kebangun, Bid?” Tanyaku dengan suara sama lirihnya.“Pelan-pelan aja, Mas.”Lalu aku mengusap pipi halusnya itu dengan ibu jari untuk memastikan apakah Akhtira benar-benar sangat terlelap. Ternyata putraku itu tetap tidur dengan sangat pulas.“Kayaknya dia kecapekan habis main air terus perutnya kenyang. Jadi deh ngorok.”Aku menahan tawa karena guyonan Abid lalu mengangguk dengan mengulurkan kedua tangan untuk menerima putraku.Galau di hati yang sedari
POV AKHTARAAku harus tetap professional dengan tidak mencampuradukkan urusan pribadi dengan urusan pekerjaan. Meski terasa sulit dengan tidak memikirkan penolakan Jihan saat aku sedang bekerja seperti ini.Permintaan Jihan yang tidak bersedia rujuk adalah sebuah keputusan yang tidak boleh kupaksa. Dia memiliki hak yang harus kuhormati sekalipun itu melukai hatiku.Cintaku pada sesama manusia telah habis di Jihan.Meski Humaira begitu baik secara sifat dan iman, tetap saja aku selalu terbayang Jihan. Bukankah akan makin menyakiti Humaira jika dia mengerti jika hatiku masih tertambat pada Jihan?“Mungkin jika Bu Jihan sudah menikah lagi, Bapak akan benar-benar bisa melepas dan melupakannya. Karena pintu untuk mendapatkannya benar-benar telah tertutup,” ucap Faris.Aku menghela nafas panjang dengan menatap gelas minumku yang mengembun. Kami sedang makan malam bersama karena aku tidak mau makan malam sendirian. Kebetulan tempat tinggal Faris tidak jauh dari apartemen tempatku berteduh.“M
POV AKHTARAKarena putraku, Akhtira, sedang duduk di pangkuan seorang lelaki dengan menghadap wajah orang itu. Bahkan senyum putraku terlihat mengembang penuh tawa apalagi saat lelaki itu menyerukkan kepalanya ke arah dada putraku.Tira kembali tertawa terpingkal karena geli dan mencengkeram rambut lelaki itu. Semakin Tira terpingkal, dia semakin menyerukkan kepalanya ke dada putraku hingga tawa keduanya menguar bebas dan membuatku … iri.Lelaki yang masih memakai kemeja putih dan celana kain hitam khas pakaian ASN itu, apakah dia yang bernama Farhan?Seorang aparatur sipil negara yang berstatus duda dan sedang mendekati Jihan.Karena lelaki itu sibuk menyerukkan kepalanya di dada putraku, dia tidak menyadari kehadiranku yang menatap ke arahnya dengan penuh rasa iri dan sedih.Iri karena putraku bisa seakrab itu dengannya. Padahal aku ini ayah biologisnya.Dan sedih karena aku belum pernah sekalipun menggendong putraku sama sekali.Sudah berapa lama mereka bersama? Sudah berapa lama le
POV AKHTARA“Saya panggilin Papa biar Tira dipangku Papa. Jadi Bapak bisa menyentuh Tira.”Aku sedikit mengerutkan kening mendapati jawaban Jihan.“Kenapa harus sama Papamu?”“Kita ini udah bukan suami istri secara agama, Pak. Kalau kita berdekatan, nanti jadi dosa.”Mulutku terkunci ketika Jihan berkata seperti itu. Satu kenyataan yang hampir kulupakan bahwa wanita yang sangat kucintai ini sebenarnya telah terlepas dari genggamanku secara agama.Statusnya hanya istri secara hukum negara.Tapi aku ingat perkataan Papa bahwa masih memiliki kesempatan untuk mendapatkan Jihan kembali dengan rajin mengunjungi Tira.Ketika Jihan hendak berdiri, aku berkata …“Tolong kamu dudukkan aja Tira di kursi. Nggak usah panggil Papamu.”Karena aku yakin jika Papanya Jihan akan membuat pembatas antara aku dan Tira. Apalagi jika putraku itu menangis karena baru pertama kali bertemu denganku.Jihan mengangguk lalu membujuk Tira untuk duduk di kursi. Putraku itu nampak tidak kooperatif namun Jihan terus m