enjoy reading ... Sudah tahu, siapa yang melabrak Jihan? Kira-kira maukah dia cerita ke Akhtara tentang masa lalunya?
Sepanjang perjalanan pulang menuju rumah Pak Akhtara aku hanya sibuk mengompres bibir yang sedikit robek dan terasa bengkak dengan kaleng minuman dingin yang masih utuh itu. Sialan sekali wanita dari lelaki yang telah menjadi masa laluku itu! Apes nasibku malam ini gara-gara bertemu dengannya. Begitu tiba di rumah Pak Akhtara, aku segera masuk ke dalam kamar usai mengucapkan banyak terima kasih pada beliau. Entah bagaimana nasibku tanpa bantuan Pak Akhtara tadi. Beliau seperti spiderman saat menyelamatkan Marry Jane yang hampir terjatuh. "Terima kasih banyak, Pak, udah nolong saya," ucapku tulus. "Sama-sama." "Saya istirahat dulu, Pak." Kemudian berlalu ke kamar. Baru saja aku membuka tiga kancing kemeja kerja sembari fokus menatap pantulan bibir yang membengkak dari cermin meja rias, sebuah ketukan di pintu membuatku reflek berkata ... "Masuk!" ucapku dengan tetap memandangi bibir yang bengkak. Sedang tanganku tetap membuka kancing kemeja kerja satu demi satu. Hingga pint
“Saya nggak mau bahas masa lalu, Pak,” ucapku dengan wajah tetap menunduk. “Oke. Maaf kalau saya tanya-tanya.” “Apa boleh saya ke kamar, Pak?” tanyaku dengan menatap Pak Akhtara. Lagi pula kami sudah selesai makan malam dan aku tidak mau berlama-lama bersama Pak Akhtara. Jangan sampai beliau beranggapan aku senang dengan moment seperti ini. Beliau bisa besar rasa dan menganggapku jatuh cinta padanya. Huek! “Silahkan.” Aku berdiri dari duduk kemudian mengambil cek pelunasan bonus pernikahan kontrak kami yang tergeletak di atas meja. “Terima kasih banyak, Pak, untuk cek-nya.” “Iya.” Kemudian aku berlalu ke kamar kemudian menyimpan cek berharga ini lalu merebahkan diri. Sungguh, aku lelah dengan apa yang terjadi hari ini dan ingin segera melelapkan mata. *** Bila cek berisi uang sebesar empat puluh lima juta ini sudah di tangan, buat apa menunggu lebih lama lagi untuk melunasi cicilan perumahan yang ditinggali Mama dan Papa? Bukankah jika cicilan itu sudah lunas setidaknya aku
"Siapa yang nyari aku, Bik?" "Ehm ... saya juga nggak tahu, Mbak. Orangnya nggak mau bilang namanya." "Laki-laki apa perempuan?" tanyaku dengan perasaan was-was. Khawatir jika yang bertamu adalah wanita dari lelaki masa laluku. Tapi tahu dari mana dia jika aku tinggal bersama Pak Akhtara? Mungkinkah dia membuntuti mobil Pak Akhtara saat kami pulang? Ah ... mana mungkin sedalam itu? Permasalahannya sekarang, jangan sampai Pak Akhtara mengetahui siapa wanita itu. Karena dia dan suaminya adalah masa lalu kelamku yang tidak perlu diangkat lagi ke permukaan. "Dia nunggu dimana, Bik?" "Di ruang tamu, Mbak." "Jangan bilang Pak Akhtara ya, Bik. Rahasiain ini." Ini masih tiga jam lagi dari jam kepulanganku dari kantor. Namun rasanya seperti se-abad!!! Tadi pagi baru saja bertengkar dengan Pak Akhtara masalah pemberian izin keluar kantor yang teramat alot hingga aku seperti berkejar-kejaran dengan waktu. Sekarang, ada lagi masalah yang menyambangi. Ada perempuan yang tetiba bertamu
“Duduk aja di situ! Bentar lagi Pak Akhtara juga datang. Aku capek! Mau istirahat!” ucapku setengah kesal. Lalu tanpa memperdulikan Sabrina, aku segera melangkah ke dalam rumah lalu menemui Bik Wati dan Rani yang sedang berbincang lirih di dapur. Melihat kehadiranku, kedua asisten rumah tangga Pak Akhtara itu langsung berdiri dari duduk lalu sedikit membungkukkn badan. “Ada yang bisa kami bantu, Mbak Jihan?” Aku menggeleng lalu menarik satu kursi yang berada di meja makan mini di dapur. Kemudian mendudukinya. “Kesel banget sama tamu yang itu, Bik! Masak baru datang langsung ngajak ribut?!” Bik Wati kemudian menatap Rani sekilas. “Mbak Jihan, saya minta maaf. Sebenarnya, Mbak Sabrina udah di sini dari tadi siang. Mendadak minta ketemu sama Mbak Jihan tapi saya nggak boleh ngasih tahu identitasnya.” “Bik Wati kenal Sabrina?” Kepala Bik Wati mengangguk pelan, “Kenal, Mbak.” Dengan menumpukan kedua tangan di meja, aku menatap Bik Wati dan Rani yang masih berdiri. “Berarti tahu do
"Saya juga nggak tahu, Han!" Kemudian Pak Akhtara mendesah lelah sambil mengacak-acak rambutnya sendiri. Masih dengan kemeja kerja yang melekat di tubuhnya. Lalu kakinya menendang angin untuk meluapkan kekesalan. "Nikah kontrak sama kamu itu takut suatu saat kalau ketahuan bisa berabe. Nggak nikah sama kamu nanti saya dijodohin. Mau nyari pengganti Sabrina itu nggak mungkin secepat membalikkan telapak tangan. Semuanya kacau, Han!" Pak Akhtara kembali mendesah lelah sambil berkacak pinggang. Ekspresi wajahnya juga menyiratkan kelelahan batin yang membuatnya merasa tersiksa. Baru kali ini aku melihat beliau selelah ini. Meski pekerjaan di kantor itu berat dan penuh tanggung jawab, namun belum pernah sekalipun aku mendengar keluh kesah beliau seperti ini. Berbeda ketika beliau dihadapkan pada masalah asmara yang melibatkan keluarga besarnya. "Dan sekarang, ditambah Sabrina ngamuk nggak ketulungan! Saya capek banget!" Sedetik kemudian aku melihat kedatangan Sabrina ditengah kerema
"Eh ... sudah pulang? Ayo masuk, Tara, Jihan."Itu suara ibu mertua alias Mamanya Pak Akhtara. Beliau sedang di ruang tamu dan di sebelahnya terdapat sebuah stroller bayi. Bagian dalamnya terdapat baju-baju bayi yang masih berada di dalam plastik.Kemudian aku menoleh ke arah Pak Akhtara dengan jemari kami masih saling bertaut. Lalu berkedip cepat untuk memberi kode tentang ...'Untuk apa stroler dan baju-baju bayi itu, Pak?' tanyaku dalam hati.Namun Pak Akhtara hanya menghela nafas panjang nan lelah tanpa memberi jawaban. Aku segera melepas genggaman jemari kami lalu mencium punggung tangan Mamanya Pak Akhtara. Hal sama juga dilakukan Pak Akhtara."Kamu kayaknya lelah banget, Tar?" tanya Mamanya."Iya, Ma. Kerjaan lagi numpuk.""Ya udah, sana cepat mandi. Kamu bau loh."Setelah Pak Akhtara berlalu ke kamar, aku memberanikan diri bertanya. "Papa kemana, Ma?" "Tuh lagi nyiapin makan malam kita. Oh ya, Han, ini Mama bawain stroller sama baju-baju bayi. Kata orang-orang jaman dulu, be
"Pak Akhtara jahat!" ucapku penuh emosi lalu bersedekap dan memunggunginya. Aku berani berkata selantang ini karena kami sudah berada di dalam kamar setelah makan malam dengan kedua orang tuanya. Makan malam yang mengesalkan!!!Bagaimana tidak mengesalkan jika bukan karena ..."Coba kamu ada di posisi saya, Jihan. Kamu pasti bingung!" ucapnya tak kalah jengkel."Tapi kenapa Bapak bilang menyanggupi kedua orang tua Bapak kalau kita akan segera memberi mereka cucu!? Ini udah kejauhan dari perjanjian nikah kontrak kita, Pak! Saya nggak mau hamil anak Bapak!" "Itu hanya kata-kata penenang, Jihan! Kalau mereka nggak dikasih pengharapan yang ada status kita bisa ketahuan! Lagian saya juga nggak mungkin bisa gituan sama kamu!"Aku dan Pak Akhtara sama-sama mengedepankan ego hingga akhirnya kami kesal sendiri. Lalu kami memijat pelipis kepala masing-masing yang terasa pening. Apalagi mengingat wanti-wanti kedua orang tua Pak Akhtara agar kami berusaha lebih giat 'membuat' anak. Huuuuft!!!
"Kalau kamu nggak nyaman untuk cerita, nggak usah dijawab nggak apa-apa kok, Han." Tapi rasanya, aku lelah menanggung masalah ini sendirian selama ini. Ingin sekali bercerita pada satu orang saja setidaknya untuk mendengar kebenaran itu versiku. Juga untuk mendengar kritik dan saran dari orang lain tentang masa laluku agar tidak kembali mengulanginya. "Wanita kemarin itu, dia adalah ... istri kekasih saya, Pak." Kedua alis Pak Akhtara terangkat dengan mata menatapku lekat. "Kekasihmu, Han?" Kepalaku mengangguk tegas, "Itu dulu, Pak. Sekarang kami udah putus." "Oh ... " Lalu kepala Pak Akhtara mengangguk pelan dengan memalingkan tatapan. "Maaf ya, Han, apa saya boleh tanya lagi?" "Boleh, Pak. Sekalian saya ingin berbagi masalah ini untuk pertama kali. Nyesek rasanya kalau dipendam sendiri." "Dia pelangganmu? Atau ... gimana?" Aku mengambil nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan. Sembari menggali memori lamaku tentang pertemuan kami. "Kami ketemu di aplikasi ken
POV AKHTARA [Pesan dariku : Han, saya mau ke rumahmu malam ini. Apa boleh?]Aku menunggu jawaban Jihan dengan sangat tidak sabaran. Menit demi menit itu terasa sangat lama sekali. Kemana dia? Mengapa sedang tidak online?Setelah lima menit dan mondar-mandir sendiri di dalam apartemen, aku kembali melihat ponsel yang masih saja belum menunjukkan ada notifikasi dari Jihan.Baru kemarin Jihan bertamu ke apartemenku, dan hari ini aku langsung bergerak cepat. Memangnya mau menunggu apa?Ting …Aku segera meraih ponsel yang ada di meja dengan harap-harap cemas semoga saja itu dari Jihan.Dan ...[Pesan dari Jihan : Maaf, Pak. Mau apa memangnya?]Kemudian aku langsung menekan gambar telfon dan terhubung ke nomer Jihan. Aku merasa berbicara langsung itu lebih jelas dan gamblang dari pada mengatakannya melalui pesan singkat.“Halo?”“Saya mencintai kamu, Han.”Ini mungkin terlihat sangat frontal dan tidak sabaran. Karena aku langsung mengatakan isi hatiku kepada Jihan tanpa ada basa basi sama
POV AKHTARAJihan kemudian menoleh dengan mata berkaca-kaca kemudian dia berdiri tanpa membawa paper bag. Lalu dia berjalan ke arahku hingga terlihat jelas ekspresi wajahnya.Kecewa, sedih, dan marah bercampur menjadi satu.“Ketika Bapak mau pergi meninggalkan saya dan Akhtira, setelah nyuruh Faris datang ke rumah dengan memberikan deretan surat berharga beserta rekening berisi uang yang nggak main-main banyaknya, kenapa Bapak nggak angkat telfon saya?”“Kenapa Bapak main pergi aja waktu itu?”Lalu air matanya kembali jatuh setetes membasahi pipi.“Bapak ngasih saya dan Akhtira harta sebanyak itu lalu pergi gitu aja, saya kayak merasa semuanya bisa Bapak hargai pakai uang!”Kemudian air mata Jihan makin deras membasahi pipinya. Bahkan bibirnya ikut bergetar menahan isak tangis.“Saya tahu Bapak itu kaya, tapi kenapa semuanya selalu Bapak putuskan sendiri tanpa dengerin saya dulu! Kenapa Bapak selalu menilainya pakai uang?! Bapak punya hati dan cinta kan?! Kenapa nggak mencoba menggunak
POV AKHTARATujuh hari aku berada di tanah suci untuk benar-benar menghambakan diri pada Tuhan. Segala urusan duniawi kukesampingkan.Aku benar-benar mengharap ampunan turun bersama dengan kesungguhanku saat bersujud, menengadahkan tangan, dan tetesan air mata penyesalan.Kugunakan waktu itu sebaik mungkin dengan memperbanyak ibadah. Aku hanya pulang ke hotel jika benar-benar mengantuk.Aku tidak tahu apakah pemeriksaan keseluruhan terhadap kesehatanku itu lolos ataukah tidak. Bila lolos dan dinyatakan cocok, setidaknya aku telah membasuh jiwaku di tanah suci sebelum kembali pada sang Khaliq.Tapi bila tidak lolos, aku harap Tuhan memberi jalan kehidupan yang lebih baik. Karena aku sudah tidak lagi muda dan waktunya lebih fokus pada ibadah serta keluarga.Faris melambaikan tangannya begitu aku keluar dari pintu kedatangan penerbangan luar negeri. Dengan menggeret koper, aku menghampirinya yang menatapku dengan pandangan berkaca-kaca.Dia sudah kuanggap seperti adik dan langsung merangk
POV AKHTARA Faris yang berdiri di samping itu kemudian menatapku penuh keterkejutan. Pun dengan dokter yang kuajak berbicara dan masih memegang hasil laboratorium pasien yang menderita sakit keras itu. "Pak, apa ... maksudnya?" Tanya dokter itu. "Maksud saya seperti yang dokter pikirkan."Dokter itu kemudian menatap Faris dengan penuh keterkejutan. Pasalnya mana ada orang yang sudi mendonorkan hatinya dengan terang-terangan seperti aku?Mungkin mereka pikir aku sedang main-main dengan hal ini. Padahal aku benar-benar merasa bahwa ini adalah titik balik untuk memperbaiki diri dan mendapatkan ampunan dari Tuhan atas semua kesalahanku. "Pak Akhtara, maaf. Ini bukan perkara sederhana, Pak. Mendonorkan hati itu tidak sama dengan mendonorkan ginjal. Manusia punya dua ginjal dan masih bisa bertahan hidup dengan satu ginjal. Tapi kalau hati ... manusia hanya punya satu, Pak. Kalau itu diambil, maka --- ""Saya mati. Begitu kan alurnya?" Jawabku tenang. Dokter dan Faris saling bertatapan d
POV AKHTARA“Mas, mau gendong Tira nggak?” Tanya Abid dengan suara sangat lirih.Aku yang tengah duduk di bangku belakang sambil menatap keluar jendela mobil pun beralih atensi pada adikku itu.Dia tengah memangku putraku, Akhtira, yang sudah tertidur dengan lelap. Sedang kedua anaknya masing-masing dipangku istrinya dan Papa. Hanya aku saja yang tidak memangku anak kecil.Kemudian aku melongok ke arah putraku itu. Dia benar-benar damai terlelap di atas pangkuan adikku. Dan selalu enggan untuk berdekatan denganku.“Apa dia nanti nggak kebangun, Bid?” Tanyaku dengan suara sama lirihnya.“Pelan-pelan aja, Mas.”Lalu aku mengusap pipi halusnya itu dengan ibu jari untuk memastikan apakah Akhtira benar-benar sangat terlelap. Ternyata putraku itu tetap tidur dengan sangat pulas.“Kayaknya dia kecapekan habis main air terus perutnya kenyang. Jadi deh ngorok.”Aku menahan tawa karena guyonan Abid lalu mengangguk dengan mengulurkan kedua tangan untuk menerima putraku.Galau di hati yang sedari
POV AKHTARAAku harus tetap professional dengan tidak mencampuradukkan urusan pribadi dengan urusan pekerjaan. Meski terasa sulit dengan tidak memikirkan penolakan Jihan saat aku sedang bekerja seperti ini.Permintaan Jihan yang tidak bersedia rujuk adalah sebuah keputusan yang tidak boleh kupaksa. Dia memiliki hak yang harus kuhormati sekalipun itu melukai hatiku.Cintaku pada sesama manusia telah habis di Jihan.Meski Humaira begitu baik secara sifat dan iman, tetap saja aku selalu terbayang Jihan. Bukankah akan makin menyakiti Humaira jika dia mengerti jika hatiku masih tertambat pada Jihan?“Mungkin jika Bu Jihan sudah menikah lagi, Bapak akan benar-benar bisa melepas dan melupakannya. Karena pintu untuk mendapatkannya benar-benar telah tertutup,” ucap Faris.Aku menghela nafas panjang dengan menatap gelas minumku yang mengembun. Kami sedang makan malam bersama karena aku tidak mau makan malam sendirian. Kebetulan tempat tinggal Faris tidak jauh dari apartemen tempatku berteduh.“M
POV AKHTARAKarena putraku, Akhtira, sedang duduk di pangkuan seorang lelaki dengan menghadap wajah orang itu. Bahkan senyum putraku terlihat mengembang penuh tawa apalagi saat lelaki itu menyerukkan kepalanya ke arah dada putraku.Tira kembali tertawa terpingkal karena geli dan mencengkeram rambut lelaki itu. Semakin Tira terpingkal, dia semakin menyerukkan kepalanya ke dada putraku hingga tawa keduanya menguar bebas dan membuatku … iri.Lelaki yang masih memakai kemeja putih dan celana kain hitam khas pakaian ASN itu, apakah dia yang bernama Farhan?Seorang aparatur sipil negara yang berstatus duda dan sedang mendekati Jihan.Karena lelaki itu sibuk menyerukkan kepalanya di dada putraku, dia tidak menyadari kehadiranku yang menatap ke arahnya dengan penuh rasa iri dan sedih.Iri karena putraku bisa seakrab itu dengannya. Padahal aku ini ayah biologisnya.Dan sedih karena aku belum pernah sekalipun menggendong putraku sama sekali.Sudah berapa lama mereka bersama? Sudah berapa lama le
POV AKHTARA“Saya panggilin Papa biar Tira dipangku Papa. Jadi Bapak bisa menyentuh Tira.”Aku sedikit mengerutkan kening mendapati jawaban Jihan.“Kenapa harus sama Papamu?”“Kita ini udah bukan suami istri secara agama, Pak. Kalau kita berdekatan, nanti jadi dosa.”Mulutku terkunci ketika Jihan berkata seperti itu. Satu kenyataan yang hampir kulupakan bahwa wanita yang sangat kucintai ini sebenarnya telah terlepas dari genggamanku secara agama.Statusnya hanya istri secara hukum negara.Tapi aku ingat perkataan Papa bahwa masih memiliki kesempatan untuk mendapatkan Jihan kembali dengan rajin mengunjungi Tira.Ketika Jihan hendak berdiri, aku berkata …“Tolong kamu dudukkan aja Tira di kursi. Nggak usah panggil Papamu.”Karena aku yakin jika Papanya Jihan akan membuat pembatas antara aku dan Tira. Apalagi jika putraku itu menangis karena baru pertama kali bertemu denganku.Jihan mengangguk lalu membujuk Tira untuk duduk di kursi. Putraku itu nampak tidak kooperatif namun Jihan terus m
POV AKHTARASudah lama aku tidak menempati kamarku yang ada di rumah Papa dan Mama. Dan hari ini adalah kali pertama aku kembali menginjakkan kaki di kamar ini.Semua furniturenya tidak banyak berubah. Masih tetap mewah dan berkelas.Kamar kostku yang berada di Bali ukurannya tiga kali lebih kecil dari kamarku yang berada di rumah ini.Setelah lama aku memilih hidup dalam kesederhanaan, tidak bermewah-mewahan, dan selalu menyibukkan diri dengan anak-anak di panti asuhan, siang ini semuanya terasa ada yang kurang dari dalam hatiku.Aku merindukan anak-anak di panti yang tak memiliki orang tua dan menganggapku seperti ayah, kakak, bahkan teman untuk mereka.Lalu aku teringat akan kejadian kemarin saat memutuskan untuk tidak melanjutkan rencana pernikahan dengan Humaira. Dan juga ucapan Papa tadi pagi tentang apa yang harus kulakukan demi kembali menggapai hati Jihan dan kedua orang tuanya.Dengan mendudukkan diri di tepi ranjang empuk ini, kedua tanganku memegang ponsel dan mengulir nama