“Ini cek buat kamu!" ucap laki-laki tersebut sambil memberi selembar kertas berisi nama dan lambang sebuah bank, tertera jejeran nominal angka berjumlah 3 digit.
Saat itu Queen menerima dengan mata terbelalak, mulutnya menganga tak percaya. Untuk pertama kalinya menerima sebuah cek berisi uang berjumlah besar. Ia tak menyangka!
Orang kaya seakan tak pernah berpikir panjang untuk mengeluarkan uang. Hanya karena pekerjaan kecil itu ia diberikan upah yang tak main-main. Amazing! Queen membatin.
“50 upah naruh obat tidur, 50 upah foto!"
“Untuk semua yang sudah terjadi, kamu cukup tutup mulut! Jangan sampai bocor!"
Queen manggut-manggut. Nyalinya menciut mendengar peringatan itu. Terdengar menyeramkan.
“Apapun yang terjadi nanti, kamu jangan pernah sebut nama saya!"
Ucapan pria itu langsung disergah Queen.
“Ya, gimana mau sebut nama Tuan muda, kita kan gak saling kenal. Nama tuan muda saja saya gak tahu!" tutur Queen seraya menatap lekat sosok asing di depannya.
Pria tersebut mengangguk, omongan Queen benar. Ia tersenyum smirk dengan tatapan teralih menelisik sekitar dari dalam mobil. Sepi, tak ada yang berlalu lalang di sekitar jalan menuju komplek pemukiman di dalam sana.
“Apapun itu, anggap kita gak pernah ketemu!"
“Kalau sampai kamu bawa-bawa saya, kamu bisa saya seret balik ke penjara!"
Glek...
Queen menelan ludah kasar. Penjara? Kedengarannya menyeramkan. Tidak, ia tak pernah berurusan dengan hukum sebelumnya dan tak ingin jika harus berurusan dengan hukum. Tapi, kenapa orang kaya ini sampai harus mengantisipasi semua dengan cara mengancam seperti ini? Perasaan Queen jadi tidak enak.
Menyesal telah menjadi bagian dari rencana bejat orang kaya. Tapi, jika mengingat kondisi ibu, Queen jadi bungkam, tak menyesali semua. Ia malah bersyukur sebab Ibuk pasti sangat terbantu dengan uang ini.
“Ta-tapi bagaimana kalau ada yang melihat saya, disana pasti ada cctv!" Queen mengutarakan kecemasannya.
“Tenang aja, semuanya sudah dibereskan anak buah saya! Saya bukan orang bodoh!"
Lagi-lagi Queen hanya bisa menelan ludah. Orang kaya memang begitu berkuasa dengan uangnya.
“Kamu gak usah khawatir! Saya gak akan biarin partner saya terseret bahaya, itu juga bisa merugikan saya!"
Queen masih saja termenung mengingat kejadian dan obrolan dengan orang asing itu semalam, sambil menatap selembar cek di tangan.
Semalam, saat pulang kerja dan tugasnya selesai. Ia langsung pergi menemui laki-laki asing yang memberinya misi obat tidur. Mereka bertemu di dalam mobil laki-laki tersebut, duduk bersama di dalam mobil mewah hanya untuk melangsungkan transaksi. Itu merupakan kali pertama bagi Queen masuk ke dalam mobil mahal. Ia tahu itu bukan mobil sembarang.
Bahkan karena hal itu pula semalam ia ditinggal pulang oleh Lili setelah lelah mencarinya kemana-mana.
Berhubung pekan ini Lili dan Queen mendapat shift siang, sehingga jam segini kedua gadis itu masih bisa berleha-leha karena baru akan berangkat jam 1 siang nanti. Sedangkan satu minggu ke depan keduanya akan mendapat shift malam.
“Huammm."
Mendengar Lili menguap, Queen yang tengah duduk di spring bed lantai sambil menghadap ke cermin cepat-cepat menyembunyikan cek tersebut ke dalam baju saat melihat Lili menggeliat hendak bangun, terpantau dari pantulan cermin.
“Jam berapa, Qui?" tanya Lili dengan wajah acak-acakan. Gadis itu duduk sambil mencepol rambutnya yang terurai.
Queen mendongak menatap jam dinding berwarna biru. “Jam 9 kurang 4 menit," ujar Queen, Ia beranjak menyibakkan gorden doraemon yang menutup jendela.
Kostan Lili itu memang didominasi oleh pernah pernik berwarna biru, yang mana Lili memang menyukai Doraemon. Kamar itu bahkan bernuansa biru putih yang mana setengah dinding direkatkan wallpaper doraemon.
Tinggal sendiri sepertinya menyenangkan, membuat Queen langsung berkeinginan tinggal sendiri seperti Lili saat pertama kali menginjakkan kaki disana. Suatu saat nanti Queen juga ingin menghias tempat tinggalnya dengan interior indah menggunakan warna favoritnya, pink shaby dan putih.
“Aku belum masak, mbak. Aku juga telat bangun!" ungkap Queen apa adanya membuka obrolan.
Sebagai orang yang diberi tumpangan. Queen merasa tidak enak jika tak melakukan pekerjaan, apalagi sampai tak memasak untuk Lili. Walaupun Lili sering melarangnya dan sama sekali tak keberatan tapi Queen tetap ingin tahu diri.
“Udah, santai aja! Nanti kita beli makan di luar!" Lili mengibaskan tangan.
Queen mengangguk dan kembali duduk dengan hati-hati, takut cek yang ia sembunyikan di balik baju jadi kusut.
“Ohiya, Queen, semalam kamu kemana aja? Aku cariin gak ada, ditelepon juga gak aktif!" ujar Lili yang mengingatkan bagaimana semalam ia mencari keberadaan Queen saat hendak pulang.
Pertanyaan Lili membuat ingatan Queen seketika kambali teringat rententan kejadian semalam. Mulai dari saat seseorang memintanya melaksanakan misi obat tidur, membantu membawa laki-laki asing itu ke sebuah kamar dan menjalankan misi kedua di luar kesepakatan, yaitu difoto saat seolah sedang tidur dengan pria tersebut. Hingga saat hendak pulang, Queen dan laki-laki itu kembali bertemu di dalam mobil, tepat di jalan yang cukup jauh dari hotel.
“Queen!"
Tepukan Lili di bahu Queen membuat gadis itu tersentak, dengan cepat Queen menggeleng mengusir semua rentetan kejadian dari pikirannya.
“Eh, Iya mbak!" serunya gelagapan.
“Mbak ngomong apa?"
Lili memutar mata malas sambil berdecak. “Gimana sih Qui, ditanya malah melamun!"
“Hehe!" Queen cengengesan sambil menggaruk kepala. “Tadi ngomong apa? Aku gak fokus.”
“Tadi aku nanya, semalam kamu kemana?"
“Aku nyariin tapi gak nemu, ditelepon juga gak aktif!" ulang Lili menjelaskan.
“Oh itu, anu ...."
Sejenak Queen terdiam mencari alasan yang tepat, dia bukan pembohong yang handal. Namun, harus tetap bisa membuat alasan agar Lili tak curiga. Tak ada satu orangpun yang boleh tahu misi terselubungnya dengan orang asing itu.
"Anu apa?" sergah Lili penasaran, Queen malah menggantung ucapannya.
”Aku diare, makanya buru-buru ke apotik buat beli obat, takut mbak nungguin. Eh, pas balik ke hotel mbak Lili udah pulang kata yang lain!"
Queen tak menyangka ia bisa selancar itu dalam mengarang. Bahkan Lili sampai percaya.
“Sorry ya Qui, semalam aku pikir kamu udah balik duluan. Habis, ditelepon gak aktif juga."
“Gimana mau aktif, hpku lowbat dari sore!"
“Maklum hp kentang!" Queen terkekeh sendiri mengingat hpnya yang sudah sering keluar masuk conter, melakukan service. Layar dan LCdnya sudah 20 kali rusak, retak dan diganti. Bahkan cepat sekali lowbat. Sungguh malang, kehidupan Queen memanglah tak seindah kehidupan Ratu.
Ia bahkan tak mampu beli hp baru. Sejak di kampung, gaji honorer dan upah jadi guru bimbelnya digunakan untuk biaya hidup sehari-hari, apalagi sejak ibu terdiagnosa sakit. Queen harus mencari kerja sampingan untuk membawa ibu kontrol.
Queen memang punya dua saudara, Agung dan Retno. Agung saudara laki-lakinya bekerja sebagai perawat, sedangkan Retno belum selesai sekolah. Bapak Queen hanya seorang petani, jadi buruh di ladang orang, sedangkan dulu Ibuk adalah mantan Bidan, bahkan pernah bekerja di rumah sakit ternama di ibu kota, bertemu bapak yang jadi supir ambulance lalu mereka menikah.
Kehidupan di kampung sangat susah. Bapak kadang suka tiba-tiba marah dan kasar padanya, hanya baik saat Queen bisa menghasilkan uang. Meski begitu Ia sangat menyayangi kedua orang tuanya.
Ah, sial!! Hanya karena hp kentang, Queen jadi mengenang kehidupan di kampung. Sudah seperti mengenang pahlawan saja.
“Nanti kalau gajian, sisihin sseparuh buat beli hp!" ucap Lili mmeberi saran.
“Banyak tuh hp oppo keluaran baru yang terjangkau!"
Queen manggut-manggut mengerti mendengar saran baik dari Lili.
“Sekali lagi sorry ya Qui, semalam aku beneran gak niat ninggalin. Aku duluan karena aku pikir kamu udah di rumah!"
“Iya mbak, santai!" Queen menepuk bahu Lili.
“Yaudah cari makan yuk, lapar nih!"
Queen menampakkan wajah ditekuk, dibuat-buat seakan tak berdaya.
“Kalau mbak sendii yang pergi gak apa, kan? Aku capek banget!"
“Ya gak apa dong!"
“Yaudah aku siap-siap dulu!"
Lili pun beranjak, hanya mengganti celana pendeknya menggunakan celana panjang dan memakai switer, lalu pergi beli makan. Meninggalkan Queen sendiri.
Gadis itu sengaja tak mau pergi. Ia ingin memikirkan kegunaan cek itu. Dengan cepat Queen mengeluarkan cek dari dalam baju.
“Yah, sial! Malah lecek!" keluh Queen saat melihat ceknya sedikit basah karena terkena kulit perutnya yang berkeringat.
“Masih laku gak, ya?" ringisnya hampir menangis, takut hasil jeripayahnya rusak dan tak bisa digunakan.
Buru-buru gadis itu berlari ke depan kipas angin, memencet tombol turbo nomor tiga agar angin yang dihasilkan kencang, sehingga ceknya cepat kering dan pulih. Queen menatap cek tersebut sambil menimang-nimang langkah apa yang akan dilakukan selanjutnya.
To be continued...
Sam sudah mengerahkan orang-orang kepercayaan keluarga Utama untuk segera menemui media mana saja yang sudah menyebarkan berita tersebut dan akan meminta mereka untuk menghapusnya sebelum 1×24 jam jika tidak ingin instansi mereka hancur. Kekuatan orang berduit memang bukan kaleng-kaleng. Mereka bisa melakukan apa saja, uang berbicara dan uang bisa menaklukkan segala. Seperti banyak kasus yang terjadi. “Tolong periksa foto ini, kalau terbukti editan sertakan dengan detail buktinya!" ucap Sam menyerahkan foto tersebut pada ahli IT. “Siap, Pak! Secepatnya akan kami selesaikan!" Sam mengangguk lalu segera pegi untuk menyelesaikan tugas berikutnya. Yaitu mencari dalang penyebar berita tersebut. Dimana, menurut media yang pertama memuat. Berita itu pertama kali disebarkan oleh sebuah akun di beberapa media online. Lalu menggunakan e-mail tak dikenal dikirim ke media tersebut. Sehingga tersebar seperti ini. Ya, yang namanya media. Mendapat berita menarik apa saja sudah pasti akan langsu
“Buat apa nyari orang itu?" tanya Biyan dengan wajah geram.“Kalian juga gak percaya sama aku?" Pemuda itu mendesah, kecewa tak ada satupun yang memercayai.“Bukan gak percaya, Bi!" seru Aileen menengahi percakapan antara suami dan adiknya.“Iya Bi, Kita cari cewek itu biar bisa dengar langsung penjelasan dari dia. Biar tahu apa yang sebenarnya terjadi sama kalian," jelas Virendra mencoba memberi pengertian.“Sama aja.”“Semua keluarga memang gak ada yang percaya sama aku!" desis Biyan kecewa.Virendra menggeleng, Ia tahu bagaimana perasaan adik iparnya. “Bukan gitu, masalahnya berita ini sudah tersebar sampai tv, banyak yang tahu! Kita butuh penjelasan biar bisa menyusun opini apa yang harus diungkapkan saat konferensi pers nanti."“Apalagi katanya semalam kamu mabuk, gak ingat jelas apa yang terjadi," pungkas Virendra.Mendengar kata mabuk membuat Aileen menepuk bahu sang adik.“Makanya, sudah dibilang jangan suka minum alkohol! Gak punya telinga sih kalau dikasih tahu!" Omelan Ailee
“Oh, jadi ini sumber masalahnya?" Biyan memajukan tubuhnya dengan tatapan tanjam, hingga membuat Queen menyurutkan langkah dan terbentur di dinding. “Disuruh siapa kamu melakukan itu? Sampai ada foto yang katanya memperlihatkan kita seolah-olah sedang tidur bersama?" “Dibayar berapa sampai berani tidur sama saya?" cecar Biyan dengan wajah datar. Matanya terus menelisik wajah wanita yang katanya ada dalam foto itu. Walau sebenarnya ia belum pernah melihat foto itu secara langsung. Tapi, entah mengapa kekesalan Biyan semakin menjadi saat melihat wujud asli dari gadis tersebut. Buluk dan Biasa saja! Itu dua kata yang terlintas dalm pikiran Biyan. Bukannya mau menghina, tapi itulah kenyataannya. Sosok gadis yang fotonya dibuat seolah tidur dengan dirinya benar-benar jauh dari kriterianya. Beda jauh dengan Becca, sang kekasih. “Jawab!" sentak Biyan saat gadis itu hanya menunduk diam. Rasanya Queen ingin menghilang saja dari muka bumi ini saat berhadapan langsung dengan Biyan. Ia se
Queen, gadis pemilik nama unik yang kehidupannya tak seberuntung pemilik gelar yang tersemat pada namanya itu tengah duduk sambil merenung di teras kost. Tadi, setelah diberi pesangon sebelum resmi dipecat ia langsung pulang tanpa menemui Lili. Queen tak punya muka lagi jika harus berhadapan dengan Lili. Ia merasa telah melemparkan kotoran pada Gadis yang sudah berbaik hati mau menampungnya dan mencarikannya kerja meski mereka belum lama kenal.Perasaannya begitu carut marut. Malu karena baru beberapa minggu bekerja ia malah berbuat kesalahan fatal hingga berujung pada pemecatan secara tidak hormat. Ia juga merasa tak berdaya sebab kondisi ibu di kampung membuat Ia terpaksa melakukan hal tersebut.Tenaga Queen seperti terkuras, sedari Ia masuk di kamar, waktunya Ia habiskan untuk menangis dan meratapi apa semua sambil berkali-kali menatap lembaran cek yang masih dipegang. Terlintas dalam benak apakah pantas ia memakai uang dari hasil menjatuhkan seseorang? Apakaah ini halal?Seketika
“Ini gak salah, kamu kirim uang sebanyak ini?" tanya Agung dari sbeerang telepon. Kaget melihat notifikasi m-banking yang masuk. Tertera nominal yang cukup fantastis membuat Agung terbelalak. Bukan hanya bisa untuk menebus ladang dan biaya operasi ibuk, tapi untuk buka usaha kecil-kecilan pun bisa. Agung terheran-heran dan bertanya-tanya darimana Queen bisa mendapat uang sebanyak itu.“Ini halal 'kan, Qui?" Pertanyaan Agung membuat Queen yang tengah duduk di halaman sebuah Bank itu mendengus kesal. “Halal kok, aman!" Katanya berbohong. Air matanya ingin kembali tumpah. Tapi kondisi dan situasi membuat ia berusaha membendung, ada banyak orang disana, ia tak boleh menangiis!“Alhamdulillah deh kalau halal!" Agung manggut-manggut dari balim telepon. Terharu melihat pengorbanan saudara perempuannya yang satu ini. Rela melakukan apapun demi kesehatan ibu, meski harus merantau ke luar kota.“Jangan lupa tebus ladang yang di bu Hajar. Sertifikatnya kamu simpan aja, bapak jaangan sampai tah
“Heh, kok malah bengong disitu!" “Ayo masuk, itu ada yang nyariin."Bahkan Queen masih saja terpaku, dari jauh matanya menelisik siapa ornag yang datang mencarinya. “Dia?!" lirih Queen, matanya menyioit saat menyadari salah satu laki-laki itu adalah orang yang bersama Biyan siang tadi. Hal itu membuat Queen makin panik. Ia pikir setelah dipecat semuanya akan selesai, nyatanya ia masih dicari, bahkan sampai mendatangi alamatnya.Namun, Queen sama sekali tak bisa menolak ketika Lili menariknya ke halaman rumah. Dengan sorot mata berfokus pada dua laki-laki itu Queen berjalan seperti patung bernyawa yang terus mengikuti langkah Lili.“Kalian cari saya?" tanya Queen memberanikan diri dengan suara tercekat ketika sudah berdiri di hadapan dua lelaki tersebut.Beruntung lelaki berkaos putih dengan dilapisi blezer hitam itu lumayan humble. Ia masih mau menampakkan senyum di balik wajah datarnya.“Iya, benar sekali!" jawabnya seraya memasukkan tangan ke dalam saku celana kain yang digunakan.
Setelah memerintahkan Shakeel untuk pergi menjemput gadis yang berada dalam foto untuk dibawa bertemu keluarga. Tuan Alfin kembali menatap putranya yang terus menunduk setelah mendengar keputusan seperti apa yang Mommnya inginkan. “Dad, Mom. Semuanya tolong percaya, aku yakin tidak ada apa-apa yang terjadi diantara aku dan pelayan itu. Seseorang hanya memerlukan foto itu untuk menjatuhkanku!" Selain dibela oleh Oma yang tak menyetujui keputusan anak dan menantunya untuk menikahkan sang cucu dengan gadis yang menurut info hanyalah seorang pelayan. Hal itu membuat Biyan lebih berani untuk mengemukakan pendapatnya karena mendapat dukungan dari oma.“Sekalipun Kamu dijebak dan meniduri perempuan itu, Oma tidak akan pernah setuju kamu menikahi gadis seperti itu, Biyan!" sergah Oma. Yang mana membuat seluruh anggota keluarga menoleh tak setuju. Karena memang semua sudah sangat setuju dengan keputusan Mommy Jessica untuk menikahkan Biyan sebagai bentuk tanggungjawab dari seorang laki-laki.
Mobil yang Queen tumpangi bersama dua orang laki-laki yang menjemputnya itu terus melaju memecah jalan ibu kota di bawah langit sore yang kian kemerahan. Sepanjang jalan Pikiran gadis biasa, pemilik bulu mata lentik yang tak terlalu panjang itu terus dipenuhi dengan berbagai tanya dan kekhawatiran tentang hal apa saja yang akan ia hadapi setelah ini. "Huhh.” Ia mendesah pelan sambil melempar pandangan ke arah luar kaca mobil. Menatap kendaraan yang berlalu lalang dan jejeran gedung yang ada. “Seandainya malam itu aku gak menerima tawaran dari tuan muda itu, mungkin sekarang hidupku akan tetap normal dan bisa bekerja dengan tenang," lirih Queen dalam hati. “Tapi ....” Ia mendesah kesal meratapi ketidak berdayaan. Bahkan uang dari hasil pekerjaan yang ia sesali itu sudah ia berikan pada Agung untuk biaya pengobatan ibu. Jika sudah begini, rasanya segala perandaian yang ia sebutkan tadi tak lagi berguna. Ia bagaikan orang munafik yang menyesal tapi tetap menggunakan uang hasil me