Akhirnya Ferdi memutuskan membawa Nisa ke rumah sakit. Jiwa kemanusiaannya meronta, tidak tega untuk membuang wanita lemah tidak berdaya yang berbaring di kursi belakang mobilnya. Lebih tepatnya, takut perbuatannya akan terendus media masa, apalagi banyak saksi di depan pemakaman tadi.
Nisa sudah dirawat dan sudah dipindahkan ke ruangan, bangsal perawatan penyakit ringan."Dia hanya syok, kelelahan dan kedinginan," kata dokter ketika sudah selesai memeriksa Nisa tadi.Ferdi menekan kedua pelipisnya dengan satu tangan. Ibu jari dan telunjuk memutar-mutar dengan bersamaan, ada rasa pusing di pusat kepalanya. Bajunya agak basah karena mengangkat tubuh Nisa yang sudah basah, ditambah lagi terkena guyuran hujan yang deras.Perhatiannya teralih ke arah Nisa yang mengerang pelan dan bergumam kehausan. Ferdi bangkit dan mengambil air mineral, lalu menaikkan sedikit brankar pembaringan Nisa.Tanpa bicara, Ferdi menyodorkan sedotan ke bibir Nisa yang mulai berwarna."Terima kasih," ucap Nisa lirih, lalu mengedarkan pandangannya ke sekeliling."Apa yang kamu lakukan!" seru Ferdi dengan suara tegasnya ketika melihat Nisa langsung beranjak duduk sambil menyingkap selimutnya ingin berdiri."Aku tidak boleh disini, aku harus pulang." Nisa berdiri namun langsung terduduk lagi ke pinggir brankar sambil memegang kepalanya, pusing. Pakaian basahnya sudah diganti perawat dengan seragam pasien."Telepon saja suamimu." Ferdi mengeluarkan ponselnya untuk diserahkan ke arah Nisa, karena tas wanita itu lupa dibawanya saat tergesa menghindari warga yang mulai marah tadi.Nisa menggelengkan kepalanya dengan cepat, membuat kepala itu bertambah pening. "Tidak, aku harus pulang," ujarnya lemah yang merasa trauma dengan rumah sakit karena kejadian putranya, bahkan baru semalam dia berurusan dengan bagian administrasi dan itu membuat matanya kembali panas, air mata kembali merebak.Sifat keras kepala Nisa membuat kemarahan Ferdi kembali, dia sudah banyak membuang waktu disana. "Telepon saja suamimu agar aku bisa pergi dari sini, cepat!" ujarnya geram. Suaranya sudah cukup dibikin pelan namun tetap terdengar keras dan memerintah.Nisa tersentak kaget. "Aku baru ingat, apa kamu yag menabrakku?""Sembarangan! Kamu yang menabrakkan dirimu sendiri, kenapa tiba-tiba muncul di depan mobilku?" desis Ferdi kejam, takut kalau ada yang mendengar Nisa, lalu percaya dan menganggap kalau dirinya mau melarikan diri dari tanggung jawab."Seharusnya kamu tidak menyelamatkanku, biarkan aku mati sekalian," gumam Nisa pelan namun masih bisa terdengar oleh telinga lebar Ferdi."Dan membiarkanku diamuk massa, begitu?" ujar Ferdi sinis melanjutkan gumaman Nisa.Nisa kembali merebahkan dirinya ke pembaringan dan menutupi wajahnya dengan pergelangan tangannya yang tidak diinfus. "Tinggalkan saja aku disini," ucapnya lemas."Tidak bisa. Aku tidak mau terjadi sesuatu yang tidak diinginkan sebelum walimu datang," ucap Ferdi masih berdiri tegap di samping pembaringan Nisa dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku celana, tidak kalah keras kepalanya.Ferdi ingin urusannya dengan Nisa cepat selesai. Dia tidak ingin kejadian kecil ini menjadi masalah besar dikemudian hari, wali Nisa menuntutnya ke polisi misalnya apalagi tadi dia hampir diamuk warga.Nisa tetap diam, masih keras kepala. Ferdi yang melihat wanita itu, mengatupkan rahangnya dengan keras hingga terdengar giginya yang beradu. Kalau bukan karena suara ponselnya yang berdering, mungkin lelaki itu sudah menyemburkan sumpah serapahnya."Ya, bagaimana? Apa kalian menemukan putraku?" Ucapan Ferdi membuat Nisa menyingkirkan lengannya dan memasang telinga dengan benar karena lelaki itu menjawab teleponnya sambil berjalan menjauh ke arah jendela."Cari ke segala tempat terutama yang bersangkutan dengan ibunya. Telepon wanita itu agar tidak membuat ulah lagi," ujar Ferdi tegas.Nisa beranggapan kalau lelaki dihadapannya itu sangat kolot dan temperamen, apalagi menyangkut dengan istrinya karena nada bicaranya terdengar jijik ketika menyebut tentang ibu dari anaknya.Nisa kembali menutupi wajahnya ketika Ferdi selesai dengan teleponnya, menghembus nafas lelah sebelum kembali menghampiri Nisa."Apa kamu tidur?" tanyanya pelan namun terdengar jelas saat melihat Nisa tidak bergerak dengan posisinya."Tinggalkan saja aku sendiri disini," jawab Nisa menurunkan lengannya, memperlihatkan wajah yang sembab."Tidak sebelum walimu datang menemani," ujar Ferdi keukeh dengan kemauannya.Mereka berdua benar-benar keras kepala, Nisa menyadari itu dan dia harus mengalah agar masalah mereka cepat selesai."Baiklah," ujar Nisa sambil mencoba duduk kembali.Ferdi hanya memperhatikannya saja tanpa mau membantu. Melihat wanita itu mengedarkan pandangan matanya mencari keberadaan tasnya."Tasmu hilang, aku tidak membawa tasmu waktu membawamu kesini," ujar Ferdi, sadar apa yang dicari wanita itu."Oh, tidak." Kedua tangan wanita itu memangku kepalanya dengan frustasi. Bagaimana tidak, selain ponsel dan data diri juga ada rincian biaya almarhum anaknya serta surat-surat penting lainnya."Gunakan dulu ponselku, nanti kucoba mencari lagi tasmu. Tapi kemungkinan sudah hilang karena banyak orang waktu kamu menabrakkan tubuhmu ke mobilku," ucap Ferdi menekankan kalimat tentang Nisa yang mencoba melukai dirinya sendiri.Nisa menghela nafas lelah, tidak ingin memperumit keadaan dengan membangkang lelaki itu lagi dan mengambil ponselnya.Beruntung dia memiliki ingatan yang bagus, sehingga nomer ponsel sang suami sudah hapal diluar kepalanya."Mas, aku mengalamai kecelakaan. Tolong jemput aku di rumah sakit tempat anak kita dirawat," ucap Nisa ketika panggilannya diangkat setelah panggilan kesekian kali.Ferdi yang mendengar tentang anak Nisa yang dirawat, mengernyitkan keningnya. Kenapa wanita itu ingin pulang kalau anaknya dirawat di rumah sakit?"Jangan bilang kalau kamu masih di kantor, Mas. Kamu sudah tidak hadir saat anak kita dirawat, tidak datang ke pemakaman anak kita hari ini, setidaknya kamu mau datang menjemputku agar aku bisa pulang, mereka butuh waliku untuk tanda tangan!" ujar Nisa, air mata yang tadi ditahan akhirnya mengalir juga di pipinya yang tirus.DEG! Jatung Ferdi berdetak keras begitu menyadari kalau anak wanita dihadapannya ini telah meninggal. Saat itu juga dia menyadari kalau Nisa saat tertabrak olehnya tadi, wanita itu baru pulang dari pemakaman anaknya. Pantas saja wajahnya murung seperti tidak ada gairah hidup, terlebih lagi tanpa kehadiran suami.Pandangan tentang Nisa saat itu berubah di mata Ferdi. Kekesalannya berubah menjadi kasihan karena melihat wanita itu menangis tanpa suara, berbicara kepada suaminya tanpa ingin suaminya tau kalau dia sedang menangis. Meski Ferdi tidak mendengar ucapan sang suami karena pikirannya melayang ke kecelakaan sebelumnya, tapi dia bisa mengira apa yang membuat wanita itu semakin sedih.Nisa menyerahkan ponsel lelaki itu dan menggelang dengan sedih. "Dia tidak akan datang. Kamu bisa meninggalkanku disini, aku bisa pulang sendiri."Ferdi menyambut ponselnya dalam diam, menatap Nisa dengan kasihan. Seorang ibu yang baru kehilangan anaknya untuk selama-lamanya dan tanpa dukungan keluarga terutama parter hidupnya, dia dapat memahami perasaan Nisa.Ferdi keluar ruangan saat Nisa kembali merebahkan tubuhnya dan kembali dengan posisi semula, menutupi wajahnya dengan lengannya.Ferdi menelepon seseorang dengan wajah seriusnya.Nisa menelepon suaminya, setelah panggilan yang ketiga barulah diangkat oleh lelaki itu. 'Mungkin karena nomer tak dikenal yang menghubunginya, makanya dia lama menerimanya', pikir Nisa."Ini aku Nisa, Mas. Istrimu. Sekarang aku lagi ada di rumah sakit, Mas. Tolong jemput aku, mereka tidak mengijinkan aku pulang sebelum ada waliku datang menjemput," ucap Nisa bergetar. Dia yakin suaminya itu tidak akan mau menjemput ke rumah sakit, apalagi suaminya itu pasti beranggapan yang dialami Nisa adalah hal yang sepele, dia paham jalan pikiran sang suami."Kamu bisa kabur kalau kamu mau!" bentakan nyaring dari seberang telepon membuatnya mengangkat bola matanya, melirik kepada sang empu ponsel karena yakin kalau lelaki itu mampu mendengar suara suaminya yang keras, apalagi Ferdi terus mengamatinya dengan seksama."Kamu gila, Mas? Jangan bilang kalau kamu masih di kantor," desis Nisa pelan, menjaga agar kata-katanya tidak terdengar oleh lelaki yang terus memperhatikannya itu. "Kamu bahkan tida
Tiba-tiba datang seorang lelaki berusia Tiga Puluh tahunan lebih, masih memakai pakaian kantor. Jas mengkilap dengan celana rapi padahal hari sudah hampir gelap, namun garis celana bekas setrikaan masih jelas tercetak di kaki panjangnya."Apa Anda suami Nisa? Dia ada di dalam," ucap Ferdi sambil berdiri ketika pria itu berhenti tepat di depannya. Memandangnya dengan tatapan merendahkan karena pakaian yang dikenakan Ferdi saat itu sangat lusuh, dan usianya terlihat lebih muda darinya.Tanpa kata, pria itu memasuki ruangan Nisa dan berdeham cukup keras, mengagetkan wanita itu.Nisa membalikkan badannya ke arah suara. "Kenapa kamu datang?" tanyanya terkejut begitu melihat kehadiran sang suami.Rif'at, suami Nisa mengangkat ujung bibirnya tersenyum sinis, menatap Nisa dengan tatapan jijik karena penampakan wanita itu sangat menyedihkan. Mata bengkak dengan wajah sembabnya. "Bukankah kamu yang memintaku datang. Kenapa ekspresimu seperti itu? Dasar cewek mesum." Tuduhnya tanpa belas kasiha
"Apa maksudmu, Mas? Aku datang hanya untuk mengambil barang-barangku, jangan memulai pertengkaran baru," ujar Nisa lemah, bahkan untuk tersentak karena dikagetkan oleh suaminya pun sudah tidak mampu."Lelaki itu yang di rumah sakit tadi, kan? Selingkuhanmu yang berpura-pura menjadi penabrakmu padahal dia sedang menjengukmu, kan?" ujar Rif'at lagi dengan bersemangat sambil menunjuk ke arah mobil Ferdi yang parkir di depan rumahnya."Teruskan imajinasimu, Mas. Aku capek, kita sudah tidak punya hubungan lagi kan, Mantan?" sahut Nisa asal."Bilang saja kalau kamu senang sudah dicerai olehku. Sudah lalai menjaga anakku, sekarang malah terang-terangan menunjukkan selingkuhan di depanku," ujar Rif'at keras, tidak beranjak dari tempatnya berdiri sementara Nisa menyentuh kepalanya yang mulai berdenyut."Jangan melawak kamu, Mas. Putraku sakit karena asap rokokmu itu! Putra kita terkena radang pernapasan karena menjadi perokok pasif, Mas, karena menghirup asap rokokmu. Seharusnya kamu menurut de
"Ayo, Non. Ikuti bibi ke dalam," ucap Bi Nia setelah melihat orang yang dimaksud oleh Ferdi, menuruni mobil."Panggil saja Nisa, Bi. Gak usah pakai 'non'," balas Nisa merasa tidak enak.Nisa memasuki kamar yang cukup besar untuk ukuran asisten rumah tangga. Bahkan memiliki kamar mandi sendiri, dia merasa seperti sedang mengkos ketika kuliah dulu."Ini kamar untuk saya sendiri, Bi?" tanyanya sopan karena lawan bicaranya sudah tua, seusia almarhumah ibunya."Iya, Nisa. Kamar aku ada di sebelah, panggil saja kalau ada yang dibutuhkan," ujar Bi Nia ramah, raut wajahnya menjadi lebih ramah, berbeda dengan yang pertama dilihat Nisa tadi, lebih waspada.Kamar itu begitu berantakan karena bekas kamar pengasuh anak majikan yang tiba-tiba mengundurkan diri. "Baik, Bi. Bibi istirahat saja, biar Nisa yang membereskan semua ini," ujar Nisa sambil menangkap tangan Bi Nia yang akan menarik seprai dan sarung bantal.Lalu beliau mengambil seprai dan sarung bantal yang baru untuk Nisa. "Istirahatlah, b
"Aku tidak mau diulus sama olang setles yang suka menangis sendili lalu teltawa, itu sungguh menakutkan. Apa kamu tau?" ujar Lana ketus, persis seperti ayahnya ketika Nisa pertama kali melihatnya."Eh, maaf Den Lana. Anda mengingatkan saya dengan anak saya, dia sangat suka makan mie." Nisa jadi salah tingkah ditegur oleh anak kecil. Tidak menyangka kalau dia bisa baper ketika berdekatan dengannya."Apaan, anak kok seling dikasih mie instan. Ini tuh makanan tidak sehaaaat," ujar anak kecil itu menasehati Nisa, padahal mie instan dihadapannya sudah habis dia makan."Iya, Den. Saya mengerti, hanya kali ini saja, ya. Jangan bilang-bilang sama Bi Nia, ya." Nisa mengarahkan telunjuknya ke dekat bibir anak itu.Lana langsung turun dari kursinya tanpa menjawab permintaan Nisa, berlari ke depan TV padahal mulutnya masih berminyak."Setelah saya selesai menjemur pakaian, kita mandi ya, Den Lana," seru Nisa, dia yakin anak kecil itu tidak memperhatikannya karena fokus anak kecil itu sudah ke mai
Nisa merasa ada yang meraba dadanya, meremasnya lalu mengulumnya. Dia mendengar suara desahan dirinya sendiri, karena merasakan geli di area sensitifnya juga. Tidak lama kemudian dia merasakan ada sesuatu yang basah menyentuh bibirnya, melumatnya dan menyerbu lidahnya.Aroma khas peroko ada disana. Nafas orang itu, air liur yang menyatu di lidahnya membuatnya ingin muntah, namun dia tidak mampu menolak, tidak mampu untuk bangun dan pergi dari situ. Kedua lengannya malah merangkul leher orang itu dan menerima setiap sentuhannya, sampai benda keras milik orang itu masuk ke area intimnya.Nisa membelalakkan matanya terbangun dari tidurnya.Nafasnya tersengal, entah kenapa dirinya mimpi melakukan adegan itu bersama mantan suaminya dan lebih mencengangkannya lagi, Nisa mendapati bagian bawah tubuhnya benar-benar basah.Dengan cepat Nisa pergi ke kamar mandi untuk menggosok giginya dan membersihkan tubuhnya. “Ya, ampun. Kenapa aku bisa bermimpi seperti itu? Bau menjijikkannya masih terasa
Orang-orang yang melihat dan yang bertemu langsung dengan Lana, mungkin berpendapat kalau anak itu adalah anak yang pintar, mandiri dan dapat diandalkan. Namun Nisa melihatnya berbeda, wanita itu merasa kasihan dengan anak yang baru berusia 5 tahun itu sudah harus mandiri, menahan emosinya untuk tidak menangis, bertahan tegar agar terlihat manis di hadapan sang ayah.Anak majikannya itu terlihat berusaha dewasa sebelum usianya, membentengi dirinya agar tidak bersifat seperti anak kecil yang cengeng, terutama di depan Ferdi Rahardian.Tapi setelah beberapa saat mereka sudah berada di taman tujuan mereka, Nisa ingin menarik semua pemikirannya.“Anak kecil tetap saja anak kecil, usilnya minta ampun. Apalagi ini anak laki, pasti senang melihat orang dewasa kesusahan,” gerutu Nisa sambil celingak celinguk mencari keberadaan Lana yang sudah menghilang dari pengawasan.Padahal anak kecil itu baru saja ada di dekat ayunan sebelum menyuruh Nisa membeli minuman.“Tapi, Den Lana tidak boleh minu
Sesorean itu, Nisa hanya memperhatikan Lana main dari jarak jauh, karena anak itu tidak memperbolehkannya mendekat. Sepertinya, Lana masih marah kepada Nisa mengenai di sekolah tadi.Lana memang anak yang pendendam, dia melakukan itu karena masih malu kepada Nisa, sebab wanita itu menggendongnya pagi-pagi dan menepuk-nepuk pantatnya, hal yang tidak pernah dirasakannya dengan ibu kandungnya sendiri. Dia merasa bersalah karena merasa nyaman, merasa bersalah terhadap ibunya."Den Lana, Aden mau sekolah tidak? Di sekolah nanti, Aden akan banyak teman. Jadi bisa menulis, membaca, juga berhitung." Nisa mencoba menarik perhatian anak kecil itu lagi, namun Lana masih asik dengan mainan legonya."Atau, Den Lana mau latihan dulu sama saya, kita beli alat tulisnya dulu, bagaimana?" Sambung Nisa semakin mendekat dan memasang beberapa lego yang dapat dijangkaunya. Lana yang tadinya berusaha tidak mempedulikan Nisa, meliriknya sebentar sebelum membuang pandangannya ketika Nisa juga menatapnya.Nis
Sesuai janjinya kepada Bi Nia, Nisa membawa Lana untuk berjalan-jalan ke taman. Sesuai usul Mang Kardi, Nisa pun juga memanggil ojek online untuk membawa mereka pergi ke tempat tujuan yang jaraknya tidak terlalu jauh.“Hati-hati, Mbak. Kalau ada apa-apa, telpon saja Amang.” Pesan Mang Kardi ketika mereka sudah siap berangkat.“Siap, Mang,” jawab Nisa lalu motor yang membawa mereka mulai berjalan.Nisa memutuskan tetap membawa majikan kecilnya jalan-jalan sore itu, sesuai dengan pesan Bi Nia, meski dia tau kemungkinan kalau mereka sedang diawasi.Setelah sampai di taman, wanita itu tidak menyesal dengan keputusannya setelah melihat Lana yang begitu senang dan mencoba semua permainan yang ada di taman itu. Memang anak itu kalau setiap hari sabtu sore, selalu ke tempat itu, tapi tidak membuatnya membuatnya puas dengan semua permainan itu. Dia akan bermain mandi bola, memancing ikan dan menaiki odong-odong.Dan setelah satu jam mereka berada di taman, Nisa kembali melihat ada lelaki ting
Seperti biasa, Nisa membawa Lana pulang dengan berjalan kaki karena jarak antara sekolah dan rumahnya hanya berjarak 2 kompleks perumahan."Bagaimana, Mbak. Mau tidak jadi mamaku?" tanya Nisa sebel;um mereka sampai di rumah bertingkat 3."Apa ayahmu yang menyuruhmu, Den?""Jangan panggil aku Aden lagi.""Aku masih pengasuhmu lho, Den Lana," ujar Nisa tertawa."Aku hanya tidak ingin mereka memecatmu. Kalau kamu jadi mamaku, tentu mereka tidak akan berani memecatmu." Lana berlari masuk ke dalam pagar yang sudah dibuka Mang Kardi saat melihat mereka berjalan mendekat."Ngambek lagi, Mbak? Majikan kecil kita?" tanya Mang Kardi saat Nisa melewati beliau."Iya, Mang. Mungkin dia kecapekan," ujar Nisa beralasan.Nisa melongokkan kembali kepalanya melewati pagar setelah kakinya melangkah ke dalam, mengintip ke arah kedatangannya bersama Lana tadi.“Ada apa, Mbak?” tanya Mang Kardi heran melihat tingkah Nisa yang seperti anak kecil main petak umpet.“Ada yang membuntuti kita dari tadi, Mang,”
“Menikahlah denganku.” Ucapan Ferdi terus terngiang dalam benak Nisa.Dia tidak mampu berkata-kata saat di dalam ruang kerja lelaki itu, pikirannya berlarian kesana kemari. Sekarang pun masih, dia sedang berada di dapur dan sedang herpikir, 'kenapa bos kerennya itu bisa tertarik dengan janda seperti dirinya?'Sementara Ferdi juga sedang galau di ruangannya, dia merasa seperti kehilangan kharismanya.“Bagaimana kalau dia menolakku, aku tidak akan punya keberanian lagi untuk bertemu dengannya. Bodoh bodoh bodoh.” Ferdi memukul kepalanya seiring dengan umpatan yang dia lontarkan.“Seharusnya aku melakukan pendekatan terlebih dahulu. Dia pasti terkejut dengan pernyataanku tadi kan.” Ferdi menggaruk belakang kepalanya dengan kasar, sehingga rambut bagian belakangnya mencuat berantakan. Teringat ucapan kaki tangan sekaligus orang yang memberikan petuah cinta, begitu teman sekaligus bosnya curhat tentang seorang wanita. Lelaki seusia Ferdi yang bernama Herdiansyah. Lelaki yang dianggap sama
Merasa mendapat penolakan, membuat Ferdi diam sepanjang jalan. Sedangkan Nisa sering melirik ke samping, ke tempat Ferdi duduk di belakang kemudi, khawatir kalau lelaki itu marah atas sikapnya yang tanpa pikir panjang menampik perhatian majikannya yang tidak biasa.Ferdi menutup erat mulutnya, bahkan kalau perlu menahan nafasnya juga. Dia tidak pernah mendapat penolakan dari wanita manapun karena dia memang tidak pernah membuka hatinya kepada lawan jenis, setelah dikhianati oleh gebetannya sewaktu kuliah dulu.Bahkan ketika sampai ke rumah pun, Ferdi masih tetap tidak mau membuka mulutnya, padahal biasanya dia akan bicara walau tanpa ekspresi, “harus sudah stand by jam 8 pagi besok di mobil, setelah mengantar Lana sekolah lanjut ke kantor.”“Apa dia marah karena ku tolak papahannya tadi? Huh, kekanak-kanakan sekali. Lagian mana mungkin aku mau digandeng oleh bosku sendiri sementara banyak mata yang memperhatikan kami, apa dia tidak memikirkan reputasinya?” gumam Nisa bertanya-tanya sa
"Apa Mbak Nisa dan ayah berpacaran?" tanya Lana ketika mereka sudah sampai di mall dengan diantar oleh sopir kantor."Kenapa Den Lana bisa berpikir begitu?" tanya Nisa terkejut karena anak sekecil itu bisa tau mengenai pacaran."Sama seperti ibu yang sering bawa lelaki ke rumah. Ibu bilang itu pacar ibu, mereka sering makan malam bersama. Mbak bakal pergi makan malam dengan ayah, kan?" ujar Lana, masih menggengam tangan Nisa yang menggandengnya dari ketika mereka turun dari mobil, karena anak itu sering berlari-lari hingga Nisa kesulitan mengejarnya."Kami bukan hanya makan berdua saja, Lana. Tapi juga ada klien Tuan Ferdi." Nisa memilih menjawab Lana dengan gaya dewasa, karena dia yakin dengan gaya anak itu mungkin bisa mengerti."Kalau klien perusahaan, kenapa tidak bertemu di kantor saja, Mbak. Kenapa harus makan malam?" Tuh kan, anak itu sedikit banyaknya sudah mengerti."Iya kalau klien kantor, tapi ini klien Tuan Ferdi dan beliau sedang merayakan ulang tahunnya yang ke - 70.""W
"Maaf, Mbak. Mbaknya ngomong sama siapa, ya?" Tiba-tiba seorang pemuda menyapa Nisa yang berbicara sendiri. Dari raut pemuda itu terlihat waspada sambil mengedarkan matanya di sekeliling Nisa."Saya pikir, Mbak tadi bicara dengan ponsel, tapi saya liat-liat lagi, tidak ada headset di lubang telinganya." Pemuda itu menatap Nisa dengan ketakutan.Nisa yang juga terkejut, heran melihat reaksi pemuda itu. "Oh, maaf mengagetkanmu. Saya hanya sedikit stres dengan pekerjaan hari ini," ujar Nisa beralasan."Oh, syukurlah." Pemuda itu menghembuskan nafasnya lega, karena sempat mengira kalau Nisa sedang berbicara dengan makhluk tak kasat mata."Pegawai baru, ya?" tanya Nisa yang merasa lucu melihat pemuda itu membuang keteganganya."Iya, Mbak. Baru 2 bulan, masih masa percobaan," jawabnya santai kemudian."Semoga betah, ya." Setelah Nisa mengatakan itu, lift yang akan turun ke lantai dasar berhenti di lantai 3."Duluan, ya," lanjut Nisa yang diangguki sopan oleh pemuda tadi.Nisa mendengar keri
Lucia yang dikenal sebagai artis cantik, namun tanpa talenta yang membanggakan, nyatanya hal itu memang benar.Tapi, karirnya lebih bagus dari artis yang memiliki kemampuan akting yang mumpuni. Hal ini karena yang dilakukannya saat ini, bergelut dengan sang sutradara di dalam kamar yang panas nan menggairahkan."Janji ya, Mas. Kamu bakal mengasih peran buatku di film barumu," ujar Lucia kepada lelaki tambun yang sekarang sedang memeluknya. Keringat keduanya sudah membeku akibat AC yang dinyalakan sangat kencang.Pip pip pip. Lelaki itu menurunkan AC 3 tingkat, sekarang udara di kamar itu lebih ke sejuk daripada dingin."Iya, pasti. Kamu tenang saja, yang penting kamu berakting yang bagus saat audisi nanti," ujar lelaki tambun itu sambil memeluk Lucia dan sesekali memelintir puncak gunung mas milik wanita itu."Kenapa harus seleksi lagi sih, kenapa tidak langsung jadikan aku sebagai tokoh utama wanita?" Protes Lucia manja."Aku tidak bisa melakukan itu, Sayang. Karena ini kerja tim. Se
Bi Nia adalah bibinya Lucia. Kakak dari almarhumah ibu dari wanita itu. Bi Nia itulah yang menjadi mata-mata di rumah Ferdi, dan yang mengatur semua pekerja di rumah mantan suami keponakannya bahkan membuat pengasuh Lana dipecat karena tidak mau menuruti kemauan mereka.“Aku akan mencari cara agar wanita itu keluar dari rumah Ferdi. Aku tidak akan menyerah sebelum mendapatkan uang yang banyak dari Ferdi.” Ikrar Lucia.“Tapi, Lucy. Apa hanya uang yang kamu pikirkan, apa kamu tidak mau kembali lagi dengan pria mapan itu?” Bi Nia mengambil beberapa barang dan menambah tumpukan di keranjang dorongnya.“Oh, tidaklah, Bi. Pria itu begitu kaku, belum lagi ibunya yang cerewet. Aku hanya tidak suka kalau dia hidup tenang, apalagi menjalin hubungan yang damai dengan lawan jenis.” Lucia tersenyum licik.“Cih, persis ibumu. Aku hanya ingin uang, Lucy. Kamu tau kan anakku yang sekolah di luar negri sangat boros.”“Bibi tenang saja, sebentar lagi aku mendapat proyek yang besar.” Bi Nia menatapnya b
Esok harinya, sebelum bersiap berangkat ke kantor, Nisa menyempatkan diri untuk mencuci pakaian yang memang sudah di tumpuk oleh Lala di samping mesin cuci.Tiba-tiba Ningsih menghampirinya dan tanpa kata mengambil pakaian yang ada di tangan Nisa, lalu mulai memilah-milah pakaian untuk dicuci. Padahal pekerjaan wanita yang sebaya dengannya itu adalah mengurusi taman di rumah itu.“Sudah tinggalin saja, Nisa. Kamu siapin sarapan Tuan, sebelum beliau mencari kamu seperti semalam,” ujar Bi Nia. Tiba-tiba beliau muncul dan melihat Nisa yang tidak bergerak sambil menatap Ningsih dengan bingung.Nisa cuma bisa menurut dan akhirnya meninggalkan Ningsih yang masih diam, meski dia bertanya-tanya ketika dia berjalan menjauh, dia mendengar bisikan antara Bi Nia dan Ningsih.“Mbak Nisa, aku mau makan roti lapis kayak ayah,” seru Lana melompat dari anak tangga terakhir.“Lho, Den Lana sudah mandi? Mandi sama siapa?” Nisa mengelus pucuk kepala anak majikannya begitu sampai ke sampingnya. Anak kecil