"Ayo, Non. Ikuti bibi ke dalam," ucap Bi Nia setelah melihat orang yang dimaksud oleh Ferdi, menuruni mobil.
"Panggil saja Nisa, Bi. Gak usah pakai 'non'," balas Nisa merasa tidak enak.Nisa memasuki kamar yang cukup besar untuk ukuran asisten rumah tangga. Bahkan memiliki kamar mandi sendiri, dia merasa seperti sedang mengkos ketika kuliah dulu."Ini kamar untuk saya sendiri, Bi?" tanyanya sopan karena lawan bicaranya sudah tua, seusia almarhumah ibunya."Iya, Nisa. Kamar aku ada di sebelah, panggil saja kalau ada yang dibutuhkan," ujar Bi Nia ramah, raut wajahnya menjadi lebih ramah, berbeda dengan yang pertama dilihat Nisa tadi, lebih waspada.Kamar itu begitu berantakan karena bekas kamar pengasuh anak majikan yang tiba-tiba mengundurkan diri."Baik, Bi. Bibi istirahat saja, biar Nisa yang membereskan semua ini," ujar Nisa sambil menangkap tangan Bi Nia yang akan menarik seprai dan sarung bantal.Lalu beliau mengambil seprai dan sarung bantal yang baru untuk Nisa. "Istirahatlah, besok bangunlah pagi-pagi untuk menyiapkan sarapan untuk Tuan Ferdi. Aku akan pergi mencari pengasuh baru buat bos kecil kita nanti," ujar beliau."Iya, Bi."*Nisa sudah bangun sebelum jam 5 pagi. Kebiasaannya bangun ketika masih memiliki balita untuk memberikan asi untuk anaknya, sekarang kegiatan itu berganti dengan dia yang harus mengosongkan payudaranya.Untungnya majikan baru Nisa yang ternyata duda beranak satu itu, terbiasa sarapan dengan roti isi dan kopi hitam. Pekerjaan mudah bagi Nisa yang tidak memiliki kepandaian dalam memasak.Sarapan Ferdi sudah siap ketika dia menuruni lantai 3 rumahnya, jadi ketika lelaki itu duduk di meja makan, Nisa sudah sibuk dengan cuciannya di teras belakang.Bi Nia dengan cekatan memberikan catatan untuk tugas Nisa di rumah itu, bahkan lengkap dengan jam berapa pekerjaan itu harus selesai dikerjakan terutama sarapan 2 beranak majikannya itu.TENG!Alarm di jam beker di dapur berbunyi, tanda dia harus menyiapkan sarapan untuk bos kecil. Yang sangat mengagumkan dikeluarga itu adalah penghuninya sangat tepat waktu dan sangat konsisten, bahkan anak berusia 5 tahun itu selalu bangun di jam delapan pagi.Bos kecil itu bernama Lana Ahmad, mengingatkan Nisa dengan anaknya yang juga bernama Lana, Maulana."Eyakh! Makanan apa ini? Kucing?" teriak Lana sambil meludahkan makanan di mulutnya.Sesuai instruksi, Nisa membuat Nasi goreng bayam untuk anak itu, tidak lupa dicampur dengan telor orek."Sarapan Den Lana, nasi goreng kesukaannya, kan?" ujar Nisa langsung melepas pekerjaannya menjemur pakaian begitu mendengar seruan menggelegar dari meja makan.Nisa tidak hanya sendirian pembantu di rumah itu. Ada pembantu yang membersihkan rumah, ada yang bertugas merawat kebun dan halaman, belum lagi ada 2 satpam yang menjaga area rumah itu."Ini bukan makanan kesukaanku! Ini bubul kucing, lembek!" teriaknya melengking.Tidak ada yang berani mendekati anak itu karena takut akan dipecat, sebab dikira sudah tidak becus menemani anak majikan."Siapa kamu? Mana Bi Nia yang beltugas memasak nasi goleng kesukaanku? Apa kamu mau dipecat juga, sepelti Yuni beloooo." Anak kecil yang bicaranya cadel itu melotot menyeramkan ke arah Nisa yang tergopoh-gopoh mendatangi meja makan."Bi Nia sedang keluar sebentar, jadi sarapan ini saya yang membuatnya," ujar Nisa begitu sudah sampai ke meja makan. "Apa Den Lana tidak menyukainya?" tanya Nisa lembut ketika melihat wajah mungil yang mendeliknya itu."Makan aja sendili!" Anak itu mendorong piring makannya menjauh.Nisa memakan sedikit hasil buatannya, memang terasa menggelikan karena terlalu lembek, apalagi sudah dingin. "Euh, benar, rasanya menggelikan," ujar Nisa menjulurkan lidahnya dengan mata terpejam sebelah, ekspresi yang disukai anaknya dahulu.Anak itu memang meliriknya dengan tertarik, tapi masih dengan sikap sangar yang ditunjukkannya. "Buatkan makanan yang lain, aku lapalll.""Of course, tentu saja, Tuan Muda. Makanan ini sudah tidak layak, saya akan membuatkan Anda makanan terenak di dunia," ujar Nisa dengan gaya Uncle Muthu di salah satu kartun.Wajah anak itu sudah mulai lemas dan memperhatikan Nisa yang sibuk di depan kompor. "Hei, aku gak boleh makan mie itu," serunya ketika Nisa membuka bungkus mi instan."Serius gak mau ini?" Nisa menunjukkan bungkus itu yang sudah terbuka separo.Anak itu jadi ragu, wajahnya menunjukkan kalau sebenarnya dia mau. Nisa meletakkan telunjuknya di depan bibir dan berbisik, "Ssst, asal Den Lana gak bilang-bilang, saya akan memberikan mie ini sedikit.""Aku mau semuanya," ucapnya tanpa pikir panjang."Umm... oke," ujar Nisa dengan gaya berpikir keras.Mie intan itu direbusnya dengan 2 telur dan dicampur sedikit sawi. Nisa menyajikan mie itu di mangkuk besar dan sepiring nasi."Makanlah dengan nasi biar kenyang, kalau gak habis biar saya yang menghabiskannya," ucap Nisa penuh kemenangan karena melihat binar bahagia di mata bos kecilnya."Kamu mau kemana, kamu halus disini menyuapiku. Bagaimana kalau kuah panas ini membakal lidahku, apa kamu mau beltanggung jawab. Bantu tiup!" Perintah pria kecil itu begitu Nisa berbalik akan kembali ke belakang. Wajahnya kembali sangar dan kaku.Nisa kembali dan duduk di samping Lana. Meniup mie instan itu dan menyuapinya. Begitu anak itu menyukainya, Nisa menyendok sedikit nasi dan memasukkan sendok itu ke mangkuk agar kuah mie itu sangkut ke dalam sendok."Mie nya juga," ucap Lana menunjuk mangkuk begitu anak itu cuma melahap nasi dan kuah, meminta Nisa menyuapkan mie nya ke mulut mungilnya.Nisa mengingat momen ketika anaknya yang masih berusia 7 bulan memakan mie goreng, anaknya itu suka makan sendiri dan Nisa membiarkannya meski makanannya berceceran ke pipi atau mengotori bajunya.Mata Nisa mulai berembun lalu berkaca-kaca karena anak majikannya itu mengingatkannya kepada almarhum anaknya."Jangan menghubungiku, apalagi tentang masa lalu. Tapi kalau kamu memohon untuk rujuk, aku bisa mempertimbangkannya." Ucapan Rif'at sebelum Nisa keluar rumah dengan menyeret koper besar, tiba-tiba mampir di kepalanya."Jangan terlalu banyak berharap, Mas. Hutang perawatan rumah sakit putra kita juga tidak akan aku pinta darimu, aku yang akan membayarnya lunas," jawab Nisa saat itu tanpa menoleh ke arah mantan suaminya.Dia tahu, Rif'at hanya ingin Nisa memohon ampun dan merasa bersalah. Pria itu terbiasa diagungkan seperti yang dilakukan oleh bawahannya di kantor dan dia suka ketika Nisa selalu bergantung padanya.Nisa menghembuskan nafasnya kasar melalui hidung lalu mendenguskan tawa. Mengingat penampilan mantan suaminya yang biasa saja, tanpa jas mengkilapnya Rif'at hanya terlihat seperti lelaki biasa yang tidak terurus, seluruh tubuhnya bau asap rokok dan matahari karena belum mandi padahal siang telah berganti dengan malam."Apa kamu sudah gila? Aku tidak mau diulus oleh olang gila," seru Lana tiba-tiba yang melihat Nisa tertawa sambil meneteskan airmata."Aku tidak mau diulus sama olang setles yang suka menangis sendili lalu teltawa, itu sungguh menakutkan. Apa kamu tau?" ujar Lana ketus, persis seperti ayahnya ketika Nisa pertama kali melihatnya."Eh, maaf Den Lana. Anda mengingatkan saya dengan anak saya, dia sangat suka makan mie." Nisa jadi salah tingkah ditegur oleh anak kecil. Tidak menyangka kalau dia bisa baper ketika berdekatan dengannya."Apaan, anak kok seling dikasih mie instan. Ini tuh makanan tidak sehaaaat," ujar anak kecil itu menasehati Nisa, padahal mie instan dihadapannya sudah habis dia makan."Iya, Den. Saya mengerti, hanya kali ini saja, ya. Jangan bilang-bilang sama Bi Nia, ya." Nisa mengarahkan telunjuknya ke dekat bibir anak itu.Lana langsung turun dari kursinya tanpa menjawab permintaan Nisa, berlari ke depan TV padahal mulutnya masih berminyak."Setelah saya selesai menjemur pakaian, kita mandi ya, Den Lana," seru Nisa, dia yakin anak kecil itu tidak memperhatikannya karena fokus anak kecil itu sudah ke mai
Nisa merasa ada yang meraba dadanya, meremasnya lalu mengulumnya. Dia mendengar suara desahan dirinya sendiri, karena merasakan geli di area sensitifnya juga. Tidak lama kemudian dia merasakan ada sesuatu yang basah menyentuh bibirnya, melumatnya dan menyerbu lidahnya.Aroma khas peroko ada disana. Nafas orang itu, air liur yang menyatu di lidahnya membuatnya ingin muntah, namun dia tidak mampu menolak, tidak mampu untuk bangun dan pergi dari situ. Kedua lengannya malah merangkul leher orang itu dan menerima setiap sentuhannya, sampai benda keras milik orang itu masuk ke area intimnya.Nisa membelalakkan matanya terbangun dari tidurnya.Nafasnya tersengal, entah kenapa dirinya mimpi melakukan adegan itu bersama mantan suaminya dan lebih mencengangkannya lagi, Nisa mendapati bagian bawah tubuhnya benar-benar basah.Dengan cepat Nisa pergi ke kamar mandi untuk menggosok giginya dan membersihkan tubuhnya. “Ya, ampun. Kenapa aku bisa bermimpi seperti itu? Bau menjijikkannya masih terasa
Orang-orang yang melihat dan yang bertemu langsung dengan Lana, mungkin berpendapat kalau anak itu adalah anak yang pintar, mandiri dan dapat diandalkan. Namun Nisa melihatnya berbeda, wanita itu merasa kasihan dengan anak yang baru berusia 5 tahun itu sudah harus mandiri, menahan emosinya untuk tidak menangis, bertahan tegar agar terlihat manis di hadapan sang ayah.Anak majikannya itu terlihat berusaha dewasa sebelum usianya, membentengi dirinya agar tidak bersifat seperti anak kecil yang cengeng, terutama di depan Ferdi Rahardian.Tapi setelah beberapa saat mereka sudah berada di taman tujuan mereka, Nisa ingin menarik semua pemikirannya.“Anak kecil tetap saja anak kecil, usilnya minta ampun. Apalagi ini anak laki, pasti senang melihat orang dewasa kesusahan,” gerutu Nisa sambil celingak celinguk mencari keberadaan Lana yang sudah menghilang dari pengawasan.Padahal anak kecil itu baru saja ada di dekat ayunan sebelum menyuruh Nisa membeli minuman.“Tapi, Den Lana tidak boleh minu
Sesorean itu, Nisa hanya memperhatikan Lana main dari jarak jauh, karena anak itu tidak memperbolehkannya mendekat. Sepertinya, Lana masih marah kepada Nisa mengenai di sekolah tadi.Lana memang anak yang pendendam, dia melakukan itu karena masih malu kepada Nisa, sebab wanita itu menggendongnya pagi-pagi dan menepuk-nepuk pantatnya, hal yang tidak pernah dirasakannya dengan ibu kandungnya sendiri. Dia merasa bersalah karena merasa nyaman, merasa bersalah terhadap ibunya."Den Lana, Aden mau sekolah tidak? Di sekolah nanti, Aden akan banyak teman. Jadi bisa menulis, membaca, juga berhitung." Nisa mencoba menarik perhatian anak kecil itu lagi, namun Lana masih asik dengan mainan legonya."Atau, Den Lana mau latihan dulu sama saya, kita beli alat tulisnya dulu, bagaimana?" Sambung Nisa semakin mendekat dan memasang beberapa lego yang dapat dijangkaunya. Lana yang tadinya berusaha tidak mempedulikan Nisa, meliriknya sebentar sebelum membuang pandangannya ketika Nisa juga menatapnya.Nis
"Ya, Ayah. Lana mau sekolah," ujar Lana antusias.Ferdi senang mendengarnya. "Kalau begitu, tidurlah lagi. Besok, ayah akan belikan semuanya.""Lana mau tas sekolah Boboiboy halilintal ya, Yah." Lana menarik-narik tangan ayahnya."Yang seperti apa itu?" tanya Ferdi tidak mengerti."Itu lho, kaltun yang seling Lana tonton," jawab Lana, berharap ayahnya mengerti. "Anak kecil yang sangat kuat, ada petil di sekelilingnya," lanjut Lana menjelaskan.Tetap saja Ferdi tidak paham acara anak-anak sekarang. "Ya, sudah. Nanti belinya sama Lana saja, ya.""Mbak Nisa juga ikut?" tanya Lana, karena dia tau pengasuhnya itu paham dengan kartun yang biasa ditontonnya, sering Nisa menyebutkan tokoh-tokoh pada kartun itu dengan benar."Boleh, nanti Lana lah yang ajak mbaknya," ujar Ferdi lega, anaknya masih antusias."Yes!" Lana terlihat senang.Anak itu langsung tertidur begitu Ferdi menyuruhnya, karena kalau Lana bangun kesiangan mereka akan batal pergi.*Karena hari itu hari sabtu dan Ferdi tidak m
“Ini lho, Mbak. Wanita ini mengganggu pemandangan toko saja. Sebaiknya kamu pergi dari sini, hey wanita pembawa sial.” Kekasih Rif’at mengibaskan tangannya ke arah Nisa.Ferdi yang baru saja menyelesaikan pembayarannya, melihat kalau Nisa dikerubungi orang, apalagi salah satu orang itu mantan suami Nisa sendiri, dengan bangganya sambil menggandeng mesra wanita seksi. Tentu dia mengerti apa yang sedang terjadi, pria itu mencoba mempermalukan pengasuh anaknya.“Ayah, apa Mbak Nisa dibully olang?” tanya Lana ketika dia juga melihat orang-orang yang terlihat mencaci Nisa.“Dari mana Lana tau tentang pembullyan?” Ferdi merasa anak seusia Lana aneh saja kalau tau tentang perundungan.“Ayah, Lana bukan hanya menonton kaltun di lumah, tapi belita juga,” jawab anak itu heran karena ayahnya masih menganggapnya hanya anak kecil ingusan.Ferdi tebahak. “Baik, ayah minta maaf karena sudah salah menilaimu. Ayo, kita bantu Mbak Nisa.”“Maaf, Mbak. Ada keperluan apa Mbak sampai berdiri di depan toko
Setelah mengatakan ancaman itu, Lucia langsung pergi meninggalkan 2 pembantu yang duduk di lantai sabil membersihkan sayur.Nisa dan Lala saling berpandangan, Lala memutar bola matanya seakan hal seperti itu sudah biasa sementara Nisa mengangkat kedua bahunya tidak peduli. Namun, setelah kejadian itu Lana menjadi kembali ke pengaturan awal lagi. Anak itu berubah kaku dan sering tidak mendengarkan ucapan Nisa, Lana lebih patuh dengan ucapan Bu Nia. Yang lebih mengherankannya lagi, Lala dan Ningsih yang biasanya ramah, sekarang jadi lebih cuek kepadanya.“Lho, Den Lana. Sudah hampir jam delapan, kenapa belum bangun juga?” Nisa mejenguk kamar majikan kecilnya, karena tidak biasanya anak itu kesiangan, dan anak itu terlihat masih terpejam dengan keringat membasahi keningnya.“Sudah, aku mau bobok sebental lagi saja, Mbak,” jawab Lana lalu membalik tubuhnya membelakangi Nisa.“Kamu panas sekali, Nak,” gumam Nisa saat tangannya mencoba memegang punggung Lana. Lalu keluar kamar untuk mencar
“Cepat, Nisa. Apa kamu mau aku terlambat ke kantor?” Ferdi datang kembali ke dapur setelah selesai menyantap rotinya, tidak sabar menunggu kemunculan Nisa yang begitu lama.“Tapi, Tuan. Apa ini seriusan?” tanya Nisa masih sulit mempercayai.“Iya, serius. Bukankah tadi malam sudah kujelaskan. Serahkan pekerjaan itu kepada Bi Nia,” ucap Ferdi yang melihat Nisa lagi-lagi berkutat dengan cucian.Nisa menatap Bi Nia yang sudah berdiri di belakang Ferdi, wanita baya itu mengedikkan kepalanya ke samping, menyuruh Nisa agar menyingkir.“Sebentar lagi, Den Lana bangun. Dia akan ke sekolah, kan. Demamnya sudah turun,” ucapnya masih tidak percaya, seakan keduanya bersekongkol untuk mengerjainya.“Lima menit. Aku menunggu di mobil.” Tanpa banyak bicara lagi, Ferdi meninggalkan keduanya.“Cepatlah, Nisa. Jangan membantah, turuti apa yang Tuan Ferdi katakan.” Bi Nia mengambil cucian yang ada di tangan Nisa.“Maafkan Nisa, Bi,” ucap Nisa sebelum meninggalkan beliau untuk bersiap.“Lama sekali, aku h
Sesuai janjinya kepada Bi Nia, Nisa membawa Lana untuk berjalan-jalan ke taman. Sesuai usul Mang Kardi, Nisa pun juga memanggil ojek online untuk membawa mereka pergi ke tempat tujuan yang jaraknya tidak terlalu jauh.“Hati-hati, Mbak. Kalau ada apa-apa, telpon saja Amang.” Pesan Mang Kardi ketika mereka sudah siap berangkat.“Siap, Mang,” jawab Nisa lalu motor yang membawa mereka mulai berjalan.Nisa memutuskan tetap membawa majikan kecilnya jalan-jalan sore itu, sesuai dengan pesan Bi Nia, meski dia tau kemungkinan kalau mereka sedang diawasi.Setelah sampai di taman, wanita itu tidak menyesal dengan keputusannya setelah melihat Lana yang begitu senang dan mencoba semua permainan yang ada di taman itu. Memang anak itu kalau setiap hari sabtu sore, selalu ke tempat itu, tapi tidak membuatnya membuatnya puas dengan semua permainan itu. Dia akan bermain mandi bola, memancing ikan dan menaiki odong-odong.Dan setelah satu jam mereka berada di taman, Nisa kembali melihat ada lelaki ting
Seperti biasa, Nisa membawa Lana pulang dengan berjalan kaki karena jarak antara sekolah dan rumahnya hanya berjarak 2 kompleks perumahan."Bagaimana, Mbak. Mau tidak jadi mamaku?" tanya Nisa sebel;um mereka sampai di rumah bertingkat 3."Apa ayahmu yang menyuruhmu, Den?""Jangan panggil aku Aden lagi.""Aku masih pengasuhmu lho, Den Lana," ujar Nisa tertawa."Aku hanya tidak ingin mereka memecatmu. Kalau kamu jadi mamaku, tentu mereka tidak akan berani memecatmu." Lana berlari masuk ke dalam pagar yang sudah dibuka Mang Kardi saat melihat mereka berjalan mendekat."Ngambek lagi, Mbak? Majikan kecil kita?" tanya Mang Kardi saat Nisa melewati beliau."Iya, Mang. Mungkin dia kecapekan," ujar Nisa beralasan.Nisa melongokkan kembali kepalanya melewati pagar setelah kakinya melangkah ke dalam, mengintip ke arah kedatangannya bersama Lana tadi.“Ada apa, Mbak?” tanya Mang Kardi heran melihat tingkah Nisa yang seperti anak kecil main petak umpet.“Ada yang membuntuti kita dari tadi, Mang,”
“Menikahlah denganku.” Ucapan Ferdi terus terngiang dalam benak Nisa.Dia tidak mampu berkata-kata saat di dalam ruang kerja lelaki itu, pikirannya berlarian kesana kemari. Sekarang pun masih, dia sedang berada di dapur dan sedang herpikir, 'kenapa bos kerennya itu bisa tertarik dengan janda seperti dirinya?'Sementara Ferdi juga sedang galau di ruangannya, dia merasa seperti kehilangan kharismanya.“Bagaimana kalau dia menolakku, aku tidak akan punya keberanian lagi untuk bertemu dengannya. Bodoh bodoh bodoh.” Ferdi memukul kepalanya seiring dengan umpatan yang dia lontarkan.“Seharusnya aku melakukan pendekatan terlebih dahulu. Dia pasti terkejut dengan pernyataanku tadi kan.” Ferdi menggaruk belakang kepalanya dengan kasar, sehingga rambut bagian belakangnya mencuat berantakan. Teringat ucapan kaki tangan sekaligus orang yang memberikan petuah cinta, begitu teman sekaligus bosnya curhat tentang seorang wanita. Lelaki seusia Ferdi yang bernama Herdiansyah. Lelaki yang dianggap sama
Merasa mendapat penolakan, membuat Ferdi diam sepanjang jalan. Sedangkan Nisa sering melirik ke samping, ke tempat Ferdi duduk di belakang kemudi, khawatir kalau lelaki itu marah atas sikapnya yang tanpa pikir panjang menampik perhatian majikannya yang tidak biasa.Ferdi menutup erat mulutnya, bahkan kalau perlu menahan nafasnya juga. Dia tidak pernah mendapat penolakan dari wanita manapun karena dia memang tidak pernah membuka hatinya kepada lawan jenis, setelah dikhianati oleh gebetannya sewaktu kuliah dulu.Bahkan ketika sampai ke rumah pun, Ferdi masih tetap tidak mau membuka mulutnya, padahal biasanya dia akan bicara walau tanpa ekspresi, “harus sudah stand by jam 8 pagi besok di mobil, setelah mengantar Lana sekolah lanjut ke kantor.”“Apa dia marah karena ku tolak papahannya tadi? Huh, kekanak-kanakan sekali. Lagian mana mungkin aku mau digandeng oleh bosku sendiri sementara banyak mata yang memperhatikan kami, apa dia tidak memikirkan reputasinya?” gumam Nisa bertanya-tanya sa
"Apa Mbak Nisa dan ayah berpacaran?" tanya Lana ketika mereka sudah sampai di mall dengan diantar oleh sopir kantor."Kenapa Den Lana bisa berpikir begitu?" tanya Nisa terkejut karena anak sekecil itu bisa tau mengenai pacaran."Sama seperti ibu yang sering bawa lelaki ke rumah. Ibu bilang itu pacar ibu, mereka sering makan malam bersama. Mbak bakal pergi makan malam dengan ayah, kan?" ujar Lana, masih menggengam tangan Nisa yang menggandengnya dari ketika mereka turun dari mobil, karena anak itu sering berlari-lari hingga Nisa kesulitan mengejarnya."Kami bukan hanya makan berdua saja, Lana. Tapi juga ada klien Tuan Ferdi." Nisa memilih menjawab Lana dengan gaya dewasa, karena dia yakin dengan gaya anak itu mungkin bisa mengerti."Kalau klien perusahaan, kenapa tidak bertemu di kantor saja, Mbak. Kenapa harus makan malam?" Tuh kan, anak itu sedikit banyaknya sudah mengerti."Iya kalau klien kantor, tapi ini klien Tuan Ferdi dan beliau sedang merayakan ulang tahunnya yang ke - 70.""W
"Maaf, Mbak. Mbaknya ngomong sama siapa, ya?" Tiba-tiba seorang pemuda menyapa Nisa yang berbicara sendiri. Dari raut pemuda itu terlihat waspada sambil mengedarkan matanya di sekeliling Nisa."Saya pikir, Mbak tadi bicara dengan ponsel, tapi saya liat-liat lagi, tidak ada headset di lubang telinganya." Pemuda itu menatap Nisa dengan ketakutan.Nisa yang juga terkejut, heran melihat reaksi pemuda itu. "Oh, maaf mengagetkanmu. Saya hanya sedikit stres dengan pekerjaan hari ini," ujar Nisa beralasan."Oh, syukurlah." Pemuda itu menghembuskan nafasnya lega, karena sempat mengira kalau Nisa sedang berbicara dengan makhluk tak kasat mata."Pegawai baru, ya?" tanya Nisa yang merasa lucu melihat pemuda itu membuang keteganganya."Iya, Mbak. Baru 2 bulan, masih masa percobaan," jawabnya santai kemudian."Semoga betah, ya." Setelah Nisa mengatakan itu, lift yang akan turun ke lantai dasar berhenti di lantai 3."Duluan, ya," lanjut Nisa yang diangguki sopan oleh pemuda tadi.Nisa mendengar keri
Lucia yang dikenal sebagai artis cantik, namun tanpa talenta yang membanggakan, nyatanya hal itu memang benar.Tapi, karirnya lebih bagus dari artis yang memiliki kemampuan akting yang mumpuni. Hal ini karena yang dilakukannya saat ini, bergelut dengan sang sutradara di dalam kamar yang panas nan menggairahkan."Janji ya, Mas. Kamu bakal mengasih peran buatku di film barumu," ujar Lucia kepada lelaki tambun yang sekarang sedang memeluknya. Keringat keduanya sudah membeku akibat AC yang dinyalakan sangat kencang.Pip pip pip. Lelaki itu menurunkan AC 3 tingkat, sekarang udara di kamar itu lebih ke sejuk daripada dingin."Iya, pasti. Kamu tenang saja, yang penting kamu berakting yang bagus saat audisi nanti," ujar lelaki tambun itu sambil memeluk Lucia dan sesekali memelintir puncak gunung mas milik wanita itu."Kenapa harus seleksi lagi sih, kenapa tidak langsung jadikan aku sebagai tokoh utama wanita?" Protes Lucia manja."Aku tidak bisa melakukan itu, Sayang. Karena ini kerja tim. Se
Bi Nia adalah bibinya Lucia. Kakak dari almarhumah ibu dari wanita itu. Bi Nia itulah yang menjadi mata-mata di rumah Ferdi, dan yang mengatur semua pekerja di rumah mantan suami keponakannya bahkan membuat pengasuh Lana dipecat karena tidak mau menuruti kemauan mereka.“Aku akan mencari cara agar wanita itu keluar dari rumah Ferdi. Aku tidak akan menyerah sebelum mendapatkan uang yang banyak dari Ferdi.” Ikrar Lucia.“Tapi, Lucy. Apa hanya uang yang kamu pikirkan, apa kamu tidak mau kembali lagi dengan pria mapan itu?” Bi Nia mengambil beberapa barang dan menambah tumpukan di keranjang dorongnya.“Oh, tidaklah, Bi. Pria itu begitu kaku, belum lagi ibunya yang cerewet. Aku hanya tidak suka kalau dia hidup tenang, apalagi menjalin hubungan yang damai dengan lawan jenis.” Lucia tersenyum licik.“Cih, persis ibumu. Aku hanya ingin uang, Lucy. Kamu tau kan anakku yang sekolah di luar negri sangat boros.”“Bibi tenang saja, sebentar lagi aku mendapat proyek yang besar.” Bi Nia menatapnya b
Esok harinya, sebelum bersiap berangkat ke kantor, Nisa menyempatkan diri untuk mencuci pakaian yang memang sudah di tumpuk oleh Lala di samping mesin cuci.Tiba-tiba Ningsih menghampirinya dan tanpa kata mengambil pakaian yang ada di tangan Nisa, lalu mulai memilah-milah pakaian untuk dicuci. Padahal pekerjaan wanita yang sebaya dengannya itu adalah mengurusi taman di rumah itu.“Sudah tinggalin saja, Nisa. Kamu siapin sarapan Tuan, sebelum beliau mencari kamu seperti semalam,” ujar Bi Nia. Tiba-tiba beliau muncul dan melihat Nisa yang tidak bergerak sambil menatap Ningsih dengan bingung.Nisa cuma bisa menurut dan akhirnya meninggalkan Ningsih yang masih diam, meski dia bertanya-tanya ketika dia berjalan menjauh, dia mendengar bisikan antara Bi Nia dan Ningsih.“Mbak Nisa, aku mau makan roti lapis kayak ayah,” seru Lana melompat dari anak tangga terakhir.“Lho, Den Lana sudah mandi? Mandi sama siapa?” Nisa mengelus pucuk kepala anak majikannya begitu sampai ke sampingnya. Anak kecil