Tiba-tiba datang seorang lelaki berusia Tiga Puluh tahunan lebih, masih memakai pakaian kantor. Jas mengkilap dengan celana rapi padahal hari sudah hampir gelap, namun garis celana bekas setrikaan masih jelas tercetak di kaki panjangnya.
"Apa Anda suami Nisa? Dia ada di dalam," ucap Ferdi sambil berdiri ketika pria itu berhenti tepat di depannya. Memandangnya dengan tatapan merendahkan karena pakaian yang dikenakan Ferdi saat itu sangat lusuh, dan usianya terlihat lebih muda darinya.Tanpa kata, pria itu memasuki ruangan Nisa dan berdeham cukup keras, mengagetkan wanita itu.Nisa membalikkan badannya ke arah suara. "Kenapa kamu datang?" tanyanya terkejut begitu melihat kehadiran sang suami.Rif'at, suami Nisa mengangkat ujung bibirnya tersenyum sinis, menatap Nisa dengan tatapan jijik karena penampakan wanita itu sangat menyedihkan. Mata bengkak dengan wajah sembabnya."Bukankah kamu yang memintaku datang. Kenapa ekspresimu seperti itu? Dasar cewek mesum." Tuduhnya tanpa belas kasihanNisa semakin terkejut mendengar tuduhan suaminya. "Apa maksud kamu, Mas. Aku senang kamu mau datang, aku terkejut karena mengira kalau kamu tidak mungkin mau datang kesini, tapi nyatanya kamu muncul," jawab Nisa jujur.Dia dengan sekuat tenaga melawan sakit di kepalanya agar bisa duduk bersandar ke kepala pembaringannya, suaminya itu hanya menonton saja tanpa mau membantu."Alasan! Kamu selingkuh di belakangku kan! Lelaki itu pacar gelapmu, kan!" bentak Rif'at sambil menyentakkan kepalanya ke arah luar ruangan.Nisa berjengit mendengar bentakan itu. "Bukannya kamu yang selingkuh, Mas. Kenapa melempar tuduhan tak berdasar kepadaku?" ucap Nisa pelan namun tegas, dia tidak ingin ada orang yang terganggu dengan perdebatan mereka, apalagi mereka ada di rumah sakit."Cih, aku sudah muak sama kamu, Nisa. lebih baik kita sampai disini saja, lepas pulang nanti bereskan semua barangmu dan pergi dari rumahku," ucap Rif'at dingin."A-apaaa maksud kamu, Mas?" tanya Nisa bingung."Kamu ku ceraikan. Kamu ku talak, sekarang kamu hanya mantan istriku saja." Selesai mengucapkan kalimat itu, Rif'at pergi meninggalkan Nisa yang masih syok.Ferdi yang masih menunggu diluar, duduk di kursi panjang, heran melihat Rif'at pergi begitu saja. Memang dia mendengar sedikit pembicaraan mereka, tapi dia juga ikut syok mendengar kata cerai keluar dengan mudahnya dari mulut pria yang terlihat lebih dewasa darinya.Rif'at sangat mirip dengan mantan istrinya yang suka minta cerai padahal dirinya sangat memegang teguh agar kata talak itu tidak keluar dari mulutnya, hingga ibu dari anaknya itu menggugatnya ke pengadilan dan memaksanya melepas ikatan suci itu yang berakibat fatal dengan perkembangan anaknya.Ferdi beranjak dari kursinya dan kembali masuk ke ruangan, melihat Nisa yang duduk di pinggir brankar dengan kaki terjulur, sepertinya wanita itu sangat syok."A-aku... antar aku pulang saja. Aku tidak apa-apa," ujar Nisa pelan, terdengar jelas kesedihan di suaranya.Ferdi tidak tega melihat Nisa yang terpukul, dijenguk suami bukannya dikasihani dan mendapat kenyamanan malah dicerai. Sudah terpuruk malah didorong ke jurang yang paling dalam."Baiklah, tunggu sebentar, aku akan mengurus administrasinya dulu," ujar Ferdi akhirnya lalu kembali berjalan keluar meninggalkan Nisa."Maaf, aku mendengar pembicaraan kalian tadi. Apa kamu mau diantar ke rumah suamimu?" tanya Ferdi menghentikan langkahnya ketika tiba di ambang pintu dan berbalik menatap Nisa.Nisa mengangguk. "Aku harus membereskan semua pakaianku, kan?" ucapnya dan air matanya kembali mengalir tanpa bisa dicegah."Lalu, apa rencanamu selanjutnya?" tanya Ferdi penasaran."Mencari pekerjaan. Sebagai pembantu pun boleh karena diusiaku seperti ini belum tentu dapat bekerja di kantoran. Aku butuh uang dengan cepat," jawab Nisa, rencana itu terlintas di kepalanya begitu saja."Kalau begitu, aku bisa kasih kamu pekerjaan kalau kamu mau. Kebetulan pengasuh anakku mengundurkan diri hari ini," ujar Ferdi lagi.Nisa mengangkat wajahnya menatap Ferdi bagai penolongnya. "Boleh, aku mau," jawabnya penuh rasa terimakasih.*Mengurus administrasinya tidak terlalu memakan waktu yang lama. Kalaupun Ferdi melepaskan tanggung jawabnya, dia akan pergi meninggalkan Nisa dari tadi. Tapi dia tidak ingin ada masalah dikemudian hari, apalagi seandainya korbannya mengetahui siapa dia sebenarnya dan menggunakan kejadian ini untuk memerasnya.Ferdi tersentak karena saat berbalik, Nisa sudah ada di belakanganya. "Kenapa kamu sudah disini? Apa kamu melepas infus itu sendiri?"Nisa menggeleng. "Ada perawat yang masuk ke ruangan dan kubilang mau keluar, administrasi sedang diurus," jawabnya lemah yang ingin cepat-cepat keluar dari rumah sakit itu.Setelah mendapat jawaban dari Nisa, Ferdi berjalan keluar menuju mobilnya tanpa suara, membiarkan Nisa mengikutinya dalam diam."Bagaimana kalau aku bekerja sebagai pembantu saja? Aku tidak percaya diri kalau harus mengurus anak kecil," ujar Nisa ketika Ferdi membuka pintu mobil.Ferdi terdiam sejenak, berpikir tentang Nisa yang mungkin saja masih berkabung. "Baiklah, tidak masalah," jawab Ferdi akhirnya."Anu... apa ada rumah yang disewakan di dekat tempat tinggalmu?" tanya Nisa lagi sebelum Ferdi memasuki mobilnya.Ferdi menarik kembali kakinya yang hampir menaiki mobil. "Kamu bisa tinggal di rumahku. Aku suka pekerja yang stand by Dua Puluh Empat jam," jawabnya mulai tidak sabaran, lalu masuk ke dalam mobil dengan cepat."Apa yang kamu lakukan? Kenapa duduk di belakang? Memangnya aku sopir kamu?" ujar Ferdi ketika Nisa dengan mulusnya membuka pintu mobil dan duduk di kursi penumpang."Oh, maaf," cicit Nisa terkejut."Cepat pindah ke depan," perintah Ferdi."Ba-baik," jawab Nisa gelagapan. Menghembuskan nafasnya gugup karena perbedaan sifat yang telah ditunjukkan lelaki itu. "Menyeramkan," gumam Nisa bergidik.Seandainya dia tidak butuh pekerjaan, mungkin dia tidak akan menerima tawaran lelaki ini. Tapi dia harus sudah mendapat pekerjaan dan menerima gaji bulan depan, karena dia sudah akan memulai angsuran pinjolnya bulan depan."Dimana rumahmu?" tanya Ferdi setelah mereka keluar dari area rumah sakit.Nisa mengatakan alamatnya yang ternyata merupakan perumahan yang cukup mewah, perumahan milik Ferdi. Ferdi jadi penasaran mengenai mantan suami Nisa, apa pekerjaannya dan bekerja di perusahaan mana sehingga mampu tinggal di perumahan miliknya yang tentu saja tidak murah.Ternyata Rif'at ada di rumah, mobil sedan milik lelaki itu terparkir di teras rumahnya."Aku menunggumu disini atau ku suruh sopir menjemputmu nanti?" tanya Ferdi melihat mobil yang berwarna sama dengan miliknya, hitam mengkilap namun dengan jenis yang berbeda."Terserah Anda, Tuan," jawab Nisa mengubah penyebutannya terhadap Ferdi karena status mereka sudah berubah, majikan dan pembantu, apalagi setelah mendengar keketusan lelaki itu tadi.Ferdi mengangkat sebelah alisnya menatap Nisa karena merasa aneh dengan sebutan itu, sesaat dia merasa Nisa seperti menciut di tempat duduknya."Baiklah, kalau begitu aku menunggu disini saja," ujarnya akhirnya.Saat Nisa memasuki pekarangan rumah suaminya, dia melihat sekelebat bayangan Rif'at dari kaca depan. Sepertinya pria itu habis mengintipnya di jendela kaca."Oh, jadi benar kan kalau kamu selingkuh. Kamu senang kan, karena sudah bercerai denganku, kalian bisa tinggal bersama sekarang!" Suara Rif'at dengan nada puas langsung menghantam telinga Nisa begitu dia membuka pintu depan."Apa maksudmu, Mas? Aku datang hanya untuk mengambil barang-barangku, jangan memulai pertengkaran baru," ujar Nisa lemah, bahkan untuk tersentak karena dikagetkan oleh suaminya pun sudah tidak mampu."Lelaki itu yang di rumah sakit tadi, kan? Selingkuhanmu yang berpura-pura menjadi penabrakmu padahal dia sedang menjengukmu, kan?" ujar Rif'at lagi dengan bersemangat sambil menunjuk ke arah mobil Ferdi yang parkir di depan rumahnya."Teruskan imajinasimu, Mas. Aku capek, kita sudah tidak punya hubungan lagi kan, Mantan?" sahut Nisa asal."Bilang saja kalau kamu senang sudah dicerai olehku. Sudah lalai menjaga anakku, sekarang malah terang-terangan menunjukkan selingkuhan di depanku," ujar Rif'at keras, tidak beranjak dari tempatnya berdiri sementara Nisa menyentuh kepalanya yang mulai berdenyut."Jangan melawak kamu, Mas. Putraku sakit karena asap rokokmu itu! Putra kita terkena radang pernapasan karena menjadi perokok pasif, Mas, karena menghirup asap rokokmu. Seharusnya kamu menurut de
"Ayo, Non. Ikuti bibi ke dalam," ucap Bi Nia setelah melihat orang yang dimaksud oleh Ferdi, menuruni mobil."Panggil saja Nisa, Bi. Gak usah pakai 'non'," balas Nisa merasa tidak enak.Nisa memasuki kamar yang cukup besar untuk ukuran asisten rumah tangga. Bahkan memiliki kamar mandi sendiri, dia merasa seperti sedang mengkos ketika kuliah dulu."Ini kamar untuk saya sendiri, Bi?" tanyanya sopan karena lawan bicaranya sudah tua, seusia almarhumah ibunya."Iya, Nisa. Kamar aku ada di sebelah, panggil saja kalau ada yang dibutuhkan," ujar Bi Nia ramah, raut wajahnya menjadi lebih ramah, berbeda dengan yang pertama dilihat Nisa tadi, lebih waspada.Kamar itu begitu berantakan karena bekas kamar pengasuh anak majikan yang tiba-tiba mengundurkan diri. "Baik, Bi. Bibi istirahat saja, biar Nisa yang membereskan semua ini," ujar Nisa sambil menangkap tangan Bi Nia yang akan menarik seprai dan sarung bantal.Lalu beliau mengambil seprai dan sarung bantal yang baru untuk Nisa. "Istirahatlah, b
"Aku tidak mau diulus sama olang setles yang suka menangis sendili lalu teltawa, itu sungguh menakutkan. Apa kamu tau?" ujar Lana ketus, persis seperti ayahnya ketika Nisa pertama kali melihatnya."Eh, maaf Den Lana. Anda mengingatkan saya dengan anak saya, dia sangat suka makan mie." Nisa jadi salah tingkah ditegur oleh anak kecil. Tidak menyangka kalau dia bisa baper ketika berdekatan dengannya."Apaan, anak kok seling dikasih mie instan. Ini tuh makanan tidak sehaaaat," ujar anak kecil itu menasehati Nisa, padahal mie instan dihadapannya sudah habis dia makan."Iya, Den. Saya mengerti, hanya kali ini saja, ya. Jangan bilang-bilang sama Bi Nia, ya." Nisa mengarahkan telunjuknya ke dekat bibir anak itu.Lana langsung turun dari kursinya tanpa menjawab permintaan Nisa, berlari ke depan TV padahal mulutnya masih berminyak."Setelah saya selesai menjemur pakaian, kita mandi ya, Den Lana," seru Nisa, dia yakin anak kecil itu tidak memperhatikannya karena fokus anak kecil itu sudah ke mai
Nisa merasa ada yang meraba dadanya, meremasnya lalu mengulumnya. Dia mendengar suara desahan dirinya sendiri, karena merasakan geli di area sensitifnya juga. Tidak lama kemudian dia merasakan ada sesuatu yang basah menyentuh bibirnya, melumatnya dan menyerbu lidahnya.Aroma khas peroko ada disana. Nafas orang itu, air liur yang menyatu di lidahnya membuatnya ingin muntah, namun dia tidak mampu menolak, tidak mampu untuk bangun dan pergi dari situ. Kedua lengannya malah merangkul leher orang itu dan menerima setiap sentuhannya, sampai benda keras milik orang itu masuk ke area intimnya.Nisa membelalakkan matanya terbangun dari tidurnya.Nafasnya tersengal, entah kenapa dirinya mimpi melakukan adegan itu bersama mantan suaminya dan lebih mencengangkannya lagi, Nisa mendapati bagian bawah tubuhnya benar-benar basah.Dengan cepat Nisa pergi ke kamar mandi untuk menggosok giginya dan membersihkan tubuhnya. “Ya, ampun. Kenapa aku bisa bermimpi seperti itu? Bau menjijikkannya masih terasa
Orang-orang yang melihat dan yang bertemu langsung dengan Lana, mungkin berpendapat kalau anak itu adalah anak yang pintar, mandiri dan dapat diandalkan. Namun Nisa melihatnya berbeda, wanita itu merasa kasihan dengan anak yang baru berusia 5 tahun itu sudah harus mandiri, menahan emosinya untuk tidak menangis, bertahan tegar agar terlihat manis di hadapan sang ayah.Anak majikannya itu terlihat berusaha dewasa sebelum usianya, membentengi dirinya agar tidak bersifat seperti anak kecil yang cengeng, terutama di depan Ferdi Rahardian.Tapi setelah beberapa saat mereka sudah berada di taman tujuan mereka, Nisa ingin menarik semua pemikirannya.“Anak kecil tetap saja anak kecil, usilnya minta ampun. Apalagi ini anak laki, pasti senang melihat orang dewasa kesusahan,” gerutu Nisa sambil celingak celinguk mencari keberadaan Lana yang sudah menghilang dari pengawasan.Padahal anak kecil itu baru saja ada di dekat ayunan sebelum menyuruh Nisa membeli minuman.“Tapi, Den Lana tidak boleh minu
Sesorean itu, Nisa hanya memperhatikan Lana main dari jarak jauh, karena anak itu tidak memperbolehkannya mendekat. Sepertinya, Lana masih marah kepada Nisa mengenai di sekolah tadi.Lana memang anak yang pendendam, dia melakukan itu karena masih malu kepada Nisa, sebab wanita itu menggendongnya pagi-pagi dan menepuk-nepuk pantatnya, hal yang tidak pernah dirasakannya dengan ibu kandungnya sendiri. Dia merasa bersalah karena merasa nyaman, merasa bersalah terhadap ibunya."Den Lana, Aden mau sekolah tidak? Di sekolah nanti, Aden akan banyak teman. Jadi bisa menulis, membaca, juga berhitung." Nisa mencoba menarik perhatian anak kecil itu lagi, namun Lana masih asik dengan mainan legonya."Atau, Den Lana mau latihan dulu sama saya, kita beli alat tulisnya dulu, bagaimana?" Sambung Nisa semakin mendekat dan memasang beberapa lego yang dapat dijangkaunya. Lana yang tadinya berusaha tidak mempedulikan Nisa, meliriknya sebentar sebelum membuang pandangannya ketika Nisa juga menatapnya.Nis
"Ya, Ayah. Lana mau sekolah," ujar Lana antusias.Ferdi senang mendengarnya. "Kalau begitu, tidurlah lagi. Besok, ayah akan belikan semuanya.""Lana mau tas sekolah Boboiboy halilintal ya, Yah." Lana menarik-narik tangan ayahnya."Yang seperti apa itu?" tanya Ferdi tidak mengerti."Itu lho, kaltun yang seling Lana tonton," jawab Lana, berharap ayahnya mengerti. "Anak kecil yang sangat kuat, ada petil di sekelilingnya," lanjut Lana menjelaskan.Tetap saja Ferdi tidak paham acara anak-anak sekarang. "Ya, sudah. Nanti belinya sama Lana saja, ya.""Mbak Nisa juga ikut?" tanya Lana, karena dia tau pengasuhnya itu paham dengan kartun yang biasa ditontonnya, sering Nisa menyebutkan tokoh-tokoh pada kartun itu dengan benar."Boleh, nanti Lana lah yang ajak mbaknya," ujar Ferdi lega, anaknya masih antusias."Yes!" Lana terlihat senang.Anak itu langsung tertidur begitu Ferdi menyuruhnya, karena kalau Lana bangun kesiangan mereka akan batal pergi.*Karena hari itu hari sabtu dan Ferdi tidak m
“Ini lho, Mbak. Wanita ini mengganggu pemandangan toko saja. Sebaiknya kamu pergi dari sini, hey wanita pembawa sial.” Kekasih Rif’at mengibaskan tangannya ke arah Nisa.Ferdi yang baru saja menyelesaikan pembayarannya, melihat kalau Nisa dikerubungi orang, apalagi salah satu orang itu mantan suami Nisa sendiri, dengan bangganya sambil menggandeng mesra wanita seksi. Tentu dia mengerti apa yang sedang terjadi, pria itu mencoba mempermalukan pengasuh anaknya.“Ayah, apa Mbak Nisa dibully olang?” tanya Lana ketika dia juga melihat orang-orang yang terlihat mencaci Nisa.“Dari mana Lana tau tentang pembullyan?” Ferdi merasa anak seusia Lana aneh saja kalau tau tentang perundungan.“Ayah, Lana bukan hanya menonton kaltun di lumah, tapi belita juga,” jawab anak itu heran karena ayahnya masih menganggapnya hanya anak kecil ingusan.Ferdi tebahak. “Baik, ayah minta maaf karena sudah salah menilaimu. Ayo, kita bantu Mbak Nisa.”“Maaf, Mbak. Ada keperluan apa Mbak sampai berdiri di depan toko
Sesuai janjinya kepada Bi Nia, Nisa membawa Lana untuk berjalan-jalan ke taman. Sesuai usul Mang Kardi, Nisa pun juga memanggil ojek online untuk membawa mereka pergi ke tempat tujuan yang jaraknya tidak terlalu jauh.“Hati-hati, Mbak. Kalau ada apa-apa, telpon saja Amang.” Pesan Mang Kardi ketika mereka sudah siap berangkat.“Siap, Mang,” jawab Nisa lalu motor yang membawa mereka mulai berjalan.Nisa memutuskan tetap membawa majikan kecilnya jalan-jalan sore itu, sesuai dengan pesan Bi Nia, meski dia tau kemungkinan kalau mereka sedang diawasi.Setelah sampai di taman, wanita itu tidak menyesal dengan keputusannya setelah melihat Lana yang begitu senang dan mencoba semua permainan yang ada di taman itu. Memang anak itu kalau setiap hari sabtu sore, selalu ke tempat itu, tapi tidak membuatnya membuatnya puas dengan semua permainan itu. Dia akan bermain mandi bola, memancing ikan dan menaiki odong-odong.Dan setelah satu jam mereka berada di taman, Nisa kembali melihat ada lelaki ting
Seperti biasa, Nisa membawa Lana pulang dengan berjalan kaki karena jarak antara sekolah dan rumahnya hanya berjarak 2 kompleks perumahan."Bagaimana, Mbak. Mau tidak jadi mamaku?" tanya Nisa sebel;um mereka sampai di rumah bertingkat 3."Apa ayahmu yang menyuruhmu, Den?""Jangan panggil aku Aden lagi.""Aku masih pengasuhmu lho, Den Lana," ujar Nisa tertawa."Aku hanya tidak ingin mereka memecatmu. Kalau kamu jadi mamaku, tentu mereka tidak akan berani memecatmu." Lana berlari masuk ke dalam pagar yang sudah dibuka Mang Kardi saat melihat mereka berjalan mendekat."Ngambek lagi, Mbak? Majikan kecil kita?" tanya Mang Kardi saat Nisa melewati beliau."Iya, Mang. Mungkin dia kecapekan," ujar Nisa beralasan.Nisa melongokkan kembali kepalanya melewati pagar setelah kakinya melangkah ke dalam, mengintip ke arah kedatangannya bersama Lana tadi.“Ada apa, Mbak?” tanya Mang Kardi heran melihat tingkah Nisa yang seperti anak kecil main petak umpet.“Ada yang membuntuti kita dari tadi, Mang,”
“Menikahlah denganku.” Ucapan Ferdi terus terngiang dalam benak Nisa.Dia tidak mampu berkata-kata saat di dalam ruang kerja lelaki itu, pikirannya berlarian kesana kemari. Sekarang pun masih, dia sedang berada di dapur dan sedang herpikir, 'kenapa bos kerennya itu bisa tertarik dengan janda seperti dirinya?'Sementara Ferdi juga sedang galau di ruangannya, dia merasa seperti kehilangan kharismanya.“Bagaimana kalau dia menolakku, aku tidak akan punya keberanian lagi untuk bertemu dengannya. Bodoh bodoh bodoh.” Ferdi memukul kepalanya seiring dengan umpatan yang dia lontarkan.“Seharusnya aku melakukan pendekatan terlebih dahulu. Dia pasti terkejut dengan pernyataanku tadi kan.” Ferdi menggaruk belakang kepalanya dengan kasar, sehingga rambut bagian belakangnya mencuat berantakan. Teringat ucapan kaki tangan sekaligus orang yang memberikan petuah cinta, begitu teman sekaligus bosnya curhat tentang seorang wanita. Lelaki seusia Ferdi yang bernama Herdiansyah. Lelaki yang dianggap sama
Merasa mendapat penolakan, membuat Ferdi diam sepanjang jalan. Sedangkan Nisa sering melirik ke samping, ke tempat Ferdi duduk di belakang kemudi, khawatir kalau lelaki itu marah atas sikapnya yang tanpa pikir panjang menampik perhatian majikannya yang tidak biasa.Ferdi menutup erat mulutnya, bahkan kalau perlu menahan nafasnya juga. Dia tidak pernah mendapat penolakan dari wanita manapun karena dia memang tidak pernah membuka hatinya kepada lawan jenis, setelah dikhianati oleh gebetannya sewaktu kuliah dulu.Bahkan ketika sampai ke rumah pun, Ferdi masih tetap tidak mau membuka mulutnya, padahal biasanya dia akan bicara walau tanpa ekspresi, “harus sudah stand by jam 8 pagi besok di mobil, setelah mengantar Lana sekolah lanjut ke kantor.”“Apa dia marah karena ku tolak papahannya tadi? Huh, kekanak-kanakan sekali. Lagian mana mungkin aku mau digandeng oleh bosku sendiri sementara banyak mata yang memperhatikan kami, apa dia tidak memikirkan reputasinya?” gumam Nisa bertanya-tanya sa
"Apa Mbak Nisa dan ayah berpacaran?" tanya Lana ketika mereka sudah sampai di mall dengan diantar oleh sopir kantor."Kenapa Den Lana bisa berpikir begitu?" tanya Nisa terkejut karena anak sekecil itu bisa tau mengenai pacaran."Sama seperti ibu yang sering bawa lelaki ke rumah. Ibu bilang itu pacar ibu, mereka sering makan malam bersama. Mbak bakal pergi makan malam dengan ayah, kan?" ujar Lana, masih menggengam tangan Nisa yang menggandengnya dari ketika mereka turun dari mobil, karena anak itu sering berlari-lari hingga Nisa kesulitan mengejarnya."Kami bukan hanya makan berdua saja, Lana. Tapi juga ada klien Tuan Ferdi." Nisa memilih menjawab Lana dengan gaya dewasa, karena dia yakin dengan gaya anak itu mungkin bisa mengerti."Kalau klien perusahaan, kenapa tidak bertemu di kantor saja, Mbak. Kenapa harus makan malam?" Tuh kan, anak itu sedikit banyaknya sudah mengerti."Iya kalau klien kantor, tapi ini klien Tuan Ferdi dan beliau sedang merayakan ulang tahunnya yang ke - 70.""W
"Maaf, Mbak. Mbaknya ngomong sama siapa, ya?" Tiba-tiba seorang pemuda menyapa Nisa yang berbicara sendiri. Dari raut pemuda itu terlihat waspada sambil mengedarkan matanya di sekeliling Nisa."Saya pikir, Mbak tadi bicara dengan ponsel, tapi saya liat-liat lagi, tidak ada headset di lubang telinganya." Pemuda itu menatap Nisa dengan ketakutan.Nisa yang juga terkejut, heran melihat reaksi pemuda itu. "Oh, maaf mengagetkanmu. Saya hanya sedikit stres dengan pekerjaan hari ini," ujar Nisa beralasan."Oh, syukurlah." Pemuda itu menghembuskan nafasnya lega, karena sempat mengira kalau Nisa sedang berbicara dengan makhluk tak kasat mata."Pegawai baru, ya?" tanya Nisa yang merasa lucu melihat pemuda itu membuang keteganganya."Iya, Mbak. Baru 2 bulan, masih masa percobaan," jawabnya santai kemudian."Semoga betah, ya." Setelah Nisa mengatakan itu, lift yang akan turun ke lantai dasar berhenti di lantai 3."Duluan, ya," lanjut Nisa yang diangguki sopan oleh pemuda tadi.Nisa mendengar keri
Lucia yang dikenal sebagai artis cantik, namun tanpa talenta yang membanggakan, nyatanya hal itu memang benar.Tapi, karirnya lebih bagus dari artis yang memiliki kemampuan akting yang mumpuni. Hal ini karena yang dilakukannya saat ini, bergelut dengan sang sutradara di dalam kamar yang panas nan menggairahkan."Janji ya, Mas. Kamu bakal mengasih peran buatku di film barumu," ujar Lucia kepada lelaki tambun yang sekarang sedang memeluknya. Keringat keduanya sudah membeku akibat AC yang dinyalakan sangat kencang.Pip pip pip. Lelaki itu menurunkan AC 3 tingkat, sekarang udara di kamar itu lebih ke sejuk daripada dingin."Iya, pasti. Kamu tenang saja, yang penting kamu berakting yang bagus saat audisi nanti," ujar lelaki tambun itu sambil memeluk Lucia dan sesekali memelintir puncak gunung mas milik wanita itu."Kenapa harus seleksi lagi sih, kenapa tidak langsung jadikan aku sebagai tokoh utama wanita?" Protes Lucia manja."Aku tidak bisa melakukan itu, Sayang. Karena ini kerja tim. Se
Bi Nia adalah bibinya Lucia. Kakak dari almarhumah ibu dari wanita itu. Bi Nia itulah yang menjadi mata-mata di rumah Ferdi, dan yang mengatur semua pekerja di rumah mantan suami keponakannya bahkan membuat pengasuh Lana dipecat karena tidak mau menuruti kemauan mereka.“Aku akan mencari cara agar wanita itu keluar dari rumah Ferdi. Aku tidak akan menyerah sebelum mendapatkan uang yang banyak dari Ferdi.” Ikrar Lucia.“Tapi, Lucy. Apa hanya uang yang kamu pikirkan, apa kamu tidak mau kembali lagi dengan pria mapan itu?” Bi Nia mengambil beberapa barang dan menambah tumpukan di keranjang dorongnya.“Oh, tidaklah, Bi. Pria itu begitu kaku, belum lagi ibunya yang cerewet. Aku hanya tidak suka kalau dia hidup tenang, apalagi menjalin hubungan yang damai dengan lawan jenis.” Lucia tersenyum licik.“Cih, persis ibumu. Aku hanya ingin uang, Lucy. Kamu tau kan anakku yang sekolah di luar negri sangat boros.”“Bibi tenang saja, sebentar lagi aku mendapat proyek yang besar.” Bi Nia menatapnya b
Esok harinya, sebelum bersiap berangkat ke kantor, Nisa menyempatkan diri untuk mencuci pakaian yang memang sudah di tumpuk oleh Lala di samping mesin cuci.Tiba-tiba Ningsih menghampirinya dan tanpa kata mengambil pakaian yang ada di tangan Nisa, lalu mulai memilah-milah pakaian untuk dicuci. Padahal pekerjaan wanita yang sebaya dengannya itu adalah mengurusi taman di rumah itu.“Sudah tinggalin saja, Nisa. Kamu siapin sarapan Tuan, sebelum beliau mencari kamu seperti semalam,” ujar Bi Nia. Tiba-tiba beliau muncul dan melihat Nisa yang tidak bergerak sambil menatap Ningsih dengan bingung.Nisa cuma bisa menurut dan akhirnya meninggalkan Ningsih yang masih diam, meski dia bertanya-tanya ketika dia berjalan menjauh, dia mendengar bisikan antara Bi Nia dan Ningsih.“Mbak Nisa, aku mau makan roti lapis kayak ayah,” seru Lana melompat dari anak tangga terakhir.“Lho, Den Lana sudah mandi? Mandi sama siapa?” Nisa mengelus pucuk kepala anak majikannya begitu sampai ke sampingnya. Anak kecil