"Anak kamu itu sakit karena kamu, Maaaaas... karena asap rokok biadab mu itu! Seandainya kamu mendengarkan apa yang biasa kukatakan agar mencuci tanganmu atau mengganti pakaianmu sebelum menggendong anak kita, ini semua tidak akan terjadi. Seharusnya kamu datang ke rumah sakit dan mendengarkan penjelasan dokter, Mas. Ibu kamu menuduh aku tidak becus menjaga anak, seharusnya beliau tau ini semua terjadi karena anak kesayangannya."
PLAKK!!Gema suara menakutkan itu terdengar di seluruh kamar utama. Seorang wanita cantik ditampar oleh pria yang lebih tua, pria yang sekarang menatapnya dengan nyalang."Sudah berani melawan suami ya, kamu!" ucapnya geram."Bukannya melawan, Mas. Tapi aku memberitahumu, kalau tidak begitu, kamu tidak akan tau." Dengan memegang pipi bekas tamparan sang suami, dia berucap menahan tangisnya."Tidak usah memberitahuku, aku sudah tau!"Wanita itu, bernama Nisa. Menatap suami tidak percaya. "Jadi? Kamu mendukung saja apa yang keluargamu ucapkan kepadaku?""Memang kenyataannya begitu, kan. Kamu tidak becus mengurus anak.""Bukankah mereka tahu penyebab anak kita meninggal? Bukankah ibumu tau apa yang menyebabkan anak kita masuk rumah sakit? Bahkan kamu, sebagai ayahnya tidak pernah menjenguk kami di rumah sakit, dengan alasan sibuk di kantor." Dengan memberanikan dirinya, Nisa mengangkat wajahnya dan menatap sang suami – Rif'at Mansyur."Semua itu urusanmu. Putra kita meninggal karena kamu tidak becus mengurusnya. Kamu mengeluh seperti ini, bilang saja kalau kamu tidak ikhlas mengerjakan semuanya," ujar Rif'at lantang, telunjuknya menunjuk wajah Nisa dengan berang.Nisa mendengus tidak percaya. "Aku rela berhenti dari kantor ketika hamil, aku rela menjadi ibu rumah tangga dan meninggalkan karir aku. Aku terima semua hinaan ibu dan adik kamu, aku masih bisa bertahan ketika kamu tidak menghargai aku. Tapi, aku tidak percaya kalau kamu juga mampu mengacuhkan putramu sendiri, dan aku sudah tidak tahan karena kamu malah membalas pengorbananku dengan BERSELINGKUH!" seru Nisa di akhir katanya.PLAKK!Sekali lagi tamparan itu hinggap di pipi Nisa, sekarang kedua pipi putih bersih itu merah membentuk Tiga jari tangan.Karena menyinggung masalah perselingkuhan inilah yang membuat Nisa ditampar suami. Nisa sudah tidak tahan menanggung semua permasalahan rumah tangganya yang membuat hatinya tidak nyaman. Ketika mengetahui adanya wanita lain yang menarik perhatian suaminya, dia sudah tidak tahan membendung rasa tidak adil kepada dirinya dan putranya.Awalnya Nisa tidak pernah menduga kalau suaminya berani selingkuh, kalau melihat perawakan Rif'at yang biasa saja dengan umur yang tidak lagi muda. Umur mereka yang tertaut empat tahun, namun ternyata kalau memang ada niat dan ada kesempatan, selingkuh itu tetap akan ada tanpa memandang usia."Jadi, kalau iya kenapa?"Pengakuan Rif'at lebih menyakitkan daripada tamparan di kedua pipinya. Nisa bisa bertahan dengan hinaan mertua dan iparnya, dia bisa bersabar dengan ketidakpedulian suaminya, namun dia sudah tidak tahan kalau dia ternyata juga dikhianati.Rasanya sangat sakit, seperti diinjak-injak berkali kali lipat, tidak dihargai dan hanya dianggap sebagai benalu.Nisa kehilangan kata-kata. Air mata yang dari tadi ditahannya agar tidak jatuh, akhirnya luruh juga. Wanita Dua Puluh Tujuh tahun itu memilih menghindar dan berlari keluar kamar."Berhenti, Nisa! Bila kamu keluar dari rumah ini, jangan harap kamu bisa kembali lagi," seru Rif'at menggelegar ketika dia melihat Nisa berlari menuju pintu keluar.Nisa berhenti sambil memegang handle pintu. Bimbang sejenak memikirkan dia harus pergi kemana karena dia tidak memiliki siapapun sebab dia seorang yatim piatu, sementara diluar sedang hujan lebat.“Puas? Kamu telah lalai menjaga cucu satu-satunya Keluarga Mansyur? Dasar wanita sembrono!”“Dasar wanita kota, mana tau tentang mengurus anak, yang dia tau hanya bersolek saja.”Semua kata-kata makian kembali terngiang di kepalanya, membuatnya memutar handle pintu dan menariknya. Angin dingin langsung menerpa wajahnya, nyaman sekali."Berani kamu keluar dari rumah ini, jangan harap bisa kembali lagi!" teriak Rif'at lagi, mengalahkan suara desau angin yang juga masuk ke dalam rumah.Nisa berpaling menatap sang suami ke belakang sebelum berlari keluar menerobos hujan. Dia juga tidak mengerti dengan dirinya, kenapa bisa menikah dengan pria kolot macam Rif'at.Selama ini, dia menghormati suami karena hidupnya yang memang bergantung pada pria itu setelah kedua orangtuanya meninggal. Bahasa kasarnya, numpang hidup pada pria itu.Air matanya luruh bercampur dengan tetesan hujan. Suara tangisannya tidak terdengar karena berbaur dengan suara gemericik air hujan yang deras. Berlari keluar menuju gerbang perumahan elit.Tanpa cacian mertuanya, Nisa sudah menyalahkan dirinya atas kepergian putranya. Tanpa kata hiburan dari sang suami, dirinya berfikir kalau mau menyusul balitanya ke alam baka.Gaun hitam yang dipakainya terlihat berat karena basah oleh hujan. Nisa persis seperti kucing kehujanan yang lupa jalan pulang, lebih tepatnya seperti kucing kota yang dibuang.Karena fokus dengan kesedihannya, Nisa tidak menyadari ada mobil yang berjalan dengan kecepatan 80 KM perjam dan malah menyeberang jalan tanpa menengok kanan kiri lagi.CKIIIIITMobil itu meluncur ke samping karena menginjak rem dengan mendadak dan karena kondisi aspal yang licin juga ban mobil yang terlalu kencang, jadi mobil itu meluncur mulus sebelum menghantam tubuh langsing Nisa.BRAKK!Orang-orang yang berdiri di pos satpam atau warung yang telah tutup karena menghindari hujan, melihat kejadian itu dan langsung menghambur ke tempat kejadian.Histeris melihat Nisa yang terkapar dengan darah mengalir di pelipisnya.Kemarahan orang-orang langsung tertuju ke arah pengendara mobil.“Keluar, kamu! Mau kabur, ya. Tanggung jawab!” teriak salah satu dari mereka sambil menggebrak kap mobil.Ferdi cemas setelah mendapat kabar dari asisten rumah tangganya yang mengatakan putranya menghilang lagi dari pengawasan pengasuhnya.Pimpinan perusahaan nomor 1 di kotanya itu sampai rela meninggalkan rapat penting saking cemasnya kepada sang anak. Putranya yang sering tantrum, ngambek dan suka menghilangkan diri. Perubahan anak itu menjadi anak yang susah diatur terjadi setelah dirinya bercerai dengan ibu dari putranya.Putranya yang sudah berusia 5 tahun, tapi masih juga belum dimasukkan ke PAUD karena tidak ada yang tahan dengan anak itu sebab sering membuat ulah, memancing perhatian ayahnya, lebih tepatnya mengukur batas kesabaran para orang tua.Menabrak wanita yang melintas dengan mendadak di depan mobilnya membuat masalah baru di kepalanya.“ARRRRKH!” Tidak ada yang mendengar teriakan frustasinya di dalam mobil karena hujan terus mengguyur jalanan ibukota, apalagi warga sekitar yang menyaksikan kejadian itu menuntutnya keluar dari mobil agar bertanggung jawab.Dia bisa melarikan diri dengan cara memutar setir ke kanan dan tancap gas meninggalkan kerumunan itu. Putranya sangat penting sekarang. Dia tidak ingin anaknya itu bersama dengan mantan istrinya, yang entah kenapa baru-baru ini sangat suka mengganggu ketenangannya melalui anak mereka.Tapi rencana hanya tinggal rencana karena sebelum dia menginjak pedal gas, warga yang marah mulai menggebrak mobil mewahnya. Mobil Ferdi sampai bergoyang ke kiri dan ke kanan sehingga dia terpaksa mematikan mesinnya dan memutuskan untuk membawa wanita yang ditabraknya ke rumah sakit."Maaf, saya masih syok. Wanita itu tiba-tiba saja melintas di depan mobil," serunya sambil turun dari mobil. Tubuhnya langsung basah karena diterpa derasnya hujan.Sebelum diamuk warga, Ferdi langsung mengangkat tubuh Nisa yang pingsan dan meletakkannya di bangku penumpang. Wajah Nisa pucat dengan darah masih mengalir di pelipisnya. Ferdi mengambil jasnya untuk menyelimuti tubuh Nisa, meski itu tidak membantu karena tubuh itu masih menggigil."Setidaknya mampu menutupi lekuk tubuhmu dari mata bapak-bapak mesum," gumamnya kesal.Sambil menganggukkan kepalanya dengan sopan, Ferdi membawa mobilnya meninggalkan tempat kejadian. Ferdi melirik Nisa yang terlihat pucat seperti mayat, hanya darah di pelipisnya yang menunjukkan bahwa dirinya masih segar alias hidup.Sekilas timbul lagi pikiran untuk mangkir dari tanggung jawabnya, dia bisa membuang tubuh wanita itu ke sungai karena rumah sakit cukup jauh dari tempat tujuannya.Akhirnya Ferdi memutuskan membawa Nisa ke rumah sakit. Jiwa kemanusiaannya meronta, tidak tega untuk membuang wanita lemah tidak berdaya yang berbaring di kursi belakang mobilnya. Lebih tepatnya, takut perbuatannya akan terendus media masa, apalagi banyak saksi di depan pemakaman tadi.Nisa sudah dirawat dan sudah dipindahkan ke ruangan, bangsal perawatan penyakit ringan."Dia hanya syok, kelelahan dan kedinginan," kata dokter ketika sudah selesai memeriksa Nisa tadi.Ferdi menekan kedua pelipisnya dengan satu tangan. Ibu jari dan telunjuk memutar-mutar dengan bersamaan, ada rasa pusing di pusat kepalanya. Bajunya agak basah karena mengangkat tubuh Nisa yang sudah basah, ditambah lagi terkena guyuran hujan yang deras.Perhatiannya teralih ke arah Nisa yang mengerang pelan dan bergumam kehausan. Ferdi bangkit dan mengambil air mineral, lalu menaikkan sedikit brankar pembaringan Nisa.Tanpa bicara, Ferdi menyodorkan sedotan ke bibir Nisa yang mulai berwarna."Terima kasih," ucap Nisa li
Nisa menelepon suaminya, setelah panggilan yang ketiga barulah diangkat oleh lelaki itu. 'Mungkin karena nomer tak dikenal yang menghubunginya, makanya dia lama menerimanya', pikir Nisa."Ini aku Nisa, Mas. Istrimu. Sekarang aku lagi ada di rumah sakit, Mas. Tolong jemput aku, mereka tidak mengijinkan aku pulang sebelum ada waliku datang menjemput," ucap Nisa bergetar. Dia yakin suaminya itu tidak akan mau menjemput ke rumah sakit, apalagi suaminya itu pasti beranggapan yang dialami Nisa adalah hal yang sepele, dia paham jalan pikiran sang suami."Kamu bisa kabur kalau kamu mau!" bentakan nyaring dari seberang telepon membuatnya mengangkat bola matanya, melirik kepada sang empu ponsel karena yakin kalau lelaki itu mampu mendengar suara suaminya yang keras, apalagi Ferdi terus mengamatinya dengan seksama."Kamu gila, Mas? Jangan bilang kalau kamu masih di kantor," desis Nisa pelan, menjaga agar kata-katanya tidak terdengar oleh lelaki yang terus memperhatikannya itu. "Kamu bahkan tida
Tiba-tiba datang seorang lelaki berusia Tiga Puluh tahunan lebih, masih memakai pakaian kantor. Jas mengkilap dengan celana rapi padahal hari sudah hampir gelap, namun garis celana bekas setrikaan masih jelas tercetak di kaki panjangnya."Apa Anda suami Nisa? Dia ada di dalam," ucap Ferdi sambil berdiri ketika pria itu berhenti tepat di depannya. Memandangnya dengan tatapan merendahkan karena pakaian yang dikenakan Ferdi saat itu sangat lusuh, dan usianya terlihat lebih muda darinya.Tanpa kata, pria itu memasuki ruangan Nisa dan berdeham cukup keras, mengagetkan wanita itu.Nisa membalikkan badannya ke arah suara. "Kenapa kamu datang?" tanyanya terkejut begitu melihat kehadiran sang suami.Rif'at, suami Nisa mengangkat ujung bibirnya tersenyum sinis, menatap Nisa dengan tatapan jijik karena penampakan wanita itu sangat menyedihkan. Mata bengkak dengan wajah sembabnya. "Bukankah kamu yang memintaku datang. Kenapa ekspresimu seperti itu? Dasar cewek mesum." Tuduhnya tanpa belas kasiha
"Apa maksudmu, Mas? Aku datang hanya untuk mengambil barang-barangku, jangan memulai pertengkaran baru," ujar Nisa lemah, bahkan untuk tersentak karena dikagetkan oleh suaminya pun sudah tidak mampu."Lelaki itu yang di rumah sakit tadi, kan? Selingkuhanmu yang berpura-pura menjadi penabrakmu padahal dia sedang menjengukmu, kan?" ujar Rif'at lagi dengan bersemangat sambil menunjuk ke arah mobil Ferdi yang parkir di depan rumahnya."Teruskan imajinasimu, Mas. Aku capek, kita sudah tidak punya hubungan lagi kan, Mantan?" sahut Nisa asal."Bilang saja kalau kamu senang sudah dicerai olehku. Sudah lalai menjaga anakku, sekarang malah terang-terangan menunjukkan selingkuhan di depanku," ujar Rif'at keras, tidak beranjak dari tempatnya berdiri sementara Nisa menyentuh kepalanya yang mulai berdenyut."Jangan melawak kamu, Mas. Putraku sakit karena asap rokokmu itu! Putra kita terkena radang pernapasan karena menjadi perokok pasif, Mas, karena menghirup asap rokokmu. Seharusnya kamu menurut de
"Ayo, Non. Ikuti bibi ke dalam," ucap Bi Nia setelah melihat orang yang dimaksud oleh Ferdi, menuruni mobil."Panggil saja Nisa, Bi. Gak usah pakai 'non'," balas Nisa merasa tidak enak.Nisa memasuki kamar yang cukup besar untuk ukuran asisten rumah tangga. Bahkan memiliki kamar mandi sendiri, dia merasa seperti sedang mengkos ketika kuliah dulu."Ini kamar untuk saya sendiri, Bi?" tanyanya sopan karena lawan bicaranya sudah tua, seusia almarhumah ibunya."Iya, Nisa. Kamar aku ada di sebelah, panggil saja kalau ada yang dibutuhkan," ujar Bi Nia ramah, raut wajahnya menjadi lebih ramah, berbeda dengan yang pertama dilihat Nisa tadi, lebih waspada.Kamar itu begitu berantakan karena bekas kamar pengasuh anak majikan yang tiba-tiba mengundurkan diri. "Baik, Bi. Bibi istirahat saja, biar Nisa yang membereskan semua ini," ujar Nisa sambil menangkap tangan Bi Nia yang akan menarik seprai dan sarung bantal.Lalu beliau mengambil seprai dan sarung bantal yang baru untuk Nisa. "Istirahatlah, b
"Aku tidak mau diulus sama olang setles yang suka menangis sendili lalu teltawa, itu sungguh menakutkan. Apa kamu tau?" ujar Lana ketus, persis seperti ayahnya ketika Nisa pertama kali melihatnya."Eh, maaf Den Lana. Anda mengingatkan saya dengan anak saya, dia sangat suka makan mie." Nisa jadi salah tingkah ditegur oleh anak kecil. Tidak menyangka kalau dia bisa baper ketika berdekatan dengannya."Apaan, anak kok seling dikasih mie instan. Ini tuh makanan tidak sehaaaat," ujar anak kecil itu menasehati Nisa, padahal mie instan dihadapannya sudah habis dia makan."Iya, Den. Saya mengerti, hanya kali ini saja, ya. Jangan bilang-bilang sama Bi Nia, ya." Nisa mengarahkan telunjuknya ke dekat bibir anak itu.Lana langsung turun dari kursinya tanpa menjawab permintaan Nisa, berlari ke depan TV padahal mulutnya masih berminyak."Setelah saya selesai menjemur pakaian, kita mandi ya, Den Lana," seru Nisa, dia yakin anak kecil itu tidak memperhatikannya karena fokus anak kecil itu sudah ke mai
Nisa merasa ada yang meraba dadanya, meremasnya lalu mengulumnya. Dia mendengar suara desahan dirinya sendiri, karena merasakan geli di area sensitifnya juga. Tidak lama kemudian dia merasakan ada sesuatu yang basah menyentuh bibirnya, melumatnya dan menyerbu lidahnya.Aroma khas peroko ada disana. Nafas orang itu, air liur yang menyatu di lidahnya membuatnya ingin muntah, namun dia tidak mampu menolak, tidak mampu untuk bangun dan pergi dari situ. Kedua lengannya malah merangkul leher orang itu dan menerima setiap sentuhannya, sampai benda keras milik orang itu masuk ke area intimnya.Nisa membelalakkan matanya terbangun dari tidurnya.Nafasnya tersengal, entah kenapa dirinya mimpi melakukan adegan itu bersama mantan suaminya dan lebih mencengangkannya lagi, Nisa mendapati bagian bawah tubuhnya benar-benar basah.Dengan cepat Nisa pergi ke kamar mandi untuk menggosok giginya dan membersihkan tubuhnya. “Ya, ampun. Kenapa aku bisa bermimpi seperti itu? Bau menjijikkannya masih terasa
Orang-orang yang melihat dan yang bertemu langsung dengan Lana, mungkin berpendapat kalau anak itu adalah anak yang pintar, mandiri dan dapat diandalkan. Namun Nisa melihatnya berbeda, wanita itu merasa kasihan dengan anak yang baru berusia 5 tahun itu sudah harus mandiri, menahan emosinya untuk tidak menangis, bertahan tegar agar terlihat manis di hadapan sang ayah.Anak majikannya itu terlihat berusaha dewasa sebelum usianya, membentengi dirinya agar tidak bersifat seperti anak kecil yang cengeng, terutama di depan Ferdi Rahardian.Tapi setelah beberapa saat mereka sudah berada di taman tujuan mereka, Nisa ingin menarik semua pemikirannya.“Anak kecil tetap saja anak kecil, usilnya minta ampun. Apalagi ini anak laki, pasti senang melihat orang dewasa kesusahan,” gerutu Nisa sambil celingak celinguk mencari keberadaan Lana yang sudah menghilang dari pengawasan.Padahal anak kecil itu baru saja ada di dekat ayunan sebelum menyuruh Nisa membeli minuman.“Tapi, Den Lana tidak boleh minu
Sesuai janjinya kepada Bi Nia, Nisa membawa Lana untuk berjalan-jalan ke taman. Sesuai usul Mang Kardi, Nisa pun juga memanggil ojek online untuk membawa mereka pergi ke tempat tujuan yang jaraknya tidak terlalu jauh.“Hati-hati, Mbak. Kalau ada apa-apa, telpon saja Amang.” Pesan Mang Kardi ketika mereka sudah siap berangkat.“Siap, Mang,” jawab Nisa lalu motor yang membawa mereka mulai berjalan.Nisa memutuskan tetap membawa majikan kecilnya jalan-jalan sore itu, sesuai dengan pesan Bi Nia, meski dia tau kemungkinan kalau mereka sedang diawasi.Setelah sampai di taman, wanita itu tidak menyesal dengan keputusannya setelah melihat Lana yang begitu senang dan mencoba semua permainan yang ada di taman itu. Memang anak itu kalau setiap hari sabtu sore, selalu ke tempat itu, tapi tidak membuatnya membuatnya puas dengan semua permainan itu. Dia akan bermain mandi bola, memancing ikan dan menaiki odong-odong.Dan setelah satu jam mereka berada di taman, Nisa kembali melihat ada lelaki ting
Seperti biasa, Nisa membawa Lana pulang dengan berjalan kaki karena jarak antara sekolah dan rumahnya hanya berjarak 2 kompleks perumahan."Bagaimana, Mbak. Mau tidak jadi mamaku?" tanya Nisa sebel;um mereka sampai di rumah bertingkat 3."Apa ayahmu yang menyuruhmu, Den?""Jangan panggil aku Aden lagi.""Aku masih pengasuhmu lho, Den Lana," ujar Nisa tertawa."Aku hanya tidak ingin mereka memecatmu. Kalau kamu jadi mamaku, tentu mereka tidak akan berani memecatmu." Lana berlari masuk ke dalam pagar yang sudah dibuka Mang Kardi saat melihat mereka berjalan mendekat."Ngambek lagi, Mbak? Majikan kecil kita?" tanya Mang Kardi saat Nisa melewati beliau."Iya, Mang. Mungkin dia kecapekan," ujar Nisa beralasan.Nisa melongokkan kembali kepalanya melewati pagar setelah kakinya melangkah ke dalam, mengintip ke arah kedatangannya bersama Lana tadi.“Ada apa, Mbak?” tanya Mang Kardi heran melihat tingkah Nisa yang seperti anak kecil main petak umpet.“Ada yang membuntuti kita dari tadi, Mang,”
“Menikahlah denganku.” Ucapan Ferdi terus terngiang dalam benak Nisa.Dia tidak mampu berkata-kata saat di dalam ruang kerja lelaki itu, pikirannya berlarian kesana kemari. Sekarang pun masih, dia sedang berada di dapur dan sedang herpikir, 'kenapa bos kerennya itu bisa tertarik dengan janda seperti dirinya?'Sementara Ferdi juga sedang galau di ruangannya, dia merasa seperti kehilangan kharismanya.“Bagaimana kalau dia menolakku, aku tidak akan punya keberanian lagi untuk bertemu dengannya. Bodoh bodoh bodoh.” Ferdi memukul kepalanya seiring dengan umpatan yang dia lontarkan.“Seharusnya aku melakukan pendekatan terlebih dahulu. Dia pasti terkejut dengan pernyataanku tadi kan.” Ferdi menggaruk belakang kepalanya dengan kasar, sehingga rambut bagian belakangnya mencuat berantakan. Teringat ucapan kaki tangan sekaligus orang yang memberikan petuah cinta, begitu teman sekaligus bosnya curhat tentang seorang wanita. Lelaki seusia Ferdi yang bernama Herdiansyah. Lelaki yang dianggap sama
Merasa mendapat penolakan, membuat Ferdi diam sepanjang jalan. Sedangkan Nisa sering melirik ke samping, ke tempat Ferdi duduk di belakang kemudi, khawatir kalau lelaki itu marah atas sikapnya yang tanpa pikir panjang menampik perhatian majikannya yang tidak biasa.Ferdi menutup erat mulutnya, bahkan kalau perlu menahan nafasnya juga. Dia tidak pernah mendapat penolakan dari wanita manapun karena dia memang tidak pernah membuka hatinya kepada lawan jenis, setelah dikhianati oleh gebetannya sewaktu kuliah dulu.Bahkan ketika sampai ke rumah pun, Ferdi masih tetap tidak mau membuka mulutnya, padahal biasanya dia akan bicara walau tanpa ekspresi, “harus sudah stand by jam 8 pagi besok di mobil, setelah mengantar Lana sekolah lanjut ke kantor.”“Apa dia marah karena ku tolak papahannya tadi? Huh, kekanak-kanakan sekali. Lagian mana mungkin aku mau digandeng oleh bosku sendiri sementara banyak mata yang memperhatikan kami, apa dia tidak memikirkan reputasinya?” gumam Nisa bertanya-tanya sa
"Apa Mbak Nisa dan ayah berpacaran?" tanya Lana ketika mereka sudah sampai di mall dengan diantar oleh sopir kantor."Kenapa Den Lana bisa berpikir begitu?" tanya Nisa terkejut karena anak sekecil itu bisa tau mengenai pacaran."Sama seperti ibu yang sering bawa lelaki ke rumah. Ibu bilang itu pacar ibu, mereka sering makan malam bersama. Mbak bakal pergi makan malam dengan ayah, kan?" ujar Lana, masih menggengam tangan Nisa yang menggandengnya dari ketika mereka turun dari mobil, karena anak itu sering berlari-lari hingga Nisa kesulitan mengejarnya."Kami bukan hanya makan berdua saja, Lana. Tapi juga ada klien Tuan Ferdi." Nisa memilih menjawab Lana dengan gaya dewasa, karena dia yakin dengan gaya anak itu mungkin bisa mengerti."Kalau klien perusahaan, kenapa tidak bertemu di kantor saja, Mbak. Kenapa harus makan malam?" Tuh kan, anak itu sedikit banyaknya sudah mengerti."Iya kalau klien kantor, tapi ini klien Tuan Ferdi dan beliau sedang merayakan ulang tahunnya yang ke - 70.""W
"Maaf, Mbak. Mbaknya ngomong sama siapa, ya?" Tiba-tiba seorang pemuda menyapa Nisa yang berbicara sendiri. Dari raut pemuda itu terlihat waspada sambil mengedarkan matanya di sekeliling Nisa."Saya pikir, Mbak tadi bicara dengan ponsel, tapi saya liat-liat lagi, tidak ada headset di lubang telinganya." Pemuda itu menatap Nisa dengan ketakutan.Nisa yang juga terkejut, heran melihat reaksi pemuda itu. "Oh, maaf mengagetkanmu. Saya hanya sedikit stres dengan pekerjaan hari ini," ujar Nisa beralasan."Oh, syukurlah." Pemuda itu menghembuskan nafasnya lega, karena sempat mengira kalau Nisa sedang berbicara dengan makhluk tak kasat mata."Pegawai baru, ya?" tanya Nisa yang merasa lucu melihat pemuda itu membuang keteganganya."Iya, Mbak. Baru 2 bulan, masih masa percobaan," jawabnya santai kemudian."Semoga betah, ya." Setelah Nisa mengatakan itu, lift yang akan turun ke lantai dasar berhenti di lantai 3."Duluan, ya," lanjut Nisa yang diangguki sopan oleh pemuda tadi.Nisa mendengar keri
Lucia yang dikenal sebagai artis cantik, namun tanpa talenta yang membanggakan, nyatanya hal itu memang benar.Tapi, karirnya lebih bagus dari artis yang memiliki kemampuan akting yang mumpuni. Hal ini karena yang dilakukannya saat ini, bergelut dengan sang sutradara di dalam kamar yang panas nan menggairahkan."Janji ya, Mas. Kamu bakal mengasih peran buatku di film barumu," ujar Lucia kepada lelaki tambun yang sekarang sedang memeluknya. Keringat keduanya sudah membeku akibat AC yang dinyalakan sangat kencang.Pip pip pip. Lelaki itu menurunkan AC 3 tingkat, sekarang udara di kamar itu lebih ke sejuk daripada dingin."Iya, pasti. Kamu tenang saja, yang penting kamu berakting yang bagus saat audisi nanti," ujar lelaki tambun itu sambil memeluk Lucia dan sesekali memelintir puncak gunung mas milik wanita itu."Kenapa harus seleksi lagi sih, kenapa tidak langsung jadikan aku sebagai tokoh utama wanita?" Protes Lucia manja."Aku tidak bisa melakukan itu, Sayang. Karena ini kerja tim. Se
Bi Nia adalah bibinya Lucia. Kakak dari almarhumah ibu dari wanita itu. Bi Nia itulah yang menjadi mata-mata di rumah Ferdi, dan yang mengatur semua pekerja di rumah mantan suami keponakannya bahkan membuat pengasuh Lana dipecat karena tidak mau menuruti kemauan mereka.“Aku akan mencari cara agar wanita itu keluar dari rumah Ferdi. Aku tidak akan menyerah sebelum mendapatkan uang yang banyak dari Ferdi.” Ikrar Lucia.“Tapi, Lucy. Apa hanya uang yang kamu pikirkan, apa kamu tidak mau kembali lagi dengan pria mapan itu?” Bi Nia mengambil beberapa barang dan menambah tumpukan di keranjang dorongnya.“Oh, tidaklah, Bi. Pria itu begitu kaku, belum lagi ibunya yang cerewet. Aku hanya tidak suka kalau dia hidup tenang, apalagi menjalin hubungan yang damai dengan lawan jenis.” Lucia tersenyum licik.“Cih, persis ibumu. Aku hanya ingin uang, Lucy. Kamu tau kan anakku yang sekolah di luar negri sangat boros.”“Bibi tenang saja, sebentar lagi aku mendapat proyek yang besar.” Bi Nia menatapnya b
Esok harinya, sebelum bersiap berangkat ke kantor, Nisa menyempatkan diri untuk mencuci pakaian yang memang sudah di tumpuk oleh Lala di samping mesin cuci.Tiba-tiba Ningsih menghampirinya dan tanpa kata mengambil pakaian yang ada di tangan Nisa, lalu mulai memilah-milah pakaian untuk dicuci. Padahal pekerjaan wanita yang sebaya dengannya itu adalah mengurusi taman di rumah itu.“Sudah tinggalin saja, Nisa. Kamu siapin sarapan Tuan, sebelum beliau mencari kamu seperti semalam,” ujar Bi Nia. Tiba-tiba beliau muncul dan melihat Nisa yang tidak bergerak sambil menatap Ningsih dengan bingung.Nisa cuma bisa menurut dan akhirnya meninggalkan Ningsih yang masih diam, meski dia bertanya-tanya ketika dia berjalan menjauh, dia mendengar bisikan antara Bi Nia dan Ningsih.“Mbak Nisa, aku mau makan roti lapis kayak ayah,” seru Lana melompat dari anak tangga terakhir.“Lho, Den Lana sudah mandi? Mandi sama siapa?” Nisa mengelus pucuk kepala anak majikannya begitu sampai ke sampingnya. Anak kecil