Los Angeles – California
Sebuah club mewah di Los Angeles ini menjadi salah satu tempat yang sering didatangi oleh para artis dan kalangan atas. Bootsy Bellows, club mewah yang berada di Los Angeles ini tidak pernah sepi. Setiap harinya selalu ramai dengan para pengunjung. Kehidupan malam di Los Angeles memang sudah terkenal.
Tampak dua wanita cantik yang tengah duduk di mejanya seraya meminum wine terus menjadi pusat perhatian para pria di sana. Beberapa kali pria berusaha mendekati dua wanita itu namun kenyataanya tidak ada satupun yang berhasil mendekatinya.
“Callista, apa kau tidak ingin berdansa? Sejak tadi para pria berusaha mendekatimu. Tapi kau selalu menolaknya,” tukas Olivia seraya menegak wine di tangannya hingga tandas.
Callista tertawa pelan. “Kau menasihatiku seoalah kau tidak melakukan hal yang sama. Bukannya sejak tadi para pria juga berusaha mendekatimu? Tapi tidak ada satupun yang kau terima.”
Olivia mendengus kesal. “Sudahlah, lebih baik kau diam. Menyebalkan sekali. Aku memang tidak tertarik menjalin hubungan.”
Callista mengangkat sebelah bahunya tak acuh. “Sepertinya kita harus meminum wine yang beralkohol. Aku ingin sekali menenangkan pikiranku.”
“Jangan macam-macam, Callista. Aku tidak ingin mengangkut tubuhmu kalau kau mabuk. Kau itu lemah alcohol. Sudah nikmati saja wine mu tanpa alcohol itu,” tukas Olivia mengingatkan.
“Well, aku hanya sedang merasa bosan.” Callista menggerakan gelas sloki ditangannya berirama. Wajahnya terlihat tampak begitu muram.
Olivia mendesah pelan. “Kau bosan kenapa? Apa karena keluargamu masih melarangmu menjadi seorang Dokter? Sungguh, aku tidak mengerti dengan apa yang dipikirkan ayahmu. Padahal harusnya mereka bangga diusia muda kau sudah menjadi Dokter.”
“Ayahku masih menginginkanku memimpin perusahaannya,” jawab Callista dengan helaan napas berat. “Padahal aku memiliki kakak yang bisa memimpin perusahaan keluargaku. Harusnya mereka tidak perlu mengharapkanku. Karena mereka tahu jawabannya akan tetap sama. Aku tidak akan meninggalkan pekerjaanku hanya karena permintaan ayahku yang menginginkan aku mempin perusahaannya.”
Ya, Callista Hutumo, seorang wanita cantik berdarah Inonesia-California ini memiliki profesi sebagai Dokter Bedah Jantung di salah satu rumah sakit ternama di Los Angeles harus rela melarikan diri dari rumah karena keluarganya selalu melarang apa yang menjadi mimpinya. Sejak dulu, Michael, ayahnya menginginkan Callista memimpin perusahaannya. Namun, tentu Callista selalu menolaknya. Karena memang, memimpin perusahaan bukanlah impian Callista.
Malam ini, Callista bersama dengan Olivia mengunjungi salah satu klub yang biasa mereka datangi. Merasa jenuh dengan pekerjaan. Callsta selalu memilih untuk bersantai sejenak bersama Olivia.
“Nona Callista.” Suara bariton memanggil nama Callista dengan cukup keras, hingga membuat Callista mengalihkan pandangannya pada sumber suara itu. Seketika kening Callista berkerut, menatap empat sosok pria berpakaian hitam yang berdiri di hadapannya.
“Callista? Kau mengenal mereka?” Olivia berbisik dengan suara pelan di telinga Callista.
Callista membuang napas kasar. “Mereka anak buah ayahku,” jawabnya dingin.
Olivia tersentak. Raut wajahnya berubah menjadi panik dan ketakutan. “Callista, mereka anak bauh ayahmu?” tanyanya memastikan.
Callista menggguk singkat.
“Astaga, apa yang mereka lakukan di sini?” tanya Olivia lagi dengan raut wajah yang semakin panik dan cemas.
Tanpa menjawab perkataan Olivia, Callista langsung mengalihkan pandangannya menatap anak buah ayahnya itu yang berdiri tepat di hadapannya. “Apa yang ingin kalian lakukan? Kenapa kalian di sini?”
“Nona, Tuan Besar Michael meminta anda untuk segera pulang. Saya mohon, Nona untuk segera ikut kami,” ujar pengawal itu.
“Lebih baik kalian pulang. Aku tidak ingin kalian datang menggangguku,” tukas Callista dingin dengan tatapan penuh peringatan.
“Nona kami tidak akan pergi jika belum membawa anda. Itu pesan dari Tuan Michael. Kami tidak akan bisa pergi tanpa anda ikut dengan kami,” jawab pengawal itu. “Kami mohon, agar Nona tidak mempersulit kami.”
“Apa kalian ini tuli? Aku minta kalian pergi dari sini! Jangan pernah menggangguku!” seru Callista dengan suara yang meninggi.
“Maaf Nona, kalau begitu kami harus memaksa anda.” Pengawal itu mulai menarik paksa tangan Callista. Dengan satu kali hentakan, Callista berhasil menepisnya. Tatapan Callista kini semakin menajam kala pengawal ayahnya berani menyentuh tangannya.
“Sialan! Beraninya kau menyentuhku!” bentak Callista keras.
“Kami minta maaf, Nona. Tapi kami melakukan ini karena anda tidak bisa diajak kerja sama,” jawab salah satu pengawal lainnya.
“Alright, kalau begitu lawan aku. Tunjukan kemampuan kalian,” tantang Callista dengan sorot mata yang kian menajam.
Tanpa lagi menjawab, pengawal itu langsung menerjang Callista mengunci pergerakan tangannya. Dengan sigap, Callista membalikan tubuh pria yang berusaha mengunci pergerakannya. Callista memukul dan menendang pria itu hingga membuat pria itu tersungkur di lantai.
Suasana klub malam menjadi gaduh akibat perkelahian Callista dan para pengawal ayahnya itu. Para pengawal itu, kembali mencoba mengunci pergerakan Callista namun rupanya mereka terpaksa harus membalas pukulan Callista.
Braakkkkk
Callista tersungkur ke lantai ketika ada yang melawannya dari belakang. Olivia menjerit saat melihat Callista tersungkur di lantai. Olivia menggigit bibir bawahnya, wajahnya penuh dengan kecemasan dan ketakutan.
“Shit!” umpat Callista saat dirinya tersungkur di lantai akibat serangan dari arah belakang. Callista berusaha bangkit berdiri dan kembali melawan. Namun saat dirinya merasakan ada yang ingin menyerangnya dari arah belakang, dia merasa ada seseorang yang membantunya. Callista membalikan tubuhnya lalu menatap sosok pria tampan dengan tubuh tegap melawan anak buah ayahnya dari belakang.
“Jika kalian berani, jangan melawan seorang wanita!” desis pria itu saat mengunci pergerakan dari anak buah Michael.
Callista terkesiap melihat ada sosok pria yang membantunya. Rasanya dia ingin menolak bantuan itu tapi tidak mungkin. Akhirnya Callista membiarkan pria itu membantunya melawan pengawal ayahnya.
Callista kembali melawan pengawal dari ayahnya, hingga mereka tersungkur di lantai dan meninggalkan Callista.
“Terima kasih,” ucap Callista pada pria di hadapanya itu. Namun pria itu tidak menjawab saat Callista mengucapkan terima kasih.
Olivia mulai membuka matanya, sejak tadi saat Callista berkelahi dia terus memejamkan matanya karena tidak berani menatap sahabatnya. Saat Olivia melihat pengawal yang di kirim ayahnya Callista sudah tidak ada, dengan cepat Olivia langsung berlari menghampiri Callista. “Kau tidak apa-apa, Callista? Kau tidak terluka, kan?” Olivia memegang bahu Callista, memeriksa sahabatnya itu memiliki terluka atau tidak.
“Aku baik-baik saja,” balas Callista.
“Maaf Nona, anda harus mengganti kerusakan ini,” kata sang manager yang kini menghampiri Callista.
“Sialan!” umpat Callista. Jika bukan karena ulah ayahnya, tidak mungkin dia harus menngganti kerusakan ini.
“Biar aku yang membayar.” Pria yang tadi membantu Callista menyerahkan black card miliknya pada sang manager untuk membayar semua kerusakan.
Callista tersentak saat pria itu langsung memberikan black card pada manager klub malam itu. “Tuan? Tunggu kenapa anda membayarnya? Aku bisa membayarnya, Tuan.”
***
-To Be Continued
Callista tersentak saat pria itu langsung memberikan black card pada manager klub malam itu. “Tuan? Tunggu kenapa anda membayarnya? Aku bisa membayarnya, Tuan.”Pria itu tidak menjawab, setelah menyelesaikan pembayaran dia langsung berjalan meninggalkan Callista. Callista berteriak agar pria itu berhenti tapi pria itu tidak merespon dirinya.Dengan cepat Callista berlari mengejar pria itu dan kini dia berhasil menahan lengan pria itu. “Tunggu tuan,” ucapnya dengan tergesa-gesa. Pria itu membalikan diri, lalu dia menatap lekat manik mata biru Callista. “Jika kau ingin berterima kasih, maka tidak perlu berterima kasih,” kata pria itu dengan suara dingin.“Bukan, aku bukan hanya ingin berterima kasih. Tapi aku ingin mengganti uangmu, Tuan. Aku tidak ingin memiiki hutang. Berikan nomor rekeningmu, aku akan mentransfer uang ke rekeninmu,” jawab Callista. Dia membalas tatapan pria bermata coklat di hadapannya itu.Pria itu melangkah mendekat dan tersenyum miring lalu berkata, “Jika suatu sa
Sebuah mobil sport berwarna hitam mulai memasuki halamn parkir sebuah mansion yang terletak di Beverly Hills. Malam itu Daniel baru saja kembali dari Barcelona. Dia memilih menikmati waktunya untuk bersantai dengan sahabatnya. Tentu, dia tidak langsung kembali ke rumah. Dia lebih memilih bertemu dengan sahabatnya lebih dulu dari pada harus pulang ke rumahnya. “Tuan Daniel,” sapa Harry kala melihat Daniel turun dari mobil dan hendak melangkah masuk ke dalam rumah. “Kau di sini? Apa ayahku memanggilmu?” Daniel mengerutkan keningnya, dia menatap lekat Harry. Tidak biasanya assistantnya itu datang ke rumahnya di malam hari. Harry mengangguk. “Tuan Besar Gio memanggil saya untuk membahas beberapa pekerjaan.”“Sekarang di mana ayahku?” tanya Daniel dingin. “Tuan Besar Gio sedang beristiahat, Tuan,” jawab Harry. “Maaf, Tuan. Saya ingin mengingatkan besok ada rapat pemegang saham di Queen Hospital.” Daniel mengangguk singkat. “Ya, aku mengingatnya.” “Harry?” panggil Daniel serius. “Ya,
Suara alarm berbunyi, membuat dua wanita yang tengah tertidur pulas harus terbangun karena alarm sejak tadi tidak berhenti. Calllista dan Olivia yang masih tertidur pulas begitu terganggu karena bunyi alarm.“Callista! Kenapa alarmmu berisik sekali! Aku masih mengantuk!” seru Olivia. Dia menutup kepalanya dengan bantal. Sunggguh alarm Callista ini benar-benar mengganggu tidurnya.Callista mengumpat dalam hati, dengan cepat Callista mematikan ponselnya agar alarm itu tidak lagi menganggu tidurnya.Namun saat Callista mematikan ponselnya, tiba-tiba Olivia melempar bantal yang tadi dia gunakan untuk menutup kepalanya, dengan wajah panik Olivia mengambil arloji miliknya. “Astaga Callista kita terlambat!” Suara teriakan Olivia kencang saat melihat kini sudah pukul delapan pagi.Callista tidak bergeming, dia memilih untuk menutup matanya. Callista masih mengantuk dan rasanya dia masih belum ingin membuka matanya.Olivia mengumpat kasar saat melihat Callista masih menutup mata. “Callista bang
Meeting berakhir, suara tepuk tangan memenuhi ruang meeting. Daniel turun dari podium dan melangkah keluar. Callista masih tidak bergeming dari tempatnya. Sedangkan para dokter lain sudah berdiri menyambut pria itu. Callista mendengus tak suka, kenapa para dokter muda bersikap terang-teramgan menyukai pria itu? Sebenarnya tanpa ditanya Callista sudah tahu alasannya. Tentu mereka menyukai pria yang memiliki kekuasaan.“Aku rasa dunia begitu sempit hingga kita bertemu lagi, kau masih mengingatku, Dokter?” kata Pria itu dengan nada rendah, kemudian dia melirik name tag yang tetera nama Dr. Callista. “Well, aku tidak menyangka kau adalah seorang dokter?” lanjutnya dengan seringai di wajahnya.Callista memberanikan diri mendongakan wajahnya, lalu menatap lekat pria yang berada di hadapannya itu. “Maaf, aku tidak tahu kalau kau adalah Tuan Daniel Renaldy pemegang saham di perusahaan ini.”Daniel melangkah mendekat dan tersenyum miring. “Apa kau ingat perkataanku sebelumnya Dokter Callista?”
Sinar matahari pagi yang begitu cerah. Musim kemarau adalah salah satu musim yang Callista sukai. Sebenarnya, semua musim Callista menyukainya. Hanya saja, Callista kurang menyukai musin panas dan juga musin dingin.Callista melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang menuju Renaldy Company. Hari ini dengan terpaksa Callista harus bertemu dengan pria yang menolongnya itu. Entah beruntung atau tidak kenyataannya pria itu ternyata adalah pemegang saham terbesar di rumah sakit tempat di mana dia bekerja.Jika boleh memilih, Callista lebih baik memeriksa pasiennya atau beristirahat di apartemen, dari pada harus bertemu dengan Daniel Renaldy yang telah memaksanya untuk bertemu dengannya. Padahal hari ini Callista memiliki jadwal yang cukup padat di rumah sakit. Beruntung Olivia mau menggantikannya.Callista melirik arloji kini masih pukul sembilan pagi. Setidaknya dia tidak akan terlambat. Mengingat pria itu mengatakan padanya untuk tidak datang terlambat. Lagi pula Callista tidak akan lama,
Callista membelokan mobilnya memasuki halaman parkir rumah sakit. Dia turun dari mobil, dan melangkah masuk ke dalam lobby rumah sakit dan langsung berjalan menuju ruang kerja.“Callista!” Suara teriakan Olivia memanggil Callista cukup keras, hingga membuat Callista menghentikan langkahnya dan mengalihkan pandangannya ke sumber suara yang memanggilnya.Callista mengerutkan keninganya melihat Olivia bersama dengan dua orang Dokter yang tidak di kenalnya. Callista terus menatap kedua Dokter itu. Dia benar-benar tidak mengenali kedua Dokter yang bersama dengan Olivia.“Callista kau baru datang?” tanya Olivia saat dirinya sudah berada di hadapan Callista.“Ya, aku baru saja datang,” Jawab Callista. “Olivia, apa ini Dokter baru?” tanyanya yang sejak tadi penasaran dengan dua Dokter yang tidak dia kenali ini.“Ah iya benar. Aku lupa memperkenalkanmu. Callista ini Dokter Grace. Dia Dokter Spesialis Kandungan. Sedangkan di sampingnya Dokter Mike, Dokter Spesialis Jantung.” Olivia memperkenalka
Daniel duduk di kursi kebesarannya. Pikirannya terus memikirkan wanita yang berhasil menarik perhatiannya. Dia sungguh tidak menyangka, wanita yang dia selamatkan ternyata adalah Dokter di rumah sakit miliknya. Ya, dunia terasa begitu sempit. Namun, tidak bisa dipungkiri dirinya begitu bahagia mengetahui Callista adalah dokter di rumah sakit miliknya.Suara ketukan pintu terdengar membuat Daniel menghentikan lamunanya dan mengalihkan pandangannya ke arah pintu. Kemudian, dia langsung menginterupsi untuk masuk.“Tuan,” Harry, assistant Daniel melangkah masuk seraya menundukan kepalanya. “Ada apa, Harry?” tanya Daniel pada assistantnya yang berdiri di hadapannya. “Tuan saya sudah mendapatkan beberapa wanita yang anda inginkan. Wanita berambut coklat dan bermata biru sesuai permintaan anda. Jika anda ingin saya bisa mengatur anda bertemu dengan mereka,” jawab Harry. “Aku tidak membutuhkan mereka. Aku sudah mendapatkan wanita yang tepat menemnaiku,” tukas Daniel dingin. “Maaf, Tuan. An
Suara dering ponsel terdengar. Callista yang masih tertidur pulas harus terbangun karena dering ponsel yang tak kunjung berhenti. Perlahan Callista membuka matanya, dia mengerjap beberaap kali. Tepat di saat Callista sudah membuka matanya, dia menatap jam dinding kini masih pukul enam pagi. Callista mendengus kala ponselnya kembali berdering. Dia paling tidak suka ada yang mengganggunya.“Siapa yang menggangguku di pagi hari,” gerutu Callista kesal. Dengan terpaksa dia mengambil ponselnya yang terletak di atas nakas. Seketika Callista berdecak kala melihat nomor Alice, Ibunya muncul di layar ponselnya. Ingin sekali dia tidak menjawab, tapi jika dia tidaj menjawab, itu sama saja mencari masalah dengan Ibunya itu. Kini Callista menggeser tombol hijau untuk menerima panggilan, sebelum kemudian meletakan ke telinganya. “Ya, Ma,” jawab Callista dengan nada malas saat panggilan terhubung. “Kau di mana, Callista?” Suara Alice, Ibunya terdengat begitu dingin dari seberang line. Callista men
“Ah, lelah sekali.” Callista melangkah keluar dari ruang operasi. Setelah hampir sepuluh jam dia melakukan tindakan, kini dirinya begitu kelelahan.“Callista, apa kau langsung pulang?” tanya Olivia yang juga kelelahan. Dia memijat pelan tekuk lehernya. Tubuhnya seolah benar-benar remuk.“Mungkin iya, tubuhku lelah sekali. Aku ingin berendam,” jawab Callista. “Yasudah, aku ingin ke ruang kerjaku dulu, ya?”Olivia mengangguk. “Ya, aku juga ingin langsung pulang ke rumah.”Callista tersenyum. Kemudian melangkah masuk ke dalam ruang kerjanya. Meski lelah, tapi Callista selalu bahagia setiap kali operasi berhasil menyelamatkan pasiennya.Saat Callista baru saja tiba di ruang kerjanya—dia mendengar suara dering ponsel miliknya terus berdering. Callista mendekat, lalu mengambil ponselnya dan menatap ke layar. Seketika Callista mengembuskan napas kasar ketika melihat nomor Alice, ibunya tert
“Nyonya.” Seorang pelayan menghampiri Alin yang tengah menyirami bunga-bunga di tamannya.“Ada apa?” Alin bertanya pada pelayan yang kini berdiri di hadapannya.“Nyonya, maaf mengganggu anda. Tapi di depan ada tamu yang Bernama Nona Megan Alister ingin bertemu dengan anda. Beliau mengatakan anda sendiri yang mengundangnya,” ujar sang pelayan memberitahu.“Megan sudah datang?” Raut wajah Alin tampak begitu bahagia mendengar Megan Alister sudah datang. Ya, dia mengundang anak dari teman dekatnnya untuk berkunjung ke rumahnya.Sang pelayan menganggukan kepalanya. “Benar, Nyonya.”Alin tersenyum. “Kau siapkan minuman untuknya. Aku akan segera ke depan.”“Baik, Nyonya.” Sang pelayan menundukan kepalanya, lalu pamit undur diri dari hadapan Alina.Alin terus mengembangkan senyumannya. Kini dia berjalan meninggalkan taman itu, menuju tempat di mana Megan Alist
Berita tentang Daniel Renaldy menjalin hubungan dengan Callista Hutomo, putri keluarga keluarga Michael Hutumo telah tersebar. Banyak yang berkomentar mereka adalah pasangan yang sempurna. Selama ini publik tidak pernah tahu tentang Callista. Karena memang hanya Putri sulung Michael hutumo, Jessica yang kerap kali muncul di hadapan media. Banyak orang pikir Michael hanya memiliki satu putri saja. Namun kenyataanya Michael memiliki putri yang berprofesi sebagai Dokter di rumah sakit milik Daniel.Semua berita yang tampil pagi ini, membuat raut wajah Alin berubah dipenuhi dengan amarah. Iris matanya penuh dengan kebencian mendalam.“Sialan!” Alin membanting vas bunga yang ada di hadapannya, hingga pecahan belingnya memenuhi lantai. Sorot mata Alin menajam, berkali-kali Alin mengumpat kasar.“Aku tidak akan pernah membiarkan putraku menikah dengan putrimu, Casandra,” geram Alin penuh dengan kebencian.Kini Alin menyambar kunci mobilny
Michael membanting kasar guci yang ada di ruang kerjanya. Kini, keadaan ruang kerja Michael benar-benar tampak begitu kacau. Terlihat jelas kemarahan di wajahnya. Ya, Micahel tidak mampu lagi mengatasi amarahnya, kala melihat pemberitaan tentang putri bungsunya dan putra dari Gio Renaldy. Michael terus mengumpat kasar, merutuki kebodohannya sampai dia tidak tahu pemilik Queen Hospital, tempat di mana Callista bekerja adalah milik Daniel Renaldy. Jika saja, dia tahu sejak awal, maka ini tidak akan pernah terjadi.“Sialan kau, Gio. Aku tidak akan membiarkan putriku menikah dengan putramu!” geram Michael dengan tangan yang terkepal kuat. Rahangnya mengetat. Kilat kemarahan
Daniel duduk di kursi kebesaraannya. Dia menyandarkan punggungnya di kursi seraya memejamkan matanya lelah. Pikirannya terus memikirkan perkataan kedua orang tuanya. Diawal hubungannya dengan Callista, kedua orang tuanya menyetujui hubungannya. Bahkan kedua orang tuanya begitu mendukung. Tapi, setelah mereka tahu Callista adalah putri Michael Hutomo, mereka langsung melarangnya menjalin hubungan dengan Callista. Daniel merasakan sesuatu hal antara keluarganya dan keluarga Callista.Tanpa ingin lagi berpikir, Daniel langsung menekan tombol interkom. Dia meminta Harry, assistantnya untuk segera datang menemuinya. Tidak lama kemudian, Harry melangkah masuk ke dalam
“Mereka baik,” jawab Daniel dengan nada datar dan tatapan begitu serius pada kekasihnya itu. “Callista, ada hal yang ingin aku tanyakan padamu,” lanjutnya yang membuat Callista bingung.“Ada apa, Daniel? Apa yang ingin kau tanyakan?” Alis Callista saling bertautan. Dia terus menatap Daniel. Sesaat, dia memperlihatkan tatapan Daniel yang terlihat ingin mengatakan sesuatu padanya. Sebuah tatapan yang sangat berbeda dari biasanya.“Apa kau mempercayaiku?” Daniel membawa t
Daniel turun dari mobil, dia melangkah masuk ke dalam rumah dengan wajah dinginnya. Para penjaga dan pelayan yang melihat Daniel datang, mereka langsung menundukan kepala mereka, menyapa Daniel. Namun, Daniel mengabaikan sapaan para penjaga dan pelayannya. Rasa kesal dalam dirinya, membuatnya bersikap dingin pada penjaga dan pelayanna. Kini, dia melangkah menuju ruang keluarga, dan segera menemui kedua orang tuanya itu.Saat Daniel tiba di ruang keluarga, dia mengerutkan keningnya kala melihat wajah muram kedua orang tuanya. Tatapan Daniel menatap mata sembab Alin, ibunya yang tampak begitu jelas habis menangis. Sedangkan wajah Gio, ayahnya terlihat jelas menahan amarahnya.
“Sayang, angkatlah. Siapa tahu itu penting. Jangan seperti itu, ponselmu sejak tadi tidak henyi berdering. Kita masih memiliki banyak waktu bersama.” Callista membawa tangannya megelus rambut Daniel.Daniel membuang napas kasar. Dia tampak begitu enggan menjawab teleponnya itu. Tapi apa yang dikatakan Callista itu benar. Dengan terpaksa, Daniel mengambil ponselnya yang terletak di atas meja itu, lalu mengalihkan pandangannya ke layar. Seketika kening Justin berkerut, melihat nomor Gio, ayahnya muncul di layar ponselnya.
Daniel menyandarkan punggungnya di kursi, seraya memejamkan mata sesaat. Entah kenapa sejak tadi malam, dia terus memikirkan Callista. Dia merasa ada sesuatu yang Callista sembunyikan darinya. Ya, tentu karena Daniel sangat mengenal kekasihnya itu. Sejak dulu, Callista memang tidak hebat menyembunyikan sesuatu. Namun, meski demikian, Daniel langsung menepis segala pikiran negative yang muncul di benaknya. Disaat Daniel sedikit bersantai, pandangan dia teralih pada sebuah televisi yang ada diruangannya. Seketika Daniel menatap pembawa berita yang tengah menyampaikan sesuatu.*Kabar hari in datang dari pengusaha muda Daniel Renaldy. Pewaris dai Renaldy Group ini dikabarkan menjali