Callista membelokan mobilnya memasuki halaman parkir rumah sakit. Dia turun dari mobil, dan melangkah masuk ke dalam lobby rumah sakit dan langsung berjalan menuju ruang kerja.
“Callista!” Suara teriakan Olivia memanggil Callista cukup keras, hingga membuat Callista menghentikan langkahnya dan mengalihkan pandangannya ke sumber suara yang memanggilnya.
Callista mengerutkan keninganya melihat Olivia bersama dengan dua orang Dokter yang tidak di kenalnya. Callista terus menatap kedua Dokter itu. Dia benar-benar tidak mengenali kedua Dokter yang bersama dengan Olivia.
“Callista kau baru datang?” tanya Olivia saat dirinya sudah berada di hadapan Callista.
“Ya, aku baru saja datang,” Jawab Callista. “Olivia, apa ini Dokter baru?” tanyanya yang sejak tadi penasaran dengan dua Dokter yang tidak dia kenali ini.
“Ah iya benar. Aku lupa memperkenalkanmu. Callista ini Dokter Grace. Dia Dokter Spesialis Kandungan. Sedangkan di sampingnya Dokter Mike, Dokter Spesialis Jantung.” Olivia memperkenalkan kedua Dokter yang kini bersama dengannya.
“Dan ini Dokter Callista, dia Dokter Spesialis Bedah.” Olivia memperkenalkan Callista pada kedua dokter yang bersama dengannya itu.
Callista mengulas senyuman hangat di wajahnya. “Selamat bergabung Dokter Grace dan Dokter Mike.”
“Terima kasih Dokter Callista,” balas Grace dengan senyuman ramah ke arah Callista.
“Aku rasa minum kopi bersama sebagai bentuk perkenalan bukan hal yang buruk bukan?” tawar Mike dengan senyuman hangat di wajahnya. Sejak tadi dia tidak henti menatap manik mata biru Callista.
“Aku rasa, itu sangat bagus,” sambung Olivia yang menyetujui ajakan Mike.
“Ya, kau benar,” timpal Callista yang juga menyetujui.
“Bagaimana denganmu, Dokter Grace?” tanya Olivia sambil menatap Grace yang berada di sampingnya.
Grace tersenyum. “Tentu saja aku menyetujuinya.”
Olvia tersenyum, kemudian mereka semua berjalan meninggalkan rumah sakit menuju salah satu kafe terdekat dengan Queen Hospital.
***
Callista dan Olivia serta bersama dengan kedua Dokter baru itu, masuk ke dalam kafe terdekat dengan rumah sakit. kafe ini juga menjadi salah satu tempat favorite Olivia dan Callista. Ketika merasakan jenuh, biasanya Callista dan Olivia selalu mendatangi kafe ini.
Olivia memesan kursi di sudut dekat jendela, lalu dia memesankan kopi espresso dan tiga orange juice beserta dengan beberapa jenis dessert. Mereka melangkah menuju tempat yang sudah di pesan oleh Olivia.
“Dokter Grace, apa aku boleh tahu di mana sebelumnya kau bekerja?” Callista lebih dulu memulai percakapan setelah pelayan mengantarkan makanan.
“Aku dulu tinggal di Paris, aku memiliki butik di sana dan menetap tinggal di Paris selama tiga tahun. Kemudian orang tuaku memaksaku untuk kembali tinggal di Los Angeles, “ jawab Grace yang menceritakan tentang dirinya.
Callista menganggukan kepalanya, kemudian menatap Grace. “Kau memiliki butik di Paris? Apa kau juga memiliki butik di sini?”
“Rencananya aku akan membuka butikku di sini bulan depan. Aku harap kau datang di pembukaan butikku,” balas Grace.
“Ya, aku dan Olivia senang berbelanja. Pasti aku akan datang,” kata Callista begitu antusias. Tentu dia akan datang saat pembukaan butik Grace. Karena memang Callista dan Olivia sama-sama mencintai berbelanja.
“Aku juga pasti datang. Aku tidak sabar menunggu pembukaan butik milikmu,” sambung Olivia yang sudah tidak sabar. Senyum di bibirnya terukir ketika mendengar Grace akan segera membuka butik.
Kini Callista mengalihkan pandangannya pada Mike. “Kalau Dokter Mike sebelumnya bekerja di mana?”
Mike tersenyum tipis. “Aku di Melbourne. Sebelumnya aku bekerja di salah satu rumah sakit di sana.”
Callista kembali menganggukan kepalanya. “Jadi sekarang kau memilih untuk tinggal di sini?”
“Bisa dibilang seperti itu, aku nyaman tinggal di kota ini,” balas Mike.
“Bagaimana denganmu, Dokter Callista? Apa kau sudah lama bekerja di Queen Hospital?” Kali ini Mike yang bertanya pada Callista. Tatapannya tak lepas menatap manik mata biru Callista.
“Belum terlalu lama, aku masih baru dua tahun di rumah sakit ini.” Callista mengambil gelas yang berisikan orange juice, lalu menyesapnya perlahan.
“Apa Dokter Callista sudah menikah?” Mike kembali bertanya. Namun pertanyaannya kali ini sontak membuat Callista terkejut.
Tawa Olivia terdengar kala Mike bertanya tentang pernikahaan pada Callista. Pandangan semua orang kini menatap Olivia yang masih tertawa. Callista menajamkan pandangannya ketika Olivia mentertawakan dirinya. Callista sudah yakin pasti Olivia akan tertawa. Callista mengumpat dalam hati, karena Olivia berani menertawakan dirinya.
“Callista menikah? Dokter Mike apa menurutmu Dokter cantik di hadapanmu ini sudah layak untuk menikah?” Oliva terkekeh geli. Dia hendak menggigit bibir bawahnya untuk menghentikkan tawanya.
Mike tersenyum kaku. “Maaf, apa aku salah bertanya?”
“Oh tidak-tidak Dokter Mike. Jangan dengarkan Dokter Olivia. Dia memang seperti itu.” Calista lebih dulu menjawab. Sungguh memalukan. Olivia menertawakannya tidak tahu tempat. Terlebih di hadapan Dokter baru. Callista terus mengumpat dalam hati. Rasanya ingin sekali mencekik Olivia.
“Kau tidak salah, Dokter Mike. Tapi sayangnya Dokter cantik di hadapanmu ini belum menikah atau memiliki kekasih. Dokter cantik di hadapanmu ini lebih memilih menyendiri dari pada harus memiliki pasa-“
Callista langsung mencubit keras paha Olivia, membuat ucapan wanita itu terpotong karena harus menahan sakit di pahanya. Callista tidak berhenti mengumpat dalam hati. Bisa-bisanya Olivia mengatakan ini padanya. Andai tidak ada Mike dan Grace sudah pasti Callista mencekik Olivia hingga tidak lagi bisa bernapas.
Olivia meringis kesakitan saat Callista mencubit dirinya. Padahal dia tidak melakukan apa pun. Perkataannya hanya mengatakan kejadian sebenarnya. Lagi pula bagi Olivia bagus kalau ada yang tahu Callista masih sendiri. Itu akan membuka peluang bagi para pria yang ingin mendekati sahabatnya itu.
“Dokter Olivia? Kau tidak apa-apa?” tanya Mike saat melihat wajah Olivia meringis kesakitan.
“T-Tidak, kakiku hanya terbentur meja,” jawab Olivia cepat. Bagaimana Olivia bisa mengatakan sebenarnya jika tangan Callista sudah bersiap-siap mencubitnya lagi.
Mike menganggukan kepalanya. “Hati-hati, Dokter Olivia.”
Olivia meringis. Lalu dia memaksakan senyuman di wajahnya. “Ya ya lain kali aku akan berhati-hati, Dokter Mike.”
“Jadi Dokter Callista masih belum menikah?” Mike kembali melanjutkan pertanyannya. Pasalnya dia masih belum mendapatkan jawaban dari Callista langsung. Tatapan Mike kini kembali menatap manik mata biru Callista. Ya, nyatanya manik mata biru Callista terlihat begitu sangat indah.
Callista tersenyum tipis. “Lebih tepatnya aku masih ingin menikmati kebebasan. Lagi pula usiaku masih sangat muda. Aku ingin fokus dalam karirku terlebih dulu.”
“Great, sangat mengagumkan,” puji Mike.
“Bagaimana dengan anda, Dokter Olivia? Apa Dokter Olivia sudah menikah?” Kali ini Grace bertanya pada Olivia. Tatapan lembutnya menatap Olivia yang duduk di hadapan Grace.
Callista mencebikan bibirnya. “Dia itu sama saja. Olivia masih sendiri.”
Olivia mengumpat dalam hati. Sepertinya Callista balas dendam karena tadi menertawakannya. “Saat ini aku juga masih fokus dalam karir,” jawab Olivia cepat.
“Kalau Dokter Grace apa kau sudah menikah?” tanya Olivia yang langsung mengalihkan pertanyaan Grace. Dia tidak ingin ada pertanyaan selanjutnya tentang dirinya.
Grace tersenyum. “Belum aku masih sendiri dan belum menikah. Sama seperti kalian, aku masih ingin menikmati waktuku dulu dan fokus pada karirku.”
“Rupanya ketiga Dokter cantik yang berada bersama denganku saat ini kalian masih sendiri,” sambung Mike yang sengaja menggoda ketiga wanita yang tengah bersamanya itu.
Terdengar tawa pelan dari Callista, Olivia dan Grace. Karena memang apa yang dikatakan oleh Mike itu benar. Ketiga wanita cantik dan cerdas masih menyendiri dan belum memiliki pasangan.
“Bagaimana denganmu, Dokter Mike?” tanya Olivia yang sudah sejak tadi penasaran.
Mike tersenyum. “Aku sama seperti kalian. Saat ini aku masih menyendiri.”
“Ah, sayang sekali padahal kau sangat tampan,” balas Olivia.
“Aku masih mencari wanita yang tepat untukku,” kata Mike. Namun pandangannya melirik Callista. Olivia mengulum senyumannya kala Mike melirik sahabatnya itu.
“Semoga kau segera mendapatkanya Dokter Mike,” ucap Olivia tulus.
“Lebih baik kita segera kembali sekarang,” sambung Callitsa. Dia melirik arloji mereka sudah meninggalkan rumah sakit selama dua jam. Sudah waktunya untuk segera kembali.
Grace mengangguk setuju. “Kau benar Dokter Callista. Kita harus segera kembali.”
Kemudian Callista meminta bill pada pelayan. Saat Callista ingin membayar, Grace sudah menahannya. Grace ingin dirinya yang membayar tagihan itu. Sayangnya perdebatan Callista dan Grace sia-sia karena Mike sudah lebih dulu mengeluarkan black cardnya dan memberikan pada pelayan.
Callista merasa tidak enak pada Mike, tapi tentu saja Mike tidak mungkin membiarkan seorang wanita yang membayarkan tagihan itu.
Kini mereka mulai berjalan meninggalkan kafe dan menuju rumah sakit. Beruntung jarak antara kafe di mana mereka pergi dan Queen Hospital tidak jauh.
***
-To Be Continued
Daniel duduk di kursi kebesarannya. Pikirannya terus memikirkan wanita yang berhasil menarik perhatiannya. Dia sungguh tidak menyangka, wanita yang dia selamatkan ternyata adalah Dokter di rumah sakit miliknya. Ya, dunia terasa begitu sempit. Namun, tidak bisa dipungkiri dirinya begitu bahagia mengetahui Callista adalah dokter di rumah sakit miliknya.Suara ketukan pintu terdengar membuat Daniel menghentikan lamunanya dan mengalihkan pandangannya ke arah pintu. Kemudian, dia langsung menginterupsi untuk masuk.“Tuan,” Harry, assistant Daniel melangkah masuk seraya menundukan kepalanya. “Ada apa, Harry?” tanya Daniel pada assistantnya yang berdiri di hadapannya. “Tuan saya sudah mendapatkan beberapa wanita yang anda inginkan. Wanita berambut coklat dan bermata biru sesuai permintaan anda. Jika anda ingin saya bisa mengatur anda bertemu dengan mereka,” jawab Harry. “Aku tidak membutuhkan mereka. Aku sudah mendapatkan wanita yang tepat menemnaiku,” tukas Daniel dingin. “Maaf, Tuan. An
Suara dering ponsel terdengar. Callista yang masih tertidur pulas harus terbangun karena dering ponsel yang tak kunjung berhenti. Perlahan Callista membuka matanya, dia mengerjap beberaap kali. Tepat di saat Callista sudah membuka matanya, dia menatap jam dinding kini masih pukul enam pagi. Callista mendengus kala ponselnya kembali berdering. Dia paling tidak suka ada yang mengganggunya.“Siapa yang menggangguku di pagi hari,” gerutu Callista kesal. Dengan terpaksa dia mengambil ponselnya yang terletak di atas nakas. Seketika Callista berdecak kala melihat nomor Alice, Ibunya muncul di layar ponselnya. Ingin sekali dia tidak menjawab, tapi jika dia tidaj menjawab, itu sama saja mencari masalah dengan Ibunya itu. Kini Callista menggeser tombol hijau untuk menerima panggilan, sebelum kemudian meletakan ke telinganya. “Ya, Ma,” jawab Callista dengan nada malas saat panggilan terhubung. “Kau di mana, Callista?” Suara Alice, Ibunya terdengat begitu dingin dari seberang line. Callista men
“Daniel? Kau sudah pulang?” Alin menyapa putranya yang kini melangkah masuk ke dalam rumah. “Tidak biasanya kau pulang lebih awal. Apa hari ini kau tidak memiliki banyak pekerjaan?” tanyanya penarasan.“Ya, hari ini aku tidak terlalu sibuk,” jawab Daniel datar. “Kalau begitu temui ayahmu. Sejak kau kembali dari Barcelona, kau masih belum mengajaknya berbicara banyak,” balas Alin. “Sekarang ayahmu berada di ruang kerjanya. Segera temui dia,” lanjutnya mengingatkan putranya itu. Daniel mengangguk singkat. Kemudian, dia melangkah menuju ruang kerja Gio, ayahnya. Ya, sejak dirinya kembali dari Barcelona, Daniel memang tidak terlalu banyak berbicara dengan ayahnya. Hanya percakapan biasa.“Pa?” panggil Daniel saat melangkah masuk ke dalam ruang kerja Gio. Gio mengalihkan pandangannnya, menatap Daniel. “Kau sudah pulang?” “Sudah.” Daniel menarik kursi, lalu duduk tepat di hadapan ayahnya. “Bagaimana kondisi perusahaan yang kau pimpin di Barcelona?” tanya Gio sambil menatap Daniel serius
“Callista, aku sudah membuatkanmu pasta. Kau makanlah.” Olivia memberikan pasta yang dia buat untuk Callista. Ya, pagi hari Olivia memutuskan untuk memasak. Pasalanya, hari ini Calista bangun terlambat. Dia tidak mau menunggu Callista terlalu lama.“Thanks,” Callista menarik kursi dan langsung duduk tepat di hadapan Olivia. Kemudian, dia mulai menikmati pasta yang dibuat oleh Olivia. “Callista, kemana pelayanmu? Kenapa dia belum datang? Menyusahkanku saja, jika ada pelayanmu pasti aku tidak perlu repot membuat sarapan,” ujar Olivia seraya menyesap coklat panas di tangannya. “Hari ini pelayanku datang jam sepuluh pagi. Aku sengaja memintanya untuk datang setelah aku berangkat ke rumah sakit,” jawab Callista. Olivia mendesah pelan. “Sejak dulu kau tidak berubah. Jika aku menjadi dirimu aku akan memiliki paling tidak dua sampai tiga pelayan.” “Jangan bicara yang tidak-tidak, Olivia,” Callista mengambil gelas yang berisikan orange juice lalu menyesapnya perlahan. “Callista, besok apa
Callista mematut cermin, kini Callista sudah terbalut dengan gaun berwarna maroon. Gaun model x-straps membuat lengkukan indah tubuhnya begitu terlihat sempurna. Callista memoles make up tipis, dia menggulung rambutnya ke atas membuat leher jenjang terlihat begitu indah. Callista memakai perhiasan berlian untuk membuat penampilannya semakin sempurna namun tidak berlebihan.Hari ini Callista dengan terpaksa harus menemani Daniel. sesuai dengan keinginan dari Daniel Renaldy yang telah menjebak Callista. Hingga membuat Callista tidak bisa menolak permintaan dari pemilik rumah sakit tempat di mana dia bekerja. Dan ini adalah pertama kali bagi Callista pergi ke pesta bersama dengan seorang pria. Karena memang selama ini Callista lebih sering datang ke pesta bersama Jessica atau dengan Olivia.Dering ponsel terdengar, Callitsa mengambil ponsel di atas meja. Dia mengernyitkan keningnya ketika melihat nomor tidak di kenal mengirimkan pesan. Callista mengusap layar untuk membuka pesan dari nomo
Callista bisa bernapas lega, dia menyandarkan punggungnya di mobil Daniel. Setidaknya dia bisa selamat. Jika sampai Jessica melihat dirinya bersama dengan Daniel, dia yakin Jessica akan berbicara pada ayahnya. Callista melirik arloji kini sudah pukul sepuluh malam. Dia sudah mengirimkan pesan pada Daniel jika dia menunggu di tempat parkiran. Tidak perduli Daniel akan marah, nanti Callista akan mencari alasan yang tepat. Dia hanya tidak ingin jika Jessica melihatnya. Terpenting Callista sudah mencari alasan jika dirinya sedang sakit perut. “Kenapa kau pergi meninggalkan pesta?” Suara Daniel berseru dari arah belakang. Callista membalikan tubuhnya saat mendengar suara dari arah belakang. Callista tersenyum kaku saat melihat Daniel. Callista berusaha berpura-pura menunjukan jika perutnya sedang sakit. “Ah, aku bukan pergi dari pesta. Tapi perutku sakit.” Callista memegang perutnya, berusaha meyakinkan Daniel agar percaya padanya. Namun pria itu rupanya memasang wajah datar. Daniel mena
Daniel menghentikan mobilnya di pinggir jalan. Dia menoleh dan menatap Callista. Tatapannya begitu santai melihat manik mata biru Callista. Dia mengulas senyuman tipis di wajahnya mengingat amarah Callista. “Jadi menurutmu, aku ini brengsek?” tanyanya dengan nada yang terlihat tidak perduli dengan apa yang dikatakan Callista. Callista menghunuskan tatapan tajam ke arah Daniel. “Kau membuang seorang wanita! Kalau bukan brengsek apa namanya?” tantang Callista.Daniel mendekatkan dirinya pada Callisa. Lalu menyunggingkan senyuman miring. “Well, aku akan menunjukan apa maksud dari kata brengsek.”Callista mengerjap, dia mencerna perkataaan Daniel. “Apa maksud-“Mata Callista membulat sempurna, saat Daniel menarik tengkuk lehernya. Dengan berani Daniel membenamkan bibirnya di bibir Callista hingga membuat Callista seakan membeku dan tidak mampu bergerak. Rasanya tubuh Callista ini begitu mati rasa, bahkan Callista sama sekali tidak bergeming.Bibir Daniel terus melumat dengan lembut bibir
Daniel tersenyum saat Callista mematikan telepon darinya. Ya, nyantanya wanita itu memang sangat keras kepala. Kemudian, Daniel melangkah menuju ruang makan. Dia melihat orang tua dan adiknya sudah lebih dulu berada di ruang makan. Daniel berjalan masuk dan duduk di samping adiknya.“Morning ka,” sapa Grace saat melihat Daniel.“Morning,” balas Daniel singkat.Tidak lama kemudian, pelayan mengantarkan roti gandum dan kopi espresso untuk Daniel.“Daniel, tadi malam kau kemana?” tanya Alin sambal menatap Daniel yang tengah menikmati sarapannya.“Aku datang ke pesta pertunangan Jonathan,” jawab Daniel datar.“Kau datang ke pesta petuangan Jonathan?” kali ini Gio bertanya pada putranya itu. Karena yang dia tahu, biasanya Daniel jarang menghadiri pesta. Terlebih jika itu pesta pertunangan atau pernikahan.Daniel mengangguk samar. “Aku tidak mungkin tidak datang. Perusahaan kita cukup banyak terlibat kerja sama dengan Jonathan.”“Ka, apa kau pergi sendiri ke pesta?” Sudah sejak tadi Grace su
“Ah, lelah sekali.” Callista melangkah keluar dari ruang operasi. Setelah hampir sepuluh jam dia melakukan tindakan, kini dirinya begitu kelelahan.“Callista, apa kau langsung pulang?” tanya Olivia yang juga kelelahan. Dia memijat pelan tekuk lehernya. Tubuhnya seolah benar-benar remuk.“Mungkin iya, tubuhku lelah sekali. Aku ingin berendam,” jawab Callista. “Yasudah, aku ingin ke ruang kerjaku dulu, ya?”Olivia mengangguk. “Ya, aku juga ingin langsung pulang ke rumah.”Callista tersenyum. Kemudian melangkah masuk ke dalam ruang kerjanya. Meski lelah, tapi Callista selalu bahagia setiap kali operasi berhasil menyelamatkan pasiennya.Saat Callista baru saja tiba di ruang kerjanya—dia mendengar suara dering ponsel miliknya terus berdering. Callista mendekat, lalu mengambil ponselnya dan menatap ke layar. Seketika Callista mengembuskan napas kasar ketika melihat nomor Alice, ibunya tert
“Nyonya.” Seorang pelayan menghampiri Alin yang tengah menyirami bunga-bunga di tamannya.“Ada apa?” Alin bertanya pada pelayan yang kini berdiri di hadapannya.“Nyonya, maaf mengganggu anda. Tapi di depan ada tamu yang Bernama Nona Megan Alister ingin bertemu dengan anda. Beliau mengatakan anda sendiri yang mengundangnya,” ujar sang pelayan memberitahu.“Megan sudah datang?” Raut wajah Alin tampak begitu bahagia mendengar Megan Alister sudah datang. Ya, dia mengundang anak dari teman dekatnnya untuk berkunjung ke rumahnya.Sang pelayan menganggukan kepalanya. “Benar, Nyonya.”Alin tersenyum. “Kau siapkan minuman untuknya. Aku akan segera ke depan.”“Baik, Nyonya.” Sang pelayan menundukan kepalanya, lalu pamit undur diri dari hadapan Alina.Alin terus mengembangkan senyumannya. Kini dia berjalan meninggalkan taman itu, menuju tempat di mana Megan Alist
Berita tentang Daniel Renaldy menjalin hubungan dengan Callista Hutomo, putri keluarga keluarga Michael Hutumo telah tersebar. Banyak yang berkomentar mereka adalah pasangan yang sempurna. Selama ini publik tidak pernah tahu tentang Callista. Karena memang hanya Putri sulung Michael hutumo, Jessica yang kerap kali muncul di hadapan media. Banyak orang pikir Michael hanya memiliki satu putri saja. Namun kenyataanya Michael memiliki putri yang berprofesi sebagai Dokter di rumah sakit milik Daniel.Semua berita yang tampil pagi ini, membuat raut wajah Alin berubah dipenuhi dengan amarah. Iris matanya penuh dengan kebencian mendalam.“Sialan!” Alin membanting vas bunga yang ada di hadapannya, hingga pecahan belingnya memenuhi lantai. Sorot mata Alin menajam, berkali-kali Alin mengumpat kasar.“Aku tidak akan pernah membiarkan putraku menikah dengan putrimu, Casandra,” geram Alin penuh dengan kebencian.Kini Alin menyambar kunci mobilny
Michael membanting kasar guci yang ada di ruang kerjanya. Kini, keadaan ruang kerja Michael benar-benar tampak begitu kacau. Terlihat jelas kemarahan di wajahnya. Ya, Micahel tidak mampu lagi mengatasi amarahnya, kala melihat pemberitaan tentang putri bungsunya dan putra dari Gio Renaldy. Michael terus mengumpat kasar, merutuki kebodohannya sampai dia tidak tahu pemilik Queen Hospital, tempat di mana Callista bekerja adalah milik Daniel Renaldy. Jika saja, dia tahu sejak awal, maka ini tidak akan pernah terjadi.“Sialan kau, Gio. Aku tidak akan membiarkan putriku menikah dengan putramu!” geram Michael dengan tangan yang terkepal kuat. Rahangnya mengetat. Kilat kemarahan
Daniel duduk di kursi kebesaraannya. Dia menyandarkan punggungnya di kursi seraya memejamkan matanya lelah. Pikirannya terus memikirkan perkataan kedua orang tuanya. Diawal hubungannya dengan Callista, kedua orang tuanya menyetujui hubungannya. Bahkan kedua orang tuanya begitu mendukung. Tapi, setelah mereka tahu Callista adalah putri Michael Hutomo, mereka langsung melarangnya menjalin hubungan dengan Callista. Daniel merasakan sesuatu hal antara keluarganya dan keluarga Callista.Tanpa ingin lagi berpikir, Daniel langsung menekan tombol interkom. Dia meminta Harry, assistantnya untuk segera datang menemuinya. Tidak lama kemudian, Harry melangkah masuk ke dalam
“Mereka baik,” jawab Daniel dengan nada datar dan tatapan begitu serius pada kekasihnya itu. “Callista, ada hal yang ingin aku tanyakan padamu,” lanjutnya yang membuat Callista bingung.“Ada apa, Daniel? Apa yang ingin kau tanyakan?” Alis Callista saling bertautan. Dia terus menatap Daniel. Sesaat, dia memperlihatkan tatapan Daniel yang terlihat ingin mengatakan sesuatu padanya. Sebuah tatapan yang sangat berbeda dari biasanya.“Apa kau mempercayaiku?” Daniel membawa t
Daniel turun dari mobil, dia melangkah masuk ke dalam rumah dengan wajah dinginnya. Para penjaga dan pelayan yang melihat Daniel datang, mereka langsung menundukan kepala mereka, menyapa Daniel. Namun, Daniel mengabaikan sapaan para penjaga dan pelayannya. Rasa kesal dalam dirinya, membuatnya bersikap dingin pada penjaga dan pelayanna. Kini, dia melangkah menuju ruang keluarga, dan segera menemui kedua orang tuanya itu.Saat Daniel tiba di ruang keluarga, dia mengerutkan keningnya kala melihat wajah muram kedua orang tuanya. Tatapan Daniel menatap mata sembab Alin, ibunya yang tampak begitu jelas habis menangis. Sedangkan wajah Gio, ayahnya terlihat jelas menahan amarahnya.
“Sayang, angkatlah. Siapa tahu itu penting. Jangan seperti itu, ponselmu sejak tadi tidak henyi berdering. Kita masih memiliki banyak waktu bersama.” Callista membawa tangannya megelus rambut Daniel.Daniel membuang napas kasar. Dia tampak begitu enggan menjawab teleponnya itu. Tapi apa yang dikatakan Callista itu benar. Dengan terpaksa, Daniel mengambil ponselnya yang terletak di atas meja itu, lalu mengalihkan pandangannya ke layar. Seketika kening Justin berkerut, melihat nomor Gio, ayahnya muncul di layar ponselnya.
Daniel menyandarkan punggungnya di kursi, seraya memejamkan mata sesaat. Entah kenapa sejak tadi malam, dia terus memikirkan Callista. Dia merasa ada sesuatu yang Callista sembunyikan darinya. Ya, tentu karena Daniel sangat mengenal kekasihnya itu. Sejak dulu, Callista memang tidak hebat menyembunyikan sesuatu. Namun, meski demikian, Daniel langsung menepis segala pikiran negative yang muncul di benaknya. Disaat Daniel sedikit bersantai, pandangan dia teralih pada sebuah televisi yang ada diruangannya. Seketika Daniel menatap pembawa berita yang tengah menyampaikan sesuatu.*Kabar hari in datang dari pengusaha muda Daniel Renaldy. Pewaris dai Renaldy Group ini dikabarkan menjali