Sinar matahari pagi yang begitu cerah. Musim kemarau adalah salah satu musim yang Callista sukai. Sebenarnya, semua musim Callista menyukainya. Hanya saja, Callista kurang menyukai musin panas dan juga musin dingin.
Callista melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang menuju Renaldy Company. Hari ini dengan terpaksa Callista harus bertemu dengan pria yang menolongnya itu. Entah beruntung atau tidak kenyataannya pria itu ternyata adalah pemegang saham terbesar di rumah sakit tempat di mana dia bekerja.
Jika boleh memilih, Callista lebih baik memeriksa pasiennya atau beristirahat di apartemen, dari pada harus bertemu dengan Daniel Renaldy yang telah memaksanya untuk bertemu dengannya. Padahal hari ini Callista memiliki jadwal yang cukup padat di rumah sakit. Beruntung Olivia mau menggantikannya.
Callista melirik arloji kini masih pukul sembilan pagi. Setidaknya dia tidak akan terlambat. Mengingat pria itu mengatakan padanya untuk tidak datang terlambat. Lagi pula Callista tidak akan lama, saat ini Callista sudah membawa cukup banyak uang tunai untuk mengganti uang yang telah dikeluarkan oleh Daniel.
Kini Callista sudah tiba di gedung milik Renaldy Company. Tertera logo R di gedung itu. Callitsa membelokan mobilnya masuk ke dalam halaman parkir dari Renaldy Company. Kemudian, Callista turun dari mobil. Callista melepaskan kaca mata hitamnya dan meletakan di atas kepala.
Callista melangkah mendekat ke arah receptionist. Sebenarnya bisa saja Callista menghubungi Danel jika dia sudah tiba. Tapi Callista lebih memilih untuk tidak mengabari Daniel.
“Selamat pagi, Nona. Ada yang bisa saya bantu?” tanya sang receptionist dengan ramah saat melihat Callista.
“Pagi, aku Callista. Aku ingin bertemu dengan Tuan Daniel Renaldy,” jawab Callista dengan senyuman di wajahnya.
“Maaf Nona, apa anda sebelumnya sudah membuat janji pada Tuan Daniel?” tanya receptionist itu kembali.
Callista mengangguk samar. “Sudah, aku sudah membuat janji padanya. Kau bisa menghubunginya untuk mengkonfirmasi kedatanganku.”
“Baik, Nona, mohon ditunggu. Saya akan mengkonfirmasi sebantar,” ucap receptionist itu. Callista kembali mengangguk. Setelah itu sang receptonist segera melakukan panggilan.
Callista mengalihkan pandangannya, dia menatap setiap sudut lobby perusahaan yang terlihat sangat elegan. Perpaduan warna gold dan silver membuat lobby perusahaan ini layaknya hotel berbintang lima. Harus Callista akui, tatanan perusahaan ini begitu indah dan mewah.
“Nona Callista,” panggil receptionist itu yang membuat Callista kembali melihat ke arah receptionist. “Ya? Kau sudah konfirmasi kedatanganku?” tanya Callista memastikan.
“Sudah, Nona, anda bisa langsung naik ke lantai 95. Di sana ruang kerja Tuan Daniel,” kata receptionist itu sembari memberikan kartu akses gedung pada Callista.
“Terima kasih,” Callista mengambil kartu akses gedung, lalu dia melangkah menuju lift.
Ting
Pintu lift terbuka, Callista melangkah keluar dari lift. Dia menatap ruangan besar disudut kanan. Namun saat Callista ingin melanjutkan langkahkanya, tiba-tiba muncul sosok pria terbalut jas berwara hitam formal. Pria itu menundukan kepalanya saat melihat Callista.
“Selamat pagi Nona Callista, perkenalkan saya Harry assistant pribadi Tuan Muda Daniel,” sapa pria yang di hadapan Callista yang bernama Harry.
Callista tersenyum ramah. “Selamat pagi. Aku Callista. Apa Tuan Daniel ada di ruang kerjanya?”
“Ada Nona, Tuan sudah menunggu kedatangan anda. Mari saya antar, Nona,” kata Harry. Callista mengangguk. Kemudian Harry berjalan menuju ruang kerja Daniel. Callista mengikutinya dari belakang.
“Silahkan masuk, Nona.” Setelah membukakan pintu, Harry langsung mempersilahkan Callista untuk masuk.
“Terima kasih,” balas Callista. Dia melangkah masuk ke dalam ruang kerja Daniel. Saat Callista masuk ke dalam ruang kerja Daniel, Calista sudah tahu jika dirinya terus di tatap oleh Daniel yang duduk di kursi.
“Kau terlambat sepuluh menit Dokter Callista,” tukas Daniel dingin.
Callista mendengus kesal. Dia melangkah mendekat ke arah Daniel. “Aku sudah sejak tadi datang. Tapi receptinionistmu itu mengatakan harus melakukan konfirmasi terlebih dulu. Jadi jangan menyalahkanku Tuan Daniel.”
“Kenapa kau tidak memberitahuku kalau kau sudah di lobby? Aku bisa meminta Harry untuk menjemputmu,” balas Daniel yang tetap tidak menerima alasan.
Callista membuang napas kasar. “Dengarkan aku Tuan Daniel Renaldy, jangan lagi mempersalahkan ini. Aku datang ke sini untuk membayar hutangku.”
Daniel tersenyum miring. “Well, rupanya kau sudah tidak sabar.”
“Katakan berapa hutangku? Aku akan membayarnya hari ini.” Callista mengambil amplop coklat yang berada di dalam tasnya. Dia meletakan amplop coklat itu di atas meja.
“Uangku sudah banyak, aku tidak membutuhkan uangmu!” tukas Daniel tegas.
“Lalu kenapa kau memintaku untuk datang? Kau mengatakan aku harus membayar hutang,” balas Callista kesal. Dia berusaha menahan emosinya.
“Ya, kau harus membayarnya tapi sudah aku katakan sejak awal kau membayarnya bukan dengan uang,” tukas Daniel menekankan. Dia terus menatap lekat wanita yang duduk di hadapannya.
Callista menarik napas dalam dan menghembuskan perlahan. Kepalanya pusing saat berhadapan dengan pria di hadapannya ini. Dia sendiri tidak tahu apa yang diinginkan pria yang ada di hadapannya ini.
“Tuan Daniel Renaldy, bisakah kau katakan padaku apa yang kau inginkan? Aku harus segera kembali ke rumah sakit. Hari ini aku memiliki jadwal cukup padat.” Callista mencoba mendesak pria di hadapannya ini untuk tidak menunda waktu. Karena memag hari ini Callista memiliki jadwal yang cukup padat.
Daniel beranjak dari tampat duduknya, dia melangkah mendekat ke arah Callista. Dia menyunggingkan senyum di bibirnya saat melihat Callista. Dia terus menatap wanita yang berada di depannya ini. Manik mata berwarna biru yang meninggalkan kesan di matanya.
“Alright, aku hanya ingin kau temani aku ke pesta pertunangan rekan bisnisku,” kata Daniel dengan santai. Namun, Callista tersentak dengan apa yang diminta oleh Daniel.
“Apa kau tidak salah? Aku harus menemanimu ke pesta pertunangan rekan bisnismu? Kenapa harus aku?” Callista menatap Daniel tidak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar ini.
“Apa kau ingin minum sesuatu?” Daniel melangkah menuju lemari minuman. Dia mengambil botol wine dan dua gelas sloki. Lalu menuangkan wine itu ke dua gelas sloki. Daniel memberikannya pada wanita di hadapannya itu. “Memulai sebuah percakapan dengan minum, aku rasa tidak buruk bukan? Hanya satu gelas tentu tidak akan membuatmu mabuk, Dokter Callista,” lanjutnya dengan tatapan yang tidak lepas menatap manik mata biru Callista.
“Hem.. A-aku,” Callista menemarima gelas sloki itu, tapi tidak mungkin dia meminum wine di pagi hari seperti ini. Terlebih Callista yakin ini bukan wine tanpa alkohol. Sedangkan dirinya tidak pernah bisa meminum minuman beralkohol.
Daniel terdiam menatap Callista yang terlihat gugup saat menerima gelas sloki. Dia kembali menyunggingkan senyuman tipis. “Apa kau bisa minum alkohol?” Daniel menebak dari raut wajah wanita di hadapannya ini terlihat panik dan takut.
Callista meletakan gelas sloki di tangannya ke atas meja, lalu dia menatap pria di hadapannya. Manik mata berwarna coklat milik pria di hadapannya ini mampu membuatnya tidak henti menatap pria itu. Namun dengan cepat Callista menyingkirkan pikirannya.
“Benar Tuan, aku tidak bisa meminum minuman beralkohol. Mengingat aku ini adalah seorang dokter. Tentu aku harus menjaga kesehatan ku.” Callista menjelaskan dengan tegas.
Daniel menyesap wine di tangannya. “Adikku juga seroang dokter. Tapi dia hebat dalam minum alkohol.”
Callista menggeram, pria di hadapannya ini sungguh menyebalkan. “Dan aku bukan adikmu, Tuan.”
Daniel mengedikan bahunya acuh. “Sekitar empat hari lagi, kau harus menemaniku ke pesta pertunangan rekan bisnisku. Assistantku akan menjemput mu.”
Callista tergelak. Dia mendelik menatap pria itu. “Memangnya aku ini sudah menyetujuinya? Bahkan aku belum mengatakan apapun.”
Daniel tersenyum miring. “Aku rasa kau tau bukan? Aku adalah pemegang saham di rumah sakit tempatmu bekerja. Jadi kau tidak ada alasan untuk menolakku, bukan? Kau hanya memiliki pilihan untuk menerimanya.”
Callista mengumpat dalam hati, dia mengepalkan tangannya dengan kuat. “Jadi kau mengancamku dengan posisi yang kau miliki?” Callista menggeram, dia berusaha mengendalikan emosinya.
Daniel menggerakan gelas sloki ditangannya berirama, pandangannya tetap menatap wanita di hadapannya. “Aku rasa tidak ada salahnya untuk menggunakan kekuasaan yang aku miliki untuk mencapai tujuanku bukan?”
Callista membuang napas kasar. “Fine! Terserah kau, tapi aku saja belum memberitahu alamat apartemenku? Bagaimana kau begitu yakin bisa menemukan apartemenku?”
Daniel tersenyum tipis “Kau Dokter di rumah sakit milikku. Tidak mungkin aku tidak tahu tentang datamu bukan?”
Callista benar-benar bodoh bertanya ini. Dia tidak henti mengumpat dalam hati. Jelas-jelas pria di hadapannya ini adalah pemilik rumah sakit tempat di mana dia bekerja. Tentu pria ini tahu dimana alamantnya tinggal. Seketika Callista merasa beruntung, karena dia selalu menyantumkan alamat apartemen miliknya. Bukan rumah keluarganya.
“Baiklah, aku rasa pembicaraan kita cukup sampai di sini. Aku harus segera kembali ke rumah sakit.” Callista beranjak dari tempat duduknya, lalu berbalik dan langsung berjalan meninggalkan ruang kerja Daniel. Dia tidak memiliki pilihan lain bukan? Karena pria itu menggunakan kekuasaan yang dia miliki.
Daniel terus menatap kepergian Callista. Dia tersenyum tipis, mengingat wanita itu memang tidak bisa menolak dirinya. Dia tidak perlu lagi meminta Harry untuk membawakan wanita yang akan menemaninya ke pesta. Karena kini Daniel sudah memutuskan dokter cantik yang memiliki manik mata berwarana biru itu yang akan menemaninya ke pesta nanti.
***
-To Be Continued
Callista membelokan mobilnya memasuki halaman parkir rumah sakit. Dia turun dari mobil, dan melangkah masuk ke dalam lobby rumah sakit dan langsung berjalan menuju ruang kerja.“Callista!” Suara teriakan Olivia memanggil Callista cukup keras, hingga membuat Callista menghentikan langkahnya dan mengalihkan pandangannya ke sumber suara yang memanggilnya.Callista mengerutkan keninganya melihat Olivia bersama dengan dua orang Dokter yang tidak di kenalnya. Callista terus menatap kedua Dokter itu. Dia benar-benar tidak mengenali kedua Dokter yang bersama dengan Olivia.“Callista kau baru datang?” tanya Olivia saat dirinya sudah berada di hadapan Callista.“Ya, aku baru saja datang,” Jawab Callista. “Olivia, apa ini Dokter baru?” tanyanya yang sejak tadi penasaran dengan dua Dokter yang tidak dia kenali ini.“Ah iya benar. Aku lupa memperkenalkanmu. Callista ini Dokter Grace. Dia Dokter Spesialis Kandungan. Sedangkan di sampingnya Dokter Mike, Dokter Spesialis Jantung.” Olivia memperkenalka
Daniel duduk di kursi kebesarannya. Pikirannya terus memikirkan wanita yang berhasil menarik perhatiannya. Dia sungguh tidak menyangka, wanita yang dia selamatkan ternyata adalah Dokter di rumah sakit miliknya. Ya, dunia terasa begitu sempit. Namun, tidak bisa dipungkiri dirinya begitu bahagia mengetahui Callista adalah dokter di rumah sakit miliknya.Suara ketukan pintu terdengar membuat Daniel menghentikan lamunanya dan mengalihkan pandangannya ke arah pintu. Kemudian, dia langsung menginterupsi untuk masuk.“Tuan,” Harry, assistant Daniel melangkah masuk seraya menundukan kepalanya. “Ada apa, Harry?” tanya Daniel pada assistantnya yang berdiri di hadapannya. “Tuan saya sudah mendapatkan beberapa wanita yang anda inginkan. Wanita berambut coklat dan bermata biru sesuai permintaan anda. Jika anda ingin saya bisa mengatur anda bertemu dengan mereka,” jawab Harry. “Aku tidak membutuhkan mereka. Aku sudah mendapatkan wanita yang tepat menemnaiku,” tukas Daniel dingin. “Maaf, Tuan. An
Suara dering ponsel terdengar. Callista yang masih tertidur pulas harus terbangun karena dering ponsel yang tak kunjung berhenti. Perlahan Callista membuka matanya, dia mengerjap beberaap kali. Tepat di saat Callista sudah membuka matanya, dia menatap jam dinding kini masih pukul enam pagi. Callista mendengus kala ponselnya kembali berdering. Dia paling tidak suka ada yang mengganggunya.“Siapa yang menggangguku di pagi hari,” gerutu Callista kesal. Dengan terpaksa dia mengambil ponselnya yang terletak di atas nakas. Seketika Callista berdecak kala melihat nomor Alice, Ibunya muncul di layar ponselnya. Ingin sekali dia tidak menjawab, tapi jika dia tidaj menjawab, itu sama saja mencari masalah dengan Ibunya itu. Kini Callista menggeser tombol hijau untuk menerima panggilan, sebelum kemudian meletakan ke telinganya. “Ya, Ma,” jawab Callista dengan nada malas saat panggilan terhubung. “Kau di mana, Callista?” Suara Alice, Ibunya terdengat begitu dingin dari seberang line. Callista men
“Daniel? Kau sudah pulang?” Alin menyapa putranya yang kini melangkah masuk ke dalam rumah. “Tidak biasanya kau pulang lebih awal. Apa hari ini kau tidak memiliki banyak pekerjaan?” tanyanya penarasan.“Ya, hari ini aku tidak terlalu sibuk,” jawab Daniel datar. “Kalau begitu temui ayahmu. Sejak kau kembali dari Barcelona, kau masih belum mengajaknya berbicara banyak,” balas Alin. “Sekarang ayahmu berada di ruang kerjanya. Segera temui dia,” lanjutnya mengingatkan putranya itu. Daniel mengangguk singkat. Kemudian, dia melangkah menuju ruang kerja Gio, ayahnya. Ya, sejak dirinya kembali dari Barcelona, Daniel memang tidak terlalu banyak berbicara dengan ayahnya. Hanya percakapan biasa.“Pa?” panggil Daniel saat melangkah masuk ke dalam ruang kerja Gio. Gio mengalihkan pandangannnya, menatap Daniel. “Kau sudah pulang?” “Sudah.” Daniel menarik kursi, lalu duduk tepat di hadapan ayahnya. “Bagaimana kondisi perusahaan yang kau pimpin di Barcelona?” tanya Gio sambil menatap Daniel serius
“Callista, aku sudah membuatkanmu pasta. Kau makanlah.” Olivia memberikan pasta yang dia buat untuk Callista. Ya, pagi hari Olivia memutuskan untuk memasak. Pasalanya, hari ini Calista bangun terlambat. Dia tidak mau menunggu Callista terlalu lama.“Thanks,” Callista menarik kursi dan langsung duduk tepat di hadapan Olivia. Kemudian, dia mulai menikmati pasta yang dibuat oleh Olivia. “Callista, kemana pelayanmu? Kenapa dia belum datang? Menyusahkanku saja, jika ada pelayanmu pasti aku tidak perlu repot membuat sarapan,” ujar Olivia seraya menyesap coklat panas di tangannya. “Hari ini pelayanku datang jam sepuluh pagi. Aku sengaja memintanya untuk datang setelah aku berangkat ke rumah sakit,” jawab Callista. Olivia mendesah pelan. “Sejak dulu kau tidak berubah. Jika aku menjadi dirimu aku akan memiliki paling tidak dua sampai tiga pelayan.” “Jangan bicara yang tidak-tidak, Olivia,” Callista mengambil gelas yang berisikan orange juice lalu menyesapnya perlahan. “Callista, besok apa
Callista mematut cermin, kini Callista sudah terbalut dengan gaun berwarna maroon. Gaun model x-straps membuat lengkukan indah tubuhnya begitu terlihat sempurna. Callista memoles make up tipis, dia menggulung rambutnya ke atas membuat leher jenjang terlihat begitu indah. Callista memakai perhiasan berlian untuk membuat penampilannya semakin sempurna namun tidak berlebihan.Hari ini Callista dengan terpaksa harus menemani Daniel. sesuai dengan keinginan dari Daniel Renaldy yang telah menjebak Callista. Hingga membuat Callista tidak bisa menolak permintaan dari pemilik rumah sakit tempat di mana dia bekerja. Dan ini adalah pertama kali bagi Callista pergi ke pesta bersama dengan seorang pria. Karena memang selama ini Callista lebih sering datang ke pesta bersama Jessica atau dengan Olivia.Dering ponsel terdengar, Callitsa mengambil ponsel di atas meja. Dia mengernyitkan keningnya ketika melihat nomor tidak di kenal mengirimkan pesan. Callista mengusap layar untuk membuka pesan dari nomo
Callista bisa bernapas lega, dia menyandarkan punggungnya di mobil Daniel. Setidaknya dia bisa selamat. Jika sampai Jessica melihat dirinya bersama dengan Daniel, dia yakin Jessica akan berbicara pada ayahnya. Callista melirik arloji kini sudah pukul sepuluh malam. Dia sudah mengirimkan pesan pada Daniel jika dia menunggu di tempat parkiran. Tidak perduli Daniel akan marah, nanti Callista akan mencari alasan yang tepat. Dia hanya tidak ingin jika Jessica melihatnya. Terpenting Callista sudah mencari alasan jika dirinya sedang sakit perut. “Kenapa kau pergi meninggalkan pesta?” Suara Daniel berseru dari arah belakang. Callista membalikan tubuhnya saat mendengar suara dari arah belakang. Callista tersenyum kaku saat melihat Daniel. Callista berusaha berpura-pura menunjukan jika perutnya sedang sakit. “Ah, aku bukan pergi dari pesta. Tapi perutku sakit.” Callista memegang perutnya, berusaha meyakinkan Daniel agar percaya padanya. Namun pria itu rupanya memasang wajah datar. Daniel mena
Daniel menghentikan mobilnya di pinggir jalan. Dia menoleh dan menatap Callista. Tatapannya begitu santai melihat manik mata biru Callista. Dia mengulas senyuman tipis di wajahnya mengingat amarah Callista. “Jadi menurutmu, aku ini brengsek?” tanyanya dengan nada yang terlihat tidak perduli dengan apa yang dikatakan Callista. Callista menghunuskan tatapan tajam ke arah Daniel. “Kau membuang seorang wanita! Kalau bukan brengsek apa namanya?” tantang Callista.Daniel mendekatkan dirinya pada Callisa. Lalu menyunggingkan senyuman miring. “Well, aku akan menunjukan apa maksud dari kata brengsek.”Callista mengerjap, dia mencerna perkataaan Daniel. “Apa maksud-“Mata Callista membulat sempurna, saat Daniel menarik tengkuk lehernya. Dengan berani Daniel membenamkan bibirnya di bibir Callista hingga membuat Callista seakan membeku dan tidak mampu bergerak. Rasanya tubuh Callista ini begitu mati rasa, bahkan Callista sama sekali tidak bergeming.Bibir Daniel terus melumat dengan lembut bibir
“Ah, lelah sekali.” Callista melangkah keluar dari ruang operasi. Setelah hampir sepuluh jam dia melakukan tindakan, kini dirinya begitu kelelahan.“Callista, apa kau langsung pulang?” tanya Olivia yang juga kelelahan. Dia memijat pelan tekuk lehernya. Tubuhnya seolah benar-benar remuk.“Mungkin iya, tubuhku lelah sekali. Aku ingin berendam,” jawab Callista. “Yasudah, aku ingin ke ruang kerjaku dulu, ya?”Olivia mengangguk. “Ya, aku juga ingin langsung pulang ke rumah.”Callista tersenyum. Kemudian melangkah masuk ke dalam ruang kerjanya. Meski lelah, tapi Callista selalu bahagia setiap kali operasi berhasil menyelamatkan pasiennya.Saat Callista baru saja tiba di ruang kerjanya—dia mendengar suara dering ponsel miliknya terus berdering. Callista mendekat, lalu mengambil ponselnya dan menatap ke layar. Seketika Callista mengembuskan napas kasar ketika melihat nomor Alice, ibunya tert
“Nyonya.” Seorang pelayan menghampiri Alin yang tengah menyirami bunga-bunga di tamannya.“Ada apa?” Alin bertanya pada pelayan yang kini berdiri di hadapannya.“Nyonya, maaf mengganggu anda. Tapi di depan ada tamu yang Bernama Nona Megan Alister ingin bertemu dengan anda. Beliau mengatakan anda sendiri yang mengundangnya,” ujar sang pelayan memberitahu.“Megan sudah datang?” Raut wajah Alin tampak begitu bahagia mendengar Megan Alister sudah datang. Ya, dia mengundang anak dari teman dekatnnya untuk berkunjung ke rumahnya.Sang pelayan menganggukan kepalanya. “Benar, Nyonya.”Alin tersenyum. “Kau siapkan minuman untuknya. Aku akan segera ke depan.”“Baik, Nyonya.” Sang pelayan menundukan kepalanya, lalu pamit undur diri dari hadapan Alina.Alin terus mengembangkan senyumannya. Kini dia berjalan meninggalkan taman itu, menuju tempat di mana Megan Alist
Berita tentang Daniel Renaldy menjalin hubungan dengan Callista Hutomo, putri keluarga keluarga Michael Hutumo telah tersebar. Banyak yang berkomentar mereka adalah pasangan yang sempurna. Selama ini publik tidak pernah tahu tentang Callista. Karena memang hanya Putri sulung Michael hutumo, Jessica yang kerap kali muncul di hadapan media. Banyak orang pikir Michael hanya memiliki satu putri saja. Namun kenyataanya Michael memiliki putri yang berprofesi sebagai Dokter di rumah sakit milik Daniel.Semua berita yang tampil pagi ini, membuat raut wajah Alin berubah dipenuhi dengan amarah. Iris matanya penuh dengan kebencian mendalam.“Sialan!” Alin membanting vas bunga yang ada di hadapannya, hingga pecahan belingnya memenuhi lantai. Sorot mata Alin menajam, berkali-kali Alin mengumpat kasar.“Aku tidak akan pernah membiarkan putraku menikah dengan putrimu, Casandra,” geram Alin penuh dengan kebencian.Kini Alin menyambar kunci mobilny
Michael membanting kasar guci yang ada di ruang kerjanya. Kini, keadaan ruang kerja Michael benar-benar tampak begitu kacau. Terlihat jelas kemarahan di wajahnya. Ya, Micahel tidak mampu lagi mengatasi amarahnya, kala melihat pemberitaan tentang putri bungsunya dan putra dari Gio Renaldy. Michael terus mengumpat kasar, merutuki kebodohannya sampai dia tidak tahu pemilik Queen Hospital, tempat di mana Callista bekerja adalah milik Daniel Renaldy. Jika saja, dia tahu sejak awal, maka ini tidak akan pernah terjadi.“Sialan kau, Gio. Aku tidak akan membiarkan putriku menikah dengan putramu!” geram Michael dengan tangan yang terkepal kuat. Rahangnya mengetat. Kilat kemarahan
Daniel duduk di kursi kebesaraannya. Dia menyandarkan punggungnya di kursi seraya memejamkan matanya lelah. Pikirannya terus memikirkan perkataan kedua orang tuanya. Diawal hubungannya dengan Callista, kedua orang tuanya menyetujui hubungannya. Bahkan kedua orang tuanya begitu mendukung. Tapi, setelah mereka tahu Callista adalah putri Michael Hutomo, mereka langsung melarangnya menjalin hubungan dengan Callista. Daniel merasakan sesuatu hal antara keluarganya dan keluarga Callista.Tanpa ingin lagi berpikir, Daniel langsung menekan tombol interkom. Dia meminta Harry, assistantnya untuk segera datang menemuinya. Tidak lama kemudian, Harry melangkah masuk ke dalam
“Mereka baik,” jawab Daniel dengan nada datar dan tatapan begitu serius pada kekasihnya itu. “Callista, ada hal yang ingin aku tanyakan padamu,” lanjutnya yang membuat Callista bingung.“Ada apa, Daniel? Apa yang ingin kau tanyakan?” Alis Callista saling bertautan. Dia terus menatap Daniel. Sesaat, dia memperlihatkan tatapan Daniel yang terlihat ingin mengatakan sesuatu padanya. Sebuah tatapan yang sangat berbeda dari biasanya.“Apa kau mempercayaiku?” Daniel membawa t
Daniel turun dari mobil, dia melangkah masuk ke dalam rumah dengan wajah dinginnya. Para penjaga dan pelayan yang melihat Daniel datang, mereka langsung menundukan kepala mereka, menyapa Daniel. Namun, Daniel mengabaikan sapaan para penjaga dan pelayannya. Rasa kesal dalam dirinya, membuatnya bersikap dingin pada penjaga dan pelayanna. Kini, dia melangkah menuju ruang keluarga, dan segera menemui kedua orang tuanya itu.Saat Daniel tiba di ruang keluarga, dia mengerutkan keningnya kala melihat wajah muram kedua orang tuanya. Tatapan Daniel menatap mata sembab Alin, ibunya yang tampak begitu jelas habis menangis. Sedangkan wajah Gio, ayahnya terlihat jelas menahan amarahnya.
“Sayang, angkatlah. Siapa tahu itu penting. Jangan seperti itu, ponselmu sejak tadi tidak henyi berdering. Kita masih memiliki banyak waktu bersama.” Callista membawa tangannya megelus rambut Daniel.Daniel membuang napas kasar. Dia tampak begitu enggan menjawab teleponnya itu. Tapi apa yang dikatakan Callista itu benar. Dengan terpaksa, Daniel mengambil ponselnya yang terletak di atas meja itu, lalu mengalihkan pandangannya ke layar. Seketika kening Justin berkerut, melihat nomor Gio, ayahnya muncul di layar ponselnya.
Daniel menyandarkan punggungnya di kursi, seraya memejamkan mata sesaat. Entah kenapa sejak tadi malam, dia terus memikirkan Callista. Dia merasa ada sesuatu yang Callista sembunyikan darinya. Ya, tentu karena Daniel sangat mengenal kekasihnya itu. Sejak dulu, Callista memang tidak hebat menyembunyikan sesuatu. Namun, meski demikian, Daniel langsung menepis segala pikiran negative yang muncul di benaknya. Disaat Daniel sedikit bersantai, pandangan dia teralih pada sebuah televisi yang ada diruangannya. Seketika Daniel menatap pembawa berita yang tengah menyampaikan sesuatu.*Kabar hari in datang dari pengusaha muda Daniel Renaldy. Pewaris dai Renaldy Group ini dikabarkan menjali