"Huaaaahhhhghh.."
Minggu pagi yang membabi buta, Liona bangun tepat saat matahari sedang di puncaknya, terlalu lelah membuatnya malas untuk bangun terlalu pagi apalagi di hari libur. Cukup hari sabtu saja ia bangun pagi untuk memenuhi schedule rutinnya untuk jogging di sekitar komplek, minggu adalah hari bermalas- malasan.
Rambut panjangnya yang masih berantakan serta selimut yang masih meililitnya, Aishhh semua makhluk memang seperti ini di hari minggu bukan?
Kepalang lapar, Liona merapel sarapannya bersama dengan makan siang. Omlet telur dengan ekstra bawang goreng favoritnya tak lupa yogurt segar yang terabsen di kulkasnya yang tinggal sisa tiga biji. Pertanda akhir bulan akan segera datang. Iseng membuka ponsel dan scroll random, Liona tak lupa menyempatkan untuk mengklik grup whatsup nya, tertumpuk tiga ratus chat di grup yang belum sempat ia baca. Entah kerusuhan apa yang di lakukan kedua temannya di grup sampai menghasilkan sampah memori sebanyak itu. “Ya ampun Na, lo baru bangun tengah hari kaya gini? Cucian gue bahkan udah mau kering” Ejek Meta “Kalem aja si, lagian kan berangkat hangout nya kan sore. Lagian bangga banget lu bawa- bawa cucian paling emak lu yang nyuci.” Liona balik mengejek. “lo kenapa Met, mukanya ko kaya ogah- ogahan gitu. Galau lagi?” “Gengs jam nya di percepat aja yuk, gue gabut banget nih di apartemen, hening banget udah kaya apaan.” “Oke boleh, jam dua deh kita otw. Gue siap- siap dulu mandi.”..Seperempat abad kemudian…“oke., not bad” ucap Liona sambil mengecap bibir nya yang sudah tercover lipstic yang lumayan menyala. Setelah memastikan mengunci pintu dan mengamankan kuncinya sekaligus Liona segera memesan ojek online.
“Aaaaa….” Teriak Liona sambil terus berlari kesembarang arah berusaha menyelamatkan diri, sampai akhirnya berakhir di pangkuan seseorang tanpa ia sadari. “pergi… ihhh usir anjingnya cepett” teriak Liona sambil mencengkram erat bahu seseorang yang belum di ketahuinya.“Turun, anjingnya udah pergi tuh” Liona harus menelan malu, lagi- lagi Bily yang menolongnya. Dengan pelan Bily menurunkan Liona, tapi Liona menjerit lagi, namun kali ini terlihat kesakitan. Karena merasa sakit Liona otomatis mengangkat kakinya kaku, rasanya kakinya benar- benar terkilir karena sempat jatuh saat di kejar anjing tadi. Tak bisa menahan sakit, Air mata mengalir tanpa permisi dan mempermalukannya berulang kali. Masa bodo, karena itu sudah terlanjur tak tertahan. “aishhh.. lo cengeng banget sih, terkilir doang” “sakitt Bil, aku gak bisa jalan.” Bili terpaksa menggendong Liona kembali ke kamarnya. “Bil mau kemana, aku ada janji sama temen aku..” protes Liona berontak dari gendongan Bily “masih mau keluar? Emang bisa jalan? Sini kuncinya.” Liona tertunduk pasrah dan memberikan kunci kamarnya. Bily mendudukan Liona di kursi sebrang ranjangnya dan melangkah ke arah kulkas. “ini kulkas atau rumah kosong sih, sepi banget.” Bily mengomel ringan sambil membawa es batu yang akan digunakannya untuk mengompres kaki Liona. “aww.. pelan- peln Bil. Sakit tau.” “cengeng banget sih, pengen cepet sembuh gak?”“kamu narik kaki akunya kasar banget ya jelas sakit lah.” Liona cemberut. Diam- diam Liona merinci wajah Bily yang lama- kelamaan membuatnya nyaman untuk di pandang. Meski kata- katanya tak pernah enak didengar tapi Bily selalu menjadi orang pertama yang memberinya pertolongan semenjak kepindahannya kesini. Entah kenyamanan apa yang di rasakan di hatinya, hanya sulit untuk merajut jawaban akhir jika kalian bertanya perasaan apa itu. Dertt.. suara dering ponsel. Rupanya Liona lupa mengabari temannya yang sedari tadi kelabakan menunggu kabar darinya. Walau sedikit kena omel Meta dan Livy tapi mereka berdua tak sampai hati memarahi Liona dengan serius karena tak kalah terkejut mendengar kabar Liona yang terkilir. Meta dan Livy juga berencana berkunjung tapi Liona memastikan mereka untuk tidak khawatir dan melanjutkan jadwal nonton bioskop mereka. Liona benar- benar kewalahan, bahkan untuk ke kamar mandi pun dia tak sanggup. Sempat berpikir untuk meminta temannya menginap tapi ini sudah larut malam. Sampai akhirnya ketukan di pintu membuyarkan lamunannya. “aishhh siapa sih, udah tau sakit jalannya.” Liona menggerutu “Na, kamu enggak papa kan? Bily tadi nitip obat ke aku buat kaki kamu, dia juga minta aku buat temenin kamu malem ini karena katanya kamu masih kesakitan kalo jalan.” “Bily?” Liona malah melongo, apa iya Bily seperhatian ini? Ini bukan mimpi atau sekedar khayalan kan. “Na, ko bengong. Yuk aku bantu masuk. Tar aku olesin salep yang Bily kasih.” Risti tetangganya membopong Liona ke dalam. Meski jarang bertemu karena lebih sering menginap di luar, Risti selalu ramah dan bisa diandalkan. Terlebih setelah Niken tetangganya yang satu lagi telah benar- benar pindah karena dipindah tugaskan ke luar kota, jadi mereka semakin mengeratkan diri untuk saling menjaga...“Bill lo lama banget sih, kita sampe bosen nunggu lu,” Temannya mengomel “sorry tadi ada urgen bentar.” Bily melirik ponsel nya yang memunculkan notifikasi chat dari seseorang dan sedetik itu juga senyumannya timbul ke permukaan membuat teman- temannya sedikit merasa aneh dengan tingkahnya yang berubah- ubah seperti musim pancaroba akhir- akhir ini. “makasih obatnya” dua kata dari pesan itu yang membuat mood nya up sepanjang hari. “Dasar si cengeng” Lagi- lagi Bily tersenyum saat tiba- tiba mengingat kejadian tadi sore. “lu kenapa sih Bil, perlu gue panggil dokter Morgan gak? Gue yang bayar deh biaya konsultasinya.” Temannya membuyarkan lamunan indahnya. “Maksud lo, gue gila gitu? Gue comot mulut lu pake pinset baru tau rasa lo” Balas Bily sensi. Bengkel menjadi tempat mainnya, meski semua modal awal didapatnya dari sang ayah tapi semuanya sudah terbayar lunas dan keseluruhan pendapatan dari bengkel itu adalah hak miliknya. Tidak main- main Bily juga sudah memperluas sayapnya dengan membuka bengkel di beberapa kota yang berbeda. Hal itu dimulainya hanya karena kecintaannya pada mobil- mobil mewah dan juga sebagai bentuk pelarian dari hobi balap mobilnya yang dinilai berbahaya. Dia memegang janjinya pada kekasih tercinta untuk tidak lagi ikut dalam dunia balapan."Hallo, Babe. Merindukanku?"
“Ya ampun Na, kamu demam. Ini panas banget. Aku ke kamar Bily dulu ya kita kerumah sakit minta anter Bily.”“Enggak usah Mbak, minum obat aja kayanya mendingan ko. Aku juga udah izin sama atasan aku gak masuk kerja.” Melihat badan Liona yang mulai lemas dan wajahnya yang memucat, Risti langsung menuju kamar Bily tanpa menggubris kalimat Liona. Berhasil membangunkan Bily dari tidurnya yang baru saja terpejam 30 menit yang lalu karena kebiasaannya untuk nongkrong. Bily tak keberatan bahkan langsung tanpa pikir panjang untuk segera datang.“Kenapa gak ngasih tau gue dari semalem.” Geram Bily yang terlanjur kesal pada Risti yang sudah ia beri kepercayaan untuk menjaga Liona.Risti tak menjawab hanya pasrah dengan rasa bersalahnya, Liona juga tak berani menolak saat tubuhnya di bopong ke mobil untuk dibawa kerumah sakit.“Minum obatnya secara teratur ya, dia punya riwayat lambung juga jadi saya kasih tambahan obat. Salepnya jangan lupa dioles untuk kakinya supaya cepat sembuh. Jangan di
“Masuk aja, gak aku kunci” teriak Liona dari dalam kamar. Tak mau lagi jatuh seperti tadi siang Liona sekarang sengaja tidak mengunci kamarnya agar tidak perlu berjalan untuk membuka pintu yang berkemungkinan besar mencelakai kakinya lagi. “aku bawa kerang saus tiram sama udang, kamu suka kan?” Satu anggukan tanda meng- iyakan dari Liona.“Na kamu belum mandi? Baju kamu masih sama. Mau aku bantu mandi?” “maksud kamu?” Biasanya Risti akan menawarkan diri untuk membopong Liona semenjak Liona sakit, tapi hari ini Risti belum muncul.“Bantu kamu mandi, a.a.. I mean, bantu kamu ke kamar mandi gitu bopong kamu jalan.”Liona mengerjap terlihat bodoh, apa harus menerima tawaran Arka, tapi gimana caranya. Dia bahkan kesulitan saat memakai celana nya, dan biasanya Risti yang sigap membantu.“Aku bantu bawa kamu sampe pintu kamar mandi, kalo bisa kamu pake dress atau dasteran aja selama kamu sakit. Pasti susah pake celananya kan?”Wohalaaa apa Arka cenayang, ko bisa baca pikiran Liona. Daster
"Sabar dikit kenapa sih?"Notifkasi grup whatsup nya berulang kali terdengar nyaring dari kamar mandi bersautan dengan suara nyaring hair dryer yang sedang digunakannya. Ngaret dan lelet adalah nama tengah Liona, begitulah Meta dan Livy mendeskrifsikannya. Liona bisa menghabiskan hampir satu jam di kamar mandi, hanya untuk bersiap.Pintu kamar mandi terbuka dengan rambut yang semi kering, handuk masih melilit ditubuhnya. Tangannya sibuk memilih pakaian mana yang akan ia kenakan. Apa semua wanita sepertinya juga? Pilihannya jatuh pada jeans longgar warna biru dan baju kaos putih kedodoran yang menjadi favoritnya. Hanya sapuan kecil untuk wajah mungilnya karena Liona kepalang irit menggunakan make up. Jarinya sibuk antara membalas chat untuk menenangkan teman- temannya sekaligus membuat janji dengan ojek online yang juga sudah nangkring di depan gang rumahnya.Dengan tergopoh- gopoh Liona berjalan setengah lari ke arah meja yang telah di pesan temannya itu. Dari jarak sepuluh langkah L
“Ka, kita mau kemana? Kamu bawa aku kemana?” Liona panik.Tak mendengar jawaban, Liona berkicau kembali.“Ka, kita mau ke mana? Aku mau pulang.” Tak lama mobil terparkir di bawah gedung apartemen mewah, Liona diam terpaku saat melihat sekelilingnya menatap curiga pada pria di sampingnya. Apa dia benar- benar pria baik? Apa sebaiknya ia lari setelah pintu mobil terbuka. Liona tambah panik dibuatnya.“Temani aku makan malam, jangan harap aku ngenterin kamu pulang setelah kamu hancurin semua rencan pesta ulang tahunku sendiri.”“Tapi kenapa harus disini, kamu bisa makan di restoran.”“kamu gak dalam posisi bernegosiasi, ini semua salah kamu, setidaknya bertanggung jawablah.”Takut dengan hal terburuk Liona menurut dan masuk ke unit milik Arka yang terlampau mewah. Semua yang dilihatnya berwarna charcoal, ada beberapa debu yang dilihatnya di beberapa pajangan menyiratkan bahwa Arka jarang menempatinya. Dua puluh menit menunggu, bel berbunyi dan pesanan makanan sudah tersaji lengkap di me
"Apa harus dia?" irisnya berputar, seperti sedang mencoba memutuskan sesuatu.Minggu pagi, Liona tengkurap di kasurnya dengan lemon tea yang dibuatnya. Otaknya memutar mengingat dan berdiskusi. Jalan apa yang akan dia lalui. Kenapa bisa sangat serumit ini. "Aishh ya sudahlah, aku coba dulu." Liona mengerutkan alisnya, lalu menggeleng tak mengerti. Entah apa yang sedang dirajut di otak kecilnya itu. Beberapa saat kemudin terlihat dirinya yang sedang mencari salah satu kontak di ponselnya. “Halo Bil. Apa kamu ada di kamar?” Terdengar percakapan di telpon“Gue di luar, kenapa? Pintu lo rusak lagi?” Tuduh orang yang berada di sebrang telpon.“Enggak ko, mmm.. Bil bisa ketemu bentar gak, ada yang mau aku diskusikan.”“Tunggu gue balik aja ya, maleman kayanya.”“Oke, gak papa aku tunggu. Kabarin aja kalo udah di kamar.”Liona cemas menunggu, apakah ini akan menjadi keputusan yang tepat. Apa dengan ini dia bisa lari dari Arka dan bisa mengembalikan pertemanannnya seperti semula.Suara ses
“Makasih Bil.” Ucap Liona dalam mobil. Meski belum menyelesaikan sesi latihannya Bily langsung bergegas mengantar Liona pulang. Ia merasa membawa Liona ke sana adalah kesalahannya.“Lo udah bilang itu ribuan kali, sekarang lo tau kan kenapa gue nyuruh lo ganti kostum dari awal?” Liona diam pasrah di ceramahi“Gue gak akan bawa lo ke tempat itu lagi,”“Tapi kesepakatan kita? “ Liona cemas Bily akan membatalkan kesepakatan yang telah mereka buat.“Soal itu lo tenang aja, lo bisa tetap masakin gue buat makan malam. Gue cuma harus nganter jemput lo doang kan? Bikin orang kantor lo percaya kalo kita pacaran.”Liona mengangguk lagi, sebenarnya target utamanya adalah Arka tapi mungkin teman-temannya di kantor akan lebih membantu . Jika Arka tahu Liona punya pacar ia akan berhenti untuk mengganggu Liona...Liona tampak sedikit khawatir, pasalnya ini adalah hari pertama skenarionya akan dimulai. Ia takut mengacaukan semuanya. Apa aku harus kursus acting? Batin Liona.Sampai di area kantornya
Bukkk..bukk..Liona semakin panik tak bisa melerai pertengkaran yang memanas ini, ia juga tak paham apa yang dibicarakan Arka. Sebisa mungkin Liona memisahkan mereka, menghadang di depan tubuh Arka untuk melindungi Bily yang sudah lebih dulu melemah karena pukulan Arka yang tidak di duganya.“Ini alasan kenapa gue gak setuju Tasya sama lo dari dulu, dan sekarang lo jadiin Liona sebagai selingkuhan lo. Lo memang pantes dapetin ini semua.” Bukkk.. Lagi- lagi kepalan Arka mengenai wajah Bily yang sudah tak terbentuk.“STOP… Stop.. aku gak pacaran sama Bily.” Liona berteriak.Arka sontak menghentikan pukulannya.“Aku cuma pura-pura, semuanya bohong. Aku ngelakuin semua ini biar kamu gak gangguin aku. Bily gak salah” Liona menatap Arka nyalang. Berusaha membangunkan tubuh Bily dengan memeluk dan mengangkatnya, namun di cegah oleh Arka yang langsung menarik pergelangan tangan Liona dan menggusurnya paksa menuju parkiran. Liona berontak dan berusaha melepaskan, dia tidak mungkin membiarkan
“Bil kamu udah bangun ?” putri tidur akhirnya bangun tanpa memerlukan ciuman.“Gue laper.” Sungut Bily “Yaudah aku beli sarapan dulu ke luar yah.” Liona praktis berdiri untuk keluar pintu.“Gak perlu beli, Aldo tadi datang bawa sarapan buat kita berdua. tuh..” Bily menujuk ke arah meja.“Ko aku gak tau Aldo dateng, apa karena terlalu pulas tidur.” Liona membuka bungkusan nasi dan menyerahkannya kepada Bily. Namun bukannya ikut makan miliknya, Liona malah menatap wajah Bily, merinci ngilu dengan luka yang ada di wajahnya. Rasa bersalahnya timbul semakin kentara.“Bil, maafin aku.” Si cengeng ini sudah berkaca- kaca.“Gue pengang dengernya, lo minta maaf mulu, mendingan lo urusin gue sampe sembuh daripada hanya sekedar ucapan.” Ucap Bily cuek masih dengan sendok penuh nasi.“Kalo bukan karena ide gila aku ini gak akan terjadi, aku janji bakal jagain kamu sampe kamu sembuh.” janjinya.“Lagian ini gak parah ko, muka doang kan, gue masih bisa jalan, tangan gue juga masih kuat mukul dia l
"Cerai?" Kosa kata itu sangat berat ke luar dari mulut Liona."T-tapi kenapa Arka? A-aku melakukan kesalahan?" Liona seperti pengemis ulung yang memohon agar Arka menatap matanya untuk setidaknya bersuara. Tapi tidak, suaminya itu bahkan memalingkan wajahnya menghadap tembok."Apa kamu bosan denganku? A-apa--""Cukup" satu kata tidak membuat Liona berhenti mempertanyakan arti secarik kertas dalam genggamannya."Apa ada wanita lain? Apa kamu menyesal kita bersama? Kita--"Kalimat selanjutnya hanya menggantung di tenggorokan Liona setelah Arka menyumpal mulut itu dengan lidahnya. Ciuman itu membuat Liona pusing dan kewalahan, seakan isi mulutnya di jelajah dengan semua kehangatan. Ia perlu bicara lebih banyak tapi bibir Arka di bibirnya terasa begitu menggairahkan. Liona lumpuh oleh cumbuan suaminya. "Huhh hnggh" suara itu lolos dari celah bibirnya.Tapi, ada sesuatu yang salah dalam ciuman ini. Liona merasa pipinya mulai basah, tapi ia tidak menangis. Saat ia membuka matanya, ia me
"Arka, apa kamu serius?" Ini pertanyaan ke tiga kalinya dari Adit semenjak Arka menelponnya beberapa menit yang lalu."Kerjakan saja dan berikan padaku kalau sudah selesai" cengkraman di ponselnya kini semakin erat."Tapi--"Arka menutup sepihak panggilan telpon tanpa repot- repot mendengar kelanjutan dari suara asistennya.Ia mengusap wajahnya yang berkeringat, lalu berbalik menuju kamarnya dan Liona."Ar--""Vio sudah tidur?" Arka mendahului kalimat Liona yang menggantung di udara."Ya." Liona mengangguk meski Arka tak sedang melihatnya.Liona mengunyah bibir bawahnya saat merasa Arka tak akan melanjutkan kalimat apapun."Sayang, Adit bilang kamu belum sempat makan malam. Mau aku masak sesuatu sebelum tidur?" Liona bergerak selangkah lebih maju dan duduk di ujung kasur miliknya berdua."Aku lelah sekali, aku akan langsung tidur" Liona menatap jarinya yang tertaut di pangkuannya, ini lebih menakutkan melihat Arka menjadi pendiam seperti sekarang. Bahkan Arka tak bereaksi seperti bi
"DI MANA KALIAN SEMUA?! CEPAT DATANG!"Arka berteriak di seluruh ruangan, tanpa sadar bahwa tak ada orang lain selain pembantu rumah tangga yang baru saja datang baru- baru ini. Dirinya lupa bahwa itu adalah rumahnya dan Liona yang terisolasi, bukan di rumah Mamanya yang penuh dengan security."I-iya tuan." Melihat wanita paruh baya itu hanya membuat kemarahannya semakin meledak."SIALAN, CEPAT PANGGIL AMBULANCE!!"Dengan nafas yang sepuluh kali lebih cepat, wanita itu mengangkat gagang telpon dengan suara bergetar. Ia melakukan apa yang di minta tuannya."Akhh.. A- Arka.. S-sakit" Mata khawatir Arka jatuh kembali ke pangkuannya dimana sang istri yang tengah meringis memegangi perutnya membuat pria berbadan tegap itu kelimpungan."Sayang, bertahan sedikit lagi. Ambulance akan segera datang. Tolong sayang, bernafas dengan baik. Jangan panik, pegang tanganku. Aku akan ada di sampingmu. H-hanya tolong bertahan.." Arka menyuarakan kalimat terakhirnya dengan sedikit bergetar melihat kon
"A-apa yang terjadi Dokter, kenapa- k-kenapa dia menutup matanya?" Liona lolos masuk di antara celah tubuh yang berbaring dan Dokter di sampingnya. Gavin, sang mantan kekasih sekaligus jiwa penolongnya kemarin tengah terbaring lemah di ranjang rumah sakit dengan kepala di perban, mata halusnya tertutup membuat Liona benar- benar ketakutan dengan pikirannya."Tenang nyonya, dia hanya tidur setelah lukanya di jahit. Semuanya baik- baik saja" Terdengar helaan nafas lega dari mulut Liona, ia mengelus dadanya sedikit merasa tenang. Dia tidak yakin lagi apa yang akan dia lakukan jika sesuatu terjadi dengan orang lain demi menyelamatkan dirinya."Terima kasih Dokter" kepalanya menunduk sopan, berterima kasih terhadap kerja keras Dokter yang menangani Gavin.Hatinya terus merasa bersalah, karena beberapa jam yang lalu dirinya bahkan hampir melupakan Gavin karena sibuk menangis di kamar suaminya yang juga sama- sama terluka."Aku selalu membuat orang- orang di sekitarku terluka, kenapa aku
Cekitttt... Pedal rem bergesekan dengan aspal di parkiran basement apartment."CASIE.. TUNGGU.." Gavin melakukan hal yang sama dengan mobilnya, ia memarkir dengan sembarang dan langsung mengejar wanita setengah mabuk itu yang tengah masuk ke dalam lift apartment."Dia gila, astaga" dia terus mengutuk sepanjang kakinya berlari. Setelah memutuskan untuk kembali ke Indonesia untuk mengurusi beberapa hal mengenai pekerjaannya, Gavin di datangi Casie yang menuntut padanya tentang dirinya yang di nilai tidak kompeten terhadap kesepakatan mereka. "Bagaimana kamu bisa membiarkan Arka membawa Liona? Kamu tahu aku sedang mencoba mendapat Arka kembali. Apa kamu lupa?" Kalimat itu yang terlempar dari bibir setengah mabuk wanita itu. Setidaknya sebelum dirinya hilang kendali saat Gavin menjelaskan tentang kehamilan Liona yang baru di ketahui oleh Casie."D-dia hamil? dia hamil anak Arka? Tidak. Tidak.. aku tidak akan membiarkan mereka bersama apapun yang terjadi, aku tidak rela. Liona mengamb
Lenguhan samar tak tertahankan saat sarafnya di ambil alih. Lidah Arka menjelajah ke area yang sudah di kenali, melesak mencari celah untuk menggedor kewarasan Liona yang sedang berperang dengan egonya."Aku.. rindu.. mendengar suaramu, jangan menahannya sayang.."Liona terus menggeliat sambil membungkam bibirnya dengan tangan kirinya sedangkan tangan kanannya berusaha memberikan dorongan yang sama sekali tak berarti pada tubuh Arka yang menempel begitu mengikat."Keluarkan.. aku ingin mendengarnya.." Arka menggusur lidahnya semakin dalam, jarinya dengan tanpa di instruksi membantunya membuka jalan untuk membuka dua kancing baju Liona untuk memudahkan aksesnya sampai lidahnya bertemu dengan kedua puting yang merekah seakan siap menjadi hidangan."Hhnggghhh.. akhh..mmff" suara lenguhan dari bibir istrinya membuat Arka tersenyum di sela- sela aktifitas sedangkan Liona justru mengutuk diri karena jebol dari pertahanannya. Tubuhnya rindu dengan sentuhan hangat Arka yang memabukan. Gelen
Kepalanya menoleh ke jendela pesawat, ia tak peduli bahwa lehernya mungkin akan patah karena saking lamanya. Dirinya hanya tidak ingin melihat sosok yang duduk di sampingnya, kesal dan benci saling mendominasi di hatinya saat ini."Sayang.." Pria yang terduduk itu dengan leluasa menyentuh tangan yang mengepal di pangkuan istrinya, namun semua itu tak lain hanya mendapat penolakan dan menjatuhkan tangannya ke sisi lain.[Beberapa jam lalu di rumah Gavin]"Kalau kamu tidak ikut aku pulang sekarang maka aku akan membawa hal ini ke ranah hukum, kamu masti istriku secara sah" Liona mengunyah kulit pipi bagian dalam, menahan semua tekanan yang sedikit membuat nyalinya ciut. Gavin juga tidak menyalak seperti sebelumnya, kalimat Arka barusan cukup membuatnya berpikir ulang untuk menahan Liona untuk tinggal bersamanya."Tapi aku.. tapi aku tidak mau hidup denganmu lagi" cicit Liona meredam semua keinginannya untuk marah.Liona bersikeras untuk cerai, tapi jangan lupakan Arka yang akan jauh l
"Kamu mantan Liona kan?" Gavin menghentikan langkahnya, membalik tubuh tegapnya penuh ke arah wanita berambut coklat terang di belakangnya."Kamu lagi, selain arogan dan pemarah kamu juga ternyata suka mengusik kehidupan orang rupanya." balas Gavin masih di tempat."Apa itu adalah jawaban YA untuk pertanyaanku? Aku gak mungkin salah, kamu mantan Liona." senyum mencurigakan dengan alisnya yang tidak lagi presisi setelah yang satunya terangkat dengan sengaja."Aku punya penawaran yang bagus dan saling menguntungkan" Gavin tak tertarik dengan kalimat wanita yang sekarang menangkap langkahnya dengan berdiri di depan dirinya itu."Apa yang kamu mau? anakku menungguku di mobil." Sekali lagi Casie menghentikan langkah Gavin."Percaya padaku bahwa dalam hitungan hari mantanmu itu akan tersakiti, dan itulah saatnya kamu mengambil posisi untuk mendapatkan kembali hatinya. Lebih tepatnya, bawa dia jauh dari Arka, selamanya" kalimat terakhirnya sengaja ditekankan ke telinga Gavin yang merasa ke
"Mama bilang apa Sya?" Bily memecah keheningan di antara tarikan nafas berat di sampingnya."Kenapa dengan Arka?" Kini Liona angkat suara, tapi Tasya terlihat kesulitan menyusun kalimat yang tepat.Memangnya kenapa dengan suaminya, jelas dia pasti bahagia kembali bersama dengan mantan kekasihnya kan. Apalagi saat dirinya pergi, Arka bisa lebih leluasa kembali bersama tanpa ada penghalang, itulah yang coba Liona pikirkan untuk mengusir ke khawatirannya."Kakak di bawa ke rumah sakit lagi" terang Tasya yang bagai kilatan petir untuk Liona di sampingnya."Lagi? Apa maksudnya? A- arka sakit?" Liona tidak tahu kalimat itu ke luar begitu saja dari bibirnya, seperti semua serat di tubuhnya bekerja keras untuk melawan pikirannya sendiri, dia mulai khawatir saat ini."Itu yang mau aku bilang sama kamu Na, Kakak gak baik- baik aja selama kamu pergi. Dia sakit bahkan sampai kecelakaan-""Sya.." itu suara Bily yang menghentikan kalimat Tasya, lalu melihat Liona yang perlahan menekan jantungnya de