Damian mematung saat anak laki-laki kecil berlarian dan langsung memeluknya. Damian bingung, siapa anak ini sehingga dibiarkan tersesat di bandara sebesar ini? Damian melepas paksa pelukannya. Dia melotot pada anak lancang di depannya.
"Daddy kok lepas pelukan Kala?"
"Siapa yang kamu maksud Daddy heh?"
"Damian." Damian menoleh saat seseorang memanggilnya. Lina dan Ara sudah berdiri tidak jauh dari tempatnya. Damian sebenarnya malas sekali menjemput, tetapi Angel kekeh memintanya karena yang datang itu mamanya.
"Itu Skala, putramu juga Angel," kata Lina.
Damian menatap bocah laki-laki itu. Dia mengusap bajunya yang baru saja ternoda olehnya. "Mama bawa anak ini? Damian tidak mengizinkannya," kata Damian.
"Dia butuh sosok ibu juga ayahnya, Damian. Bisakah untuk kamu menerimanya?"
"Ma, dia bukan anak
Seminggu sudah, dan sekarang Lina juga Ara kembali ke Indonesia. Di London, Damian terpaksa menyetujui jika Skala tinggal bersamanya. Namun, akan ada beberapa syarat nantinya. Damian tidak mau anak itu semena-mena di rumahnya sendiri."Mas kopinya." Angel menyerahkan segelas kopi hangat untuk Damian yang tengah bergadang."Duduk sebentar, saya ingin bicara soal anak kamu itu." Angel berhenti berjalan. Dia berbalik, lalu berdiri menunduk."Saya tidak suka perempuan sombong yang tidak mau menatap saya. Jadi, kamu punya dua mata untuk melihat saya. Atau saya paksa untuk mendongak?"Angel cepat-cepat mendongak. Damian menutup laptopnya, dan berkas-berkasnya. Dia menyeruput kopi, lalu menaruhnya perlahan dan kini menatap Angel."Saya tidak bebas membiarkan anak kamu itu tinggal di rumah saya. Ada beberapa syarat.""Apa, Mas syaratnya?
Damian pulang lebih awal untuk mengambil beberapa berkas penting yang tertinggal. Sebenarnya bisa saja dia menyuruh Angel yang mengambilnya. Namun, Damian tidak mau menunggu. Apalagi di rumahnya ada Skala, sudah pasti Angel akan asyik bermain dengan putranya lebih dahulu.Saat Damian masuk, tidak ada tanda-tanda kehidupan di rumahnya. Sepi dan senyap. Persis hanya ada dirinya dan Angel ketika pergi. Damian melirik ke seluruh arah, dia mencari Skala. Mana tahu bocah itu melakukan kesalahan.Skala sama sekali tidak ada di manapun. Damian mengangkat kedua bahunya, dia langsung menaiki tangga. Beberapa saat kemudian, Damian keluar kamar. Betapa terkejutnya Skala sudah berdiri dengan membawa gambarannya."Daddy!" Damian memegang dadanya yang terkejut. Dia menatap tajam pada Skala hingga membuat wajah riang anak itu sayu."Kamu mengagetkan saya saja. Bagaimana jika saya jantungan karena k
Angel menangis terisak di bawah shower. Dia menggosok keseluruhan di mana Damian benar-benar seperti devil. Itu hanya buaiannya. Damian benar-benar menganggapnya rendahan. Perjanjian yang dibuatnya sudah hancur lebur oleh Damian. Damian melanggarnya. Hutangnya dibayar dengan begini? Apa Angel tidak punya perasaan?Damian menggedor-gedor pintu kamar mandi. Angel menulikan telinganya. Dia tetap membasahi seluruh tubuhnya, tidak peduli jika dirinya kedinginan hingga keriput dibuatnya."Angel buka pintunya! Atau saya akan dobrak sekarang." Damian mengancam. Angel menggigil sekarang. Dia benar-benar tidak bisa melupakan kejadian di mana Damian kembali merenggut miliknya. Angel tidak merasakan sama sekali kenikmatan. Hanya tangisan, dan Damian yang begitu menaklukannya habis-habisan. Tidak peduli, Angel pingsan dan bangun beberapa kali.Karena kesabaran Damian sudah habis. Laki-laki itu mendobrak pintun
"Jangan senyam-senyum, saya terpaksa menjemput kalian. Apa kata orang nanti hujan-hujanan begini, istri Damian terlantarkan. Bisa-bisa hancur reputasiku.""Seharusnya kamu tidak perlu bersusah payah, Mas. Kenapa tidak minta supir saja yang menjemput kami?""Kamu memang tidak tahu diuntung. Masih baik hati saya menjemput kalian," balas Damian.Skala sudah tidur di pangkuan Angel. Mungkin anak itu ngantuk berat. "Anak itu tidur?" tanya Damian."Iya. Mungkin Skala kelelahan," balas Angel."Saya pikir-pikir, Skala tidak ada mirip-mirip nya dengan Leonardo. Mungkin karena ayahnya banyak ya?""Mas!" Angel sedikit meninggikan suaranya. Apa masih tetap mengungkit-ungkit hal itu lagi? Yang sebenarnya Angel sama sekali tidak berhubungan dengan siapapun selain dirinya."Sorry, saya kelepasan. Anak itu selalu menyuruh sa
Minggu pagi, Angelia mengajak Skala pergi ke gereja untuk beribadah. Cuacanya begitu cerah. Oleh karena itu, setelah dari gereja, Angel akan mengunjungi Yolanda.Angel berdoa begitu khusuk. Setiap minggunya selalu dengan doa yang sama. Meminta berkat Tuhan agar kehidupannya bahagia. Tidak ada lagi kesedihan. Berharap, Skala putranya bisa membuat Damian sadar dan kembali menjadi seperti dulu.Skala menatap Angel yang hanya diam saja sambil menautkan kedua tangannya. Hal itu dilakukan sama oleh Skala. Dia tidak tahu menahu soal ini, hanya memejamkan mata saja dan menggerakkan bibirnya."Skala." Angel sudah duduk sejajar dengannya. Skala membuka matanya, lalu mencium pipi Angel. "Mommy ngapain tadi?" tanya Skala."Berdoa. Bukankah Skala juga ikut berdoa tadi?"Skala menggeleng polos. "Tidak. Skala hanya ikut-ikutan mommy saja. Kalau begitu doa mommy apa?"&nbs
"Asal kamu tahu. Anak yang kamu anggap tidak diinginkan ini. Anak kamu, Mas! Darah daging kamu sendiri!"Damian seperti dipukul palu yang begitu besar. Tubuhnya seakan tersengat listrik. Telinganya seakan tersumbat air yang diminta untuk mengulangi suaranya lagi agar jelas. Melihat Angelia yang berderai air mata, Damian enggan bergerak. Dia tetap diam, tubuhnya seperti membatu.Sementara, Angel. Napasnya tidak teratur, dia ikut marah saat anaknya disebut sebagai anak ... Angel tak kuasa mengingatnya lagi. Mendengarkannya lagi. Itu terlalu menyakitkan. Sungguh. Angel tidak bisa. Perempuan itu mengelap air matanya, lalu mengeratkan gendongannya pada Skala yang hanya diam saja. Mungkin, putranya itu dibayangi rasa kantuk meski sempat sadar akan percekcokan antara orang tuanya."Untuk apa aku di sini kalau tidak dihargai. Aku memang manusia penuh dosa, Tuan Damian. Tapi, apa dirimu juga bisa disebut manusia
Damian mengambil kertas yang sempat jatuh tadi. Tanpa basa-basi, dirinya langsung merobek habis hingga tidak tersisa. Damian tidak menginginkan ini.matanya basah, pipinya digenangi air. Hatinya sesak, mengapa dia juga menjadi orang yang menghancurkan segalanya? Dia jahat?Damian terduduk, mencengkeram kertas hancur itu dan berteriak. Wajahnya memerah, dia marah. Bukan kepada orang lain. dirinya sendiri yang begitu bodoh. Bahkan Damian berpikir dia seperti tidak punya akal.Damian segera mengambil ponselnya. Dia menelepon anak buahnya yang sampai sekarang tidak menemukan dua orang saja. Tidak mungkin Angel pergi jauh, atau keluar dari negara ini. Dia punya apa? Itu hanya sebatas asumsi Damian saja."Bagaimana? Sudah kalian temukan?" Damian bersuara sangat berat. Laki-laki itu memberikan waktu tiga hari lagi untuk menemukan Angelia juga Skala. Kalau sampai hari itu, belum juga ditemukan. Damian akan mencarinya send
Damian tidak menerbitkan senyuman sependek pun pada pegawainya di kantor. Sejak dia masuk, dia hanya berjalan angkuh dan melirik begitu tajam pada mereka yang justru sibuk memandangi penampilannya. Cih, begitu membuat Damian risih."Maaf, Pak. Ada satu berkas yang dari kemarin belum Bapak tanda tangani juga. Berkas itu sangat penting. Jika Bapak tidak menandatangi segera, kantor ini akan kehilangan untung besar.""Kamu sedang mengajari saya?" Fanya terlonjak saat Damian bertanya padanya. Yang justru pertanyaannya, membuat Fanya ketakutan. Tatapan Damian seakan membunuhnya. Sialan. Jika bukan bosnya saja, Fanya sudah melemparkan tatapan yang sama. Melayangkan satu pasang sepatu yang dirinya pakai. Modal bos saja sombong sekali. Padahal dulu, banyak karyawan yang memujanya. Baik dari mana eh? Fanya bahkan akhir-akhir ini hanya dibentaknya saja."Ma-maaf, Pak. Saya hanya sekadar bicara. Kalau begitu ini be