“Daddy … Mommy … look at me … aku hebat, kan?” Diego berseru kala mengendarai mobil kecilnya di ruang khusus bermain. Bocah laki-laki itu tampak kegirangan kala bisa mengendarai mobil kecilnya dengan lancar.
Ruang bermain Diego sangat besar. Jadi, tak heran jika Diego bisa leluasa mengendarai mobil mininya itu. Pun saat ini Kimberly dan Damian tak lagi tinggal di penthouse. Sekitar dua tahun lalu, Kimberly dan Damian memutuskan tinggal di mansion. Mereka sama-sama menyadari, Diego sangat aktif. Penthouse tak terlalu besar untuk mereka tempati. “Ya, Sayang, kau hebat, tapi pelan-pelan. Kau baru saja selesai makan. Nanti kau muntah kalau langsung mengebut seperti itu,” tegur Kimberly mengingatkan Diego. Putra kecilnya itu baru saja selsai disuapi makan steak olehnya. Memang, kebiasaan Diego setiap kali selesai makan adalah bermain. Apalagi Diego sangat menyukai mobil. “Oke, Mommy. Tenang saja. Aku pintar, Mommy,” jawab Diego riang. Dua pengasuh Diego sudah berjaga-jaga menjaga Diego takut kalau Diego sampai terjatuh. Baik Kimberly ataupun Damian, selalu menjaga anak mereka melebihi menjaga sebuah berlian. Kimberly dan Damian tidak mau sampai terjadi sesuatu pada putra mereka. “Good boy. Kau memang pintar,” sambung Damian seraya memberikan senyuman pada Diego. Setiap kali Damian melihat Diego, selalu hati Damian sangat menghangat. Dulu putranya itu masih bayi merah, sekarang sudah tumbuh besar, berjalan dan bahkan mengemudikan mobil mini. Sangat lucu dan menggemaskan. Kimberly menyandarkan kepalanya di dada bidang Damian, memeluk pinggang sang suami. Hari ini, Kimberly dan Damian sengaja mengambil bekerja di rumah. Sudah beberapa minggu terakhir ini mereka sibuk. Jadi pagi ini, Kimberly dan Damian ingin sedikit bersantai sambil menjaga buah hati mereka. “Kim, sepertinya Diego sudah cocok untuk diberikan adik,” kata Damian sambil mengecupi pipi Kimberly gemas. “Damian!” Kimberly memukul dada bidang Damian. Meski sudah bertahun-tahun menikah, tetapi saja Kimberly kerap merona malu kalau digoda oleh sang suami. Damian mengulum senyumannya. Pria itu menarik dagu Kimberly, mencium dan melumat bibir sang istri. “Bukankah dulu kau bilang akan memberikan adik untuk Diego kalau usia Diego sudah memasuki 3 tahun? Sekarang Diego sudah 3 tahun, Sayang.” “Iya, nanti, Damian. Pekerjaanku masih banyak sekali. Aku belum bisa hamil. Kasihan Carol. Tanggung jawabnya terlalu banyak. Tunggu sebentar. Aku harus membereskan pekerjaanku dulu. Tidak apa-apa, kan?” Kimberly membelai rahang Damian, menatap iris mata cokelat sang suami. Damian mengembuskan napas kasar. Pria tampan itu sebenarnya tak setuju, tapi dia tak ingin mengekang Kimberly. Selama ini, dia membebaskan sang istri berkarir asalkan tetap keluarga selalu menjadi prioritas utama. “Baiklah, tapi nanti kau harus tetap pikirkan ini. Tidak baik menunda terlalu lama.” Damian menangkup kedua pipi Kimberly, mengecupi bibir sang istri bertubi-tubi. Kimberly tersenyum samar. “Iya, Sayang. Aku berjanji setelah selesai mengurus beberapa hal di perusahaan, aku akan fokus untuk program anak kedua kita.” “Good.” Damian menyapukan hidungnya ke hidung Kimberly. “Permisi, Tuan, Nyonya.” Seorang pelayan menyapa Damian dan Kimberly penuh sopan. “Hm? Ada apa?” tanya Kimberly seraya menatap sang pelayan. “Maaf mengganggu, Tuan, Nyonya. Saya hanya ingin memberi tahu, di depan ada tamu yang bernama Tuan Fargo Jerald ingin bertemu Tuan dan Nyonya sekaligus Tuan Muda Diego,” ujar sang pelayan memberi tahu, dan sontak membuat Kimberly dan Damian terkejut. “Fargo Jerald datang?” Mata Kimberly melebar tak percaya. Yang Kimberly tahu Fargo masih berada di Amsterdam. Kimberly sama sekali tidak tahu kalau Fargo sudah kembali ke Los Angeles. Bahkan Fargo sama sekali tidak memberi tahunya. “Benar, Nyonya. Di depan ada Tuan Fargo Jerald ingin bertemu dengan Anda, Tuan Damian, dan Tuan Muda Diego,” jawab sang pelayan itu lagi. “Kami akan ke sana. Minta Fargo untuk menunggu,” sambung Damian dingin dan tegas. “Baik, Tuan. Kalau begitu saya permisi, Tuan, Nyonya.” Pelayan itu menundukan kepalanya, lalu pamit undur diri dari hadapan Damian dan Kimberly. “Damian, kau tahu kalau Fargo ada di Los Angeles?” tanya Kimberly pada Damian kala pelayan sudah pergi. “Tidak, aku tidak tahu sama sekali kalau Fargo ada di Los Angeles. Tapi mungkin dia sengaja ingin membuat kejutan. Sudah lama dia tidak pulang, Kim.” Damian mencubit pelan hidung Kimberly. “Ya sudah, lebih baik kita temui Fargo sekarang. Dia sudah menunggu kita di depan.” Kimberly tersenyum dan mengangguk patuh. Mungkin benar apa yang dikatakan oleh suaminya itu. Fargo ingin membuat kejutan. Lagi pula, Kimberly sangat senang kalau Fargo sekarang sudah kembali ke Los Angeles. “Diego, kemari. Kita temui Paman Fargo, Sayang,” ujar Kimberly hangat. “Paman Fargo?” Diego mengerjapkan matanya beberapa kali. “Paman Fargo yang sering video call denganku, Mommy?” tanyanya polos. “Anak pintar. Kau benar, Nak. Paman Fargo yang sering video call denganmu. Dia ada di sini sekarang. Sudah kembali dari Amsterdam. Ayo temui Paman Fargo,” ajak Kimberly hangat. “Yeay! Aku bertemu dengan Paman Fargo.” Diego turun dari mobil mininya, dan langsung berlari menghampiri kedua orang tuanya. Refleks, Damian menggendong Diego, lalu mengajak istri dan anaknya keluar dari ruang bermain, menuju ruangan di mana Fargo sudah menunggu mereka. Saat tiba di ruang tengah, Kimberly dan Damian sama-sama tersenyum menyambut kedatangan Fargo. Senyum yang menunjukkan jelas kerinduan. Kimberly akhirnya memeluk Fargo, disusul dengan Damian yang juga memeluk Fargo. Tampak tatapan Fargo menatap hangat bocah laki-laki yang ada di gendongan Damian. “Hallo, Paman Fargo?” Diego lebih dulu menyapa Fargo sambil melambaikan tanga mungilnya. “Hallo, Boy.” Fargo mengambil alih Diego yang ada di gendongan Damian. Pria itu memberikan kecupan di pipi bulat Diego. Meski baru pertama kali bertemu langsung dengan Diego, tapi Fargo kerap melakukan video call dengan Diego. Tak heran jika Fargo terlihat dekat dengan Diego. “Yeay! Aku bisa bertemu dengan Paman Fargo. Paman Fargo, aku sudah hebat mengemudikan mobil,” seru Diego bangga pada dirinya sendiri. Fargo tersenyum gemas melihat Diego. “Good, kau memang pintar, Boy.” Diego melingkarkan tangannya ke leher Fargo. “Paman, kenapa baru datang sekarang? Paman sibuk seperti Daddy, ya?” tanyanya polos. “Benar. Paman sibuk seperti Daddy.” Fargo kembali menghujani Diego dengan kecupan. Pipi Diego bulat merah persis seperti tomat dan menggemaskan. Kimberly tersenyum. “Fargo ayo duduk,” ucapnya mempersilakan Fargo untuk duduk. Fargo menganggukkan kepalanya, lalu duduk di sofa terdekat bersama dengan Kimberly dan Damian. Sementara Diego duduk di pangkuan Fargo. Terlihat Diego sangat nyaman duduk di pangkuan Fargo. Nyatanya pertemuan pertama secara langsung menggambarkan Fargo adalah sosok yang hangat pada anak kecil. “Bagaimana keadaan perusahaanmu di Amsterdam, Fargo?” tanya Damian seraya menatap Fargo. “Baik. Semua baik-baik saja,” jawab Fargo dengan senyuman samar di wajahnya. “Hm, Fargo. Apa Daddy Olsen dan Mommy Fidelya tahu kalau kau sudah ada di Los Angeles?” tanya Kimberly ingin tahu. “Tidak, aku sengaja tidak memberitahukan pada siapa pun tentang kepulanganku,” jawab Fargo lagi. “Ah, begitu.” Kimberly menganggukkan kepalanya. “Tapi, kau sudah benar-benar kembali ke Los Angeles, kan?” tanyanya memastikan. “Ya, aku sudah kembali, Kim. Sudah waktunya aku menata hidupku di sini,” balas Fargo hangat. Kimberly tersenyum ramah. “Aku senang mendengar kau sudah pulang, Fargo. Welcome home. Aku berharap kau selalu mendapatkan yang terbaik di hidupku.” “Thanks, Kim.” Fargo mengalihkan pandangannya, menatap Diego seraya membelai pipi bocah laki-laki itu lembut. “Waktu berjalan begitu cepat, aku masih mengingat foto Diego saat dia masih bayi. Sekarang dia sudah besar dan sudah bisa memanggilku Paman.” Fargo menatap penuh kehangatan Diego. Tatapan yang tersirat penuh kasih sayang. Pun Damian dan Kimberly memberikan senyuman pada Fargo yang tampak sangat menyukai berada di sisi Diego. *** Waktu menunjukkan pukul sepuluh malam. Damian dan Kimberly baru saja selesai mengganti pakaian mereka bersiap-siap untuk tidur. Pada jam seperti ini, Diego sudah lebih dulu tidur. Setelah hari ini seharian Diego bermain dengan Fargo, bocah laki-laki itu terlihat sangat senang akan kehadiran Fargo. Sifat Fargo yang hangat pada anak-anak mampu membuat Diego menyukai Fargo. Padahal Fargo dan Diego sebelumnya hanya akrab melalui video call saja. Namun, ternyata ketika bertemu langsung Fargo mampu menjadi teman yang baik bagi Diego. “Sayang, aku senang karena Fargo sudah kembali ke Los Angeles,” ujar Kimberly yang kali ini sudah membaringkan tubuh di ranjang bersama dengan sang suami. Seperti biasa, Kimberly menyandarkan kepalanya di dada bidang suaminya itu. “Aku juga senang dia sudah kembali. Seluruh keluarga sudah sangat lama menanti kepulangannya.” Damian membelai rambut Kimberly, mengecupi puncak kepala Kimberly. “Hm, Damian.” Kimberly mendongakkan kepalanya, menatap mata cokelat sang suami. “Ada apa?” Damian membelai pipi Kimberly lembut. “Apa menurutmu sekarang Fargo sudah memiliki kekasih?” tanya Kimberly pelan. “Kenapa kau menanyakan itu, Kim?” Sebelah alis Damian terangkat, menatap sang istri dengan sedikit curiga. “Aku hanya bertanya saja. Aku tidak pernah tahu kehidupan Fargo.” “Kau cemburu, Kim?” “Ck! Damian kau bicara apa. Kau jelas tahu aku hanya mencintaimu. Kau ini kenapa masih menanyakan hal itu. Kita menikah sudah cukup lama, Damian.” “Cemburu tidak mengenal berapa lama kita menikah, Kim. Jika aku tanya Keiza sudah punya kekasih atau belum, kau marah, tidak?” “Damian, jangan macam-macam!” Mata Kimberly langsung mendelik tajam, menatap Damian penuh peringatan. Tatapan yang tersirat layaknya sebuah ancaman. Damian mengulum senyumannya. Pria tampan itu sengaja menggoda sang istri. Berikutnya, Damian langsung menindih tubuh Kimberly, melumat bibir sang istri. “Aku tahu kau hanya mencintaiku, Kim. Aku tadi hanya bercanda.” “Menyebalkan!” Kimberly memukul lengan kekar Damian. “Kenapa kau selalu menggemaskan, hm?” Damian mulai melucuti gaun tidur sang istri, dan melemparkan ke lantai. Detik selanjutnya, kala Kimberly sudah polos tanpa sehelai benang pun, Damian langsung mencumbu setiap inci tubuh istrinya itu. “Ah, Sayang. Pelan-pelan,” desah Kimberly kala Damian menggigit putingnya. “Kau selalu seksi, Kim” Damian kembali melancarkan sentuhannya, mencumbu sang istri setiap inci tibuh mulus istrinya itu. Lagi dan lagi pergulatan panas yang nyaris setiap hari mereka lakukan tak pernah sekalipun bosan. Tubuh mereka layaknya sudah candu. Tak pernah bisa terkendali. Yang tersisa di kamar megah itu hanya desahan dan erangan yang saling bersahutan, melebur menjadi satu di permainan panas yang mereka selalu ciptakan tanpa mengenal kata bosan.“Sayang, hari ini kau pulang jam berapa?” Kimberly membantu memakaikan dasi di leher sang suami, menepuk-nepuk pelan dada bidang suaminya itu kala dasi sudah terpasang sempurna. Seperti biasa setiap pagi, Kimberly selalu membantu sang suami untuk bersiap-siap ke kantor. “Mungkin sedikit terlambat. Aku memiliki meeting penting hari ini, Kim. Kau sendiri bagaimana? Jam berapa kau pulang?” Damian menarik dagu Kimberly, mencium dan melumat lembut bibir istrinya itu. “Aku pulang sore, Sayang. Jam tiga sore nanti pasti aku sudah pulang.” Kimberly melingkarkan tangannya ke leher Damian. Merapatkan tubuhnya ke tubuh sang suami. “Diego nanti pulang jam berapa?” tanya Damian sambil memeluk pinggang istrinya itu. Tadi jam tujuh pagi, Diego sudah lebih dulu berangkat sekolah. Diego berangkat lebih awal, karena bocah laki-laki itu memiliki jadwal kelas lebih pagi. “Sepertinya Diego akan menginap di rumah orang tuaku. Diego ingin bermain dengan Ben. Orang tuaku juga merindukan Diego. Tid
“Berengsek!” Fargo mengumpat dalam hati kala sudah selesai mengganti pakaiannya dengan kaus bersih. Tampak tatapan Fargo menatap kesal dan penuh emosi pada Carol yang masih meracau akibat mabuk. Saat ini Carol berbaring di ranjang dan mengatakan hal-hal sembarangan layaknya orang mabuk. Ya, dengan terpaksa Fargo membawa Carol pergi ke apartemen pribadinya. Fargo tak memiliki pilihan lain, karena jika dirinya melepas Carol, maka bisa jadi masalah baru akan timbul. “Menyusahkan sekali wanita ini!” Fargo ingin menghubungi siapa pun kontak nama yang ada di ponsel Carol, agar segera membawa Carol pergi menjauh darinya. Akan tetapi entah kenapa Fargo tak bisa melakukan itu. Seperti ada magnet kuat yang mencegah dirinya. Apalagi ketika melihat Carol yang tampak seperti sangat putus asa. Fargo memejamkan mata singkat. Berusaha mengatasi segala emosi yang terbendung dalam dirinya. Tujuan Fargo ke kelab malam karena ingin menenangkan pikiran yang belakangan ini lelah dengan pekerjaannya. Nam
Carol mondar mandir tidak jelas di dalam kamar mandi. Wajah cantik wanita itu sudah seperti kepiting rebus akibat menahan malu. Sudah lima belas menit lalu dia selesai membersihkan diri, tapi tetap Carol tak kunjung keluar dari kamar mandi. Benaknya sejak tadi memikirkan tentang kebodohannya yang kelepasan bicara. Bagaimana bisa dirinya malah memberi tahu Fargo tentang ukuran dadanya? Astaga! Benar-benar sangat bodoh! Memalukan! Carol mendengkus seraya mengumpati dirinya sendiri. Jika sudah seperti ini, sama saja dengan mempermalukan diri. Perlahan, dia memejamkan mata sebentar, mengambil napas dalam-dalam dan mengembuskan perlahan. Hal yang paling menbuatnya kesal pada dirinya adalah kerap kelepasan bicara. Alhasil, sekarang dirinya sendiri yang malu. Akan tetapi, Carol tak bisa memungkiri bahwa dia berterima kasih pada Fargo yang sudah menyelamatkannya. Entah, bagaimana nasibnya kalau sampai Fargo meninggalkannya seorang diri di kelab malam. Memang, dia akui tadi malam dirinya mab
“Turunlah. Mobilmu pasti sudah ada di halaman parkir kantormu. Tadi pagi aku sudah meminta asistenku mengantarkan mobilmu.” Fargo berucap dengan nada dingin kala pria itu sudah mengantarkan Carol tepat di lobby perusahaan Carol. Ya, tadi pagi-pagi sekali, dia sudah meminta asistennya mengambil mobil Carol yang masih terparkir di kelab malam, mengantarkan ke halaman parkir kantor Carol. “Terima kasih sudah membantuku,” jawab Carol dengan nada yang sama persis seperti Fargo. Dingin dan acuh. Paling tidak, Carol sekarang tak memiliki beban utang budi. Memasak untuk Fargo sudah sebagai bentuk balas budi. Meski rasa masakannya pas-pasan, tapi tetap masih bisa dimakan. “Anyway, besok aku akan ke kantormu. Pamanku sudah memberikan kontrak revisi yang paling terbaru. Aku tidak akan lama di kantormu. Jadi kau jangan mempersulitku meminta revisi kontrak kerja sama lagi.” Carol menoleh, menatap Fargo. Tatapan Carol menatap jengkel dan tersirat kesal pada Fargo. Ingatannya langsung tergali aka
Carol menjadi kikuk dan tak tahu bagaimana harus bersikap kala melihat pemandangan di depan mata. Pemandangan di mana yang mengusik ketenangan jiwa dan raga. Entah, dia tak mengerti pada dirinya sendiri. Namun, andai Carol tahu Fargo sedang sibbuk bermesraan dengan wanita lain, maka dia tak akan masuk ke dalam. Sungguh, dia merasa dirinya sekarang terjebak dan sulit untuk menghindar. ‘Kenapa aku harus ada di kondisi begini?’ geram Carol kesal dalam hati. Ingin rasanya Carol pergi, tapi kaki wanita itu seakan telah tertanam di lantai—membuatnya kesulitan dalam bergerak. Fargo melihat Carol yang berdiri di ambang pintu. Raut wajahnya dingin dan tampak menahan rasa kesal. Detik selanjutnya, dia melepas paksa pelukan seorang wanita—yang memeluk dirinya bertepatan dengan Carol membuka pintu ruang kerjanya. Pun dia tak pernah mengira kalau wanita di hadapannya itu memeluk dirinya secara tiba-tiba. “Pulanglah, Eldora. Aku sibuk,” ucap Fargo dingin, mengusir wanita bernama Eldora. Fargo ta
Carol menenggak wine di tangannya hingga tandas. Entah kenapa mood-nya benar-benar dalam keadaan yang tidak baik. Dia ingin sekali tak datang di jamuan makan malam yang diadakan perusahaan Damian, tapi dia tak enak pada Kimberly kalau sampai tidak datang. Mau tak mau, dia memilih untuk datang karena sudah terlanjur berjanji. Carol menyandarkan punggungnya di sofa, mengambil bantal kecil dan memeluknya. Merasa sedikit bosan, dia mengambil remote televisi, dan langsung menghidupkan. Namun, di kala baru saja televisi dihidupkan, tatapannya menatap lekat penyiar berita yang tengah memberitakan sesuatu. *Kabar sore ini datang dari Fargo Jerald, mantan suami Kimberly Darrel ini sudah lagi terlihat di Los Angeles. Banyak paparazzi yang diam-diam mengambil gambar Fargo Jerald. Sampai detik ini, Fargo Jerald masih belum memiliki pengganti Kimberly Darrel. Tampaknya Fargo Jerald masih belum mau memulai sebuah hubungan.* Carol mematikan siaran berita itu. Tujuan Carol melihat televisi adalah
Mata Fargo melebar menatap Carol dengan tatapan terkejut sekaligus memiliki jutaan arti. Lidahnya tak mampu berucap. Pria tampan itu hanya mencetuskan nama Carol di dalam hatinya, tak bisa mengeluarkan sepatah kata pun. Dia tetap bergeming, tak bergerak sedikit pun. Tatapan itu seakan hanyut membawanya ke lautan lepas, yang entah membawanya ke arah mana.Lagi, Fargo tetap hanya diam tak mengatakan sepatah kata pun kala Carol sudah mendekat. Gaun yang dipakai Carol begitu indah dan cantik. Rambut panjang wanita itu digulung ke atas, menunjukkan leher jenjangnya yang memukau. Belahan dada Carol terlihat. Pun Fargo melihat jelas ukuran dada Carol memang menantang. Bulat, padat, dan menggoda para kaum adam. Orang yang menatap Carol tak hanya Fargo saja, tapi banyak dari pria lain yang juga menatap Carol. Tentu kehadiran Carol yang sendiri mengundang perhatian banyak orang. Semua orang di pesta pasti beranggapan bahwa Carol adalah wanita single. Jamuan makan malam yang diadakan oleh Darr
“Kenapa kau selalu cantik, hm?” Damian melingkarkan tangannya di pinggang Kimberly possessive. Banyak mata yang melihat sang istri, tapi Damian langsung memeluk erat sang istri, seakan menunjukkan pada dunia—Kimberly hanya miliknya. “Sayang, kau jangan merayu.” Kimberly memukul pelan lengan kekar Damian. Tampak pipi wanita itu tersipu malu. Saat ini dan dan suami berada berdansa di lantai dansa. Alunan musik slow motion, membuat Kimberly hanyut akan dansa romatis itu. Damian mengecupi bibir Kimberly bertubi-tubi. Pria tampan itu selalu gemas akan tingkah sang istri yang selalu menggemaskan. Saat Damian menikmati dansa romantis dengan Kimberly—tatapan pria tampan itu teralih pada Fargo dan Carol—yang tengah berdansa. Detik itu juga raut wajah Damian berubah. Sepasang iris mata cokelat gelapnya menatap Fargo dan Carol dengan tatapan penuh arti. “Kim, lihatlah ke kanan,” bisik Damian pelan di telinga Kimberly. Refleks, Kimberly mengalihkan pandangannya ke arah kanan, sesuai dengan yan
Paris, Prancis. Lampu Menara Eiffel bersinar indah di malam hari. Suasana menyejukan, serta angin berembus memberikan ketenangan, dan kedamaian. Tampak jelas tatapan mata Fargo dan Carol menatap penuh hangat keindahan malam di kota Paris. Mereka menikmati keindahan kota itu bersama dengan Arabella—putri kecil mereka. “Sayang, Paris benar-benar kota yang indah. Terima kasih telah mengajakku dan Arabella berlibur.” Carol menyandarkan kepalanya di lengan kekar sang suami. Arabella kini ada digendongan Fargo tepat di tangan kanan pria itu. Sebelumnya Carol meminta Fargo untuk berlibur bersama dengan putri kecil mereka. Selama ini, mereka belum pernah liburan ke luar negeri bersama dengan Arabella. Beruntung, akhirnya Fargo mewujudkan keinginan Carol. Walau sebenarnya, pria itu sempat khawatir, karena usia kandungan Carol masih enam minggu, tapi akhirnya Fargo luluh karena dokter mengantakan kandungan Carol sehat dan kuat. “Maaf belakangan ini, aku selalu sibuk sampai tidak bisa mengaj
Carol tersenyum di kala sudah selesai menata foto-foto keluarga kecilnya. Bayi cantik dengan rambut cokelat dan mata abu-abu begitu menyejukan hati. Sebuah foto keluarga yang tersirat menunjukkan kebahagiaan yang tak terkira. Ya, di hadapan Carol adalah fotonya bersama dengan suami dan putri kecilnya. Sungguh, setiap kali Carol menata foto keluarga kecilnya, hatinya bergetar penuh dilingkupi kebahagiaan. Tanpa terasa hampir tiga tahun Carol menikah dengan Fargo—pria yang teramat, sangat dia cintai. Selama dua tahun ini, hidupnya memiliki warna yang baru. Sebuah warna yang mana memang tak pernah dia dapatkan sebelumnya. Menikah dan memiliki anak adalah hal yang indah. Arabella Fargo Jerald, adalah anak pertama perempuan Carol dan Fargo. Anak perempuan yang sangat cantik dan baru berusia 1,5 tahun. Arabella adalah anak yang penurut. Carol tak pernah kesulitan menjaga Arabella, karena putrinya itu begitu patuh padanya. Selama ini, Carol dibantu dua pengasuh dalam penjaga Arabella. Se
Dua tahun berlalu … “Brisa, aku tidak bisa hadir meeting launcing product. Tolong kau minta Carol untuk gantikan aku. Atau kau bisa minta direktur perwakilan. Sekarang aku harus ke sekolah Diego. Aku baru saja mendapatkan kabar Diego berkelahi di sekolah.” Kimberly berkata dengan nada cepat seraya memasukan barang-barangnya ke dalam tas. Tampak jelas, dia sedang terburu-buru. Namun, sayangnya dia tak menemukan kunci mobilnya. Dia langsung mengumpat saat tak menemukan kunci mobilnya. Terpaksa, dia menggunakan mobil lain, kala kunci mobil yang biasa dia pakai tak bisa ditemukan. “Nyonya, Nyonya Carol juga sibuk. Beliau ada meeting dengan—” “Brisa, putraku lebih penting. Kau urus saja. Kalau kau tidak mengerti, kau bisa meminta Freddy untuk membantumu. Aku yakin Freddy tahu apa yang harus dilakukannya. Aku harus tutup telepon.” “Nyonya, tapi—” Kimberly menutup panggilan secara sepihak. Dia tak bisa berlama-lama. Dia langsung berlari masuk ke dalam mobil, dan melajukan mobil dengan
Beberapa bulan berlalu … Gilda mengusap perutnya yang buncit dengan penuh kelembutan. Dia tampak begitu bahagia setiap kali melihat perut buncitnya. Hatinya menyejuk. Gelenyar akan secercah pengharapan indah, selalu menyelimutinya. Dia merasa seperti mimpi. Namun tidak! Ada bayi di perutnya, dan itu nyata! Dia akan segera menjadi seorang ibu. Gilda duduk di taman belakang rumahnya. Saat ini, dia masih berada di Los Angeles, dia belum pindah ke Melbourne, karena dia memilih melahirkan di Los Angeles. Usia kandungannya telah memasuki minggu ke dua puluh. Dokter mengatakan dia mengandung anak laki-laki. Sungguh, Gilda tak pernah mengira dirinya akan menjadi seorang ibu. Dari segala kejahatan yang dilakukannya di masa lalu, harusnya Gilda tak diberikan kesempatan untuk memiliki sebuah keluarga indah. Tapi rupanya, takdir masih berbaik hati padanya. Dulu, Gilda hampir menjadi seorang ibu, tapi bayi yang ada di kandungannya tak selamat. Pun kala itu sifatnya masih buruk. Dia bersyukur b
Beberapa minggu berlalu … Kimberly tersenyum melihat lukisan yang baru saja dirinya pesan dalam pemasangan di dinding. Kehamilan kali ini, membuatnya menyukai menata rumah. Jika biasanya, dia selalu menyerahkan pada pelayan, kali ini benar-benar berbeda. Entah kenapa, selalu saja ada ide dalam benaknya untuk menata rumah. Mulai dari menata taman, ruang tengah, ruang tamu, bahkan kamar. Dia selalu mengganti suasana agar tak bosan. Usia kandungan Kimberly saat ini sudah tiga belas minggu—yang mana kehamilannya sudah memasuki trimester kedua. Perutnya mulai membuncit. Well, bisa dikatakan perutnya jauh lebih membuncit ketimbang, kehamilan pertamanya. Padahal usia kandungan Kimberly masih baru tiga belas minggu. Mungkin efek terlalu banyak makan. Itu yang ada di dalam pikirannya. Kehamilan kedua ini memang membuat nafsu makan Kimberly meningkat tajam. Tentu, dia pasrah di kala tubuhnya mengalami kenaikan cukup drastis. Baginya yang paling terpenting adalah bayi yang ada di dalam kandu
“Aw—” Carol meringis saat tangan Fargo terlepas di pergelangan tangannya. Tampak jelas pergelangan tangan wanita itu memerah, akibat Fargo mencengkeram tangannya dengan sangat kencang. Ya, sejak tadi suaminya itu menarik tangannya dengan keras. Carol berusaha menjelaskan tentang Bruno, tapi Fargo menolak membahas Bruno. Alhasil, sekarang amarah Fargo semakin menjadi. Carol mengerti pasti Fargo salah paham tentang Bruno. Apalagi tadi Bruno sampai memeluknya. Ya Tuhan! Carol menjadi serba salah. Ingin menjelaskan, karena takut semakin salah paham, tapi di sisi lain, dia juga malu untuk menjelaskan. Dia benar-benar dalam keadaan dilema. “Siapa pria yang bernama Bruno, Carol? Berani sekali kau berpelukan dengannya!” bentak Fargo keras dan menggelegar. Dia dan sang istri kini sudah tiba di kamar hotel. Dia tampak jelas dilingkupi kemarahan dan cemburu yang besar. “Sayang, ini tidak seperti yang kau pikirkan. Kau salah paham. Bruno adalah—” “Adalah apa?! Kau ingin beralasan Bruno adala
Amsterdam, Netherlands. Setelah perjalanan cukup panjang, akhirnya Fargo dan Carol tiba di Amsterdam, sebuah ibu kota Belanda yang sangat indah dan menawan. Selain itu, Belanda terkenal dengan sepeda. Ya, budaya bersepeda memang sudah mendarah daging di Belanda. Pemerintah bahkan telah membangun infrastruktur berupa jalan khusus pesepeda yang membentang di seluruh wilayah di negara ini. Amsterdam bukan hanya sekadar kota yang indah, tapi kota yang menyimpan jutaan kenangan antara Carol dan Fargo. Lihat saja, ketika dua insan itu mendarat di Amsterdam, mereka tersenyum semeringah bahagia. Mereka tak mengira kembali lagi ke kota ini, dalam keadaan mereka berdua telah resmi menjadi sepasang suami istri. Dulu, Carol ke Amsterdam karena ingin melakukan pertemuan bisnis. Sementara Fargo tinggal di Amsterdam, karena mengurus perusahaannya. Pun di kala Fargo bercerai dari Kimberly, pria itu memang memutuskan tinggal di Amsterdam. Sekarang, dua orang asing yang tak pernah berpikir akan ber
Fargo dan Carol tak menunda bulan madu mereka ke Amsterdam. Setelah Gavin dan Gilda menikah, mereka langsung bersiap untuk melakukan penerbangan ke Amsterdam. Hal itu membuat Carol tadi sempat sibuk dengan barang-barang yang akan dia bawa. Namun, sekarang barang yang akan dibawa Carol telah dimasukan ke dalam mobil oleh pelayan. Perasaan yang dirasakan Carol adalah bahagia. Tentu dia bahagia karena akan segera ke Amsterdam—tempat yang dulunya menyebalkan, tapi ternyata memberikan kebahagiaan mendalam. Namun, sekarang bukan hanya kebahagiaan yang dia rasakan, melainkan rasa khawatir tentang ucapan nenek tua tempo hari. “Astaga Carol, kenapa kau masih memikirkan ucapan peramal tidak jelas itu?” gumam Carol seraya menepuk jidatnya, mengumpati kebodohannya di mana masih mendengar ucapan peramal tidak jelas. Tiba-tiba ponsel Carol berbunyi, membuyarkan lamunannya. Dia mengambil ponselnya yang ada di atas meja, dan menatap ke layar tertera nomor ‘Gilda’ yang terpampang di sana. Detik i
The Ritz-Carlton tempat di mana yang dipilih Gavin dan Gilda melangsungkan pernikahan mereka. Gilda melangkah dengan pelan dan anggun—mamasuki ballroom hotel dengan tangan yang terus memeluk lengan Ernest. Ya, yang menemani Gilda adalah Ernest—tentu ini semua karena permintaan Ernest sendiri. Hal itu yang membuat Gilda merasakan syukur tanpa henti. Meski dia pernah jahat, tapi ternyata kesalahannya mampu dimaafkan oleh keluarga. Gilda tersenyum hagat, dan kini kilat kamera yang terus tersorot padanya. Tampak jelas dia sedikit gugup, tapi wanita itu berusaha mengatasi rasa gugupnya. Ribuan tamu undangan yang datang, menatap hangat dan kagum pada penampilannya. Di ujung sana, tepat di kursi paling depan ada Maisie yang tak henti menangis. Pun Kimberly yang duduk di belakang Maisie ikut menangis kala Gilda mulai mendekat. Bukan tangis kesedihan, melainkan tangis haru bahagia. Dari altar, Gavin begitu tampan dengan tuxedo berwarna putih menatap kagum penampilan Gilda yang sangat cantik