Aku segera meminta Li untuk mengantarkan ke Resto Kenanga. Jika sampai firasat tak enakku selama ini benar, terbukti Hans berkhianat, jangan harap ada ampun. Aku sudah menahan segala luapan emosi bak bom waktu yang tak lama lagi akan meledak.
“Bisa cepatan dikit enggak, sih?" protesku kepada Li Chen. “Sabar, ini jalanan lumayan ramai.” “Tahu-tahu gini, aku tadi naik ojek aja.” “Sabar, Sal.” Li terus berusaha menenangkan. “Ih, sabar-sabar. Kamu mana ngerti. Makanya cepetan kawin, biar tahu rasanya gimana was-was saat pasangan bersama yang lain.” “Kenapa harus was-was? Toh, pasanganku nanti pasti setia.” Li begitu percaya diri. “Ekhm," tanggapku tak berarti apa-apa. Setelah sepuluh menit akhirnya sampai juga di Resto yang dimaksud. Harusnya bisa lebih cepat kalau Li tidak lamban. Mataku langsung membidik sebuah motor di parkiran. Bisa kupastikan itu motornya Hans. Sebisa mungkin kuatur napas agar tidak menderu dan terengah. Kuredam segala gejolak yang berdentum agar tak meledak sia-sia. Jika iya, Hans main gila di sini, aku akan langsung melabrak. Tanpa menunggu Li keluar dari mobil, aku bergegas mengayun langkah memasuki Resto. Kuedarkan pandangan kesegala penjuru sampai tertangkap sosok suamiku. Benar saja dia tengah asyik tertawa bersama seorang wanita. Kamu mulai membakar kepercayaanku, Hans. Bak bom yang menunggu detik-detik meledak, tanganku semakin mengepal kuat. Posisi duduk mereka yang membelakangi ini cukup menguntungkan. Aku bisa mengejutkan wanita gatel itu dengan jambakan. Good ide! Satu, dua, tiga … hap. Rambut yang digerai dan bersandar di bahu Hans kuraih. “Auw!” Sang empunya teriak. Seketika orang-orang di sekitar menoleh, memerhatikan apa yang terjadi. “Ayang?” Hans menoleh cepat dengan mata membola. “Dea?!” seruku terkejut. “Ih, apa-apaan sih, Kak? Kok, aku dijambak?” Dia mendengus kesal sambil merapikan rambut ala kadarnya dengan jari-jemari. “Astagfirullah, kirain siapa?” Aku kini memegang dada yang berubah lega. Rupanya wanita yang dituduhkan mesra oleh Li adalah Dea, adiknya Hans. “Kamu mikir macam-macam tentang aku, Yang?” nada Hans tak biasa. Sepertinya dia sangat tersinggung. “Maaf,” sesalku. “Kamu tahu dari mana aku ada di sini? Apa kamu memata-mataiku? Mentang-mentang kamu banyak duit, jadi bebas mencurigai suamimu, iya?” cecarnya. “Bukan seperti itu, Mas. Aku ha—” “Argh, sudah-sudah! Kamu memang bebas lakukan apa pun sesukamu. Aku memang sampah tak berharga. Sekadar untuk dipercaya pun tak pantas.” Hans terdengar sangat tersinggung karena sudah dicurigai. “Istrimu tidak salah. Saya yang laporkanmu padanya. Jadi ini adikmu? Kenapa mesra sekali?” Tiba-tiba Li yang baru muncul langsung membela. “Oh, jadi kamu biang keroknya? Suka-sukalah. Orang dia adikku. Kami udah tumbuh bersama dalam waktu yang cukup lama. Wajarlah kalau dia manja sama kakaknya.” “Iya. Aku tadi pusing. Makanya bersandar ke bahunya Kak Hans,” jelas Dea enteng. “Ya sorry. Saya minta maaf," ujar Li, meski tak terlihat sebuah penyesalan. “Mas, maaf, ya!” Aku memelas. “Iya, Ayang. Maaf juga, aku tadi sedikit kasar bicaranya.” Nada Hans telah kembali melunak. “Tak apa. Orang aku yang salah. Jadi wajar," ucapku. Kami pun saling berangkulan. “Huu … prok, prok, prok!” Orang-orang yang menyaksikan bersorak serta tepuk tangan. Kami jadi malu dibuatnya. Setelah melerai pelukan, aku langsung pamit. Soalnya masih ada dokumen yang harus diselesaikan sebelum aku izin pulang lebih awal. Sepanjang jalan, aku dan Li tidak saling membuka obrolan lagi. Lantaran, aku yang sengaja mendiamkannya karena kesal.* “Li, kok, gajiku sekarang segini? Padahal ‘kan kemarin kita goal dua proyek," protesku jelas tak terima. “Bonusanmu ada. Tapi tidak bisa dicairkan semua.” “Lho, maksudnya?” Dahiku berlipat tak paham. “Sekarang di perusahaan kita ada program baru. Jadi setiap bonus dipotong untuk tunjangan hari tua.” “Tidak masuk akal. Masa potongannya besar sekali?” “Kamu mau sejahtera enggak di masa tua?” “Ya, mau.” “Kalau mau, udah jangan protes," tegas Li. “Tapi Li, uang segini mana cukup untukku sebulan. Belum harus gaji pembantu, belanja bulanan, biaya makan, dan yang tak terduga.” “Ekhm, bukannya untuk biaya suamimu dan keluarganya juga.” “Jangan mulai, deh! Itu urusanku, kamu jangan ikut campur.” Lama-lama aku makin kesal dan muak dengan si Li. Mentang-mentang perusahaan sendiri, modal sendiri, eh seenak jidat saja ngatur-ngatur dan keluarkan kebijakan. * “Yang, aku mau ikut Dea ke Bali," ucap Hans. “Hah, mau apa?” “Tahu sendiri ‘kan pacar dia kayak gimana?” “Terus kaitannya?” “Pacarnya juga ‘kan satu jurusan sama dia. Jadi sudah pasti ikut.” Hans memang sering cerita, kalau dia sangat mengkwatirkan adik satu-satunya itu. Katanya dia harus terus menjalankan amanah almarhum Bapak. Dea menjalin hubungan dengan seorang laki-laki yang setelah Hans selediki ternyata badboy. Bahkan pernah ada korbannya sampai hamil. Sebenarnya, Dea juga sudah dikasih tahu dan diingatkan. Akan tetapi, ya, namanya juga bucin akut. Begitulah! Susah. “Aduh, Mas. Dea itu sudah besar. Cukup ingetin aja lagi. Lagian pasti malu, sudah sebesar itu masih dikuntit sama Kakaknya. Yang ada nanti, dia akan jadi bahan olok-olokan temannya.” “Ya enggak terang-terangan, Ayang. Aku ikut ke sana tanpa sepengetahuan Dea. Jadi cukup awasi saja, gitu.” Hans terus bersikuku agar aku mengizinkannya. Aku juga kalau jadwal meeting tidak padat di kantor, pasti akan ikut. Itung-itung liburan, tetapi apa boleh buat. “Ya, boleh. Tapi hati-hati dan ingat jangan macam-macam!” “Ya ampun, Yang, kamu tidak percaya sama aku?” “Canda, Mas.” “Hehe.” Wajah Hans yang sempat lesu berubah energik lagi. “Terus, apa Mas butuh uang?” “Kamu pengertian sekali," tanggapnya cepat, meski malu-malu. “Tapi, maaf. Sekarang bonusku dipotong. Jadi sepertinya kita harus mulai mengurangi segala pengeluaran, Mas.” Aku berterus terang agar Hans tidak salah paham. “Kok, bisa?” Hans terkejut. “Iya, ada kebijakan baru di kantor.” “Tetap saja ini enggak masuk akal, Yang. Jangan-jangan ini hanya akal-akalan Bos kamu saja.” “Ya, meski Bosku itu menyebalkan, tapi aku yakin, dia bukan tipe orang yang suka mengambil hak orang lain. Untuk apa coba? Toh uang yang dia miliki itu sudah kebanyakan. Sedangkan uang bonusku, baginya pasti tidak seberapa.” “Kamu selalu belain dia.” Riak muka Hans tak suka. Padahal niatku sama sekali bukan mau membela. Kenyataannya memang Li Chen itu orang baik. Aku sudah mengenalnya sejak lama, bahkan jauh sebelum mengenal Hans. Meski kami beda keyakinan, akan tetapi hubungan yang terjalin cukup akrab dan solid. * “Eh, Nyonya, Sudah pulang?” tanya Meti—asisten rumah tanggaku. “Iya, Met. Tuan ada?” Aku memang selalu bicara santai dengan dia. Karena usianya memang lebih muda dariku. “Tadi Tuan keluar, Nyonya.” “Lho, kemana?” “Tidak tahu. Tapi, tadi ada Non Dea ke sini.” “Oh, sama Dea.” Ya, paling Hans diminta ngantarin dia belanja untuk keperluan study tour-nya. Aku pun bergegas masuk kamar.Segera kulucuti perhiasan yang menempel di tubuhku. Sebab aku akan lekas mandi. Biar pas Hans pulang, sudah wangi. Saking terburu-buru, cincin nikah yang kusimpan di atas meja rias tersenggol, dan jatuh menggelinding masuk kolong ranjang king size. Kuberjongkok, lalu mengulurkan tangan untuk mengambilnya. Diraba-raba tidak kunjung kutemukan. Kolong ranjangku berukuran rendah, hanya satu jengkal saja tingginya. “Hah, apa ini?” Saat aku merasa sesuatu teraba sedikit basah juga agak lengket.Mataku dengan mode memicing, sontak terbuka dua kali lipat.***Kutemukan lagi alat kontrasepsi bekas pakai. Meski merasa jijik, aku terpaksa memungutnya untuk dibuang ke tong sampah.Seketika kepala ini terasa pusing sekali. Entah lelah karena pekerjaan yang menumpuk tadi di kantor, atau karena memikirkan apa yang baru saja kutemukan.Dada ini terasa terus menghimpit membuat ruang oksigen di paru semakin sempit. Usai mandi, tubuh penat menjadi segeran. Kujatuhkan bobot tubuh di sofa bed depan televisi ruang tengah. Bersantai sambil menunggu Hans pulang.Meski kedua mata tertuju ke layar kaca, tetapi pikiranku tak sama. Melayang dan menimbang apa yang harus kulakukan kepada Hans? Mengintrogasinya? Langsung menyerangnya? Apa selidiki diam-diam?Kuteringat akan cctv yang terpasang di depan rumah dan juga di ruangan ini. Lekas beranjak menuju ruang dimana aku dapat mengecek segala aktifitas yang terekam.Kuperiksa secara teliti. Perlahan tapi pasti. Kutonton apa yang tengah diputar di layar monitor PC. Hasilnya tidak ada orang lain yang masuk ke
Meski pesan dari nomer yang tidak dikenal itu cukup menghentak jantungku dan mengusik hati, tetap saja berusaha kuabaikan. Aku anggap saja itu hanya orang iseng.Ponselku bergetar. Mengejutkan aku yang masih melamunkan pesan asing itu. Segera kugeser ikon hijau di layar untuk mengangkat.“Hai Ayang, istriku tercinta. Aku kangen,” seru Hans setelah panggilan video terhubung.“Kalau kangen, kenapa pergi juga ke Bali?” Bibirku mengerucut.“Mohon pengertiannya, Ayang. Aku harus menjaga adikku satu-satunya dari lelaki badboy itu.”“Ya. Mas, sudah makan?”“Ini lagi makan.”“Mana? Kok, makanannya enggak kelihatan?”“Kan menu makannya kamu, Ayang. Hanya dengan melihat dan mendengarmu, aku pasti kenyang.”“Alah, gombal. Paling ada maunya. Apa kehabisan uang? Katakan butuh berapa?”“Idih, bukan! Aku benar-benar lagi butuh kamu. Di sini banyak sekali hilir mudik pasangan yang pamer kemesraan. Bikin hatiku kepanasan. Coba kamu ikut, Ayang. Suamimu ini tidak akan menderita.”“Ya, aku bi
KB-7 Heh, dia pikir aku akan melepaskannya begitu saja? Dengan perginya dari rumah ini, si Meti telah menabuh genderang perang. Nomer yang Anda hubungi sedang tidak aktif. Silahkan coba beberapa saat lagi. Suara operator seluler terdengar saat kucoba menghubungi nomer ponselnya. “Sudah kuduga.” Meski sedang tidak aktif, aku tetap mengirimkan sebuah pesan. Kuyakin sesekali ia akan mengaktifkannya untuk mengecek. [Beritahu aku, kalau tidak akan kudatangi keluargamu dan mempermalukanmu di sana.] Sejam, dua jam, pesan itu masih centang satu. Aku mondar-mandir dengan pikiran semrawut. Kalau sampai terbukti suamiku selingkuh dengannya, awas saja! Kuremas kepala yang kian pusing. Lambat laun, dadaku bergemuruh berdenyut nyeri. Apa mungkin suami sebaik Hans tega melakukan pengkianatan? Setelah apa yang kuberi selama ini. Dia juga selalu ada untukku. Bagaimana mungkin sampai kecolongan? Apa lagi kalau ia melakukannya dengan pembantu sialan itu. Oh, tidak! Kamarku, ranjangku, dipakai ber
“Iya, Bu. Foto Dea sewaktu kecil mana?”“Eeu … anu, itu.”“Apa, Bu? Kenapa enggak jelas?”“Foto Dea sewaktu kecil tidak ada.”“Lha, kok bisa?”“Hilang, ya, hilang albumnya.”“Jangan bohong, Bu! Kasih tahu aku yang sebenarnya!” tekanku.“Ibu tidak bohong, Mantu.”“Katakan! Dea itu siapa sebenarnya?” bentakku.“Mantu, kamu bentak Ibu?”“Ya. Memangnya kenapa? Kaget? Aku bisa bertindak lebih jauh dari ini.” Mataku menyalang.“Dea itu adiknya Hans. Memang siapa lagi?”“Jadi Ibu tetap tidak mau bilang? Tidak mau memberitahu aku?”“Apa yang harus Ibu bilang? Dea itu memang adiknya Hans,” kukuhnya.“Justru sikap Ibu menunjukkan sebaliknya.”“Apa maksudnya?”“Heh! Masih menanyakan apa maksudnya?”“Ibu benar-benar tidak mengerti.”“Aku akan memberi Hans, Ibu dan si Dea perhitungan.” Telunjukku mengacung ke mukanya.“Perhitungan apa, Mantu? Memangnya apa yang telah kami lakukan?”“Masih bertanya? Lucu!”Gegas aku beranjak dan menyambar tas untuk pergi dari rumah orang penip
Tubuhku terlonjak mundur saat dinding lemari bergeser pelan. Tak ayal seperti sebuah pintu rahasia yang pernah aku lihat di film. Kini dinding lemari yang terbuka setinggi aku berdiri dan selebar satu meteran membuat mata kian melebar.Kuayunkan langkah dengan pelan tapi pasti, melewati pintu yang baru saja terbuka. Ternyata terhubung ke sebuah ruangan berukuran sekitar 3x3 meter persegi. Di dalam hanya ada kardus-kardus menumpuk serta beberapa barang yang telah usang. Seperti sebuah gudang lebih tepatnya. Aku pikir akan ada banyak harta karun atau paling tidak sebuah rahasia.Tunggu! Kok, ada sebuah pintu lagi? Kumencoba melangkah lebih jauh, menghampiri pintu tersebut. Lalu diputar kenopnya, tetapi terkunci."Bagaimana ini?"Samar getar ponsel terdengar dari arah kamarku. Entah siapa yang menelepon. Aku segera keluar dari ruang rahasia."Hans? Ada apa dia menghubungi?"Mengambil napas panjang, terus embuskan. Aku harus terdengar baik-baik saja. Walau dalam dada bergemuruh. Rasanya i
Aku hanya membalas dengan anggukan."Emang, ya, Hera itu orangnya enggak jelas. Tertutup. Hanya Pak RT yang sering ketangkap basah bolak balik ke rumahnya. Secara Pak RT itu duda," terang salah satu tetangga."Tahun depan, kita ganti saja RT-nya," seru tukang warung."Iya, pasti ada apa-apanya," sahut si ibu tambun.Karena tidak terbiasa bergosip, kupingku berasa panas saat mendengar gunjingan mereka. Menyimak sebentar saja, bahuku diam-diam bergidik. Buru-buru kuselesaikan proses transaksi beli telurnya."Jadi berapa, Bu?""Dua puluh lima ribu, Neng."Kusodorkan uang selembar Soekarno-Hatta. Setelah mendapat kembalian aku lekas meninggalkan warung."Mari semua," pamitku."Iya, silahkan, Mbak."Sehabis dari warung aku langsung menuju dapur. Kuambil wajan dan menuangkan minyak goreng seperti yang biasa Hans lakukan."Telur ceplok sajalah yang gampang." Aku bergumam sendiri.Satu telur kupecahkan ke atas penggorengan dengan hati-hati. Eh, ya Allah, lupa kompornya belum dinyalakan. Karen
"Mas, apa-apaan ini? Jelaskan!""Ayang, maaf!" Dia menggenggam tanganku. Kutepis kasar. "Dea bukan adikmu 'kan?" Mata ini menyelidik tajam. "Bukan adik kandung," akunya lesu. "Sudah kuduga," sinisku. "Maksudnya?" "Lekas kemasi barangmu! Angkat kaki dari rumahku sekarang juga! Satu lagi, jangan bawa mobil yang telah kubelikan untukmu!" Murkaku langsung tersulut. Meski tungkai terasa lunglai, tetap berusaha berpijak dengan kepalan tangan. "Ayang, ada apa? Kenapa kamu mengusirku?""Masih bertanya? Tidak tahu malu!" Urat-urat leher terasa mau putus saja. "Yang, sungguh aku tak paham.""Kamu ada main gila 'kan dengan Dea? Tega kamu, Mas!" Tubuh yang gemetar kini luruh ke lantai. Begitu pun dengan tangis yang pecah. "Astaghfirullah, Yang. Pikiran apa yang telah merasukimu?" Hans mendekat dan hendak meraih kedua bahuku yang terguncang hebat. "Jangan sentuh aku! Jijik!""Yang, kumohon, kenapa kamu berpikiran aku serendah itu?"Aku terus menangis, air mata tumpah ruah seolah tak akan
Gerak cepat aku memasuki ruang rahasia yang tampak seperti gudang itu. Ada pintu terkunci menuju ruang lain. Kuyakin di ruang tersebut akan mendapatkan jawaban. Jika kubuka paksa, pintu pasti rusak dan meninggalkan jejak. Bagaimanapun harus menemukan kuncinya.Kulihat sekeliling ruangan. Mencari keberadaan kunci pintu. Ada sebuah nakas tua dengan laci-laci. Lekas kuperiksa. Bibir menyunggingkan senyuman, tatkala mata menangkap apa yang kucari di salah satu laci. Terasa begitu Tuhan memberi kemudahan agar aku mengetahui kebenaran.Klik, kunci kuputar dan handle ditekan. Berhasil! Lha, jadi ini sebuah kamar juga? Kuedarkan pandangan ke ruang yang didominasi warna merah dan sangat rapi. Kesadaranku tersentak saat melihat tas yang kukira hilang ternyata ada di sini. Kudekati lemari kaca di mana tas bertengger. "Benar. Ini tasku." Aku berseru setelah memastikan. Selanjutnya meja rias mencuri perhatian. Dari make up yang berjejer, sudah pasti ini kamar perempuan. Jadi si Hans pelihara gu
Kami menyerahkan masalah terkait teman Daffa yang melecehkan Qia kepada pengacara. Biarlah pengacara yang mengurusi segalanya. Sedangkan aku dan Irsyad fokus kepada dampak psikologis putri kami itu.Irsyad mengkonsultasikan masalah Qia kepada psikolog anak terbaik di kota Bandung. Kami masih beruntung, karena dampaknya belum terlalu jauh. Mungkin karena efek ada pembelaan juga dari Daffa sebagai kakak. Jadi rasa aman itu masih ada. Meski ada trauma berupa sedikit ketakutan kepada semua teman laki-laki di sekolahnya.Setelah 3 kali konsultasi, Alhamdulillah bisa dibilang Qia pulih. Kami memutuskan kalau Qia tidak masuk ke sekolah terlebih dahulu.“Bagaimana kalau kita liburan. Kalian mau ke negara mana?” tanya Irsyad di suatu sore.“Negara?” Daffa membelalak tak percaya. Sungguh terasa mimpi. Selama ini ingin sekedar berlibur ke tempat wisata terdekat saja tidak pernah kesampaian. Lalu tiba-tiba ia diajak ayah angkatnya berlibur ke luar negri.“Iya. Dafa sukanya Negara mana?” t
Aku dan Irsyad tentu panik saat Qia mengatakan kalau Daffa hilang. Orang dalam rumah semua berlarian mencari ke setiap sudut. Termasuk kami sebagai orang tua baru. Daffa benar-benar tak ditemukan.Lemas. Tungkaiku mendadak tak ada daya dan melorot ke lantai.“Dek!” Irsyad memburu dan memapahku untuk duduk di sofa. Sedangkan salah seorang asisten rumah bergegas membawakan segelas air minum. “Bang, kenapa Daffa pergi? Kemana dia? Bukankah ini baru pertama kali di Bandung? Kalau dia diculik atau dalam bahaya gimana?” Aku mencecar suami dengan segala pikiran burukku.Sungguh tak pernah terpikirkan jika Daffa akan pergi dari rumah. Dia tampak baik-baik saja dan tidak keberatan. Lalu hal apa yang membuat ia akhirnya memutuskan pergi? Kepala ini sakit sekali saat berusaha mencari jawabannya.“Tuan, apa kita nggak lapor polisi saja?” saran satpam rumah kami.“Belum 24 jam. Tidak bisa,” tangkas Irsyad.“Lagian, kenapa juga sampai tidak ada yang melhat Daffa pergi?” Nadaku ngegas kal
Hari ini, kami mempersiapkan kamar untuk Daffa. Salah satu kamar tamu, akan disulap jadi kamar anak. Qia turut serta memilihkan segala macam fortnitur untuk keperluar kamar kakaknya itu. Sedangkan Daffa sendiri lebih banyak terdiam. Keceriaan belum kembali hiasi hari-harinya. Tentu saja jejak kesedihan ditinggal Meti masih berbekas luka.“Daf, kamu mau gambar apa?” tanyaku saat memilih seprei.“Bagaimana Ibu saja,” jawabnya pasrah.Ada rasa kagum di hati ini. Umumnya anak kekurangan seperti Daffa saat ditawari kemewahan akan antusias dan senang. Berbeda dengannya yang seolah semua ini tidak ada arti bila dibandingkan dengan kehadiran sang mama. Sekali pun Meti bukanlah orang tua yang baik. Sekali pun hidup bersama Meti, ia harus bekerja keras.Karena Daffa menyerahkan semua pilihan, jadi aku dan Qia saja yang memutuskan. Tak ingin berlama-lama belanja, kami segera menyelesaikannya. Aku juga tidak mau pusing-pusing menimbang untuk memilih. Asalkan sesuai dengan anak lelaki seumuran Daf
Tiga bulan kemudian. “Hallo, Bu … Ma-ma, mama su-dah dipang-gil oleh Allah,” ucapnya terdengar serak di sambungan telepon. “Innalillahi wainnailaihi rojiun.” Aku, Irsyad dan Qia langsung berangkat ke Sukabumi untuk melayat.Sesampainya ternyata Meti baru saja sudah dikebumikan. Masih beruntung warga sekitar peduli dan mau mengurusi. Dengar-dengar marbot mesjid yang paling berjasa membantu. Karena beliau katanya cukup dekat dengan Daffa meski tidak ada hubungan darah.Di rumah duka, aku tidak melihat ibunya Hans atau Dea. Kata Daffa, merek memang belum dikasih tahu.Kini bocah hitam kurus itu tampak sembab juga kuyu. Kepergian sang mama benar-benar menyisakan duka yang mendalam."Maaf sudah menghubungi ibu dan bapak. Itu permintaan terakhir mama." Daffa merasa bersalah."Tidak perlu minta maaf, Nak. Kami pasti datang saat seperti ini." Irsyad yang menyahut."Iya, Nak." Aku duduk di tepat di sampingnya. Membelai lembut Surai Daffa. Terbersit rasa iba dan tak tega kepadanya.Kini di
POV. 3Dengan tubuh yang ringkih Meti berusaha untuk ke kamar mandi. Setidaknya ia harus cuci muka sebelum memutuskan keluar rumah.Daffa yang baru datang beli nasi uduk pagi ini terkejut melihat mamanya kepayahan. Ia lekas memburu untuk membantu."Mama mau kemana? Kenapa nggak tunggu aku aja?""Cuma mau ke kamar mandi. Mama kuat kok, Daffa."Meti menolak untuk dibantu. Ia ingin melakukannya sendiri meski dengan gerakan lamban. Daffa hanya memperhatikan tak berani membantah. Sebab, kalau mamanya sudah bersikukuh dan jika ia memaksa, maka akan kena marah.Meti sampai juga di kamar mandi yang langsung aroma tak sedap tercium dari dalam. Begitu masuk, lantainya juga kotor serta licin. Jika ia sedang kuat, biasanya ia sendiri yang sikat dan kuras. Namun, akhir-akhir ini tenaganya seolah terus tersedot oleh rasa nyeri.Masih dalam gerakan lamban Meti menggosok gigi serta mencuci muka. Setelah itu kembali ke kamar dan memilih pakaian terbaiknya."Mama mau kemana?""Mama ada perlu sama papam
Meti tampak sudah putus asa. “Apa kamu melakukan pengobatan?” “Sekarang sudah tidak lagi."“Lho, kenapa? Kamu jangan menyerah, demi Daffa.” Aku mengulanginya. Berharap, Meti tetap hidup dan Daffa tetap tumbuh bersamanya. Maaf, aku merasa tidak siap mengurus anak itu.“Sudah kubilang jangan beri aku harapan!” nadanya penuh penekanan. “Semuanya akan sia-sia. Lihatlah ini!” sambung Meti seraya membuka ciputnya.Aku terperangah saat melihat kepala tanpa sehelai rambut. Sepertinya Meti sudah benar-benar hilang harapan.Hari beranjak semakin sore. Sebentar lagi magrib datang. Setelah mengobrol panjang, Daffa tetap mau tinggal dengan mama-nya. Sebetulnya yang merayu untuk tinggal bersama kami hanya Irsyad. Aku hanya diam dan tak berani membantah. Sebelum pulang, aku meninggalkan nomer kontak. Jadi kalau ada apa-apa, mereka tinggal menghubungi. Kurasa kebaikanku sudah lebih dari cukup.Namun saat Irsyad berikan sejumlah uang, baik anak ata
Akhirnya urusan Irsyad sudah selesai. Dia langsung menjemput kami dari rumah neneknya Qia. Mengingat mami sedang kurang fit di rumah, jadi kami memutuskan untuk langsung pulang lagi ke Bandung.Namun, sebelum pulang, kami membeli dulu oleh-oleh khas Sukabumi. Pilihan jatuh kepada Mochi. Sebuah kue yang terbuat dari beras ketan, bertekstur lembut dan lengket. Bercita rasa manis dengan aneka varian isi.Usai membeli oleh-oleh sampai bagasi mobil penuh, kami melanjutkan perjalanan pulang. “Ayah, tolong berhenti!” teriak Qia tiba-tiba.“Ada apa, Sayang?” Irsyad terkejut.“Berhenti dulu, Yah!” pintanya lagi.Irsyad pun menepikan mobil.“Ada apa, Nak?” tanyaku.“Mom, itu anak yang tadi!” tunjuknya kepada sosok anak yang sedang berjalan di trotoar.“Oh, iya.”“Anak yang tadi apa, sih?” Aku pun menceritakan tentang tadi sewaktu di Mesjid.“Kasihan, Yah,” ujar Qia.“Hei, Dek! Sini sebentar!” Irsyad melambaikan tangan ke anak itu.Anak itu tampak celingukan. “Saya?” Ia menunjuk dirinya sendir
Jika biasanya pengantin baru berbulan madu hanya berdua, berbeda dengan kami. Aku dan Irsyad memilih untuk memboyong dua keluarga yang baru bersatu ini. Awalnya tentu keluarga kami menolak karena berpikiran akan mengganggu. Akan tetapi kami terus bersikukuh untuk mengajaknya.Aku, Irsyad, Qia, mama, papa, mami serta asisten rumah tangganya yang sudah dianggap keluarga itu menghabiskan waktu keliling Indonesia. Dari mulai Gorontalo, Bangka Belitung, Lombok, Bali, hingga pulau Komodo. Kami benar-benar berlibur.“Mih, malam ini Qia biar tidur sama kita aja,” tawar Irsyad.“Enggak! Qia malam ini giliran tidur dengan Mama lagi, Syad.”“Mah. Aku juga kangen sama Qia,” ucapku.“Kalian ‘kan bisa sama Qia siangnya. Malamnya biar Qia tidur sama Mama, ya!”Sejak pergi bulan muda, belum pernah sekalipun Qia tidur bersama aku dan ayahnya. Oya, anakku memanggil Irsyad dengan sebutan ‘ayah’. Kami sangat paham kenapa orang tuaku dan mami Mohan melakukan semua itu.Mereka hanya ingin agar kami bisa
Karena kami sudah menyelenggarakan pernikahan di ballroomnya, pihak hotel memberikan hadiah menginap gratis satu malam pasca resepsi.Saat pintu kamar terbuka wewangian langsung menguar dari dalam. Terlihat taburan kelopak mawar merah muda di atas bad ukuran king. Di tengah bad ada sepasang handuk berbentuk angsa dalam posisi beradu. Kemudian ada beberapa balon berbentuk hati menggantung di langit kamar. Serta pencahayaan remang dari lampu tumblr menambah kesan semakin romantis.Irsyad menggandengku untuk duduk di tepi ranjang.Tik tok tik tok, bunyi jarum jam yang berputar begitu terdengar jelas bagi kami saat ini. Jarumnya sudah menunjukkan pukul 22.30 Wib.“Eum … karena kita sudah menikah, enaknya aku panggil apa, ya?”“Tidak tahu,” jawabku seraya menunduk malu.Sungguh tidak disangka, seorang yang sudah lama kukenal, seorang teman, seorang rekan, dan seorang Bos, bisa membuat jantungku dag Dig Duk tidak karuan seperti ini. “Aku panggil kamu … Sayang?” Aku menggeleng karena mirip