"Mas, apa-apaan ini? Jelaskan!""Ayang, maaf!" Dia menggenggam tanganku. Kutepis kasar. "Dea bukan adikmu 'kan?" Mata ini menyelidik tajam. "Bukan adik kandung," akunya lesu. "Sudah kuduga," sinisku. "Maksudnya?" "Lekas kemasi barangmu! Angkat kaki dari rumahku sekarang juga! Satu lagi, jangan bawa mobil yang telah kubelikan untukmu!" Murkaku langsung tersulut. Meski tungkai terasa lunglai, tetap berusaha berpijak dengan kepalan tangan. "Ayang, ada apa? Kenapa kamu mengusirku?""Masih bertanya? Tidak tahu malu!" Urat-urat leher terasa mau putus saja. "Yang, sungguh aku tak paham.""Kamu ada main gila 'kan dengan Dea? Tega kamu, Mas!" Tubuh yang gemetar kini luruh ke lantai. Begitu pun dengan tangis yang pecah. "Astaghfirullah, Yang. Pikiran apa yang telah merasukimu?" Hans mendekat dan hendak meraih kedua bahuku yang terguncang hebat. "Jangan sentuh aku! Jijik!""Yang, kumohon, kenapa kamu berpikiran aku serendah itu?"Aku terus menangis, air mata tumpah ruah seolah tak akan
Gerak cepat aku memasuki ruang rahasia yang tampak seperti gudang itu. Ada pintu terkunci menuju ruang lain. Kuyakin di ruang tersebut akan mendapatkan jawaban. Jika kubuka paksa, pintu pasti rusak dan meninggalkan jejak. Bagaimanapun harus menemukan kuncinya.Kulihat sekeliling ruangan. Mencari keberadaan kunci pintu. Ada sebuah nakas tua dengan laci-laci. Lekas kuperiksa. Bibir menyunggingkan senyuman, tatkala mata menangkap apa yang kucari di salah satu laci. Terasa begitu Tuhan memberi kemudahan agar aku mengetahui kebenaran.Klik, kunci kuputar dan handle ditekan. Berhasil! Lha, jadi ini sebuah kamar juga? Kuedarkan pandangan ke ruang yang didominasi warna merah dan sangat rapi. Kesadaranku tersentak saat melihat tas yang kukira hilang ternyata ada di sini. Kudekati lemari kaca di mana tas bertengger. "Benar. Ini tasku." Aku berseru setelah memastikan. Selanjutnya meja rias mencuri perhatian. Dari make up yang berjejer, sudah pasti ini kamar perempuan. Jadi si Hans pelihara gu
Kutitipkan mobil yang biasa aku pakai di salah satu tetangga. Tentu saja mereka tidak keberatan, karena aku membayar. Bukan hanya itu, aku temui Ceu Lia dan kawan-kawan yang sering bergosip di warung. Mereka akan kuajak menonton sebuah pertunjukan gratis. Diam-diam, Kukembali ke rumah. Bersembunyi di kamar tamu yang Hans jarang mendatanginya. Cukup lama juga menunggu kepulangan dia. Akhirnya waktu yang ditunggu-tunggu tiba setelah satu jam. Terdengar derap langkah kaki memasuki rumah.Aku mengintai dengan degup jantung yang tak karuan. Apalagi ketika Hans tampak tak sabar memasuki kamar. Untunglah dia tidak mengunci pintunya, jadi aku bisa leluasa masuk. Biipp ... Bahkan dia langsung menuju si gundik--bekas pembantuku melalui jalur rahasia itu. Pertempuran pasti akan segera dimulai sesuai janjinya tadi.[Ceu, cepat! Tapi pelan-pelan, ya! Jangan sampai gaduh.] Kulayangkan chat dan langsung centang biru. Rupanya Ceu Lia dkk. sudah standby.[Ok, Mbak Bos.] Balasnya.Hanya menunggu lima
"Bang, kamu berani menamparku?" Meti meradang."Ma-maaf, Sweety!" sesalnya."Apa, Sweety?" Geli sekali rasanya aku mendengar panggilan si Hans kepada gundiknya."Eh, maksudnya Meti," jelasnya sambil nyengir.Tiba-tiba Hera dan Pak Rt menerobos kamar."Ada apa ini ribut-ri--" tanya Hera menggantung saat melihat keberadaanku, ceu Lia dan kawan-kawan."Oh, jadi di rumah ini kalian doble date, doble zina gitu?" sinis Ceu Lia."Diam kamu, Ceu! Kalian semua yang masuk tanpa izin akan saya persulit jika butuh sesuatu menyangkut ke-RTan," gertak Pak Rt."Haha ... jabatan Rt aja belagu! Ada juga Pak Rt yang akan kami lengserkan," teman Ceu Lia gertak balik."Iya. Kami tak sudi punya Rt model begitu," imbuh teman yang lain.Keributan tidak bisa dihindari lagi. Semuanya beradu mulut bahkan saling dorong. Kalau saja tidak melihat perut si Hera yang besar, sudah kubejek-bejek juga dia."Kalian semua akan saya laporkan ke polisi dengan pasal perbuatan tidak menyenangkan," cetus Hera tidak tahu malu
"Yang, kamu belum tidur?" Hans menghampiriku di kamar depan.Ya, semenjak kejadian hari itu, aku tidak pernah lagi memasuki kamarku sendiri. Mengingat kalau ranjangku sudah pernah dipakai duo laknat berzina. Aku juga sudah menutup permanen pintu ke ruang rahasia itu. Rumah ini pun sudah kuniatkan akan dijual segera."Apa kamu tidak pernah mencintaiku?" pertanyaan bodoh itu meluncur begitu saja dari bibirku."Tentu saja cinta. Ya, aku mencintaimu, sangat mencintaimu. Seluas samudera, sedalam lautan. Sungguh-sungguh cinta. Kamu wanita paling berarti, paling berharga bagiku," cerocos Hans membual.Kalau dulu, mungkin hidungku kembung kempis saat mendengarnya. Tetapi sekarang, aku mendengarnya seperti sebuah olok-olokan. Muak!"Aishh!" Aku mendesis sebal. Namun, Hans sama sekali tidak peka. "Ekhm, Yank, sudah lama kita enggak bercinta. Aku tidak bisa menahannya lagi," tuturnya sambil menelan saliva. "Aku kangen. Kamu juga sama 'kan? Ayo, seperti biasa aku akan memuaskanmu," sambung Hans.
Aku sejenak menahan Hans pergi."Kamu lupa, ya? Itu baju yang kamu pakai, aku yang belikan." Dengan angkuh kulipat kedua tangan di dad4."Ok. Nih!" Hans membuka, terus melemparnya asal."Celananya juga, aku yang beli." Aku semakin merendahkan."Ok. Nih!" Hans melemparkan lagi lebih kasar.Sekarang dia hanya memakai kolor dan bertel*njang d4da. Kemudian pergi ke gudang mencari baju-baju bekas yang ia beli dengan uangnya sendiri. Tidak lama ia keluar dengan baju lusuhnya masih tanpa celana."Kenapa? Enggak nemu celana?" sinisku."Iya. Aku lupa, kalau celananya dulu udah aku bagikan ke tetangga." Hans ketus."Ya, sudah. Go!" usirku."Aku pinjam dulu, ya! Celana yang tadi. Nanti pasti aku balikkin." Hans berubah mengemis."Enak saja. Itu juga kolor, aku yang beli. Jadi sudah untung tidak kuminta!" sentakku."Astaga! Masa aku keluar rumah hanya memakai kolor. Kan malu.""Tanggung! Kelakuanmulah yang lebih jauh memalukan.""Ok. Aku tidak akan pernah ngemis sama wanita sombong sepertimu," pu
Aku memang menyewa jasa seorang mata-mata untuk mengawasi segala tindak tanduk Hans. Tujuannya hanya untuk memastikan hidupnya susah. Akan kupastikan tidak satu pun perusahaan atau orang yang memperkerjakan dia. Aku ingin hidupnya terlunta-lunta seperti gembel.Namun, laporan yang kuterima hari ini sangat mengejutkan. Kupikir si Meti tidak akan mau menerima Hans, lelaki kere yang tak punya harta sepeser pun. Akan tetapi mereka malah hidup satu atap di sebuah kontrakan yang telah disewa si j*lang. Kudengar si Meti menjadi buruh cuci-setrika di daerah sana.Kupastikan, mereka tidak akan bertahan lama. Sebuah rumor segera ditabur. Aku tinggal menunggu hasilnya.Seminggu kemudian."Bu Bos, Hans dan Meti sudah terusir dari kontrakan," lapor mata-mataku."Good job!" Terus sekarang mereka tinggal dimana?""Mereka menginap di rumah temannya Meti.""Berapa lama mereka akan menginap?""Belum tahu, Bu Bos.""Terus selidiki!""Siap."***Sore hari aku hanya duduk sendiri di teras sambil menikmati
"Bu Bos, karena biaya tes DNA janin dalam kandungan mahal, jadi Meti belum melakukannya," lapor mata-mataku."Terus bagaimana si Hans?""Hans sepertinya masih marah, sebelum Meti membuktikan anak siapa yang dikandungnya.""Teruskan tugasmu sampai tes DNA itu gagal!""Siap, Bu Bos."Aku masih bisa bernapas lega karena Meti belum bisa melalukan tes DNA. Pokoknya perempuan tidak tahu diri itu harus merasakan sakit karena tidak dipedulikan orang yang dicintainya.Selanjutnya, aku akan mengatur pertemuan yang seolah tak sengaja dengan Hans. Segala sesuatunya sudah kupersiapkan.Sore hari, mobilku sudah terparkir di salah satu pasar. Kususuri tempat dimana orang-orang berlalu lalang. Diedarkan pandangan ke segala pelosok. Sosok yang kucari akhirnya ditemukan. Ia sedang memanggul satu karung kecil dari mobil bak terbuka.Ekhm, action!Jebred!"Aw! Aduh, maaf!" Aku tersungkur seraya memegangi kepala."Mbak, tidak apa-apa?" tanyanya belum menyadari siapa yang barusan beradu. Kemudian diturunka
Kami menyerahkan masalah terkait teman Daffa yang melecehkan Qia kepada pengacara. Biarlah pengacara yang mengurusi segalanya. Sedangkan aku dan Irsyad fokus kepada dampak psikologis putri kami itu.Irsyad mengkonsultasikan masalah Qia kepada psikolog anak terbaik di kota Bandung. Kami masih beruntung, karena dampaknya belum terlalu jauh. Mungkin karena efek ada pembelaan juga dari Daffa sebagai kakak. Jadi rasa aman itu masih ada. Meski ada trauma berupa sedikit ketakutan kepada semua teman laki-laki di sekolahnya.Setelah 3 kali konsultasi, Alhamdulillah bisa dibilang Qia pulih. Kami memutuskan kalau Qia tidak masuk ke sekolah terlebih dahulu.“Bagaimana kalau kita liburan. Kalian mau ke negara mana?” tanya Irsyad di suatu sore.“Negara?” Daffa membelalak tak percaya. Sungguh terasa mimpi. Selama ini ingin sekedar berlibur ke tempat wisata terdekat saja tidak pernah kesampaian. Lalu tiba-tiba ia diajak ayah angkatnya berlibur ke luar negri.“Iya. Dafa sukanya Negara mana?” t
Aku dan Irsyad tentu panik saat Qia mengatakan kalau Daffa hilang. Orang dalam rumah semua berlarian mencari ke setiap sudut. Termasuk kami sebagai orang tua baru. Daffa benar-benar tak ditemukan.Lemas. Tungkaiku mendadak tak ada daya dan melorot ke lantai.“Dek!” Irsyad memburu dan memapahku untuk duduk di sofa. Sedangkan salah seorang asisten rumah bergegas membawakan segelas air minum. “Bang, kenapa Daffa pergi? Kemana dia? Bukankah ini baru pertama kali di Bandung? Kalau dia diculik atau dalam bahaya gimana?” Aku mencecar suami dengan segala pikiran burukku.Sungguh tak pernah terpikirkan jika Daffa akan pergi dari rumah. Dia tampak baik-baik saja dan tidak keberatan. Lalu hal apa yang membuat ia akhirnya memutuskan pergi? Kepala ini sakit sekali saat berusaha mencari jawabannya.“Tuan, apa kita nggak lapor polisi saja?” saran satpam rumah kami.“Belum 24 jam. Tidak bisa,” tangkas Irsyad.“Lagian, kenapa juga sampai tidak ada yang melhat Daffa pergi?” Nadaku ngegas kal
Hari ini, kami mempersiapkan kamar untuk Daffa. Salah satu kamar tamu, akan disulap jadi kamar anak. Qia turut serta memilihkan segala macam fortnitur untuk keperluar kamar kakaknya itu. Sedangkan Daffa sendiri lebih banyak terdiam. Keceriaan belum kembali hiasi hari-harinya. Tentu saja jejak kesedihan ditinggal Meti masih berbekas luka.“Daf, kamu mau gambar apa?” tanyaku saat memilih seprei.“Bagaimana Ibu saja,” jawabnya pasrah.Ada rasa kagum di hati ini. Umumnya anak kekurangan seperti Daffa saat ditawari kemewahan akan antusias dan senang. Berbeda dengannya yang seolah semua ini tidak ada arti bila dibandingkan dengan kehadiran sang mama. Sekali pun Meti bukanlah orang tua yang baik. Sekali pun hidup bersama Meti, ia harus bekerja keras.Karena Daffa menyerahkan semua pilihan, jadi aku dan Qia saja yang memutuskan. Tak ingin berlama-lama belanja, kami segera menyelesaikannya. Aku juga tidak mau pusing-pusing menimbang untuk memilih. Asalkan sesuai dengan anak lelaki seumuran Daf
Tiga bulan kemudian. “Hallo, Bu … Ma-ma, mama su-dah dipang-gil oleh Allah,” ucapnya terdengar serak di sambungan telepon. “Innalillahi wainnailaihi rojiun.” Aku, Irsyad dan Qia langsung berangkat ke Sukabumi untuk melayat.Sesampainya ternyata Meti baru saja sudah dikebumikan. Masih beruntung warga sekitar peduli dan mau mengurusi. Dengar-dengar marbot mesjid yang paling berjasa membantu. Karena beliau katanya cukup dekat dengan Daffa meski tidak ada hubungan darah.Di rumah duka, aku tidak melihat ibunya Hans atau Dea. Kata Daffa, merek memang belum dikasih tahu.Kini bocah hitam kurus itu tampak sembab juga kuyu. Kepergian sang mama benar-benar menyisakan duka yang mendalam."Maaf sudah menghubungi ibu dan bapak. Itu permintaan terakhir mama." Daffa merasa bersalah."Tidak perlu minta maaf, Nak. Kami pasti datang saat seperti ini." Irsyad yang menyahut."Iya, Nak." Aku duduk di tepat di sampingnya. Membelai lembut Surai Daffa. Terbersit rasa iba dan tak tega kepadanya.Kini di
POV. 3Dengan tubuh yang ringkih Meti berusaha untuk ke kamar mandi. Setidaknya ia harus cuci muka sebelum memutuskan keluar rumah.Daffa yang baru datang beli nasi uduk pagi ini terkejut melihat mamanya kepayahan. Ia lekas memburu untuk membantu."Mama mau kemana? Kenapa nggak tunggu aku aja?""Cuma mau ke kamar mandi. Mama kuat kok, Daffa."Meti menolak untuk dibantu. Ia ingin melakukannya sendiri meski dengan gerakan lamban. Daffa hanya memperhatikan tak berani membantah. Sebab, kalau mamanya sudah bersikukuh dan jika ia memaksa, maka akan kena marah.Meti sampai juga di kamar mandi yang langsung aroma tak sedap tercium dari dalam. Begitu masuk, lantainya juga kotor serta licin. Jika ia sedang kuat, biasanya ia sendiri yang sikat dan kuras. Namun, akhir-akhir ini tenaganya seolah terus tersedot oleh rasa nyeri.Masih dalam gerakan lamban Meti menggosok gigi serta mencuci muka. Setelah itu kembali ke kamar dan memilih pakaian terbaiknya."Mama mau kemana?""Mama ada perlu sama papam
Meti tampak sudah putus asa. “Apa kamu melakukan pengobatan?” “Sekarang sudah tidak lagi."“Lho, kenapa? Kamu jangan menyerah, demi Daffa.” Aku mengulanginya. Berharap, Meti tetap hidup dan Daffa tetap tumbuh bersamanya. Maaf, aku merasa tidak siap mengurus anak itu.“Sudah kubilang jangan beri aku harapan!” nadanya penuh penekanan. “Semuanya akan sia-sia. Lihatlah ini!” sambung Meti seraya membuka ciputnya.Aku terperangah saat melihat kepala tanpa sehelai rambut. Sepertinya Meti sudah benar-benar hilang harapan.Hari beranjak semakin sore. Sebentar lagi magrib datang. Setelah mengobrol panjang, Daffa tetap mau tinggal dengan mama-nya. Sebetulnya yang merayu untuk tinggal bersama kami hanya Irsyad. Aku hanya diam dan tak berani membantah. Sebelum pulang, aku meninggalkan nomer kontak. Jadi kalau ada apa-apa, mereka tinggal menghubungi. Kurasa kebaikanku sudah lebih dari cukup.Namun saat Irsyad berikan sejumlah uang, baik anak ata
Akhirnya urusan Irsyad sudah selesai. Dia langsung menjemput kami dari rumah neneknya Qia. Mengingat mami sedang kurang fit di rumah, jadi kami memutuskan untuk langsung pulang lagi ke Bandung.Namun, sebelum pulang, kami membeli dulu oleh-oleh khas Sukabumi. Pilihan jatuh kepada Mochi. Sebuah kue yang terbuat dari beras ketan, bertekstur lembut dan lengket. Bercita rasa manis dengan aneka varian isi.Usai membeli oleh-oleh sampai bagasi mobil penuh, kami melanjutkan perjalanan pulang. “Ayah, tolong berhenti!” teriak Qia tiba-tiba.“Ada apa, Sayang?” Irsyad terkejut.“Berhenti dulu, Yah!” pintanya lagi.Irsyad pun menepikan mobil.“Ada apa, Nak?” tanyaku.“Mom, itu anak yang tadi!” tunjuknya kepada sosok anak yang sedang berjalan di trotoar.“Oh, iya.”“Anak yang tadi apa, sih?” Aku pun menceritakan tentang tadi sewaktu di Mesjid.“Kasihan, Yah,” ujar Qia.“Hei, Dek! Sini sebentar!” Irsyad melambaikan tangan ke anak itu.Anak itu tampak celingukan. “Saya?” Ia menunjuk dirinya sendir
Jika biasanya pengantin baru berbulan madu hanya berdua, berbeda dengan kami. Aku dan Irsyad memilih untuk memboyong dua keluarga yang baru bersatu ini. Awalnya tentu keluarga kami menolak karena berpikiran akan mengganggu. Akan tetapi kami terus bersikukuh untuk mengajaknya.Aku, Irsyad, Qia, mama, papa, mami serta asisten rumah tangganya yang sudah dianggap keluarga itu menghabiskan waktu keliling Indonesia. Dari mulai Gorontalo, Bangka Belitung, Lombok, Bali, hingga pulau Komodo. Kami benar-benar berlibur.“Mih, malam ini Qia biar tidur sama kita aja,” tawar Irsyad.“Enggak! Qia malam ini giliran tidur dengan Mama lagi, Syad.”“Mah. Aku juga kangen sama Qia,” ucapku.“Kalian ‘kan bisa sama Qia siangnya. Malamnya biar Qia tidur sama Mama, ya!”Sejak pergi bulan muda, belum pernah sekalipun Qia tidur bersama aku dan ayahnya. Oya, anakku memanggil Irsyad dengan sebutan ‘ayah’. Kami sangat paham kenapa orang tuaku dan mami Mohan melakukan semua itu.Mereka hanya ingin agar kami bisa
Karena kami sudah menyelenggarakan pernikahan di ballroomnya, pihak hotel memberikan hadiah menginap gratis satu malam pasca resepsi.Saat pintu kamar terbuka wewangian langsung menguar dari dalam. Terlihat taburan kelopak mawar merah muda di atas bad ukuran king. Di tengah bad ada sepasang handuk berbentuk angsa dalam posisi beradu. Kemudian ada beberapa balon berbentuk hati menggantung di langit kamar. Serta pencahayaan remang dari lampu tumblr menambah kesan semakin romantis.Irsyad menggandengku untuk duduk di tepi ranjang.Tik tok tik tok, bunyi jarum jam yang berputar begitu terdengar jelas bagi kami saat ini. Jarumnya sudah menunjukkan pukul 22.30 Wib.“Eum … karena kita sudah menikah, enaknya aku panggil apa, ya?”“Tidak tahu,” jawabku seraya menunduk malu.Sungguh tidak disangka, seorang yang sudah lama kukenal, seorang teman, seorang rekan, dan seorang Bos, bisa membuat jantungku dag Dig Duk tidak karuan seperti ini. “Aku panggil kamu … Sayang?” Aku menggeleng karena mirip