Share

Bab 2 Kesaksian Li Chen

Penulis: Dinara L.A
last update Terakhir Diperbarui: 2023-05-04 06:58:18

Kugedor lagi pintu kamar dengan tak sabar. Grasak-grusuk itu masih terdengar.

Setelah sekian purnama menunggu, pintu akhirnya dibuka.

“Surprise!” seru Hans dengan kue tart berlilinkan angka 5 dan bertuliskan ‘Happy anniversary’. “Selamat hari pernikahan kita Ayang, istriku yang Solehah,” lanjut Hans.

“Jadi, Mas bikin kejutan untukku?” Mata ini mulai berkabut.

Sungguh terharu dengan momen yang Hans ciptakan. Jadi merasa bersalah karena sudah berpikiran negatif.

“Iya, dong Ayang.”

“Ih, aku pikir tadi ….”

“Sudah, jangan mikir aneh-aneh. Ayo kita tiup lilinnya! Satu, dua, tiga!"

Setelah lilin mati, aku digandengnya masuk lebih jauh ke dalam kamar. Mataku membeliak saat melihat lantai bertabur mawar. Di tengah kasur ada kelopak mawar merah berbentuk hati. Deretan lampu tumblr di dinding dengan tone warm menambah suasana semakin romantis dan intim.

Mataku yang berkabut meleleh tanpa bisa kucegah lagi. Setelah menyimpan kue di meja, Hans langusng mendudukkanku di tepi ranjang.

“Ayang, kenapa menangis?” Tangannya mengelus-elus punggungku.

“Maafkan aku, Mas ….” Tangisku menyeruak.

“Lha, kok minta maaf?”

“Aku … sudah berprasangka buruk," ucapku tersendat-sendat karena menangis.

“Maksudnya?”

“Iya. Aku berpikiran macam-macam, yang enggak-enggak."

“Oh, pasti karena aku tidak menghubungimu seharian, ya? Aku sengaja Ayang. Kan aku siapkan kejutan ini. Aku udah nunggu kamu dari sore, tapi ternyata istriku ini lembur.”

“Pokoknya, aku minta maaf.”

“Cup, cup, cup, tak apa Ayang.”

Hans menyeka air mataku yang terus luruh.

“Terima kasih.” Kuhela napas panjang dan kuembuskan kembali.

“Ayang, emang kamu tidak ingat kalau hari ini, hari anniversary kita?”

“Maaf, juga. Lupa.” Nadaku berubah manja.

“Tidak apa. Asal jangan lupa dengan rutinitas selanjutnya,” ucap Hans dengan alis terangkat sebelah penuh kode.

Wajahku terasa menghangat. Kuyakin tulang pipiku merona melebihi warna blush on yang kupoles tadi pagi. “Tapi aku belum mandi. Badanku lengket.”

Hans hanya menanggapi dengan ulasan senyum singkat. Kedua tangannya langsung menangkup pipiku. Kemudian bibir kami bertemu secara intim. Atmosfer g4irah kini telah berjejal memenuhi ruang kamar. Kami tenggelam di dalamnya dengan rasa senang.

*

Pagi ini begitu cerah, secerah cinta Hans yang selalu bersinar di hidupku. Lelaki yang tengah sibuk memanggang roti untuk sarapan istrinya tampak begitu sempurna. Lima tahun bersama, ia masih sama dengan awal-awal kami menikah. Tak banyak yang berubah.

Hans seorang suami yang pengalah, pengertian dan romantis. Ia selalu punya cara untuk membuatku merasa berharga. Jika aku bekerja, maka setiap jam makan siang, ia rutin melakukan panggilan video call hanya untuk memastikan kalau aku benar-benar makan.

“Mas, maaf, aku belum bisa memberi anak,” sesalku.

“Tidak apa, Ayang. Sudah, jangan pikirkan terus!” Dia berujar santai.

Sebenarnya, bukan aku tidak subur. Aku sudah dua kali hamil. Akan tetapi, selalu keguguran. Sampai saat ini kami belum memutuskan untuk promil lagi. Pasalnya Hans tidak mau melihatku kesakitan saat keguguran seperti terakhir kali.

“Mas, kemarin aku liat status Dea di medsos.

Katanya dia mau ada study tour ke Bali, ya?”

Dea adalah adik satu-satunya Hans yang tengah berkuliah itu.

“Oh, iya. Kemarin dia juga telepon aku, biasa minta tambahan uang saku.”

“Terus, apa Mas kasih?”

“Maunya sih, aku kasih. Tapi, uang jatah dari kamu ‘kan mau dipakai buat ongkos cari kerja ke sana ke mari. Bertemu teman-teman juga sekadar mencari info lowongan.”

“Tumben, kenapa dia tidak minta kepadaku?”

“Aku melarangnya. Makanya kemarin dia merajuk dan mengadu kepada ibu. Untung saja ibu sependapat denganku.”

“Lho, kenapa dilarang?”

“Ya tidak enaklah, Ayang. Masa kami minta uang terus sama kamu.”

“Kalian ‘kan jarang minta. Memberi adalah kemauanku sendiri.”

“Justru karena itu, Ayang. Kami malu. Kamu terlalu baik. Sedangkan kami belum tentu bisa membalas jasa-jasamu.”

“Ya ampun, Mas. Aku tidak mengharapkan balasan. Dengan kamu tetap seperti ini saja, sudah cukup bagiku. Tanyakan saja pada Dea, dia butuh berapa buat ke Bali? Nanti aku transfer uangnya.” Aku sewot.

“Iya-iya. Nanti aku tanyakan. Terima kasih, Ayang.” Hans mengusap pucuk kepalaku.

“Oya, Mas. Aku juga ada kejutan untukmu.”

“Kejutan?”

“Nih!” Kusodorkan ponsel dengan layar yang menyala.

“Ini foto-foto mobil?”

“Iya. Pilihlah!”

“Maksud Ayang?”

“Pilih satu mobil yang Mas suka.”

“Kamu mau beli mobil baru? Terus mobil yang di garasi mau dikemanakan?”

“Aku memang mau beli mobil baru, Mas. Tapi bukan untukku. Pilihlah! Aku belikan untuk Mas.”

“Tidak, Ayang. Aku enggak enak. Sumpah! Emang sih, aku memimpikan untuk memiliki sebuah mobil. Tapi tentunya, beli dengan uangku sendiri nanti kalau sudah bekerja.”

“Sudah, pilih saja, Mas! Ini hadiah anniversary kita. Jangan tolak! Kalau enggak, aku akan merajuk, nih!” ancamku dengan bibir mengerucut.

“Eum … baiklah kalau kamu maksa. Aku tidak tahan jika kamu merajuk.”

Hans pun menggeser foto mobil satu demi satu di layar ponselku. Netranya terhenti di sebuah foto mobil pajero Sport.

“Mau yang itu, Mas?”

“Kalau kamu enggak keberatan.”

“Enggak mungkinlah, Mas. Kan aku yang tawarin. Jadi yang itu saja?”

Hans mengangguk. “Terima kasih, Ayang,” ucapnya disusul air mata yang menetes.

“Mas kenapa menangis?”

“Aku terharu, senang sekaligus sedih karena terus-terusan memakai uangmu.”

“Ampun, Mas. Aku ikhlas kok. Uangku, uangmu juga.”

Hans menghujaniku dengan kecupan. “Emmuach!”

“Sudah Mas, sudah! Make up-ku nanti luntur.”

“Oh, iya. Lupa.”

Kami pun tergelak bersama.

*

Hari ini aku lebih cepat menyelesaikan dokumen-dokumen yang menumpuk di meja kerja. Sesekali kutengok arloji yang setia melingkar di pergelangan tangan.

“Kamu kayak yang buru-buru, Sal,” tegur Li.

“Kebiasaan, masuk ruangan itu ketuk dulu.”

“Orang pintunya tidak tertutup sempurna.”

“Eh, Bos. Habis selesai ini, aku mau langsung balik," laporku.

“Kan kita mau survei tanah yang di desa Telaga.”

“Besok aja lagi, ya!”

“Emang kamu buru-buru balik mau ngapain?”

“Ada janji sama Hans, mau ke Dealer mobil.”

“Kamu serius mau belikan suamimu itu mobil?”

“Seriuslah.”

“Kamu jangan terlalu royal sama suami. Keenakan dia.”

“Suka-suka, dong.”

“Mentang-mentang dapat bonusan gedi kemaren.”

“Jadi nyesel kamu udah kasih aku bonus gedi?”

“Enggaklah. Itu sesuai dengan nilai kerja kamu.”

“Ya sudah. Enggak usah kepo.”

“Dibilangin kamu ini enggak pernah mau dengar. Kamu pasti nyesel nanti. Soalnya tadi aku lihat suamimu--”

“Apa? Kok, enggak dilanjut?”

“Tapi janji dulu, kamu akan baik-baik saja mendengarnya.”

“Iya, buruan apa?”

“Dia sama cewek di Resto Kenanga.”

Deg! Aku terlonjak. Darah mendesir menghantarkan panas tidak karuan.

“Serius kamu?”

“Serius.”

“Mungkin temannya.”

Aku mencoba untuk tidak berprasangka buruk terlebih dahulu.

“Sama teman kok, mesra. Ceweknya bergelayut manja.”

Pernyataannya seketika mematahkan argumen. Selama ini, setahuku Li bukanlah tipe orang yang suka berbohong. Jadi, apa yang dikatakannya bisa dipercaya.

“Kalau begitu antarkan aku ke Resto Kenanga sekarang juga!” titahku dengan tangan mengepal.

Mari kita buktikan ucapan Li Chen.

***

Komen (2)
goodnovel comment avatar
salah Cucuk
biji burung
goodnovel comment avatar
Aisah Muhammad
Lagi seru membaca kok bab selanjutnya ga bisa dibuka
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Dalam Pernikahan Tanpa Nafkah   Bab 3 Nemu Lagi

    Aku segera meminta Li untuk mengantarkan ke Resto Kenanga. Jika sampai firasat tak enakku selama ini benar, terbukti Hans berkhianat, jangan harap ada ampun. Aku sudah menahan segala luapan emosi bak bom waktu yang tak lama lagi akan meledak.“Bisa cepatan dikit enggak, sih?" protesku kepada Li Chen.“Sabar, ini jalanan lumayan ramai.”“Tahu-tahu gini, aku tadi naik ojek aja.”“Sabar, Sal.” Li terus berusaha menenangkan.“Ih, sabar-sabar. Kamu mana ngerti. Makanya cepetan kawin, biar tahu rasanya gimana was-was saat pasangan bersama yang lain.”“Kenapa harus was-was? Toh, pasanganku nanti pasti setia.” Li begitu percaya diri.“Ekhm," tanggapku tak berarti apa-apa.Setelah sepuluh menit akhirnya sampai juga di Resto yang dimaksud. Harusnya bisa lebih cepat kalau Li tidak lamban. Mataku langsung membidik sebuah motor di parkiran. Bisa kupastikan itu motornya Hans.Sebisa mungkin kuatur napas agar tidak menderu dan terengah. Kuredam segala gejolak yang berdentum agar tak meledak

    Terakhir Diperbarui : 2023-05-04
  • Dalam Pernikahan Tanpa Nafkah   Bab 4 Pesan Asing

    Kutemukan lagi alat kontrasepsi bekas pakai. Meski merasa jijik, aku terpaksa memungutnya untuk dibuang ke tong sampah.Seketika kepala ini terasa pusing sekali. Entah lelah karena pekerjaan yang menumpuk tadi di kantor, atau karena memikirkan apa yang baru saja kutemukan.Dada ini terasa terus menghimpit membuat ruang oksigen di paru semakin sempit. Usai mandi, tubuh penat menjadi segeran. Kujatuhkan bobot tubuh di sofa bed depan televisi ruang tengah. Bersantai sambil menunggu Hans pulang.Meski kedua mata tertuju ke layar kaca, tetapi pikiranku tak sama. Melayang dan menimbang apa yang harus kulakukan kepada Hans? Mengintrogasinya? Langsung menyerangnya? Apa selidiki diam-diam?Kuteringat akan cctv yang terpasang di depan rumah dan juga di ruangan ini. Lekas beranjak menuju ruang dimana aku dapat mengecek segala aktifitas yang terekam.Kuperiksa secara teliti. Perlahan tapi pasti. Kutonton apa yang tengah diputar di layar monitor PC. Hasilnya tidak ada orang lain yang masuk ke

    Terakhir Diperbarui : 2023-05-04
  • Dalam Pernikahan Tanpa Nafkah   Bab 5 Mencurigakan

    Meski pesan dari nomer yang tidak dikenal itu cukup menghentak jantungku dan mengusik hati, tetap saja berusaha kuabaikan. Aku anggap saja itu hanya orang iseng.Ponselku bergetar. Mengejutkan aku yang masih melamunkan pesan asing itu. Segera kugeser ikon hijau di layar untuk mengangkat.“Hai Ayang, istriku tercinta. Aku kangen,” seru Hans setelah panggilan video terhubung.“Kalau kangen, kenapa pergi juga ke Bali?” Bibirku mengerucut.“Mohon pengertiannya, Ayang. Aku harus menjaga adikku satu-satunya dari lelaki badboy itu.”“Ya. Mas, sudah makan?”“Ini lagi makan.”“Mana? Kok, makanannya enggak kelihatan?”“Kan menu makannya kamu, Ayang. Hanya dengan melihat dan mendengarmu, aku pasti kenyang.”“Alah, gombal. Paling ada maunya. Apa kehabisan uang? Katakan butuh berapa?”“Idih, bukan! Aku benar-benar lagi butuh kamu. Di sini banyak sekali hilir mudik pasangan yang pamer kemesraan. Bikin hatiku kepanasan. Coba kamu ikut, Ayang. Suamimu ini tidak akan menderita.”“Ya, aku bi

    Terakhir Diperbarui : 2023-05-04
  • Dalam Pernikahan Tanpa Nafkah   Bab 6 Janggal

    KB-7 Heh, dia pikir aku akan melepaskannya begitu saja? Dengan perginya dari rumah ini, si Meti telah menabuh genderang perang. Nomer yang Anda hubungi sedang tidak aktif. Silahkan coba beberapa saat lagi. Suara operator seluler terdengar saat kucoba menghubungi nomer ponselnya. “Sudah kuduga.” Meski sedang tidak aktif, aku tetap mengirimkan sebuah pesan. Kuyakin sesekali ia akan mengaktifkannya untuk mengecek. [Beritahu aku, kalau tidak akan kudatangi keluargamu dan mempermalukanmu di sana.] Sejam, dua jam, pesan itu masih centang satu. Aku mondar-mandir dengan pikiran semrawut. Kalau sampai terbukti suamiku selingkuh dengannya, awas saja! Kuremas kepala yang kian pusing. Lambat laun, dadaku bergemuruh berdenyut nyeri. Apa mungkin suami sebaik Hans tega melakukan pengkianatan? Setelah apa yang kuberi selama ini. Dia juga selalu ada untukku. Bagaimana mungkin sampai kecolongan? Apa lagi kalau ia melakukannya dengan pembantu sialan itu. Oh, tidak! Kamarku, ranjangku, dipakai ber

    Terakhir Diperbarui : 2023-06-07
  • Dalam Pernikahan Tanpa Nafkah   Bab 7 Diluar dugaan

    “Iya, Bu. Foto Dea sewaktu kecil mana?”“Eeu … anu, itu.”“Apa, Bu? Kenapa enggak jelas?”“Foto Dea sewaktu kecil tidak ada.”“Lha, kok bisa?”“Hilang, ya, hilang albumnya.”“Jangan bohong, Bu! Kasih tahu aku yang sebenarnya!” tekanku.“Ibu tidak bohong, Mantu.”“Katakan! Dea itu siapa sebenarnya?” bentakku.“Mantu, kamu bentak Ibu?”“Ya. Memangnya kenapa? Kaget? Aku bisa bertindak lebih jauh dari ini.” Mataku menyalang.“Dea itu adiknya Hans. Memang siapa lagi?”“Jadi Ibu tetap tidak mau bilang? Tidak mau memberitahu aku?”“Apa yang harus Ibu bilang? Dea itu memang adiknya Hans,” kukuhnya.“Justru sikap Ibu menunjukkan sebaliknya.”“Apa maksudnya?”“Heh! Masih menanyakan apa maksudnya?”“Ibu benar-benar tidak mengerti.”“Aku akan memberi Hans, Ibu dan si Dea perhitungan.” Telunjukku mengacung ke mukanya.“Perhitungan apa, Mantu? Memangnya apa yang telah kami lakukan?”“Masih bertanya? Lucu!”Gegas aku beranjak dan menyambar tas untuk pergi dari rumah orang penip

    Terakhir Diperbarui : 2023-06-07
  • Dalam Pernikahan Tanpa Nafkah   Bab 8 Pintu Rahasia

    Tubuhku terlonjak mundur saat dinding lemari bergeser pelan. Tak ayal seperti sebuah pintu rahasia yang pernah aku lihat di film. Kini dinding lemari yang terbuka setinggi aku berdiri dan selebar satu meteran membuat mata kian melebar.Kuayunkan langkah dengan pelan tapi pasti, melewati pintu yang baru saja terbuka. Ternyata terhubung ke sebuah ruangan berukuran sekitar 3x3 meter persegi. Di dalam hanya ada kardus-kardus menumpuk serta beberapa barang yang telah usang. Seperti sebuah gudang lebih tepatnya. Aku pikir akan ada banyak harta karun atau paling tidak sebuah rahasia.Tunggu! Kok, ada sebuah pintu lagi? Kumencoba melangkah lebih jauh, menghampiri pintu tersebut. Lalu diputar kenopnya, tetapi terkunci."Bagaimana ini?"Samar getar ponsel terdengar dari arah kamarku. Entah siapa yang menelepon. Aku segera keluar dari ruang rahasia."Hans? Ada apa dia menghubungi?"Mengambil napas panjang, terus embuskan. Aku harus terdengar baik-baik saja. Walau dalam dada bergemuruh. Rasanya i

    Terakhir Diperbarui : 2023-06-08
  • Dalam Pernikahan Tanpa Nafkah   Bab 9 Gosip

    Aku hanya membalas dengan anggukan."Emang, ya, Hera itu orangnya enggak jelas. Tertutup. Hanya Pak RT yang sering ketangkap basah bolak balik ke rumahnya. Secara Pak RT itu duda," terang salah satu tetangga."Tahun depan, kita ganti saja RT-nya," seru tukang warung."Iya, pasti ada apa-apanya," sahut si ibu tambun.Karena tidak terbiasa bergosip, kupingku berasa panas saat mendengar gunjingan mereka. Menyimak sebentar saja, bahuku diam-diam bergidik. Buru-buru kuselesaikan proses transaksi beli telurnya."Jadi berapa, Bu?""Dua puluh lima ribu, Neng."Kusodorkan uang selembar Soekarno-Hatta. Setelah mendapat kembalian aku lekas meninggalkan warung."Mari semua," pamitku."Iya, silahkan, Mbak."Sehabis dari warung aku langsung menuju dapur. Kuambil wajan dan menuangkan minyak goreng seperti yang biasa Hans lakukan."Telur ceplok sajalah yang gampang." Aku bergumam sendiri.Satu telur kupecahkan ke atas penggorengan dengan hati-hati. Eh, ya Allah, lupa kompornya belum dinyalakan. Karen

    Terakhir Diperbarui : 2023-06-08
  • Dalam Pernikahan Tanpa Nafkah   Bab 10 Meledak

    "Mas, apa-apaan ini? Jelaskan!""Ayang, maaf!" Dia menggenggam tanganku. Kutepis kasar. "Dea bukan adikmu 'kan?" Mata ini menyelidik tajam. "Bukan adik kandung," akunya lesu. "Sudah kuduga," sinisku. "Maksudnya?" "Lekas kemasi barangmu! Angkat kaki dari rumahku sekarang juga! Satu lagi, jangan bawa mobil yang telah kubelikan untukmu!" Murkaku langsung tersulut. Meski tungkai terasa lunglai, tetap berusaha berpijak dengan kepalan tangan. "Ayang, ada apa? Kenapa kamu mengusirku?""Masih bertanya? Tidak tahu malu!" Urat-urat leher terasa mau putus saja. "Yang, sungguh aku tak paham.""Kamu ada main gila 'kan dengan Dea? Tega kamu, Mas!" Tubuh yang gemetar kini luruh ke lantai. Begitu pun dengan tangis yang pecah. "Astaghfirullah, Yang. Pikiran apa yang telah merasukimu?" Hans mendekat dan hendak meraih kedua bahuku yang terguncang hebat. "Jangan sentuh aku! Jijik!""Yang, kumohon, kenapa kamu berpikiran aku serendah itu?"Aku terus menangis, air mata tumpah ruah seolah tak akan

    Terakhir Diperbarui : 2023-06-08

Bab terbaru

  • Dalam Pernikahan Tanpa Nafkah   Bab 75 Cinta Sejati

    Kami menyerahkan masalah terkait teman Daffa yang melecehkan Qia kepada pengacara. Biarlah pengacara yang mengurusi segalanya. Sedangkan aku dan Irsyad fokus kepada dampak psikologis putri kami itu.Irsyad mengkonsultasikan masalah Qia kepada psikolog anak terbaik di kota Bandung. Kami masih beruntung, karena dampaknya belum terlalu jauh. Mungkin karena efek ada pembelaan juga dari Daffa sebagai kakak. Jadi rasa aman itu masih ada. Meski ada trauma berupa sedikit ketakutan kepada semua teman laki-laki di sekolahnya.Setelah 3 kali konsultasi, Alhamdulillah bisa dibilang Qia pulih. Kami memutuskan kalau Qia tidak masuk ke sekolah terlebih dahulu.“Bagaimana kalau kita liburan. Kalian mau ke negara mana?” tanya Irsyad di suatu sore.“Negara?” Daffa membelalak tak percaya. Sungguh terasa mimpi. Selama ini ingin sekedar berlibur ke tempat wisata terdekat saja tidak pernah kesampaian. Lalu tiba-tiba ia diajak ayah angkatnya berlibur ke luar negri.“Iya. Dafa sukanya Negara mana?” t

  • Dalam Pernikahan Tanpa Nafkah   Bab 74 Masalah Daffa

    Aku dan Irsyad tentu panik saat Qia mengatakan kalau Daffa hilang. Orang dalam rumah semua berlarian mencari ke setiap sudut. Termasuk kami sebagai orang tua baru. Daffa benar-benar tak ditemukan.Lemas. Tungkaiku mendadak tak ada daya dan melorot ke lantai.“Dek!” Irsyad memburu dan memapahku untuk duduk di sofa. Sedangkan salah seorang asisten rumah bergegas membawakan segelas air minum. “Bang, kenapa Daffa pergi? Kemana dia? Bukankah ini baru pertama kali di Bandung? Kalau dia diculik atau dalam bahaya gimana?” Aku mencecar suami dengan segala pikiran burukku.Sungguh tak pernah terpikirkan jika Daffa akan pergi dari rumah. Dia tampak baik-baik saja dan tidak keberatan. Lalu hal apa yang membuat ia akhirnya memutuskan pergi? Kepala ini sakit sekali saat berusaha mencari jawabannya.“Tuan, apa kita nggak lapor polisi saja?” saran satpam rumah kami.“Belum 24 jam. Tidak bisa,” tangkas Irsyad.“Lagian, kenapa juga sampai tidak ada yang melhat Daffa pergi?” Nadaku ngegas kal

  • Dalam Pernikahan Tanpa Nafkah   Bab 73 Anugerah

    Hari ini, kami mempersiapkan kamar untuk Daffa. Salah satu kamar tamu, akan disulap jadi kamar anak. Qia turut serta memilihkan segala macam fortnitur untuk keperluar kamar kakaknya itu. Sedangkan Daffa sendiri lebih banyak terdiam. Keceriaan belum kembali hiasi hari-harinya. Tentu saja jejak kesedihan ditinggal Meti masih berbekas luka.“Daf, kamu mau gambar apa?” tanyaku saat memilih seprei.“Bagaimana Ibu saja,” jawabnya pasrah.Ada rasa kagum di hati ini. Umumnya anak kekurangan seperti Daffa saat ditawari kemewahan akan antusias dan senang. Berbeda dengannya yang seolah semua ini tidak ada arti bila dibandingkan dengan kehadiran sang mama. Sekali pun Meti bukanlah orang tua yang baik. Sekali pun hidup bersama Meti, ia harus bekerja keras.Karena Daffa menyerahkan semua pilihan, jadi aku dan Qia saja yang memutuskan. Tak ingin berlama-lama belanja, kami segera menyelesaikannya. Aku juga tidak mau pusing-pusing menimbang untuk memilih. Asalkan sesuai dengan anak lelaki seumuran Daf

  • Dalam Pernikahan Tanpa Nafkah   Bab 72 Keputusan

    Tiga bulan kemudian. “Hallo, Bu … Ma-ma, mama su-dah dipang-gil oleh Allah,” ucapnya terdengar serak di sambungan telepon. “Innalillahi wainnailaihi rojiun.” Aku, Irsyad dan Qia langsung berangkat ke Sukabumi untuk melayat.Sesampainya ternyata Meti baru saja sudah dikebumikan. Masih beruntung warga sekitar peduli dan mau mengurusi. Dengar-dengar marbot mesjid yang paling berjasa membantu. Karena beliau katanya cukup dekat dengan Daffa meski tidak ada hubungan darah.Di rumah duka, aku tidak melihat ibunya Hans atau Dea. Kata Daffa, merek memang belum dikasih tahu.Kini bocah hitam kurus itu tampak sembab juga kuyu. Kepergian sang mama benar-benar menyisakan duka yang mendalam."Maaf sudah menghubungi ibu dan bapak. Itu permintaan terakhir mama." Daffa merasa bersalah."Tidak perlu minta maaf, Nak. Kami pasti datang saat seperti ini." Irsyad yang menyahut."Iya, Nak." Aku duduk di tepat di sampingnya. Membelai lembut Surai Daffa. Terbersit rasa iba dan tak tega kepadanya.Kini di

  • Dalam Pernikahan Tanpa Nafkah   Bab 71 Rencana

    POV. 3Dengan tubuh yang ringkih Meti berusaha untuk ke kamar mandi. Setidaknya ia harus cuci muka sebelum memutuskan keluar rumah.Daffa yang baru datang beli nasi uduk pagi ini terkejut melihat mamanya kepayahan. Ia lekas memburu untuk membantu."Mama mau kemana? Kenapa nggak tunggu aku aja?""Cuma mau ke kamar mandi. Mama kuat kok, Daffa."Meti menolak untuk dibantu. Ia ingin melakukannya sendiri meski dengan gerakan lamban. Daffa hanya memperhatikan tak berani membantah. Sebab, kalau mamanya sudah bersikukuh dan jika ia memaksa, maka akan kena marah.Meti sampai juga di kamar mandi yang langsung aroma tak sedap tercium dari dalam. Begitu masuk, lantainya juga kotor serta licin. Jika ia sedang kuat, biasanya ia sendiri yang sikat dan kuras. Namun, akhir-akhir ini tenaganya seolah terus tersedot oleh rasa nyeri.Masih dalam gerakan lamban Meti menggosok gigi serta mencuci muka. Setelah itu kembali ke kamar dan memilih pakaian terbaiknya."Mama mau kemana?""Mama ada perlu sama papam

  • Dalam Pernikahan Tanpa Nafkah   Bab 70 Mendung

    Meti tampak sudah putus asa. “Apa kamu melakukan pengobatan?” “Sekarang sudah tidak lagi."“Lho, kenapa? Kamu jangan menyerah, demi Daffa.” Aku mengulanginya. Berharap, Meti tetap hidup dan Daffa tetap tumbuh bersamanya. Maaf, aku merasa tidak siap mengurus anak itu.“Sudah kubilang jangan beri aku harapan!” nadanya penuh penekanan. “Semuanya akan sia-sia. Lihatlah ini!” sambung Meti seraya membuka ciputnya.Aku terperangah saat melihat kepala tanpa sehelai rambut. Sepertinya Meti sudah benar-benar hilang harapan.Hari beranjak semakin sore. Sebentar lagi magrib datang. Setelah mengobrol panjang, Daffa tetap mau tinggal dengan mama-nya. Sebetulnya yang merayu untuk tinggal bersama kami hanya Irsyad. Aku hanya diam dan tak berani membantah. Sebelum pulang, aku meninggalkan nomer kontak. Jadi kalau ada apa-apa, mereka tinggal menghubungi. Kurasa kebaikanku sudah lebih dari cukup.Namun saat Irsyad berikan sejumlah uang, baik anak ata

  • Dalam Pernikahan Tanpa Nafkah   Bab 69 Luka Lama

    Akhirnya urusan Irsyad sudah selesai. Dia langsung menjemput kami dari rumah neneknya Qia. Mengingat mami sedang kurang fit di rumah, jadi kami memutuskan untuk langsung pulang lagi ke Bandung.Namun, sebelum pulang, kami membeli dulu oleh-oleh khas Sukabumi. Pilihan jatuh kepada Mochi. Sebuah kue yang terbuat dari beras ketan, bertekstur lembut dan lengket. Bercita rasa manis dengan aneka varian isi.Usai membeli oleh-oleh sampai bagasi mobil penuh, kami melanjutkan perjalanan pulang. “Ayah, tolong berhenti!” teriak Qia tiba-tiba.“Ada apa, Sayang?” Irsyad terkejut.“Berhenti dulu, Yah!” pintanya lagi.Irsyad pun menepikan mobil.“Ada apa, Nak?” tanyaku.“Mom, itu anak yang tadi!” tunjuknya kepada sosok anak yang sedang berjalan di trotoar.“Oh, iya.”“Anak yang tadi apa, sih?” Aku pun menceritakan tentang tadi sewaktu di Mesjid.“Kasihan, Yah,” ujar Qia.“Hei, Dek! Sini sebentar!” Irsyad melambaikan tangan ke anak itu.Anak itu tampak celingukan. “Saya?” Ia menunjuk dirinya sendir

  • Dalam Pernikahan Tanpa Nafkah   Bab 68 Bocah Hitam

    Jika biasanya pengantin baru berbulan madu hanya berdua, berbeda dengan kami. Aku dan Irsyad memilih untuk memboyong dua keluarga yang baru bersatu ini. Awalnya tentu keluarga kami menolak karena berpikiran akan mengganggu. Akan tetapi kami terus bersikukuh untuk mengajaknya.Aku, Irsyad, Qia, mama, papa, mami serta asisten rumah tangganya yang sudah dianggap keluarga itu menghabiskan waktu keliling Indonesia. Dari mulai Gorontalo, Bangka Belitung, Lombok, Bali, hingga pulau Komodo. Kami benar-benar berlibur.“Mih, malam ini Qia biar tidur sama kita aja,” tawar Irsyad.“Enggak! Qia malam ini giliran tidur dengan Mama lagi, Syad.”“Mah. Aku juga kangen sama Qia,” ucapku.“Kalian ‘kan bisa sama Qia siangnya. Malamnya biar Qia tidur sama Mama, ya!”Sejak pergi bulan muda, belum pernah sekalipun Qia tidur bersama aku dan ayahnya. Oya, anakku memanggil Irsyad dengan sebutan ‘ayah’. Kami sangat paham kenapa orang tuaku dan mami Mohan melakukan semua itu.Mereka hanya ingin agar kami bisa

  • Dalam Pernikahan Tanpa Nafkah   Bab 67 Hangat

    Karena kami sudah menyelenggarakan pernikahan di ballroomnya, pihak hotel memberikan hadiah menginap gratis satu malam pasca resepsi.Saat pintu kamar terbuka wewangian langsung menguar dari dalam. Terlihat taburan kelopak mawar merah muda di atas bad ukuran king. Di tengah bad ada sepasang handuk berbentuk angsa dalam posisi beradu. Kemudian ada beberapa balon berbentuk hati menggantung di langit kamar. Serta pencahayaan remang dari lampu tumblr menambah kesan semakin romantis.Irsyad menggandengku untuk duduk di tepi ranjang.Tik tok tik tok, bunyi jarum jam yang berputar begitu terdengar jelas bagi kami saat ini. Jarumnya sudah menunjukkan pukul 22.30 Wib.“Eum … karena kita sudah menikah, enaknya aku panggil apa, ya?”“Tidak tahu,” jawabku seraya menunduk malu.Sungguh tidak disangka, seorang yang sudah lama kukenal, seorang teman, seorang rekan, dan seorang Bos, bisa membuat jantungku dag Dig Duk tidak karuan seperti ini. “Aku panggil kamu … Sayang?” Aku menggeleng karena mirip

DMCA.com Protection Status