Ragu-ragu Tiffany melangkah maju, mendekati Damien yang berhenti di ambang pintu. Lelaki itu memandang lurus ke depan, sedikitpun tidak tertarik untuk menoleh lawan bicaranya.
"Jawab," minta Tiffany.
Menarik napas dalam, Damien pun menjawab tanpa menoleh, suaranya datar, "Ya. Aku memang pembunuh. Dan akan kulakukan hal yang sama padamu, jika kau masih berani mencegahku. Tetaplah di sini, dan tunggu aku kembali."
Tanpa menunggu persetujuan, Damien langsung melanjutkan langkahnya. Sedang Tiffany masih terpaku, menggelengkan kepala. Berharap tadi salah dengar, tapi jawaban Damien malah semakin terngiang.
BOOM!
Pupil matanya melebar saat mendengar suara ledakan, bergegas dia berlari ke jendela besar. Dari situ, Tiffany dapat menyaksikan bagaimana pelataran mewah mansion kini menjadi medan perang. Mayat-mayat bersimbah darah, bergelimpangan. Suara tembakan bersahut-sahutan, diikuti jeritan kencang membuat napasnya tercekat.
Menggigit ujung jarinya, Tiffany berusaha menenangkan diri. Matanya mencari-cari keberadaan Damien, setelah melihat pria itu berada di tengah kerumunan, barulah dia dapat bernapas lega. Namun, tak berlangsung lama sebab kini tuannya dikelilingi banyak musuh.
"Dunia macam apa ini, Tuhan?" lirihnya menatap cemas, rasa takut mencekeram hati sampai ke ubun-ubun.
Untuk beberapa menit, Tiffany merasa dejavu. Karena sebelumnya, tepat dua belas tahun lalu, dia pernah menyaksikan kejadian serupa, yang melenyapkan seluruh nyawa keluarganya.
"Ayah ... ibu ... sepertinya aku ditakdirkan menyusul kalian lebih cepat," gumamnya disela rasa takut dan trauma yang menyiksa.
____________
Di sisi lain, Damien dan anak buah Bloodstone saling berhadapan, bergerak penuh kewaspadaan. Tembakan demi tembakan dilepaskan ke arah lawan, melesat bak kilatan cahaya. Bersamaan dengan itu, anak buah masing-masing mulai berjatuhan. Pelataran mengkilat yang semula berwarna hitam, kini menjadi hamparan darah.
Mengabaikan mereka yang sudah gugur, Damien dan beberapa sisa anak buah Bloodstone terus melanjutkan pertarungan, untuk menentukan siapa yang akan bertahan.
"Tuan, hati-hati!" pekik Dorio, namun terlambat dan ....
DOR!
"Ahk!!"
Peluru melesat begitu cepat mengenai bahu kiri Damien. Pria itu terhuyung, untungnya masih dapat menjaga keseimbangan. Ibarat luka kecil, rasa sakitnya hanya sesaat, tetapi amarahnya membara jauh lebih kuat. Bibirnya menyeringai licik, menatap tajam musuh yang berdiri sejajar dengannya.
"Dasar tikus kecil!" sinis Damien menodongkan pistol lurus ke depan, dengan cepat menekan pelatuk hingga terdengar suara tembakan.
Dalam sekejap musuh yang melukainya tadi terkapar bersimbah darah. Damien hendak melangkah, namun tanpa sepengetahuannya anak buah Bloodstone menyelinap ke belakang, dan melayangkan tendangan keras ke betis membuatnya langsung tersungkur. Pistol yang berdering terlepas dari genggaman, meluncur di bawah kaki musuh.
Dalam sekejap pistol diambil dan moncong senjata diarahkan ke pemiliknya. Mata musuh berkilat penuh kemenangan, sementara Damien tampak datar saja, meskipun pistol itu berada tepat di depan wajahnya.
"Menyerahlah, Damien. Kau sudah kalah!" ucap anak buah Bloodstone penuh ledekan.
Damien tersenyum miring, "Kau yakin?"
"Jika kau ingin selamat, lebih baik hentikan kebiasaan buruk mu itu, Damien ... atau aku akan menekan pelatuk ini, lalu menggantung jasadmu di tugu kota agar semua orang tahu, betapa kejamnya dirimu!"
"Lucu sekali memang ketika seorang penuduh, memiliki dosa lebih besar daripada yang dituduh."
"Kau!" Geram musuh, ia pun menempelkan moncong pistol ke dahi Damien. Lingkar matanya memerah, bibir komat-kamit tidak karuan.
"Kenapa? Apa aku berkata benar?"
"Huhh—"
"Hentikaaan!"
Suara pekikan menggema, membuat seluruh atensi tertuju ke belakang. Tidak lain ialah Tiffany yang berlari kencang ke arah Damien. Begitu sampai dia langsung menepis pistol, merentangkan kedua tangan berlagak melindungi Damien.
"Sudah cukup! Hentikan semua ini!" ulangnya lebih tegas, dengan nada tinggi.
Perintahnya itu sontak saja membuat anak buah Bloodstone tersenyum sinis. Menelengkan kepala ke arah kanan, mengintip Damien yang berlindung di belakang Tiffany.
"Ck, ck, ck ... hei, sejak kapan kau menjadikan wanita tempat berlindung? Apa kekuatanmu sudah mulai luntur?" Ledekannya terlontar penuh hinaan, "Damien, Damien. Tidak ku sangka hari ini kau sangat memalukan."
"Kumohon ...." Tiffany kembali bersuara, dia yang semula berdiri tiba-tiba berlutut di lantai, sambil menyatukan jari-jari, "Kumohon jangan lakukan itu, jangan tembak dia. Hentikan semuanya."
Melihat pemandangan itu, kian tertawalah anak buah Bloodstone, tawa yang kasar dan penuh ejekan.
"Cih, lihat ini! Wanita pemberani tadi sekarang menangis seperti anak kecil," sinisnya sambil memutar-mutar pistol, tatapannya bergeser ke arah Damien, "Lihat, Damien. Seharusnya kau belajar dari jalang kecilmu ini, dia tahu cara merendahkan diri di hadapanku."
Anak buah itu berjongkok, mengangkat dagu Tiffany memakai moncong pistol, bibirnya menyeringai, "Kau tau, kelemahan ku memang ada pada wanita. Tidak seperti Tuanmu ... ibu hamil pun dia lenyapkan," bisiknya melirik Damien penuh sindiran. "Kali ini kau bebas, Damien."
Rentangan tangan Tiffany perlahan turun, dia menarik napas dalam, meredakan ketegangan yang menyiksa. Tetapi tak berlangsung lama, karena Damien bersuara yang membuat sekujur tubuhnya merinding.
"Kau sudah melakukan kesalahan besar dengan keluar tanpa seizinku. Jadi kau harus menanggung akibatnya."
Dorongan keras Damien membuat Tiffany terhuyung, hingga kehilangan keseimbangan dan terjerembab di lantai dingin. Napasnya tercekat di kerongkongan, mendongak dengan mata berkaca-kaca, membalas Damien yang diliputi amarah. "Kau pikir kau siapa, hah? Sok-sokan membantu? Aku tidak butuh orang lain untuk melindungiku, Tiffany!" Amarah Damien meledak, memenuhi ruang kamar yang hening. Tiffany gemetar, air mata mulai berjatuhan, "Ma-maaf, Tuan... aku hanya mencoba peduli. Aku takut dia benar-benar akan menekan pelatuk itu. A-aku takut sesuatu yang buruk terjadi pada Tuan apalagi Tuan sudah terluka," jawabnya Hampir tak terdengar, menggigit bibir untuk meredam isak yang menyesakkan. Akan tetapi, Damien tidak bergeming. Dia berjalan mendekati Tiffany, bayangan besarnya mengungkungi tubuh kecil wanita itu, penuh intimidasi. "Peduli? Kau pikir itu alasan masuk akal? Kau tahu bertahan apa yang kau lakukan tadi, hanya membuat terlihat lemah di depan para brengsek itu! Kau tidak tahu apa-apa,
Tiffany tersentak mundur ketika sorot tajam Damien mengunci pandangannya. Dia segera menundukkan kepala, menghindari tatapan menghunus lelaki itu. "Ma-maaf, Tuan. Aku tidak bermaksud lancang, a-a-aku hanya ingin memastikan Tuan merasa nyaman. T-tadi Tuan terlihat lelah jadi ku pikir, a-aku hanya ... aku hanya coba membantu. Aku tau itu tidak sopan, tapi tadi Tuan tertidur dan aku ... a-aku tidak bermaksud buruk—""Diam!" Dengan tegas Damien memotong kata-kata Tiffany yang sulit dimengerti. "Banyak sekali bicaramu," sambungnya dingin menusuk ke dalam hati. Tiffany tersentak kaget, napasnya tertahan, dan tubuhnya membeku. Kepalanya menunduk dengan cepat, menahan rasa malu dan takut yang bercampur. "Maaf, Tuan," ucapnya lirih, hampir tak terdengar. Terdengar getaran di setiap kalimatnya, seakan berusaha keras menenangkan diri meski jantungnya berdebar sangat kencang.Damien tidak mengatakan apa-apa lagi setelah kalimat terakhirnya. Keheningan menyelimuti kamar mewah itu. Hingga tak la
Jika sebelum-sebelumnya Tiffany akan segera meminta maaf, tetapi kali ini tidak. Dia membiarkan Damien menyumpah serapah, membuang kosong ketika isi pesan terngiang-ngiang di pikiran. Ekspresi tersebut membuat Damien langsung berhenti bicara. Merasa ada yang tidak beres, dia pun segera membuka ponsel, lalu membaca pesan yang tertera di layar. Detik itu juga pandangan memelotot lebar. Kembali menoleh ke Tiffany, sekarang Damien tahu apa yang membuat asistennya tak merasa takut. "Terserah mau percaya atau tidak, tapi aku tidak melakukannya. Jangankan membunuh, kenali ayahmu pun tidak. Lagipula, aku tak membunuh sembarang orang. Mereka yang ku bunuh, karena mereka layak dibunuh," ucap Damien penuh penegasan. Tanpa menunggu respon dari Tiffany, dia melangkah ke arah pintu. Membawa sendal rumahan dari rak sepatu, setelah dipasang langsung keluar entah kemana. Di tempatnya berdiri, Tiffany masih mematung memandangi punggung kokoh Damien yang menghilang disembunyikan, meninggalkan dir
Pupil mata Tiffany melebar, terkejut mendengar jawaban Damien. "Y-ya?" Damien tersenyum sinis, "Ya atau tidak, tergantung dirimu. Jika kau mempercayainya, berarti ya. Tetapi jika tidak, maka tidak. Percuma ku jelaskan panjang lebar, jika kau saja tak memiliki kepercayaan padaku."Adalah benar apa yang dia ucapkan, Tiffany memang belum mempercayai apapun yang dilihatnya sampai detik ini. Namun, meski ragu-ragu wanita itu pun bersuara. "Em ... mungkin dunia kita berbeda, tapi aku akan berusaha percaya padamu, Tuan. Entah kenapa aku yakin Tuan memiliki sisi baik yang tak diketahui banyak orang." Jawabannya membuat Damien tertegun, seolah tak percaya dengan apa yang didengar. "Kau yakin? Aku bukan orang baik, Tiffany. Aku dibesarkan dengan cara berbeda. Penuh kebohongan, kekerasan, dan penghianatan, orang seperti aku tak pantas kau percaya," katanya dengan nada rendah. "Dunia ini kejam. Bahkan orang yang paling dekat denganmu, bisa menjadi musuh dalam selimut," imbuh Damien. "Aku ta
"Ka—" Kalimat Tiffany menggantung di udara, saat mengangkat wajah tak ia temukan lelaki misterius itu lagi. Mengedarkan pandangan ke sekitar, sunyi. Hanya ada dirinya seorang sambil memegang secarik kertas berisi alamat cafe. "Ke-kemana dia pergi?" Napasnya memburu semakin cepat, rasa takut menjalar ke seluruh tubuh. Sebelum rasa takutnya bertambah, cepat-cepat Tiffany berjalan ke luar, menuju ruang VIP dimana Damien dan Freedy bertemu. Sesampainya di sana, Tiffany sedikit kaget melihat Freedy tidak ada, hanya menyisakan Damien yang bersantai di sofa sambil memainkan ponsel genggamnya. "Kau lama sekali," komentar Damien tanpa menoleh, namun ia menyadari kedatangan wanita itu. Tiffany menunduk dalam, "Ma-maafkan aku, Tuan. Tadi, aku ... mules, jadi ...." "Aku mengerti," s
Malam itu, Damien berdiri di tepi dok pemuatan, mengamati kontainer-kontainer besar yang sedang dipindahkan ke dalam truk. Gudang itu diterangi cahaya kuning redup, menciptakan bayangan panjang di lantai beton yang dingin. Di sebelah kanannya berdiri Dorio, yang memastikan segalanya berjalan lancar. "Bagaimana dengan paket terakhir?" tanya Damien menoleh Dorio. Pria dengan tato naga di lehernya itu mengangguk, "Sudah dikirim, Tuan. Semua berjalan sesuai rencana," jelas Dorio. Damien tak lagi menyahut, selain mengangguk kecil. Kemudian menyalakan rokok seperti biasa, menghirupnya dalam-dalam sebelum membuang ke lantai lantas menginjaknya hingga hancur. "Kau memang bisa diandalkan," pujinya menepuk-nepuk pundak Dorio, sedang asistennya itu menanggapi dengan senyum tipis. "Terima kasih, Tuan." "Hm." Damien berjal
Tiffany terpaku menatap kemunculan Damien yang tiba-tiba, bercak darah tampak mengering menyerap kemeja putih yang ia kenakan. Sorot mata yang tajam dan penuh selidik, menandakan ia sedang menunggu jawaban atas pertanyaannya barusan. Detik demi detik terasa begitu lambat berlalu. Tegukan liur menjadi bukti betapa gugupnya Tiffany saat ini. Namun, Tiffany sadar, ia harus berpikir cepat sebelum Damien bertindak agresif. "Teman lama," ucapnya cepat, menarik napas diam-diam guna menenangkan diri, "Dia baru saja membuka usaha kecil-kecilan, dan mengundangku datang ke grand opening-nya," imbuh Tiffany memasang ekspresi wajah seyakin mungkin. Dua hingga tiga menit berlalu, Damien masih memandanginya penuh intimidasi. Mata kelamnya seakan mencoba membaca kebohongan dari balik sorot mata asistennya tersebut. "Kau tidak berbohong?" Menggeleng pelan, "Tidak, Tuan." Selama beberapa detik mereka saling bertatapan, cukup lama dan intens,
Setelah beberapa hari di Amerika, Damien dan Tiffany akhirnya kembali ke Italia. Mansion megah milik Damien berdiri kokoh di atas bukit, menghadap ke arah kota yang gemerlap. Meski tempat itu begitu luas dan mewah, bagi Tiffany rasanya seperti penjara tak kasat mata. Pagi ini, Tiffany berdiri di balkon kamarnya, memandang hamparan taman yang hijau. Namun, pikirannya berkecamuk. Semakin lama ia tinggal di bawah kendali Damien, semakin ia merasa kehilangan kebebasan. Menarik napas panjang, "Aku tidak bisa terus begini, aku harus bergerak mencari tau kebenaran tentang Tuan Damien. Sekarang aku sudah di Italia, dan alamat cafe yang diberikan pria misterius itu ... ada di negara ini," lirihnya. "Malam ini, aku harus menemuinya," ujar Tiffany penuh tekad, tapi sebelum itu ada satu hal yang ingin ia lakukan. Wanita itu berjalan ke ruang kerja Damien yang ada di sebelah timur. "Permisi, Tuan." "Masuk."
Malam ketiga tanpa Tiffany.Damien terduduk di sofa ruang kerjanya, menatap kosong segelas bourbon yang belum sempat ia sentuh. Matanya sayu, ada lingkaran hitam samar yang mulai terbentuk di bawahnya. Kemeja hitam yang biasanya rapi kini kusut, beberapa kancingnya terbuka, memperlihatkan lehernya yang tegang karena kurang tidur.Rico, yang berdiri di sudut ruangan, menghela napas pelan. Sudah tiga hari ini bosnya berubah. Tidak ada umpatan, tidak ada perintah keras, bahkan tidak ada baku hantam dengan siapa pun. Hanya tatapan kosong dan sikap melankolis yang bikin bulu kuduknya merinding.“Bos,” panggil Rico hati-hati.Damien tidak menoleh. Rico mendekat, menunggu respon yang tak kunjung datang. Ia pun memberanikan diri duduk di hadapan bosnya, menatapnya seakan sedang menghadapi pasien patah hati. “Tuan, maaf sebelumnya … tapi Anda ini Damien Rael, bos mafia paling ditakuti seantero Italia. Masa akhir-akhir ini galau karena ditinggal a
Damien masih menatap Rico dengan tajam, sorot matanya menuntut jawaban lebih dari sekadar omong kosong. Nafasnya memburu, pikirannya penuh tanda tanya yang kian menyesakkan dada. "Cepat ceritakan atau kepalamu akan kupenggal?!" Glek! Susah payah Rico menelan ludah sebelum akhirnya mulai berbicara, suaranya berat dan tegang."Sebenarnya, saat tuan menyuruhku mengamankan Tiffany, aku langsung berlari ke kamarnya. Aku tahu dia masih di sana, jadi aku tidak membuang waktu. Tapi..." Rico menghentikan ucapannya sesaat, ekspresinya semakin serius. "Saat aku hampir sampai, aku melihat Jasper keluar dari kamar itu lebih dulu."Damien menyipitkan mata, dahinya mengernyit. "Jasper?"Rico mengangguk cepat. "Ya. Dia berjalan keluar dengan ekspresi tenang, seolah tidak terjadi apa-apa. Aku langsung curiga, tapi aku juga tak bisa langsung menahannya. Jadi aku mempercepat langkah, masuk ke kamar..."Napas Rico sedikit tercekat saat m
"Tapi apa? Cepat jawab! Jangan bertele-tele!" tegas Lucian marah, namun segera menurunkan nada bicara agar tak kedengaran Damien. Jasper mengangkat kepalanya, menatap Lucian dengan wajah tanpa ekspresi. "Aku tidak menemukannya, Tuan." Seketika atmosfer di halaman mansion berubah. Semua orang saling berpandangan, mencoba mencari kepastian dari wajah satu sama lain. Anak buah Lucian mulai gelisah, beberapa menggenggam senjata lebih erat, sementara anak buah Damien tetap dalam posisi siaga, meski kebingungan mulai merayap di benak mereka.Damien menajamkan pandangannya, napasnya tertahan di tenggorokan karena pembicaraan Bloodstone tidak terdengar. Matanya beralih ke arah Rico, berharap mendapatkan jawaban dari tangan kanannya itu. Namun, Rico hanya menggeleng perlahan, ekspresinya tetap tegas tanpa keraguan."Lelucon macam apa ini?" Lucian akhirnya angkat bicara, suaranya terdengar berbahaya, seperti bara api yang siap membakar habis apa pun di ha
Angin segar berembus dingin, tetapi terasa menyesakkan, bercampur dengan hawa kematian yang menggantung di udara. Damien berdiri tegak di depan mansionnya, berhadapan langsung dengan Lucian Amato yang kini menatapnya dengan mata berkilat penuh kebencian. Di sampingnya, ada Jasper yang berdiri sambil menyeringai licik menunggu perintah.Belum sempat mereka buka suara, tiba-tiba Dor!Suara tembakan pertama meledak, memecah kesunyian.Peluru menembus udara, nyaris menghantam kaki Damien. Refleksnya bekerja cepat. Dengan gerakan sigap, ia melompat mundur dan berlindung di balik salah satu pilar besar di depan mansionnya. Jantungnya berdegup kencang, bukan karena takut, tetapi karena amarahnya yang mulai mendidih."Manusia gila!" umpat Damien..Melalui celah perlindungan, Damien melirik sekilas ke arah lawannya. Alih-alih mundur atau gentar dengan ancamannya tadi, Lucian justru berdiri gagah, seolah mengejeknya. Lalu, denga
Angin pagi berembus kencang saat Damien melangkah keluar dari mansion. Begitu pintu besar terbuka, pemandangan di depannya segera memenuhi pandangan, halaman luasnya kini dipenuhi oleh ratusan orang bersenjata, berdiri tegap dalam formasi yang mengancam.Di garis depan, berdiri dua sosok yang tak asing.Lucian Amato, pria bertubuh tegap dengan mata gelap yang kini menyala oleh amarah. Di sampingnya, Jasper, tangan kanannya yang setia, memegang pistol dengan santai, namun ancaman jelas terasa di udara.Damien tidak menunjukkan ketakutan sedikit pun. Ia tetap berdiri tegak di depan pintu mansionnya, mengenakan setelan hitamnya yang sempurna, tangan dimasukkan ke dalam saku jas seolah ini bukan apa-apa.Lucian mengangkat sebuah dokumen yang diremas di tangan. Kertas itu kusut, menunjukkan betapa marahnya ia sebelum datang ke sini.“Dokumen ini, kau pikir aku tidak akan tahu kalau ini palsu?”ucap Lucian dengan lantang dan penuh amarah. B
Pagi itu langit tampak kelabu, seolah ikut merasakan kelelahan yang masih menggelayuti tubuh Tiffany. Sinar matahari yang menembus jendela hanya redup, tak mampu sepenuhnya mengusir hawa dingin yang menyelimuti kamarnya.Tiffany duduk di ranjang dengan punggung bersandar pada kepala ranjang, selimut tebal membungkus tubuhnya yang masih terasa menggigil. Kepalanya sedikit berat, tenggorokannya kering, dan kulitnya terasa lebih panas dari biasanya. Demam. Dia benar-benar jatuh sakit.Dia menghela napas pelan, menatap ke luar jendela dengan tatapan penuh kekecewaan. Seharusnya hari ini dia sudah bersiap untuk mendaki, mencari ayahnya, memastikan kebenaran kata-kata Damien. Tapi sekarang, tubuhnya sendiri malah mengkhianatinya.Suara langkah kaki di luar pintu membuyarkan lamunannya. Tak lama kemudian, pintu kamar terbuka dan muncullah sosok Damien dengan setelan yang lebih santai dari biasanya. Tak ada jas mahal atau sepatu kulit berkilau. Hanya kaus hitam po
Damien menatap Tiffany dalam-dalam, matanya menggelap, bukan karena marah, tetapi karena dilema yang kini menguasai pikirannya. "Aku tidak bisa menghubunginya," katanya dengan suara dalam, nyaris berbisik.Tiffany menegang. “Apa maksud Tuan?"Di antara cahaya bulan yang menyelinap masuk ke dalam goa, ekspresi Damien tampak lebih dingin dari biasanya.“Di puncak sana, tidak ada sinyal. Satu-satunya cara untuk berkomunikasi dengannya adalah dengan mendaki sendiri ke tempat itu. Dan itu bukan perjalanan yang mudah, Tiffany.”Tiffany merasakan dadanya semakin sesak. Harapannya yang tadi melonjak, kini seakan dihantam keras ke tanah. “Berapa lama?” tanyanya, suaranya gemetar.“Butuh waktu setidaknya tiga hari untuk mencapai puncak,” kata Damien, ekspresinya tetap tenang, seolah sedang menjelaskan sesuatu yang tidak bisa diganggu gugat.“Kalau begitu, ayo kita pergi sekarang.”Damien menatapnya, lalu menggeleng pelan. “Tidak m
Tiffany tersentak, napasnya tercekat di tenggorokan merasakan sensasi dingin menjalari tulang punggung saat menyadari keberadaan seseorang di belakangnya. Perlahan, dengan jantung berdegup kencang, dia berbalik dan detik itu nyaris terjungkal. "T-Tuan...?" suaranya bergetar, entah karena keterkejutan atau karena ada sesuatu yang berbeda dalam tatapan Damien kali ini. Namun sebelum satu kata pun bisa terucap dari bibir lelaki itu, tiba-tiba—DUARR!Dentuman keras menggema, menggetarkan tanah di bawah kaki mereka. Seolah bumi baru saja menggelegak dalam amarahnya. Tiffany menjerit tertahan, tapi sebelum tubuhnya bisa bereaksi lebih jauh, sepasang lengan kokoh sudah menariknya dalam dekapan erat.Damien memeluknya, melindunginya seakan dia adalah satu-satunya hal yang tidak boleh hancur di dunia ini. "Diam. Jangan bergerak," bisiknya tepat di telinganya, suaranya serak namun tegas.Tiffany merasakan bagaimana dada bidang lelaki it
Setelah Damien berangkat dalam perjalanan bisnisnya, mansion terasa begitu sepi. Tiffany menatap ke luar jendela, memperhatikan hujan gerimis yang membasahi halaman luas. Perasaan gelisah merayapi dadanya, seakan ada sesuatu yang belum selesai.Damien telah berjanji akan membawanya bertemu sang ayah suatu saat nanti, tetapi kapan? Berapa lama lagi ia harus menunggu?Dorongan kuat untuk mencari tahu muncul begitu saja. Tangannya refleks meraih ponsel dari atas meja, jemarinya gemetar saat membuka aplikasi Google Maps. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu mulai mengetik:Gunung Evermore.Detik berikutnya, layar ponselnya menampilkan peta digital dengan jalur berliku yang membawa matanya ke satu titik terpencil di puncak gunung. Wilayah itu hampir tidak memiliki akses jalan yang layak. Hanya ada garis-garis tipis yang menandakan jalur pendakian terjal, ditutupi hutan lebat dan kabut tebal yang nyaris tidak bisa ditembus.Tiffany menggigit bibi