Sebuah restoran mewah yang berada di Milan menjadi tempat makan malam Sean dan Stella. Setelah mengunjungi beberapa tempat indah di Milan, mulai dari Katedral hingga Galleria Vittorio Emanuele II—pusat perbelanjaan aktig dan tertua; kini Sean memutuskan mengajak Stella untuk makan di salah satu restoran terkenal di Milan. Well… Tentu Sean dan Stella tak sendirian. Mereka berdua ditemani oleh Ken, Chery, Kelvib, dan Alika.Ya, awalnya Sean hanya ingin mengajak Stella berkeliling di kota Milan. Menunjukan pada istrinya keindahan kota Milan. Namun, ternyata Ken dan Kelvin berserta Chery dan Alika ikut bersama Sean dan Stella. Sean tidak memiliki pilihan lain selain membiarkan kedua sepupunya bersama dengan pasangan mereka ikut dengannya. Pasalnya, Stella tampak begitu bahagia ketika Chery dan Alika ikut.“Sean, sepertinya aku ingin lobster. Aku masih lapar, Sayang,” ucap Stella kala sudah selesai memakan udang dan juga steak bersamaan.Sean membelai lembut pipi Stella. “Tunggu sebentar,”
Sudah satu minggu Sean dan Stella berada di Milan. Selama satu minggu ini, tentu saja Sean banyak mengajak Stella ke tempat-tempat yang indah selama di Milan. Tak hanya itu, tapi Sean pun sering mengajak sang istri dipertemuan keluarga besarnya dan keluarga besar Mateo—suami dari Miracle. Ya, saat ini memang keluarga Sean hampir semua berada di Milan. Baik kedua orang tuanya, saudara-saudaranya, sepupu, paman dan bibi serta kakek dan neneknya berada di Milan. Tentu mereka berkumpul karena kelahiran putri pertama Miracle.Dan hari ini, sudah waktunya Sean dan Stella untuk kembali ke Jakarta. Kandungan Stella sudah semakin membesar. Sean tidak mau berlama-lama di Milan. Lepas dari itu, masih banyak yang harus Sean kerjakan di Jakarta. Sedangkan Ken, Chery, Kelvin, dan Alika sudah lebih dulu pulang ke Jakarta sejak dua hari lalu. Mereka harus lebih awal pulang karena mereka harus mengurus pernikaha mereka. Meski dibantu oleh asisten mereka tetap saja Chery dan Alika menyukai mengurus per
“Jangan dengarkan. Dia berbohong. Dia anakku.”Suara bariton terdengar begitu keras membuat Sean dan Stella segera mengalihkan pandangannya pada sumber suara itu. Sesaat Sean menghunuskan tatapan dingin pada seorang pria berperawakan tinggi besar. Tinggi tubuh pria itu hampir menyentuh dua meter. Logat bicaranya adalah aksen orang Russia.“Bibi… Tolong aku…” Anak kecil itu berlindung di belakang tubuh Stella. Memeluk erat Stella dengan begitu ketakutan. “Dia Paman jahat, Bibi. Tolong aku Bibi.”“Jangan dengarkan dia! Dia berbohong!” Pria itu berucap tegas dan hendak mendekat ke arah Stella. Namun dengan cepat, Sean langsung menghadang pria yang mendekat ke arah istrinya itu.“Kalau anak itu benar anakmu, harusnya dia tidak takut denganmu,” ucap Sean dingin dengan tatapan tajam pada pria yang ada di hadapannya.“Dia anakku. Aku harap kau tidak ikut campur dengan urusanku,” tegas pria itu dengan tatapan penuh peringatan pada Sean.“Sean,” Stella sedikit takut melihat pria yang ada di ha
“Mama… Mama… Theo takut, Mama…”Theo bergerak-gerak, mengigau. Tubuh bocah laki-laki itu dipenuhi dengan keringat. Stella yang tidur di samping Theo langsung terbangun mendengar suara Theo.Saat Stella sudah membuka mata, tatapannya menatap terkejut kening Theo yang penuh dengan keringat. Dengan cepat Stella mengambil handuk bersih. Menyeka keringat Theo.“Theo, Sayang. Bibi di sini. Jangan takut, Nak.” Stella menarik tangan mungil Theo, memeluk erat bocah laki-laki itu agar tidak lagi ketakutan.Perlahan Theo mulai membuka matanya kala merasakan pelukan hangat Stella. Bocah laki-laki itu langsung memeluk Stella dalam pelukannya.“Bibi, aku takut,” ucap Theo. “Aku rindu Mama, Bibi. Aku rindu Mama.”“Nak, Bibi tahu, Sayang. Theo sabar, ya? Paman Sean sedang mencari Mamamu.” Stella menangkup kedua pipi Theo. Menatap lembut bocah laki-laki itu. Sungguh, Stella merasa iba. Terlebih sebentar lagi dirinya akan menjadi seorang ibu. Tentu Stella tahu, ibu dari Theo sangat hancur kala kehilang
“Tuan…” Sang pengawal menundukan kepalanya kala melihat Sean mendekat padanya.“Katakan, apa yang kau dapatkan tentang Theo Kortig?” Sean bertanya dengan nada dingin. Ya, dia tak suka berbasa-basi. Serta Sean pun tidak suka mendapatkan informasi yang lambat.“Tuan, saya sudah mendapatkan informasi lengkap tentang Theo Kortig. Theo adalah anak dari pasangan Jenniver Kortig dan Arnel Kortig. Tapi Arnel Kortig meninggal akibat pesawat pribadi yang membawanya itu mengalami kecelakaan. Kecelakaan yang menimpa Arnel Kortig tepat di saat Jenniver Kortig baru saja melahirkan. Penculikan yang dialami oleh Theo ketika Theo sedang berada di Washington bersama ibunya. Seperti yang saya duga, kedua orang tua Theo berasal dari German. Theo bersama dengan ibunya tinggal di Berlin. Dan saat ini saya mendengar Jenniver Kortig sudah mengerahkan kepolisan Washington untuk mencari keberadaan putranya, Tuan.” Sang pengawal melaporkan hasil apa yang telah dia dapatkan.Sean terdiam sejenak mendengar lapora
Stella tersenyum melihat Theo yang tengah naik ke mobil mini yang dibelikan oleh Sean. Tampak bocah laki-laki itu begitu menggemaskan. Tak pernah sekali pun, Stella bosan melihat tingkah Theo. Ya, sudah tiga hari dua malam Stella menemani Theo. Sambil menunggu kedatanga ibu dari Theo, Stella selalu menemani Theo bermain. Menyuapi dan membacakan dongeng seperti layaknya ibu Theo. Pun Sean tidak melarang. Hanya saja Sean meminta Stella untuk tidak lelah. Seperti contoh saat ini ketika Theo bermain dengan mobil mininya, bocah kecil laki-laki itu main ditemani oleh para pengawal Sean. Sedangkan Stella duduk seraya menikmati keindahan sore di hotel mewah yang Sean dan Stella tempati saat ini.“Bibi… Bye, Bibi…” Theo melambaikan tangan mungilnya pada Stella. Bocah kecil itu terus bermain.“Bye, Theo…” Stella tersenyum hangat melihat Theo yang bersama dengan pengawal tengah bermain.Sean melangkah mendekat pada Stella. Tatapannya menatap hangat Stella yang begitu mencintai Theo. “Minumlah,”
“Bibi… Apa benar Mama sebentar lagi akan datang?” seru Theo yang baru saja selesai mengganti pakaian. Ya, bocah laki-laki itu terlihat menggemaskan dengan memakai celana pendek dan kaus polos berwarna biru laut. Tampak Theo terlihat tampan.Stella tersenyum. “Iya, Sayang. Mamamu sudah dalam perjalanan ke sini.”“Yeay!” Theo memekik bahagia seraya memeluk erat Stella. “Aku sangat merindukan Mama, Bibi. Aku rindu Mama.”Stella terus tersenyum melihat Theo bahagia. Walau tak dipungkiri hati Stella bersedih tapi Stella berusaha untuk tidak egois. Tentu Theo sangat membutuhkan ibunya. Usia Theo masih terlalu kecil.“Bibi, nanti kalau aku sudah pulang. Bibi sering temui aku, ya?” pinta Theo dengan suara polos sambil menatap Stella.“Iya, Theo.” Stella mengelus pipi bulat Theo. “Bibi akan meluangkan waktu mengunjungimu.”Theo tersenyum, memperlihatkan gigi putihnya. “Bibi, apa bibi tinggal di sini bersama Paman?”“Tidak, Theo. Paman dan Bibi tidak tinggal di sini,” jawab Stella sambil menciu
“Mama…”Suara Theo memanggil ibunya dengan keras. Bocah laki-laki itu langsung turun dari gendong Sean. Dan berlari menghampiri ibunya.“Theo…” Jenniver—ibu Theo pun berlari pada Theo. Tangisnya mendera melihat putra tunggalnya. Dia bersimpuh dan langsung memeluk erat Theo.“Mama… Aku merindukammu,” isak Theo yang menangis dalam pelukan Jenniver.“Mama lebih merindukanmu, Nak.” Jenniver menangis sejadi-jadinya memeluk erat putranya itu. Mengecupi pipi Theo. Dalam hati Jenniver begitu bersyukur akhirnya bisa dipertemukan kembali dengan putranya.Sean dan Stella sama-sama tersenyum melihat akhirnya Theo bisa berkumpul dengan ibunya. Kini Sean merengkuh bahu Stella, membawa sang istri mendekat pada Theo dan Jenniver.“Theo, maafkan Mama, Nak. Mama tidak bisa menjagamu. Ini semua salah Mama,” isak Jenniver kala mengurai pelukan pada putranya. Dia sungguh merasa bersalah karena tidak bisa menjaga putranya dengan baik.Theo membawa tangan mungilnya. Menghapus air mata ibunya. “Mama, aku ber
Beberapa bulan kemudian …Venice, Italia.Stella menatap hangat Shawn, Stanley, dan Steve yang tengah bermain saling mengejar sambil memakan ice cream di tangan mereka. Ya, tentu Stella tak perlu cemas karena Sean menyiapkan enam pengasuh khusus untuk ketiga anak kembar mereka dan sepuluh pengawal yang selalu berjaga-jaga mengawasi Shawn, Stanley, dan Steve. Terutama ketika mereka berlibur seperti ini maka penjagaan Sean sangat ketat.Kini tatapan Stella mulai teralih pada Savannah yang tertidur pulas dalam pelukannya. Putri kecilnya itu sangat cantik dan menggemaskan. Tangan Savannah peris seperti gulungan roti gemuk. Pipi bulat seperti bakpau. Bayi perempuannya memang sangat cantik dan menggemaskan.“Stella, apa kau masih ingin tinggal di New York? Atau kau ingin kita segera kembali ke Jakarta?” tanya Sean sembari menatap sang istri.Stella tersenyum hangat. “Biarkan saja kita di sini dulu, Sean. Anak-anak kita memiliki banyak teman di sini. Aku tidak tega memisahkan mereka dengan t
Suara tangis bayi memecahkan kesunyian ruang persalinan. Stella meneteskan air matanya kala mendengar suara tangis bayi itu. Tak hanya Stella yang menteskan air mata tapi Sean yang selalu ada di sisinya pun sampai menteskan air mata. Setelah sekian lama akhirnya mereka kembali memiliki seorang anak lagi. Berawal dari rasa putus asa Stella nyatanya memiliki akhir yang indah. Tentu semua karena Sean yang memberikan dukungan luar biasa untuk Stella.“Tuan Sean … Nyonya Stella … selamat bayi Anda perempuan.” Sang dokter berucap langsung membuat Sean dan Stella tak henti meneteskan air mata mereka. Ya, Tuhan begitu baik pada mereka. Harapan mereka memiliki anak perempuan terwujud.“Sean … anak kita perempuan,” isak Stella.“Iya … anak kita perempuan. Terima kasih, Sayang.” Sean memberikan kecupan di bibir istrinya. Derai air mata mereka tak henti berlinang.“Nyonya Stella, silahkan lakukan proses IMD.” Dokter menyerahkan bayi mungkin itu ke dalam gendongan Stella. Sesaat Sean menatap Stell
“Nyonya, apa hari ini kita memasak menu Indonesian Food?”Suara pelayan bertanya pada Stella yang tengah sibuk di dapur. Ya, hari ini Stella akan kedatangan tamu special yaitu Jenniver—sepupunya. Jenniver tengah berlibur bersama Theo ke New York. Dan karena Jenniver akan datang, Stella mengundang Kelvin, Alika, Ken, dan Chery untuk datang. Hal itu yang membuat Stella sibuk di dapur. Stella memang memiliki chef khusus dan pelayan tetapi tetap saja dalam hal memasak, Stella tetap turun tangan sendiri. Namun kali ini porsinya berbeda. Stella tidak banyak melakukan apa pun. Dia hanya mengontrol saja. Mengingat kandungannya sudah membesar.“Masak saja, Mbak. Masak Indonesian Food juga. Jenniver dan Theo suka sekali dengan menu rawon dan ayam sayur. Tolong masak menu itu. Ah, satu lagi jangan lupa sambal goreng kentang.” Stela berujar memberi perintah pada sang pelayan dengan nada lembut.“Baik, Nyonya.” Sang pelayan menundukan kepalanya, lalu kembali memulai memasak membantu pelayan lainn
Stella mengembuskan napas panjang kala mengingat laporan dari pengawal sang suami tentang kejadian di Central Park. Kejadian di mana Stanley membuat seorang gadis kecil menangis karena membuang permen pemberian gadis itu. Sungguh, Stella sangat sedih karena putranya bertindak demikian. Meski mertuanya sudah memberikan nasehat pada ketiga putranya tapi tetap saja Stella merasa gagal mendidik ketiga putranya.“Apa kalian hanya ingin diam saja? Tidak mau bilang apa-apa pada, Mommy?”Suara Stella menegur ketiga putranya yang tengah duduk di hadapannya itu. Ya, kini Stella berada di kamar Shawn. Kamar Shawn, Stanley, dan Steve memang terpisah. Tetapi karena Stella ingin berbicara dengan ketiga putranya maka tanley dan Steve mendatangi kamar Shawn. Tampak ketiga bocah laki-laki kembar itu menunduk. Tentu mereka tahu mereka akan mendapatkan teguran dari ibu mereka.“Mommy ini salahku. Maafkan aku, Mommy,” ucap Stanley dengan suara polosnya.Stella menarik napas dalam-dalam, dan mengembuskan
Saat pagi menyapa Shawn, Stanley, dan Steve sudah begitu tampan dengan setelan celana pendek dan kaus berwarna hitam dengan logo Gucci di tengah baju ketiga bocah itu. Ya, Shawn, Stanley, dan Steve tampak begitu bersemangat karena hari ini mereka akan pergi bersaam dengan kakek dan nenek mereka. Sejak tadi malam memang ketiga bocah itu sangat bersemangat.“Anak Mommy tampan sekali.” Suara Stella dengan lembut berucap sambil menatap ketiga putra kembarnya. Stella mendekat pada Shawn, Stanley, dan Steve bersama dengan Sean yang ada di sisinya.“Daddy … Mommy …” Shawn, Stanley, dan Steve menghamburkan tubuh mereka pada Sean dan Stella yang mengampiri mereka.“Kalian mirip sekali seperti Daddy,” ucap Stella sembari mengurai pelukan ketiga putranya itu. Sean yang ada di samping Stella sejak tadi melukiskan senyuman hangat pada Shawn, Stanley, dan Steve.“Tentu saja, Mommy. Nanti saat kami dewasa kami akan seperti Daddy. Kami akan hebat.” Shawn, Stanley, dan Steve berucap serempak dan penuh
“Mommy … akhirnya Mommy pulang. Kami merindukan, Mommy.”Stanley dan Steve menghamburkan tubuh mereka kala melihat Stella pulang bersama dengan Shawn. Sudah sejak tadi Stanley dan Steve menunggu ibu mereka pulang. Ya, Stella memang sengaja meminta Stanley dan Steve pulang lebih dulu bersama sopir kala tadi Stella harus menyelesaikan masalah Shawn yang memukul Felix. Tentu Stella tak membiarkan Stanley dan Steve menunggu di ruang guru. Pasalnya Stella tak ingin Stanley dan Steve membuat masalah. Sungguh, ketiga anak kembarnya itu sangatlah kompak. Sudah cukup masalah Shawn membuat Stella sakit kepala. Stella tidak ingin sampai Stanley dan Steve juga ikut membuat masalah.Stella membalas pelukan Stanley dan Steve sembari memberikan kecupan di puncak kepala kedua putranya itu. “Mommy juga merindukan kalian. Apa kalian sudah makan?”“Sudah, Mommy. Kami sudah makan.” Stanley dan Steve menjawab dengan kompak. Lalu mereka melihat ke atah Shawn yang sejak tadi hanya diam. “Kak, kami tadi mau
“Shawn, Mommy tidak mau kau menggunakan kekerasan lagi. Tidak bagus, Nak. Kalau pun temanmu salah, kau bisa menegurnya tanpa harus memukul. Kalau kau menggunakan kekerasan sama saja kau main hakim sendiri, Shawn. Mommy tidak pernah mengajarkanmu untuk seperti itu.”Suara Stella menegur putra pertamanya itu. Nada bicaranya tegas tapi tetap lembut. Ya, Stella dan Shawn baru saja keluar dari ruang guru. Jika Stanley, dan Steve sudah lebih dulu pulang lain halnya dengan Shawn yang tadi ditahan di ruang guru. Itu kenapa Stella datang ke sekolah karena ulah putra pertamanya yang memukul teman sekolahnya. Tentu saja Shawn memukul bukan tanpa alasan. Bocah laki-laki kecil itu memukul temannya karena teman sekolahnya itu berani mencium pipi Katharina—putri bungsu Ken dan Chery. Dan hari ini Stella ke sekolah mendatangi guru tidak bersama dengan Sean. Kesibukan Sean yang membuat suaminya itu tidak bisa hadir. Pun Stella tidak memaksa untuk Sean menemaninya. Mengingat belakangan ini Sean terlalu
Suara tangis bocah kecil perempuan memasuki mansion, membuat Chery yang tengah membaca laporan perkembangan butik miliknya langsung terkejut. Tampak Chery segera meletakan laporan di tangannya ke atas meja. Wanita itu terburu-buru menghampiri suara tangis itu. Tentu Chery tahu itu adalah suara tangis putri kecilnya.“Katharina … kau kenapa, Nak? Kenapa menangis, Sayang?” Chery bersimpuh di depan Katharina—putri kecilnya yang tak kunjung berhenti menangis.“Nyonya, tadi di sekolah ada sedikit masalah.” Sang pengasuh menundukan kepalanya di depan Chery. “Masalah?” Chery bangkit berdiri. Lalu dia menatap Clovis—putra sulungnya yang sejak tadi hanya diam. “Clovis, ada apa, Nak? Kenapa adikmu menangis seperti ini? Apa kau tidak menjaga adikmu? Kan Mommy sudah bilang, kau harus menjaga adikmu dengan baik.” Chery menegur putranya dengan nada yang pelan, namun tersirat sedikit marah.Clovis Kendrick Jefferson adalah anak laki-laki pertama dari Ken dan Chery. Saat ini Clovis berusia empat tah
PranggggSebuah guci mahal pecah begitu saja akibat tendangan seorang bocah perempuan kecil. Pecahan beling itu memenuhi lantai. Beruntung pecahan beling tak mengenai bocah perempuan cantik itu. Tidak hanya sendirian tapi bocah laki-laki yang merupakan saudara kembarnya juga ada di hadapannya. Mereka terlalu asik bermain sampai-sampai memecahkan guci di ruang keluarga. Ya, kini kedua bocah laki-laki dan perempuan itu begitu panik kala melihat guci pecah. Wajah mereka tampak ketakutan. Baru saja mereka melarikan diri dari pengasuh yang menjaga mereka. Tapi malah mereka mendapatkan masalah.“Tuan Muda … Nona Muda …” Seorang pengasuh terlihat sangat panik melihat pecahan guci itu.“Kami tidak sengaja.” Luke dan Lydia memasang wajah merengut agar tak disalahkan.“Astaagaaa Luke … Lydia … ada apa ini?” Suara Alika berseru seraya melangkah memasuki ruang keluarga. Seketika raut wajah Alika berubah melihat guci kesayangannya dengan harga fantastis itu pecah. Kini sepasang iris mata hitam Al