Stella duduk di sofa kamar seraya membalas email Dina—asistennya serta Ayu dan Suri yang telah dia percayakan mengurus konveksinya yang ada di Yogyakarta. Ya, sejak di mana Chery menyetujui dirinya yang merancang gaun pengantin, Stella segera mendesign gaun untuk Chery. Meski belum selesai, tapi Stella sudah meminta Dina membelikan bahan-bahan yang dibutuhkan. Karena paling lambat besok atau lusa, Stella sudah harus selesai merancang gaun pengantin untuk Chery dan juga tuxedo untuk Ken. Tak hanya itu, tapi Stella pun yang menyediakan seragam untuk keluarganya dan keluarga Chery.“Selesai,” ucap Stella dengan riang kala sudah membalas email. Kini Stella mengambil orange juice dan langsung menyesapnya perlahan. Didetik selanjutnya, Stella meletakan gelasnya ke atas meja—lalu mengalihkan pandangan ke jam dinding, waktu menunjukan pukul sepuluh pagi.“Sean ke mana, ya? Kenapa belum kembali?” gumam Stella seraya mengedarkan pandangannya ke sekeliling mencari keberadaan sang suami. Sebelumn
Sebuah restoran mewah yang berada di Milan menjadi tempat makan malam Sean dan Stella. Setelah mengunjungi beberapa tempat indah di Milan, mulai dari Katedral hingga Galleria Vittorio Emanuele II—pusat perbelanjaan aktig dan tertua; kini Sean memutuskan mengajak Stella untuk makan di salah satu restoran terkenal di Milan. Well… Tentu Sean dan Stella tak sendirian. Mereka berdua ditemani oleh Ken, Chery, Kelvib, dan Alika.Ya, awalnya Sean hanya ingin mengajak Stella berkeliling di kota Milan. Menunjukan pada istrinya keindahan kota Milan. Namun, ternyata Ken dan Kelvin berserta Chery dan Alika ikut bersama Sean dan Stella. Sean tidak memiliki pilihan lain selain membiarkan kedua sepupunya bersama dengan pasangan mereka ikut dengannya. Pasalnya, Stella tampak begitu bahagia ketika Chery dan Alika ikut.“Sean, sepertinya aku ingin lobster. Aku masih lapar, Sayang,” ucap Stella kala sudah selesai memakan udang dan juga steak bersamaan.Sean membelai lembut pipi Stella. “Tunggu sebentar,”
Sudah satu minggu Sean dan Stella berada di Milan. Selama satu minggu ini, tentu saja Sean banyak mengajak Stella ke tempat-tempat yang indah selama di Milan. Tak hanya itu, tapi Sean pun sering mengajak sang istri dipertemuan keluarga besarnya dan keluarga besar Mateo—suami dari Miracle. Ya, saat ini memang keluarga Sean hampir semua berada di Milan. Baik kedua orang tuanya, saudara-saudaranya, sepupu, paman dan bibi serta kakek dan neneknya berada di Milan. Tentu mereka berkumpul karena kelahiran putri pertama Miracle.Dan hari ini, sudah waktunya Sean dan Stella untuk kembali ke Jakarta. Kandungan Stella sudah semakin membesar. Sean tidak mau berlama-lama di Milan. Lepas dari itu, masih banyak yang harus Sean kerjakan di Jakarta. Sedangkan Ken, Chery, Kelvin, dan Alika sudah lebih dulu pulang ke Jakarta sejak dua hari lalu. Mereka harus lebih awal pulang karena mereka harus mengurus pernikaha mereka. Meski dibantu oleh asisten mereka tetap saja Chery dan Alika menyukai mengurus per
“Jangan dengarkan. Dia berbohong. Dia anakku.”Suara bariton terdengar begitu keras membuat Sean dan Stella segera mengalihkan pandangannya pada sumber suara itu. Sesaat Sean menghunuskan tatapan dingin pada seorang pria berperawakan tinggi besar. Tinggi tubuh pria itu hampir menyentuh dua meter. Logat bicaranya adalah aksen orang Russia.“Bibi… Tolong aku…” Anak kecil itu berlindung di belakang tubuh Stella. Memeluk erat Stella dengan begitu ketakutan. “Dia Paman jahat, Bibi. Tolong aku Bibi.”“Jangan dengarkan dia! Dia berbohong!” Pria itu berucap tegas dan hendak mendekat ke arah Stella. Namun dengan cepat, Sean langsung menghadang pria yang mendekat ke arah istrinya itu.“Kalau anak itu benar anakmu, harusnya dia tidak takut denganmu,” ucap Sean dingin dengan tatapan tajam pada pria yang ada di hadapannya.“Dia anakku. Aku harap kau tidak ikut campur dengan urusanku,” tegas pria itu dengan tatapan penuh peringatan pada Sean.“Sean,” Stella sedikit takut melihat pria yang ada di ha
“Mama… Mama… Theo takut, Mama…”Theo bergerak-gerak, mengigau. Tubuh bocah laki-laki itu dipenuhi dengan keringat. Stella yang tidur di samping Theo langsung terbangun mendengar suara Theo.Saat Stella sudah membuka mata, tatapannya menatap terkejut kening Theo yang penuh dengan keringat. Dengan cepat Stella mengambil handuk bersih. Menyeka keringat Theo.“Theo, Sayang. Bibi di sini. Jangan takut, Nak.” Stella menarik tangan mungil Theo, memeluk erat bocah laki-laki itu agar tidak lagi ketakutan.Perlahan Theo mulai membuka matanya kala merasakan pelukan hangat Stella. Bocah laki-laki itu langsung memeluk Stella dalam pelukannya.“Bibi, aku takut,” ucap Theo. “Aku rindu Mama, Bibi. Aku rindu Mama.”“Nak, Bibi tahu, Sayang. Theo sabar, ya? Paman Sean sedang mencari Mamamu.” Stella menangkup kedua pipi Theo. Menatap lembut bocah laki-laki itu. Sungguh, Stella merasa iba. Terlebih sebentar lagi dirinya akan menjadi seorang ibu. Tentu Stella tahu, ibu dari Theo sangat hancur kala kehilang
“Tuan…” Sang pengawal menundukan kepalanya kala melihat Sean mendekat padanya.“Katakan, apa yang kau dapatkan tentang Theo Kortig?” Sean bertanya dengan nada dingin. Ya, dia tak suka berbasa-basi. Serta Sean pun tidak suka mendapatkan informasi yang lambat.“Tuan, saya sudah mendapatkan informasi lengkap tentang Theo Kortig. Theo adalah anak dari pasangan Jenniver Kortig dan Arnel Kortig. Tapi Arnel Kortig meninggal akibat pesawat pribadi yang membawanya itu mengalami kecelakaan. Kecelakaan yang menimpa Arnel Kortig tepat di saat Jenniver Kortig baru saja melahirkan. Penculikan yang dialami oleh Theo ketika Theo sedang berada di Washington bersama ibunya. Seperti yang saya duga, kedua orang tua Theo berasal dari German. Theo bersama dengan ibunya tinggal di Berlin. Dan saat ini saya mendengar Jenniver Kortig sudah mengerahkan kepolisan Washington untuk mencari keberadaan putranya, Tuan.” Sang pengawal melaporkan hasil apa yang telah dia dapatkan.Sean terdiam sejenak mendengar lapora
Stella tersenyum melihat Theo yang tengah naik ke mobil mini yang dibelikan oleh Sean. Tampak bocah laki-laki itu begitu menggemaskan. Tak pernah sekali pun, Stella bosan melihat tingkah Theo. Ya, sudah tiga hari dua malam Stella menemani Theo. Sambil menunggu kedatanga ibu dari Theo, Stella selalu menemani Theo bermain. Menyuapi dan membacakan dongeng seperti layaknya ibu Theo. Pun Sean tidak melarang. Hanya saja Sean meminta Stella untuk tidak lelah. Seperti contoh saat ini ketika Theo bermain dengan mobil mininya, bocah kecil laki-laki itu main ditemani oleh para pengawal Sean. Sedangkan Stella duduk seraya menikmati keindahan sore di hotel mewah yang Sean dan Stella tempati saat ini.“Bibi… Bye, Bibi…” Theo melambaikan tangan mungilnya pada Stella. Bocah kecil itu terus bermain.“Bye, Theo…” Stella tersenyum hangat melihat Theo yang bersama dengan pengawal tengah bermain.Sean melangkah mendekat pada Stella. Tatapannya menatap hangat Stella yang begitu mencintai Theo. “Minumlah,”
“Bibi… Apa benar Mama sebentar lagi akan datang?” seru Theo yang baru saja selesai mengganti pakaian. Ya, bocah laki-laki itu terlihat menggemaskan dengan memakai celana pendek dan kaus polos berwarna biru laut. Tampak Theo terlihat tampan.Stella tersenyum. “Iya, Sayang. Mamamu sudah dalam perjalanan ke sini.”“Yeay!” Theo memekik bahagia seraya memeluk erat Stella. “Aku sangat merindukan Mama, Bibi. Aku rindu Mama.”Stella terus tersenyum melihat Theo bahagia. Walau tak dipungkiri hati Stella bersedih tapi Stella berusaha untuk tidak egois. Tentu Theo sangat membutuhkan ibunya. Usia Theo masih terlalu kecil.“Bibi, nanti kalau aku sudah pulang. Bibi sering temui aku, ya?” pinta Theo dengan suara polos sambil menatap Stella.“Iya, Theo.” Stella mengelus pipi bulat Theo. “Bibi akan meluangkan waktu mengunjungimu.”Theo tersenyum, memperlihatkan gigi putihnya. “Bibi, apa bibi tinggal di sini bersama Paman?”“Tidak, Theo. Paman dan Bibi tidak tinggal di sini,” jawab Stella sambil menciu