“Mama…”Suara Theo memanggil ibunya dengan keras. Bocah laki-laki itu langsung turun dari gendong Sean. Dan berlari menghampiri ibunya.“Theo…” Jenniver—ibu Theo pun berlari pada Theo. Tangisnya mendera melihat putra tunggalnya. Dia bersimpuh dan langsung memeluk erat Theo.“Mama… Aku merindukammu,” isak Theo yang menangis dalam pelukan Jenniver.“Mama lebih merindukanmu, Nak.” Jenniver menangis sejadi-jadinya memeluk erat putranya itu. Mengecupi pipi Theo. Dalam hati Jenniver begitu bersyukur akhirnya bisa dipertemukan kembali dengan putranya.Sean dan Stella sama-sama tersenyum melihat akhirnya Theo bisa berkumpul dengan ibunya. Kini Sean merengkuh bahu Stella, membawa sang istri mendekat pada Theo dan Jenniver.“Theo, maafkan Mama, Nak. Mama tidak bisa menjagamu. Ini semua salah Mama,” isak Jenniver kala mengurai pelukan pada putranya. Dia sungguh merasa bersalah karena tidak bisa menjaga putranya dengan baik.Theo membawa tangan mungilnya. Menghapus air mata ibunya. “Mama, aku ber
Keesokan hari, Sean dan Stella sudah bersiap-siap kembali ke Jakara. Tadi malam Stella masih sedih karena berpisah dari Theo. Sebelumnya, Sean memang mengizinkan pengawalnya memberikan nomor ponselnya dan nomor ponsel Stella pada Jenniver—ibu dari Theo. Sama halnya dengan Sean dan Stella yang juga memiliki nomor ponsel Jenniver. Paling tidak mereka bisa bertukar kabar menanyakan kabar Theo. Ya, Theo sangat manis dan menggemaskan. Itu yang membuat Sean yang dingin menjadi luluh. Dan itu juga yang membuat Stella menyayangi Theo. Meski baru beberapa hari dengan Theo, tetapi Sean dan Stella memang telah menyayangi bocah kecil itu.Kini Sean dan Stella tengah duduk di sofa seraya menikmati sarapan yang terhidang di hadapan mereka. Namun, tatapan Sean teralih pada Stella yang menikmati sarapan tidak seperti biasanya.“Sayang, habiskan makananmu. Jangan makan sedikit-sedikit seperti itu,” tegur Sean dengan penuh peringatan. Dia tidak suka melihat Stella yang sejak tadi hanya makan sedikit-se
“Hmm….” Stella menggeliat kala pagi menyapa. Cahaya sinar matahari menembus jendela, menyentuh wajah Stella. Ya, kini Stella telah berada di kamarnya di Jakarta. Kemarin kala dirinya dan Sean tiba di Jakarta, mereka langsung beristirahat. Stella begitu lelah. Perjalanan ke Milan dan Jakarta cukup jauh. Meski di pesawat pribadi milik Sean ada kamar tetap saja Stella lebih nyama tidur di kamar miliknya dan Sean yang ada di Jakarta. Rasanya Stella begitu merindukan kamar ini. Dia seperti sudah begitu lama meninggalkan kamar ini.“Sean di mana?” Stella bergumam kala mendapati ranjang Sean sudah kosong. Didetik selanjutnya, Stella mengedarkan pandangannya melihat kesekeliling. Suaminya memang tidak ada di kamar.Stella mendesah pelan. Dia yakin, Sean pasti berada di ruang kerjanya. Tidak mungkin Sean hari ini ke kantor. Karena kemarin, Sean mengatakan meeting menggantikan ayah mertuanya ditunda esok hari. Pun Stella yang harusnya hari ini ke panti asuhan memilih untuk menunda keesokan hari
Keesokan hari, Stella bangun lebih awal mempersiapkan segala yang dibutuhkan oleh sang suami. Ya, pagi ini Sean memiliki meeting penting menggantikan William—ayah mertuanya. Pun hari ini Stella akan mengunjungi panti asuhannya, juga akan menemani Chery mencari perancang perhiasan terbaik. Sebenarnya Stella yakin, Ken pasti akan memberikan perancang perhiasan terbaik. Namun, ada kalanya wanita ingin mencari sendiri. Itu kenapa kemarin Sean hanya memberikan beberaap refrensi perancang perhiasan ternama yang nantinya dia dan Chery akan temui.“Sean, hari ini apa kau akan pulang terlambat?” tanya Stella seraya membantu Sean memasang dasi.“Kemungkinan iya. Kau jangan menungguku. Tidurlah lebih dulu,” ujar Sean sembari mengelus lembut pipi Stella.“Tapi kau jangan lupakan makan siangmu, ya? Aku tahu kau sibuk tapi kesehatan tetap nomor satu, Sean,” kata Stella mengingatkan sang suami. Pasalnya, terkadang Sean sering melewati jam makan siangnya jika terlalu sibuk dengan pekerjaan.“Iya, Say
Mobil yang dilajukan Chery telah tiba di panti asuhan—yang dulu Stella tinggal. Seketika decakan kagum Chery terdengar. Ya, bagaimana tidak? Panti asuhan yang ditempati oleh Stella dulu telah direnovasi menjadi tiga lantai dengan bangunan besar dan indah. Di belakang bangunan ini ada taman besar untuk anak-anak panti bermain.“Stella, panti asuhanmu bagus sekali,” seru Chery kagum.“Iya, ini karena Sean, Chery. Sean yang merenovasinya,” jawab Stella hangat. Dalam benak Stella langsung memikirkan kebaikan hati Sean. Di awal saja, Stella tak menyangka kalau Sean akan merenovasi panti asuhan yang dia tempati sebagus ini.Chery mengangguk-anggukan kepalanya. “Aku yakin pasti panti asuhan ini telah diambil alih oleh Sean. Apa tebakanku benar, Stella?” tanyanya seraya menatap Stella.“Iya, sekarang panti asuhan ini memang milik Sean. Sudah dipindah alihkan. Dulu ibu pengurus pantinya sering mengambil uang untuk dirinya sendiri jika ada donatur yang menyumbang untuk anak-anak panti. Tapi sek
“Stella, kenapa kau melamun seperti itu. Ayo di makan. Kita sudah seharian ini pergi. Aku saja sudah makan banyak. Kau biasanya makan paling banyak kenapa sejak tadi makanmu sangat sedikit?”Suara Chery yang menegur Stella. Ya, kini Stella dan Chery tengah berada di sebuah restoran mewah yang ada di Kawasan Jakarta Pusat. Hari ini Stella dan Chery sudah berkeliling menemui designer perhiasan rekomendasi dari Sean. Pun Chery sudah menjatuhkan salah satu pilihan dari beberapa rekomendasi designer perhiasan yang diberikan oleh Sean. Mahkota yang Chery inginkan sudah dipesan olehnya. “Aku tidak terlalu lapar, Chery. Kalau aku lapar lagi nanti di rumah aku akan makan,” kata Stella seraya megambil tisu, menyeka bibirnya pelan.Chery menghela napas dalam. “Kau masih memikirkan pria yang mencarimu itu?” tebaknya yang menduga.Stella mengangguk. “Iya, Chery. Aku penasaran siapa pria itu. Kenapa bisa mencariku? Apa tujuannya?”“Mungkin dulu kau pernah membantu orang itu. Coba kau ingat-ingat
“Sean, hari ini aku kuliah pagi. Kau juga hari ini ke kantor pagi, kan, Sean?”Suara lembut Stella bertanya kala dirinya baru saja selesai meminum susu cokelat hangat yang diantarkan oleh sang pelayan. Sedangkan Sean sejak tadi masih memakai pakaian santai rumah dan berkutat pada ponsel di tangannya. Ya, kini Sean dan Stella tengah menikmati sarapan mereka di kamar. Seperti biasa, Sean enggan untuk turun ke bawah.“Aku akan mengantarmu ke kampus hari ini,” jawab Sean datar dengan raut wajah tanpa ekspresi.“Hm? Kau mau mengantarku? Apa kau tidak sibuk? Kemarin kau—”“Hari ini aku akan bekerja di rumah. Nanti saat kau pulang kuliah, kau akan dijemput sopir. Siang ini aku memiliki video conference dengan rekan bisnisku yang ada di London,” ujar Sean seraya meletakan ponsel yang ada di tangannya ke atas meja.Stella mendesah pelan. “Baiklah, tapi tidak merepotkanmu, kan? Aku hanya tidak ingin kau kelelahan, Sayang. Tadi malam kau pulang malam. Ditambah kita yang baru saja pulang dari Mil
Stella duduk di taman tepat di belakang kampusnya. Dia baru saja menyelesaikan kelasnya. Sedangkan Alika dan Chery sama-sama tengah mencari dosen. Mereka berdua sedang mengurus izin karena sebentar lagi mereka akan menikah. Itu kenapa Stella menunggu di taman. Bukan tidak mau menemani, tapi dengan keadaan perutnya yang membuncit seperti ini rasanya mustahil bisa mengimbangi jalan Alika dan Chery yang cepat. Yang ada Stella ikut hanya menghambat kedua temanya. Itu kenapa Stella memilih menunggu di taman saja.“Cuaca mendung. Semoga hujannya nanti saja. Tidak sekarang.” Stella bergumam pelan seraya memejamkan matanya, menikmati embusan angin yang menyentuh kulitnya. Sore ini langit cerah mulai tertutup dengan awan gelap. Stella berharap tidak turun hujan sekarang.Namun, ketika Stella tengah memejamkan mata, tiba-tiba sekelebat muncul dalam ingatan Stella. Ya, ingatan di mana dirinya ingin menghubungi Jenniver—ibu Theo. Tentu Stella sudah begitu merindukan Theo. Padahal baru berapa hari