“Stella, kenapa kau melamun seperti itu. Ayo di makan. Kita sudah seharian ini pergi. Aku saja sudah makan banyak. Kau biasanya makan paling banyak kenapa sejak tadi makanmu sangat sedikit?”Suara Chery yang menegur Stella. Ya, kini Stella dan Chery tengah berada di sebuah restoran mewah yang ada di Kawasan Jakarta Pusat. Hari ini Stella dan Chery sudah berkeliling menemui designer perhiasan rekomendasi dari Sean. Pun Chery sudah menjatuhkan salah satu pilihan dari beberapa rekomendasi designer perhiasan yang diberikan oleh Sean. Mahkota yang Chery inginkan sudah dipesan olehnya. “Aku tidak terlalu lapar, Chery. Kalau aku lapar lagi nanti di rumah aku akan makan,” kata Stella seraya megambil tisu, menyeka bibirnya pelan.Chery menghela napas dalam. “Kau masih memikirkan pria yang mencarimu itu?” tebaknya yang menduga.Stella mengangguk. “Iya, Chery. Aku penasaran siapa pria itu. Kenapa bisa mencariku? Apa tujuannya?”“Mungkin dulu kau pernah membantu orang itu. Coba kau ingat-ingat
“Sean, hari ini aku kuliah pagi. Kau juga hari ini ke kantor pagi, kan, Sean?”Suara lembut Stella bertanya kala dirinya baru saja selesai meminum susu cokelat hangat yang diantarkan oleh sang pelayan. Sedangkan Sean sejak tadi masih memakai pakaian santai rumah dan berkutat pada ponsel di tangannya. Ya, kini Sean dan Stella tengah menikmati sarapan mereka di kamar. Seperti biasa, Sean enggan untuk turun ke bawah.“Aku akan mengantarmu ke kampus hari ini,” jawab Sean datar dengan raut wajah tanpa ekspresi.“Hm? Kau mau mengantarku? Apa kau tidak sibuk? Kemarin kau—”“Hari ini aku akan bekerja di rumah. Nanti saat kau pulang kuliah, kau akan dijemput sopir. Siang ini aku memiliki video conference dengan rekan bisnisku yang ada di London,” ujar Sean seraya meletakan ponsel yang ada di tangannya ke atas meja.Stella mendesah pelan. “Baiklah, tapi tidak merepotkanmu, kan? Aku hanya tidak ingin kau kelelahan, Sayang. Tadi malam kau pulang malam. Ditambah kita yang baru saja pulang dari Mil
Stella duduk di taman tepat di belakang kampusnya. Dia baru saja menyelesaikan kelasnya. Sedangkan Alika dan Chery sama-sama tengah mencari dosen. Mereka berdua sedang mengurus izin karena sebentar lagi mereka akan menikah. Itu kenapa Stella menunggu di taman. Bukan tidak mau menemani, tapi dengan keadaan perutnya yang membuncit seperti ini rasanya mustahil bisa mengimbangi jalan Alika dan Chery yang cepat. Yang ada Stella ikut hanya menghambat kedua temanya. Itu kenapa Stella memilih menunggu di taman saja.“Cuaca mendung. Semoga hujannya nanti saja. Tidak sekarang.” Stella bergumam pelan seraya memejamkan matanya, menikmati embusan angin yang menyentuh kulitnya. Sore ini langit cerah mulai tertutup dengan awan gelap. Stella berharap tidak turun hujan sekarang.Namun, ketika Stella tengah memejamkan mata, tiba-tiba sekelebat muncul dalam ingatan Stella. Ya, ingatan di mana dirinya ingin menghubungi Jenniver—ibu Theo. Tentu Stella sudah begitu merindukan Theo. Padahal baru berapa hari
Mobil yang membawa Stella mulai memasuki halaman parkir. Tampak Stella sedikit kelelahan. Padahal hari ini jadwal kampusnya tidak terlalu padat. Namun sepertinya perutnya yang semakin membuncit membuat ruang gerak Stella tidak bisa sebanyak dulu. Berjalan sedikit saja Stella sekarang mudah sekali lelah.“Selamat sore, Nyonya Stella.” Sang pelayan menyapa dengan sopan kala melihat Stella masuk ke dalam rumah.Stella tersenyum. “Sore, apa Sean masih ada di ruang kerjanya?” tanyanya hangat.Ya, hari ini Sean memang bekerja di rumah. Tadi pagi Sean memang mengantarnya kuliah, namun sorenya Stella dijemput oleh sang sopir karena Sean memiliki jadwal video conference dengan rekan bisnisnya yang ada di London.“Tuan Sean tadi baru saja masuk ke dalam kamar, Nyonya,” jawab sang pelayan sopan. “Maaf, Nyonya. Anda ingin makan dengan menu apa hari ini?”“Hm, toling buatkan aku dan Sean ayam panggang saus madu saja, ya. Nanti bawakan ke kamar. Aku ingin makan di kamar saja,” kata Stella hangat.“
“Tuan Sean.”Suara Tomy menyapa dengan sopan kala Sean baru saja keluar dari ruang meeting. Pagi ini Sean memiliki meeting dengan salah satu rekan bisnisnya yang tinggal di Roma. Itu kenapa dia berangkat ke kantor lebih awal.“Di mana Ken dan Kelvin? Apa mereka sudah di ruang kerjaku?” tanya Sean seraya menatap Tomy. Setelah meeting dengan rekan bisnisnya, Sean memang memiliki meeting dengan Ken dan Kelvin. Dia ingin membahas beberapa project terbaru dari Geovan Group tahun ini.“Tuan Ken dan Kelvin tadi baru saja masuk ke dalam ruang kerja Anda, Tuan,” jawab Tomy melaporkan.Sean mengangguk singkat. “Tomy, apa kau sudah mendapatkan informasi yang aku minta?” tanyanya dingin dengan raut wajah tanpa ekspresi.“Saya masih dalam pencarian, Tuan. Rekaman CCTV sudah ada di tangan saya. Tapi saya butuh sedikit waktu untuk mengenali wajah dari pria asing itu,” jawab Tomy seraya menundukan kepalanya.Sean mengembuskan napas kasar. Ya, Sean sudah tidak bisa sabar mengetahui siapa sebenarnya or
“Alaska, kau pintar sekali. Semakin hari kau semakin pintar, Alaska. Aku bangga padamu.”Stella tersenyum melihat Alaska yang mencium kakinya. Pun Stella mengusap-usap kepala Alaska. Hingga detik ini, Stella tidak menyangka bisa sedekat ini dengan Alaska. Padahal dulu dia sangat takut setiap kali Alaska muncul tiba-tiba. Bukan tanpa alasan, Stella takut. Alaska bukan hewan kecil yang lucu dan menggemaskan. Alaska tidak seperti itu.Ya, Alaska Malamute. Sean memberikan nama Alska sesuai dari nama ras dari anjing itu sendiri. Alaska memiliki fisik yang mirip seperti serigala. Tubuhnya besar. Mata yang menyalang tajam. Ditambah dengan Alaska sangat jarang menggonggong. Tidak seperti anjing yang lainnya. Alaska selalu melolong persis seperti serigala. Itu yang membuat Stella kerap takut pada Alaska setiap kali Alaska muncul. Well, tanpa terasa waktu berjalan begitu cepat. Stella tidak lagi takut pada Alaska. Rasa takut itu telah berubah menjadi rasa sayang yang teramat besar.“Nyonya Stel
“Apa maksudmu?”Sepasang iris mata cokelat Sean terhunus begitu tajam pada Tomy yang ada di hadapannya. Nada bicaranya tegas, dan tersirat menuntut pada asistennya itu untuk segera menjelaskan padanya. Ya, ucapan Tomy yang mengatakan pria misterius yang menayakan Stella bukan orang Indonesia sontak membuat Sean terkejut.“Tuan Sean, pria itu bernama Xian Lim. Warga negara Filipina. Informasi pekerjaan saya tidak mendapatkannya, Tuan. Bahkan saya berusaha meretas data nama dari Xian Lim itu tetap saja tidak menemukan apa pun. Di sana hanya tertera Xian Lim bekerja swasta. Sekitar dua jam lalu, saya sudah meminta salah satu staff perusahaan cabang yang ada di Filipina untuk ke alamat rumah milik Xian Lim. Tapi hasilnya nihil, Tuan. Xian Lim menyewakan rumahnya. Dan kabar yang didengar Xian Lim bekerja untuk salah satu orang yang berpengaruh di Eropa. Tepatnya, Xian Lim termasuk kaki tangan orang itu. Dan untuk menemukan dengan siapa Xian Lim bekerja itu adalah hal yang mustahil. Tapi, T
“Stella, mulai hari ini kau tidak hanya diantar oleh sopir. Tapi kau juga diantar oleh dua pengawal yang selalu menemanimu ke mana pun. Ini bukan permintaan, melainkan perintah.”Stella tampak begitu terkejut mendengar apa yang diucapkan oleh Sean. Bahkan dia yang tengah merias wajahnya pun langsung terhenti. Kini Stella mengalihkan pandangannya, menatap sang suami yang tengah memakai arloji.“Apa maksudmu, Sean? Kenapa kau memintaku tiba-tiba harus ditemani pengawal? Sopir saja sudah cukup Sean,” ucap Stella dengan tatapan lekat pada suaminya itu. Sungguh, Stella tidak mengerti kenapa tiba-tiba sang suami meminta dirinya harus ditemani dua orang pengawal. Padahal sebelumnya Sean tidak bersikap berlebihan.“Demi keamananmu.” Sean mengecup kening Stella. “Aku melakukannya ini semua demi dirimu dan anak-anak kita,” lanjutnya lagi.Kening Stella berkerut, menatap bingung Sean. “Aku dan anak-anak kita baik-baik saja, Sean. Tidak akan ada terjadi sesuatu pada kami. Percayalah.”“Jangan mem