Keesokan hari, Sean dan Stella sudah bersiap-siap kembali ke Jakara. Tadi malam Stella masih sedih karena berpisah dari Theo. Sebelumnya, Sean memang mengizinkan pengawalnya memberikan nomor ponselnya dan nomor ponsel Stella pada Jenniver—ibu dari Theo. Sama halnya dengan Sean dan Stella yang juga memiliki nomor ponsel Jenniver. Paling tidak mereka bisa bertukar kabar menanyakan kabar Theo. Ya, Theo sangat manis dan menggemaskan. Itu yang membuat Sean yang dingin menjadi luluh. Dan itu juga yang membuat Stella menyayangi Theo. Meski baru beberapa hari dengan Theo, tetapi Sean dan Stella memang telah menyayangi bocah kecil itu.Kini Sean dan Stella tengah duduk di sofa seraya menikmati sarapan yang terhidang di hadapan mereka. Namun, tatapan Sean teralih pada Stella yang menikmati sarapan tidak seperti biasanya.“Sayang, habiskan makananmu. Jangan makan sedikit-sedikit seperti itu,” tegur Sean dengan penuh peringatan. Dia tidak suka melihat Stella yang sejak tadi hanya makan sedikit-se
“Hmm….” Stella menggeliat kala pagi menyapa. Cahaya sinar matahari menembus jendela, menyentuh wajah Stella. Ya, kini Stella telah berada di kamarnya di Jakarta. Kemarin kala dirinya dan Sean tiba di Jakarta, mereka langsung beristirahat. Stella begitu lelah. Perjalanan ke Milan dan Jakarta cukup jauh. Meski di pesawat pribadi milik Sean ada kamar tetap saja Stella lebih nyama tidur di kamar miliknya dan Sean yang ada di Jakarta. Rasanya Stella begitu merindukan kamar ini. Dia seperti sudah begitu lama meninggalkan kamar ini.“Sean di mana?” Stella bergumam kala mendapati ranjang Sean sudah kosong. Didetik selanjutnya, Stella mengedarkan pandangannya melihat kesekeliling. Suaminya memang tidak ada di kamar.Stella mendesah pelan. Dia yakin, Sean pasti berada di ruang kerjanya. Tidak mungkin Sean hari ini ke kantor. Karena kemarin, Sean mengatakan meeting menggantikan ayah mertuanya ditunda esok hari. Pun Stella yang harusnya hari ini ke panti asuhan memilih untuk menunda keesokan hari
Keesokan hari, Stella bangun lebih awal mempersiapkan segala yang dibutuhkan oleh sang suami. Ya, pagi ini Sean memiliki meeting penting menggantikan William—ayah mertuanya. Pun hari ini Stella akan mengunjungi panti asuhannya, juga akan menemani Chery mencari perancang perhiasan terbaik. Sebenarnya Stella yakin, Ken pasti akan memberikan perancang perhiasan terbaik. Namun, ada kalanya wanita ingin mencari sendiri. Itu kenapa kemarin Sean hanya memberikan beberaap refrensi perancang perhiasan ternama yang nantinya dia dan Chery akan temui.“Sean, hari ini apa kau akan pulang terlambat?” tanya Stella seraya membantu Sean memasang dasi.“Kemungkinan iya. Kau jangan menungguku. Tidurlah lebih dulu,” ujar Sean sembari mengelus lembut pipi Stella.“Tapi kau jangan lupakan makan siangmu, ya? Aku tahu kau sibuk tapi kesehatan tetap nomor satu, Sean,” kata Stella mengingatkan sang suami. Pasalnya, terkadang Sean sering melewati jam makan siangnya jika terlalu sibuk dengan pekerjaan.“Iya, Say
Mobil yang dilajukan Chery telah tiba di panti asuhan—yang dulu Stella tinggal. Seketika decakan kagum Chery terdengar. Ya, bagaimana tidak? Panti asuhan yang ditempati oleh Stella dulu telah direnovasi menjadi tiga lantai dengan bangunan besar dan indah. Di belakang bangunan ini ada taman besar untuk anak-anak panti bermain.“Stella, panti asuhanmu bagus sekali,” seru Chery kagum.“Iya, ini karena Sean, Chery. Sean yang merenovasinya,” jawab Stella hangat. Dalam benak Stella langsung memikirkan kebaikan hati Sean. Di awal saja, Stella tak menyangka kalau Sean akan merenovasi panti asuhan yang dia tempati sebagus ini.Chery mengangguk-anggukan kepalanya. “Aku yakin pasti panti asuhan ini telah diambil alih oleh Sean. Apa tebakanku benar, Stella?” tanyanya seraya menatap Stella.“Iya, sekarang panti asuhan ini memang milik Sean. Sudah dipindah alihkan. Dulu ibu pengurus pantinya sering mengambil uang untuk dirinya sendiri jika ada donatur yang menyumbang untuk anak-anak panti. Tapi sek
“Stella, kenapa kau melamun seperti itu. Ayo di makan. Kita sudah seharian ini pergi. Aku saja sudah makan banyak. Kau biasanya makan paling banyak kenapa sejak tadi makanmu sangat sedikit?”Suara Chery yang menegur Stella. Ya, kini Stella dan Chery tengah berada di sebuah restoran mewah yang ada di Kawasan Jakarta Pusat. Hari ini Stella dan Chery sudah berkeliling menemui designer perhiasan rekomendasi dari Sean. Pun Chery sudah menjatuhkan salah satu pilihan dari beberapa rekomendasi designer perhiasan yang diberikan oleh Sean. Mahkota yang Chery inginkan sudah dipesan olehnya. “Aku tidak terlalu lapar, Chery. Kalau aku lapar lagi nanti di rumah aku akan makan,” kata Stella seraya megambil tisu, menyeka bibirnya pelan.Chery menghela napas dalam. “Kau masih memikirkan pria yang mencarimu itu?” tebaknya yang menduga.Stella mengangguk. “Iya, Chery. Aku penasaran siapa pria itu. Kenapa bisa mencariku? Apa tujuannya?”“Mungkin dulu kau pernah membantu orang itu. Coba kau ingat-ingat
“Sean, hari ini aku kuliah pagi. Kau juga hari ini ke kantor pagi, kan, Sean?”Suara lembut Stella bertanya kala dirinya baru saja selesai meminum susu cokelat hangat yang diantarkan oleh sang pelayan. Sedangkan Sean sejak tadi masih memakai pakaian santai rumah dan berkutat pada ponsel di tangannya. Ya, kini Sean dan Stella tengah menikmati sarapan mereka di kamar. Seperti biasa, Sean enggan untuk turun ke bawah.“Aku akan mengantarmu ke kampus hari ini,” jawab Sean datar dengan raut wajah tanpa ekspresi.“Hm? Kau mau mengantarku? Apa kau tidak sibuk? Kemarin kau—”“Hari ini aku akan bekerja di rumah. Nanti saat kau pulang kuliah, kau akan dijemput sopir. Siang ini aku memiliki video conference dengan rekan bisnisku yang ada di London,” ujar Sean seraya meletakan ponsel yang ada di tangannya ke atas meja.Stella mendesah pelan. “Baiklah, tapi tidak merepotkanmu, kan? Aku hanya tidak ingin kau kelelahan, Sayang. Tadi malam kau pulang malam. Ditambah kita yang baru saja pulang dari Mil
Stella duduk di taman tepat di belakang kampusnya. Dia baru saja menyelesaikan kelasnya. Sedangkan Alika dan Chery sama-sama tengah mencari dosen. Mereka berdua sedang mengurus izin karena sebentar lagi mereka akan menikah. Itu kenapa Stella menunggu di taman. Bukan tidak mau menemani, tapi dengan keadaan perutnya yang membuncit seperti ini rasanya mustahil bisa mengimbangi jalan Alika dan Chery yang cepat. Yang ada Stella ikut hanya menghambat kedua temanya. Itu kenapa Stella memilih menunggu di taman saja.“Cuaca mendung. Semoga hujannya nanti saja. Tidak sekarang.” Stella bergumam pelan seraya memejamkan matanya, menikmati embusan angin yang menyentuh kulitnya. Sore ini langit cerah mulai tertutup dengan awan gelap. Stella berharap tidak turun hujan sekarang.Namun, ketika Stella tengah memejamkan mata, tiba-tiba sekelebat muncul dalam ingatan Stella. Ya, ingatan di mana dirinya ingin menghubungi Jenniver—ibu Theo. Tentu Stella sudah begitu merindukan Theo. Padahal baru berapa hari
Mobil yang membawa Stella mulai memasuki halaman parkir. Tampak Stella sedikit kelelahan. Padahal hari ini jadwal kampusnya tidak terlalu padat. Namun sepertinya perutnya yang semakin membuncit membuat ruang gerak Stella tidak bisa sebanyak dulu. Berjalan sedikit saja Stella sekarang mudah sekali lelah.“Selamat sore, Nyonya Stella.” Sang pelayan menyapa dengan sopan kala melihat Stella masuk ke dalam rumah.Stella tersenyum. “Sore, apa Sean masih ada di ruang kerjanya?” tanyanya hangat.Ya, hari ini Sean memang bekerja di rumah. Tadi pagi Sean memang mengantarnya kuliah, namun sorenya Stella dijemput oleh sang sopir karena Sean memiliki jadwal video conference dengan rekan bisnisnya yang ada di London.“Tuan Sean tadi baru saja masuk ke dalam kamar, Nyonya,” jawab sang pelayan sopan. “Maaf, Nyonya. Anda ingin makan dengan menu apa hari ini?”“Hm, toling buatkan aku dan Sean ayam panggang saus madu saja, ya. Nanti bawakan ke kamar. Aku ingin makan di kamar saja,” kata Stella hangat.“
Beberapa bulan kemudian …Venice, Italia.Stella menatap hangat Shawn, Stanley, dan Steve yang tengah bermain saling mengejar sambil memakan ice cream di tangan mereka. Ya, tentu Stella tak perlu cemas karena Sean menyiapkan enam pengasuh khusus untuk ketiga anak kembar mereka dan sepuluh pengawal yang selalu berjaga-jaga mengawasi Shawn, Stanley, dan Steve. Terutama ketika mereka berlibur seperti ini maka penjagaan Sean sangat ketat.Kini tatapan Stella mulai teralih pada Savannah yang tertidur pulas dalam pelukannya. Putri kecilnya itu sangat cantik dan menggemaskan. Tangan Savannah peris seperti gulungan roti gemuk. Pipi bulat seperti bakpau. Bayi perempuannya memang sangat cantik dan menggemaskan.“Stella, apa kau masih ingin tinggal di New York? Atau kau ingin kita segera kembali ke Jakarta?” tanya Sean sembari menatap sang istri.Stella tersenyum hangat. “Biarkan saja kita di sini dulu, Sean. Anak-anak kita memiliki banyak teman di sini. Aku tidak tega memisahkan mereka dengan t
Suara tangis bayi memecahkan kesunyian ruang persalinan. Stella meneteskan air matanya kala mendengar suara tangis bayi itu. Tak hanya Stella yang menteskan air mata tapi Sean yang selalu ada di sisinya pun sampai menteskan air mata. Setelah sekian lama akhirnya mereka kembali memiliki seorang anak lagi. Berawal dari rasa putus asa Stella nyatanya memiliki akhir yang indah. Tentu semua karena Sean yang memberikan dukungan luar biasa untuk Stella.“Tuan Sean … Nyonya Stella … selamat bayi Anda perempuan.” Sang dokter berucap langsung membuat Sean dan Stella tak henti meneteskan air mata mereka. Ya, Tuhan begitu baik pada mereka. Harapan mereka memiliki anak perempuan terwujud.“Sean … anak kita perempuan,” isak Stella.“Iya … anak kita perempuan. Terima kasih, Sayang.” Sean memberikan kecupan di bibir istrinya. Derai air mata mereka tak henti berlinang.“Nyonya Stella, silahkan lakukan proses IMD.” Dokter menyerahkan bayi mungkin itu ke dalam gendongan Stella. Sesaat Sean menatap Stell
“Nyonya, apa hari ini kita memasak menu Indonesian Food?”Suara pelayan bertanya pada Stella yang tengah sibuk di dapur. Ya, hari ini Stella akan kedatangan tamu special yaitu Jenniver—sepupunya. Jenniver tengah berlibur bersama Theo ke New York. Dan karena Jenniver akan datang, Stella mengundang Kelvin, Alika, Ken, dan Chery untuk datang. Hal itu yang membuat Stella sibuk di dapur. Stella memang memiliki chef khusus dan pelayan tetapi tetap saja dalam hal memasak, Stella tetap turun tangan sendiri. Namun kali ini porsinya berbeda. Stella tidak banyak melakukan apa pun. Dia hanya mengontrol saja. Mengingat kandungannya sudah membesar.“Masak saja, Mbak. Masak Indonesian Food juga. Jenniver dan Theo suka sekali dengan menu rawon dan ayam sayur. Tolong masak menu itu. Ah, satu lagi jangan lupa sambal goreng kentang.” Stela berujar memberi perintah pada sang pelayan dengan nada lembut.“Baik, Nyonya.” Sang pelayan menundukan kepalanya, lalu kembali memulai memasak membantu pelayan lainn
Stella mengembuskan napas panjang kala mengingat laporan dari pengawal sang suami tentang kejadian di Central Park. Kejadian di mana Stanley membuat seorang gadis kecil menangis karena membuang permen pemberian gadis itu. Sungguh, Stella sangat sedih karena putranya bertindak demikian. Meski mertuanya sudah memberikan nasehat pada ketiga putranya tapi tetap saja Stella merasa gagal mendidik ketiga putranya.“Apa kalian hanya ingin diam saja? Tidak mau bilang apa-apa pada, Mommy?”Suara Stella menegur ketiga putranya yang tengah duduk di hadapannya itu. Ya, kini Stella berada di kamar Shawn. Kamar Shawn, Stanley, dan Steve memang terpisah. Tetapi karena Stella ingin berbicara dengan ketiga putranya maka tanley dan Steve mendatangi kamar Shawn. Tampak ketiga bocah laki-laki kembar itu menunduk. Tentu mereka tahu mereka akan mendapatkan teguran dari ibu mereka.“Mommy ini salahku. Maafkan aku, Mommy,” ucap Stanley dengan suara polosnya.Stella menarik napas dalam-dalam, dan mengembuskan
Saat pagi menyapa Shawn, Stanley, dan Steve sudah begitu tampan dengan setelan celana pendek dan kaus berwarna hitam dengan logo Gucci di tengah baju ketiga bocah itu. Ya, Shawn, Stanley, dan Steve tampak begitu bersemangat karena hari ini mereka akan pergi bersaam dengan kakek dan nenek mereka. Sejak tadi malam memang ketiga bocah itu sangat bersemangat.“Anak Mommy tampan sekali.” Suara Stella dengan lembut berucap sambil menatap ketiga putra kembarnya. Stella mendekat pada Shawn, Stanley, dan Steve bersama dengan Sean yang ada di sisinya.“Daddy … Mommy …” Shawn, Stanley, dan Steve menghamburkan tubuh mereka pada Sean dan Stella yang mengampiri mereka.“Kalian mirip sekali seperti Daddy,” ucap Stella sembari mengurai pelukan ketiga putranya itu. Sean yang ada di samping Stella sejak tadi melukiskan senyuman hangat pada Shawn, Stanley, dan Steve.“Tentu saja, Mommy. Nanti saat kami dewasa kami akan seperti Daddy. Kami akan hebat.” Shawn, Stanley, dan Steve berucap serempak dan penuh
“Mommy … akhirnya Mommy pulang. Kami merindukan, Mommy.”Stanley dan Steve menghamburkan tubuh mereka kala melihat Stella pulang bersama dengan Shawn. Sudah sejak tadi Stanley dan Steve menunggu ibu mereka pulang. Ya, Stella memang sengaja meminta Stanley dan Steve pulang lebih dulu bersama sopir kala tadi Stella harus menyelesaikan masalah Shawn yang memukul Felix. Tentu Stella tak membiarkan Stanley dan Steve menunggu di ruang guru. Pasalnya Stella tak ingin Stanley dan Steve membuat masalah. Sungguh, ketiga anak kembarnya itu sangatlah kompak. Sudah cukup masalah Shawn membuat Stella sakit kepala. Stella tidak ingin sampai Stanley dan Steve juga ikut membuat masalah.Stella membalas pelukan Stanley dan Steve sembari memberikan kecupan di puncak kepala kedua putranya itu. “Mommy juga merindukan kalian. Apa kalian sudah makan?”“Sudah, Mommy. Kami sudah makan.” Stanley dan Steve menjawab dengan kompak. Lalu mereka melihat ke atah Shawn yang sejak tadi hanya diam. “Kak, kami tadi mau
“Shawn, Mommy tidak mau kau menggunakan kekerasan lagi. Tidak bagus, Nak. Kalau pun temanmu salah, kau bisa menegurnya tanpa harus memukul. Kalau kau menggunakan kekerasan sama saja kau main hakim sendiri, Shawn. Mommy tidak pernah mengajarkanmu untuk seperti itu.”Suara Stella menegur putra pertamanya itu. Nada bicaranya tegas tapi tetap lembut. Ya, Stella dan Shawn baru saja keluar dari ruang guru. Jika Stanley, dan Steve sudah lebih dulu pulang lain halnya dengan Shawn yang tadi ditahan di ruang guru. Itu kenapa Stella datang ke sekolah karena ulah putra pertamanya yang memukul teman sekolahnya. Tentu saja Shawn memukul bukan tanpa alasan. Bocah laki-laki kecil itu memukul temannya karena teman sekolahnya itu berani mencium pipi Katharina—putri bungsu Ken dan Chery. Dan hari ini Stella ke sekolah mendatangi guru tidak bersama dengan Sean. Kesibukan Sean yang membuat suaminya itu tidak bisa hadir. Pun Stella tidak memaksa untuk Sean menemaninya. Mengingat belakangan ini Sean terlalu
Suara tangis bocah kecil perempuan memasuki mansion, membuat Chery yang tengah membaca laporan perkembangan butik miliknya langsung terkejut. Tampak Chery segera meletakan laporan di tangannya ke atas meja. Wanita itu terburu-buru menghampiri suara tangis itu. Tentu Chery tahu itu adalah suara tangis putri kecilnya.“Katharina … kau kenapa, Nak? Kenapa menangis, Sayang?” Chery bersimpuh di depan Katharina—putri kecilnya yang tak kunjung berhenti menangis.“Nyonya, tadi di sekolah ada sedikit masalah.” Sang pengasuh menundukan kepalanya di depan Chery. “Masalah?” Chery bangkit berdiri. Lalu dia menatap Clovis—putra sulungnya yang sejak tadi hanya diam. “Clovis, ada apa, Nak? Kenapa adikmu menangis seperti ini? Apa kau tidak menjaga adikmu? Kan Mommy sudah bilang, kau harus menjaga adikmu dengan baik.” Chery menegur putranya dengan nada yang pelan, namun tersirat sedikit marah.Clovis Kendrick Jefferson adalah anak laki-laki pertama dari Ken dan Chery. Saat ini Clovis berusia empat tah
PranggggSebuah guci mahal pecah begitu saja akibat tendangan seorang bocah perempuan kecil. Pecahan beling itu memenuhi lantai. Beruntung pecahan beling tak mengenai bocah perempuan cantik itu. Tidak hanya sendirian tapi bocah laki-laki yang merupakan saudara kembarnya juga ada di hadapannya. Mereka terlalu asik bermain sampai-sampai memecahkan guci di ruang keluarga. Ya, kini kedua bocah laki-laki dan perempuan itu begitu panik kala melihat guci pecah. Wajah mereka tampak ketakutan. Baru saja mereka melarikan diri dari pengasuh yang menjaga mereka. Tapi malah mereka mendapatkan masalah.“Tuan Muda … Nona Muda …” Seorang pengasuh terlihat sangat panik melihat pecahan guci itu.“Kami tidak sengaja.” Luke dan Lydia memasang wajah merengut agar tak disalahkan.“Astaagaaa Luke … Lydia … ada apa ini?” Suara Alika berseru seraya melangkah memasuki ruang keluarga. Seketika raut wajah Alika berubah melihat guci kesayangannya dengan harga fantastis itu pecah. Kini sepasang iris mata hitam Al