“Jangan dengarkan. Dia berbohong. Dia anakku.”Suara bariton terdengar begitu keras membuat Sean dan Stella segera mengalihkan pandangannya pada sumber suara itu. Sesaat Sean menghunuskan tatapan dingin pada seorang pria berperawakan tinggi besar. Tinggi tubuh pria itu hampir menyentuh dua meter. Logat bicaranya adalah aksen orang Russia.“Bibi… Tolong aku…” Anak kecil itu berlindung di belakang tubuh Stella. Memeluk erat Stella dengan begitu ketakutan. “Dia Paman jahat, Bibi. Tolong aku Bibi.”“Jangan dengarkan dia! Dia berbohong!” Pria itu berucap tegas dan hendak mendekat ke arah Stella. Namun dengan cepat, Sean langsung menghadang pria yang mendekat ke arah istrinya itu.“Kalau anak itu benar anakmu, harusnya dia tidak takut denganmu,” ucap Sean dingin dengan tatapan tajam pada pria yang ada di hadapannya.“Dia anakku. Aku harap kau tidak ikut campur dengan urusanku,” tegas pria itu dengan tatapan penuh peringatan pada Sean.“Sean,” Stella sedikit takut melihat pria yang ada di ha
“Mama… Mama… Theo takut, Mama…”Theo bergerak-gerak, mengigau. Tubuh bocah laki-laki itu dipenuhi dengan keringat. Stella yang tidur di samping Theo langsung terbangun mendengar suara Theo.Saat Stella sudah membuka mata, tatapannya menatap terkejut kening Theo yang penuh dengan keringat. Dengan cepat Stella mengambil handuk bersih. Menyeka keringat Theo.“Theo, Sayang. Bibi di sini. Jangan takut, Nak.” Stella menarik tangan mungil Theo, memeluk erat bocah laki-laki itu agar tidak lagi ketakutan.Perlahan Theo mulai membuka matanya kala merasakan pelukan hangat Stella. Bocah laki-laki itu langsung memeluk Stella dalam pelukannya.“Bibi, aku takut,” ucap Theo. “Aku rindu Mama, Bibi. Aku rindu Mama.”“Nak, Bibi tahu, Sayang. Theo sabar, ya? Paman Sean sedang mencari Mamamu.” Stella menangkup kedua pipi Theo. Menatap lembut bocah laki-laki itu. Sungguh, Stella merasa iba. Terlebih sebentar lagi dirinya akan menjadi seorang ibu. Tentu Stella tahu, ibu dari Theo sangat hancur kala kehilang
“Tuan…” Sang pengawal menundukan kepalanya kala melihat Sean mendekat padanya.“Katakan, apa yang kau dapatkan tentang Theo Kortig?” Sean bertanya dengan nada dingin. Ya, dia tak suka berbasa-basi. Serta Sean pun tidak suka mendapatkan informasi yang lambat.“Tuan, saya sudah mendapatkan informasi lengkap tentang Theo Kortig. Theo adalah anak dari pasangan Jenniver Kortig dan Arnel Kortig. Tapi Arnel Kortig meninggal akibat pesawat pribadi yang membawanya itu mengalami kecelakaan. Kecelakaan yang menimpa Arnel Kortig tepat di saat Jenniver Kortig baru saja melahirkan. Penculikan yang dialami oleh Theo ketika Theo sedang berada di Washington bersama ibunya. Seperti yang saya duga, kedua orang tua Theo berasal dari German. Theo bersama dengan ibunya tinggal di Berlin. Dan saat ini saya mendengar Jenniver Kortig sudah mengerahkan kepolisan Washington untuk mencari keberadaan putranya, Tuan.” Sang pengawal melaporkan hasil apa yang telah dia dapatkan.Sean terdiam sejenak mendengar lapora
Stella tersenyum melihat Theo yang tengah naik ke mobil mini yang dibelikan oleh Sean. Tampak bocah laki-laki itu begitu menggemaskan. Tak pernah sekali pun, Stella bosan melihat tingkah Theo. Ya, sudah tiga hari dua malam Stella menemani Theo. Sambil menunggu kedatanga ibu dari Theo, Stella selalu menemani Theo bermain. Menyuapi dan membacakan dongeng seperti layaknya ibu Theo. Pun Sean tidak melarang. Hanya saja Sean meminta Stella untuk tidak lelah. Seperti contoh saat ini ketika Theo bermain dengan mobil mininya, bocah kecil laki-laki itu main ditemani oleh para pengawal Sean. Sedangkan Stella duduk seraya menikmati keindahan sore di hotel mewah yang Sean dan Stella tempati saat ini.“Bibi… Bye, Bibi…” Theo melambaikan tangan mungilnya pada Stella. Bocah kecil itu terus bermain.“Bye, Theo…” Stella tersenyum hangat melihat Theo yang bersama dengan pengawal tengah bermain.Sean melangkah mendekat pada Stella. Tatapannya menatap hangat Stella yang begitu mencintai Theo. “Minumlah,”
“Bibi… Apa benar Mama sebentar lagi akan datang?” seru Theo yang baru saja selesai mengganti pakaian. Ya, bocah laki-laki itu terlihat menggemaskan dengan memakai celana pendek dan kaus polos berwarna biru laut. Tampak Theo terlihat tampan.Stella tersenyum. “Iya, Sayang. Mamamu sudah dalam perjalanan ke sini.”“Yeay!” Theo memekik bahagia seraya memeluk erat Stella. “Aku sangat merindukan Mama, Bibi. Aku rindu Mama.”Stella terus tersenyum melihat Theo bahagia. Walau tak dipungkiri hati Stella bersedih tapi Stella berusaha untuk tidak egois. Tentu Theo sangat membutuhkan ibunya. Usia Theo masih terlalu kecil.“Bibi, nanti kalau aku sudah pulang. Bibi sering temui aku, ya?” pinta Theo dengan suara polos sambil menatap Stella.“Iya, Theo.” Stella mengelus pipi bulat Theo. “Bibi akan meluangkan waktu mengunjungimu.”Theo tersenyum, memperlihatkan gigi putihnya. “Bibi, apa bibi tinggal di sini bersama Paman?”“Tidak, Theo. Paman dan Bibi tidak tinggal di sini,” jawab Stella sambil menciu
“Mama…”Suara Theo memanggil ibunya dengan keras. Bocah laki-laki itu langsung turun dari gendong Sean. Dan berlari menghampiri ibunya.“Theo…” Jenniver—ibu Theo pun berlari pada Theo. Tangisnya mendera melihat putra tunggalnya. Dia bersimpuh dan langsung memeluk erat Theo.“Mama… Aku merindukammu,” isak Theo yang menangis dalam pelukan Jenniver.“Mama lebih merindukanmu, Nak.” Jenniver menangis sejadi-jadinya memeluk erat putranya itu. Mengecupi pipi Theo. Dalam hati Jenniver begitu bersyukur akhirnya bisa dipertemukan kembali dengan putranya.Sean dan Stella sama-sama tersenyum melihat akhirnya Theo bisa berkumpul dengan ibunya. Kini Sean merengkuh bahu Stella, membawa sang istri mendekat pada Theo dan Jenniver.“Theo, maafkan Mama, Nak. Mama tidak bisa menjagamu. Ini semua salah Mama,” isak Jenniver kala mengurai pelukan pada putranya. Dia sungguh merasa bersalah karena tidak bisa menjaga putranya dengan baik.Theo membawa tangan mungilnya. Menghapus air mata ibunya. “Mama, aku ber
Keesokan hari, Sean dan Stella sudah bersiap-siap kembali ke Jakara. Tadi malam Stella masih sedih karena berpisah dari Theo. Sebelumnya, Sean memang mengizinkan pengawalnya memberikan nomor ponselnya dan nomor ponsel Stella pada Jenniver—ibu dari Theo. Sama halnya dengan Sean dan Stella yang juga memiliki nomor ponsel Jenniver. Paling tidak mereka bisa bertukar kabar menanyakan kabar Theo. Ya, Theo sangat manis dan menggemaskan. Itu yang membuat Sean yang dingin menjadi luluh. Dan itu juga yang membuat Stella menyayangi Theo. Meski baru beberapa hari dengan Theo, tetapi Sean dan Stella memang telah menyayangi bocah kecil itu.Kini Sean dan Stella tengah duduk di sofa seraya menikmati sarapan yang terhidang di hadapan mereka. Namun, tatapan Sean teralih pada Stella yang menikmati sarapan tidak seperti biasanya.“Sayang, habiskan makananmu. Jangan makan sedikit-sedikit seperti itu,” tegur Sean dengan penuh peringatan. Dia tidak suka melihat Stella yang sejak tadi hanya makan sedikit-se
“Hmm….” Stella menggeliat kala pagi menyapa. Cahaya sinar matahari menembus jendela, menyentuh wajah Stella. Ya, kini Stella telah berada di kamarnya di Jakarta. Kemarin kala dirinya dan Sean tiba di Jakarta, mereka langsung beristirahat. Stella begitu lelah. Perjalanan ke Milan dan Jakarta cukup jauh. Meski di pesawat pribadi milik Sean ada kamar tetap saja Stella lebih nyama tidur di kamar miliknya dan Sean yang ada di Jakarta. Rasanya Stella begitu merindukan kamar ini. Dia seperti sudah begitu lama meninggalkan kamar ini.“Sean di mana?” Stella bergumam kala mendapati ranjang Sean sudah kosong. Didetik selanjutnya, Stella mengedarkan pandangannya melihat kesekeliling. Suaminya memang tidak ada di kamar.Stella mendesah pelan. Dia yakin, Sean pasti berada di ruang kerjanya. Tidak mungkin Sean hari ini ke kantor. Karena kemarin, Sean mengatakan meeting menggantikan ayah mertuanya ditunda esok hari. Pun Stella yang harusnya hari ini ke panti asuhan memilih untuk menunda keesokan hari