Sean melonggarkan dasi yang mengikat lehernya. Memijat pelan pelipisnya. Dia menyandarkan punggungnya lelah di kursi kerjanya. Hari ini banyaknya meeting yang harus dia hadiri ditambah dengan beberapa pekerjaan yang harus dia periksa membuatnya lelah. Meski memiliki asisten; Sean terbiasa memeriksa secara teliti.Suara interkom berbunyi membuat Sean mengalihkan pandangannya pada telepon yang tak henti berdering. Sean mengumpat pelan seraya memejamkan mata singkat. Dia sudah mengatkan pada sekretarisnya unuk tidak mengganggu. Tapi tetap saja masih mengganggunya.Dengan raut wajah kesal dan penuh keterpaksaan Sean menekan tombol hijau menjawab interkom masuk. Lalu menjawab dingin, “Apa pendengaranmu itu rusak? Bukannya aku sudah mengatakan padamu jangan menggangguku? Kenapa kau masih menggangguku!”“M-Maaf, Tuan. Tapi ada hal penting yang ingin saya sampaikan pada anda,” ujar Vivian dari seberang sana.Sean mengembuskan napas kasar. “Cepat katakan. Jangan berputar-putar. Aku tidak memil
“Sean, kenapa kau belum berangkat ke kantor? Apa hari ini kau tidak ada meeting?” Stella melangkah mendekat ke arah Sean yang tengah membaca koran. Tampak hari ini Sean begitu santai. Padahal biasanya Sean sudah disibukan dengan beberapa pekerjaan. Bahkan pagi ini Stella tidak melihat Sean yang sibuk menngangkat telepon dari Tomy. Ya, Stella sangat hafal dengan kebiasaan sang suami yang tak lepas dengan kegiatan-kegiatan yang dilakukan Sean.“Hari ini aku tidak ke kantor,” jawab Sean tanpa mengalihkan pandangannya dari koran yang tengah di baca. Meski Sean tahu Stella duduk di sampngnya, tetap pria itu fokus pada apa yang tengah dia baca. Hanya sesaat Sean melirik sang istri.“Kau tidak ke kantor? Tapi siang ini aku ada kelas, Sean,” ujar Stella seraya mengerutkan keningnya bingung. Pasalnya Sean biasanya tidak ke kantor jika dirinya tidak ada kuliah. Namun kenapa hari biasa seperti ini tidak berangkat ke kantor?Mendengar ucapan Stella membuat Sean langsung meletakan koran yang ada d
Stella melirik arlojinya gelisah. Sudah hampir pukul lima sore tapi dosen tak kunjung menghentikan kelas. Padahal pembahasan teori begitu membosankan di telinga Stella. Ya, Stella lebih menyukai praktek langsung dari pada harus mendengarkan teori yang membosankan. Namun, dalam setiap bidang akademik tidak mungkin tidak ada teori. Tentunya itu adalah salah satu kewajiban para mahasiswa yang juga harus mampu mengerti tentang teori dalam sejarah fashion itu sendiri. Meski bosan, bukan artinya Stella tak pernah mempelajari teori. Stella tetap rajin mempelajari dengan baik pelajarannya.Tak berselang lama, sang dosen mengakhiri kelas; Stella langsung tergesa-gesa berjalan keluar dari ruang kelasnya. Ya, feeling Stella mengatakan Sean sudah menunggunya di lobby. Meski Sean tidak mengirimkan pesan padanya sudah ada di kampus tapi Stella yakin suaminya itu sudah datang. Alasan Stela begitu yakin adalah karena Sean mengatakan akan datang tepat waktu. Selama ini Sean tidak pernah mengikari janj
Stella menghela napas dalam kala melihat dirinya berada di pantulan cermin. Tampak raut wajahnya yang sedikit muram. Ya, hari ini Stella akan melakukan pemeriksaan kesehatannya untuk yang kesekian kalinya. Untuk kali ini Stella tidak lagi bertemu dengan dokter yang bisa menanganinya. Stella akan bertemu dengan dokter baru. Namun, dokter yang lama tetap menjadi bagian team dokter khusus yang menangani masalah kesetan Stella. Hal yang menjadi beban dalam diri Stella adalah dirinya begitu takut jika sampai mendengar hasil pemeriksaannya nanti. Stella tahu hasilnya akan tetap sama dan tidak berubah. Lagi dan lagi dokter akan mengatakan memiliki peluang untuk hamil meski itu sangat kecil. Itulah yang biasa Stella dengar. Akan tetapi meski Stella berkali-kali mendengar kata-kata itu yang keluar dari dokter; Stella tetap mengkonsumsi obat dengan rajin. Dia pun berjuang sekuat tenaga untuk sembuh. Hanya satu yang membuat Stella cepat muram yaitu ketika harus bertemu dengan dokter yang artinya
Hari demi hari Stella disibukan dengan membuat gaun yang dipesan oleh Diandra. Beruntung, dua penjahit yang diberikan Sean adalah penjahit yang cekatan dan pintar. Setiap kali Stella mengajarkan sesuatu maka penjahit itu sudah langsung memahaminya. Paling tidak Stella tidak perlu membutuhkan banyak energy hanya demi sebuah penjelasan tentang konsep yang dia inginkan. Jujur Stella sedikit takut dengan gaun yang dia buat ini. Dia takut jika pelanggan tidak menyukainya. Selama ini Stella berusaha keras menjahit sebaik mungkin. Dan selama proses pembuatan gaun, Alika dan Chery bukan hanya duduk diam menyaksikan Stella bekerja. Alika dan Chery pun turut belajar memasangkan berlian ke gaun yang telah Stella jahit. Tidak bisa dipungkiri, melihat berlian-belian tentu saja mata Alika dan Chery sepanjang harus selalu berdecak kagum. Bagamana tidak? Berlian yang biasanya dipakai untuk perhiasan tapi kini telah disulap menjadi hiasan pada sebuah gaun yang mewah.Ya, hari demi hari yang Stella lew
Stella menatap gaun yang telah dia jahit dibantu dengan kedua penjahitnya serta Alika dan juga Chery. Ya, jika tidak dibantu mungkin Stella membutuhkan waktu jauh lebih lama. Yang paling sulit adalah ketika memasangkan berlian ke gaun itu. Butuh ketelitian yang tinggi. Meski dibantu oleh kedua penjahit serta Alika dan Chery; Stella tetap memeriksanya dengan teliti. Stella tidak ingin membuat Diandra kecewa. Jika Alika, Chery dan kedua penjahitnya sudah pulang, biasanya Stella kembali memeriksa. Bahkan Stella memperbaiki jika ada penataan yang kurang rapi. Harus diakui gaun ini memiliki tingkat kesulitan yang tinggi. Ketelitian benar-benar harus diterapkan. Jika biasanya Stella hanya pernah menjahit gaun biasa atau paling tidak—gaun yang hanya berhiaskan manik-manik. Sedangkan kali ini gaun yang dihiaskan dengan berlian tentu saja membuat Stella begitu berhati-hati. Lebih tepatnya karena satu butir berlian saja sudah sangat mahal. Karena kalau sampai rusak itu akan menjadi sebuah kerug
Keesokan hari, Stella seperti biasa lebih dulu bangun mempersiapkan kebutuhan Sean sebelum berangkat bekerja. Ya, Stella begitu menikmati menjadi seorang istri. Setiap paginya dia bangun lebih awah, membantu sang suami yang tengah bersiap-siap. Walau terkadang, Stella pun beberapa kali bangun kesiangan namun Sean tidak pernah sedikit pun marah padanya. Mungkin lebih tepatnya, Sean senang jika Stella lebih banyak beristirahat di rumah dan tidak melakukan aktivitas berat. Tentu saja, hal itu akan membosankan bagi Stella. Sekarang Stella sudah terbiasa memiliki banyak peran. Sebagai mahasiwi, lalu sebagai perancang busana yang memiliki usaha meski masih baru memulainya. Dan terakhir yang paling penting yaitu sebagai seorang istri yang berkewajiban melayani dengan baik sang suami.Seperti pagi ini, Stella tengah membantu Sean memasangkan dasi…“Sean, apa malam ini kau akan pulang malam?” tanya Stella seraya merapikan kemeja Sean. Dia memastikan bahwa penampilan sang suami telah sempurna.
Menjelang keberangkatan ke Maldives, Stella disibukan dengan memilih-milih pakaian yang akan dibawa ke Maldives. Ya, cuaca di Maldives sangat panas. Tentu pakaian pantai yang nyaman harus Stella bawa cukup banyak. Meski sebenarnya Sean memintanya untuk tidak membawa banyak barang-barang—tetapi Stella tidak bisa. Dia tetap mempersiapkan banyak baju yang akan dibawa ke Maldives. Pun Stella menyiapkan cukup banyak baju untik Sean. Pelayan memang membantunya. Namun, Stella tetaplah Stella. Banyaknya pelayan yang membantunya sekali pun tetap saja Stella tidak bisa hanya menjadi penonton dan membiarkan pelayan mengemasi barang-barangnya. Stella sudah terbiasa sejak kecil mengemasi barang-barangnya sendiri. Jadi ada atau tidak adanya pelayan tetap saja Stella akan turun tangan. Terlebih untuk barang-barang yang dibutuhkan Sean; sebagai seorang istri tentu saja Stella ingin dirinya sendiri yang mempersiapkan untuk sang suami. Pelayan hanya membantu sekedarnya.“Sepertinya ini sudah semua. Aku