Semuanya terdiam, kecuali Grita dan Anton. Ucapannya mampu membuat orang-orang disekitarnya terdiam karena terkejut. Kara marah, Kaisar kecewa, yang lain syok. Kara bisa saja langsung menampar wajah wanita dihadapannya itu andaikan Vano tidak menahannya. Ia benar-benar marah, muak, dan jengkel. Kaisar juga pasti merasakan hal yang sama dengannya, tapi Kaisar lebih kecewa dan sakit hati karena dikhianati dan diselingkuhi secara terang-terangan seperti ini."Jawab jangan diam aja," desak Grita pada Anton yang tak mengatakan apapun.Kara menoleh menatap ayahnya yang terlihat susah mengambil keputusan. "Jawab, kamu pilih aku atau anakmu?" desak Grita.Kara mengernyit heran dengan pertanyaan yang tidak masuk akal itu. Bisa-bisanya dia mengucapkan hal seperti itu."Gila lo?" sinis Kara.Grita menatap sinis, "Gue nggak ngomong sama lo."Kara hendak maju tapi langsung ditahan oleh Anton. Pria itu sudah mengambil keputusan. Ia menghela nafas lalu menatap Grita tanpa ekspresi."Pergi, hubunga
Setelah Grita pergi dengan emosi yang menggebu-gebu, Kara langsung masuk ke dalam rumah tanpa sepatah kata pun. Melewati Kaisar, Vano, dan Pak Adi dengan perasaan yang tidak bisa dijelaskan. Anton masih termangu selama beberapa saat ditempatnya setelah Grita dan Kara pergi, dua perempuan yang berharga baginya. Ia menghela nafas kasar, mengusap wajahnya lalu masuk ke dalam rumah. 3 penjaga rumah itu langsung mengalihkan pandangannya kearah lain tidak menatap ke Anton. Langkah pria itu terasa berat, sesekali ia juga terlihat menyugar rambutnya. Setelah Anton masuk ke dalam rumah, 3 penjaga itu langsung mendekat. "Apa kotaknya lebih baik jangan kita beritahu dulu?" tanya Vano.Pak Adi menyetujui, suasana hati Anton sedang tidak baik, akan lebih baik jika ia menenangkan dirinya dulu."Setuju, kita simpan saja dulu.""Kita perketat keamanan, firasatku akan ada kejadian yang lebih besar lagi terjadi," ujar Kaisar.Vano dan Pak Adi serentak menoleh pada Kaisar, menatap pria itu dengan waja
Di rumah Anton, malam mulai turun. Lampu-lampu menyala, tapi suasananya tetap suram. Kara mengurung diri di kamarnya, menolak makan malam dan bahkan tak menjawab panggilan ayahnya. Anton sendiri hanya duduk di ruang kerjanya, menatap kosong ke arah tumpukan berkas yang tak sempat disentuh. Pikirannya melayang ke Grita, ke cara perempuan itu pergi—marah, terluka, dan kecewa. Dan ia tak bisa menyalahkannya.Pintu ruang kerja diketuk pelan."Masuk," ucap Anton pelan.Pak Adi membuka pintu dan melangkah masuk dengan ragu. "Maaf, Tuan. Saya cuma mau memastikan semuanya aman."Anton mengangguk tanpa menoleh. "Terima kasih."Pak Adi berdiri beberapa detik, lalu berkata pelan, "Kalau butuh sesuatu... kami siap."Anton akhirnya menoleh, menatap satpam setianya itu. "Terima kasih, Pak Adi. Untuk semuanya."Pak Adi membalas dengan anggukan kecil lalu pergi, membiarkan Anton kembali tenggelam dalam pikirannya. Tapi tidak lama setelah itu, ponsel Anton bergetar. Sebuah pesan masuk dari nomor tak d
Pada malam yang gelap dan sunyi, di sudut kompleks perumahan elite tempat Anton tinggal, cahaya temaram dari pos satpam menjadi satu-satunya penerang yang menembus pekatnya malam. Di dalam pos kecil itu, suasana terasa tegang namun penuh semangat. Anton, sang pria dengan wibawa seorang pemimpin, duduk bersandar di kursi plastik yang mulai lapuk. Di hadapannya, tiga pria yang selama ini menjadi perisai sekaligus rekan kepercayaannya: Kaisar, Vano, dan Pak Adi.Kaisar, bertubuh tegap dengan tatapan tajam seperti elang, bersandar di dinding sambil melipat tangan. Ia bukan orang yang banyak bicara, tapi setiap kata yang keluar dari mulutnya selalu berbobot. Di sebelahnya, Vano, si lebih muda dan bersemangat, duduk di tepi meja pos, menggoyang-goyangkan kakinya, ekspresi wajahnya menunjukkan antusiasme yang nyaris tidak terkendali. Lalu ada Pak Adi yang usianya paling tua di antara mereka, tapi justru memiliki insting yang sangat tajam karena pengalaman puluhan tahun menjaga keamanan tempa
Di sebuah ruangan gelap yang hanya diterangi layar monitor dan lampu neon redup, Sean menatap layar dengan sorot mata tegang. Ia baru saja menerima kabar dari salah satu informannya. Dengan cepat, ia menghubungi Dodi.“Dia mulai bergerak,” suara Sean terdengar rendah tapi penuh ketegangan.“Siapa?” tanya Dodi di seberang, meski ia sudah tahu jawabannya.“Anton. Dia mulai melacak asal kiriman kotak hitam itu. Tentu dia akan bersama dengan timnya.”Dodi terdiam sejenak, lalu tertawa pelan. “Bukankah itu bagus? itu yang kita tunggu-tunggu. Kau akan melihat bagaimana gilanya Anton nanti.”“Lalu bagaimana dengan kotak selanjutnya?” ucap Sean sambil menatap sebuah kotak hitam yang tergeletak dihadapannya.“Tetap kirimkan, tapi jangan kau yang mengirimnya. Suruh salah satu dari mereka untuk melakukannya," perintah Dodi.'Mereka' yang dimaksud adalah anak buah Dodi. Mereka berjumlah sekitar 50 orang ada di dalam satu bangunan yang sama dengan Sean saat itu. Mereka beralih ke bangunan kedua un
Langit malam pekat tanpa bintang. Awan gelap menggantung berat, menekan kota dengan hawa dingin yang menusuk. Di sebuah sudut jalan yang remang, sebuah mobil hitam berhenti beberapa meter dari gerbang rumah mewah milik Anton. Mesin menyala pelan, lampu dimatikan. Di dalamnya, duduk seorang pria dengan wajah tenang namun sorot mata tajam, Sean.Ia melihat jam tangannya. Sudah waktunya.Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, ia menoleh ke kursi belakang. Dua pria bertubuh kekar duduk tegap, mengenakan jaket gelap. Anak buah Dodi, pria yang selama ini menjadi perpanjangan tangan Sean untuk urusan lapangan.“Letakkan kotaknya. Jangan banyak gerak,” ucap Sean singkat.Keduanya mengangguk. Mereka keluar dari mobil, masing-masing membawa sebuah kotak hitam seukuran microwave, tanpa tulisan apa pun. Isinya masih misteri, bahkan bagi mereka yang mengantarkannya. Itu bukan pertama kalinya bagi Sean untuk mengantar kotak semacam itu ke rumah Anton. Setiap kali, tanpa penjelasan. Hanya perintah. Tap
Langkah kaki bergema di lorong sempit menuju ruang bawah tanah yang tak pernah digunakan kecuali untuk urusan paling rahasia. Dua pria bermasker hitam itu diseret kasar oleh Kaisar dan Vano, napas mereka tersengal, wajah lebam, namun tetap menyiratkan keteguhan aneh.Anton berjalan di depan dengan mata tajam. Di belakangnya, Leo dan Daniel mengikuti dengan membawa sebuah koper. Raven dan Rei menutup barisan, memastikan tak ada jejak atau celah terbuka dalam pergerakan mereka.Lampu-lampu gantung redup menyala satu per satu ketika mereka memasuki ruang bawah tanah. Ruangan itu dingin, lembap, dengan lantai semen kasar dan dinding baja yang membuat gema terkunci di dalam. Di tengahnya, dua kursi kayu telah disiapkan. Di belakang kursi, tali menggantung.“Dudukkan mereka,” perintah Anton dingin.Kaisar dan Vano menjatuhkan para penyusup itu ke kursi, lalu mengikat tubuh mereka dengan cepat. Tali diperiksa dua kali. Mereka tidak boleh bergerak barang satu inci pun.Salah satu pria masih m
Anton melangkah keluar dari ruangan tanpa mengatakan sepatah kata pun. Langkahnya cepat, penuh ketegangan yang jelas terpancar dari setiap gerakan tubuhnya. Suara pintu yang tertutup di belakangnya menggema pelan di lorong yang sepi. Di belakangnya, Raven mengikuti, menjaga jarak dua langkah, tak bersuara seperti bayangan.Sebelum benar-benar menghilang dari pandangan, Anton menoleh sebentar ke arah Kaisar dan Vano."Tetap di sini. Interogasi dia. Jangan sampai dia mati sebelum kita tahu segalanya,” ucap Anton, suaranya datar tapi tak terbantahkan. “Dan jangan sentuh mayat yang satu lagi. Biar Daniel yang urus.”Kaisar dan Vano mengangguk serempak, tak banyak bicara. Begitu Anton dan Raven menghilang di balik lorong, suasana dalam ruangan mendadak terasa semakin berat. Lampu gantung yang redup menggoyang pelan, seperti menyaksikan adegan yang tak ingin diingat.Vano berjalan mendekati mayat pria yang tergeletak dengan luka tembak di dada. Ia berjongkok sejenak, memperhatikan luka itu
Langit malam gelap tanpa diterangi bulan atau bintang. Awan hitam menggantung rendah, menutup seluruh penjuru langit. Suasana sepi dan udara menusuk. Angin malam menderu pelan, menyentuh kulit. Dodi berdiri diam di tengah bayangan pohon besar yang menjulang di luar pagar rumah Anton. Cabang-cabangnya bergerak ringan tertiup angin.Di sekeliling Dodi, dua puluh sembilan anak buahnya tersebar dengan posisi siaga, tersembunyi di balik semak, kendaraan, dan sudut-sudut gelap yang tak terjangkau cahaya jalan. Mereka mengenakan pakaian gelap, wajah sebagian tertutup masker, senjata dalam genggaman. Hanya sorot mata mereka yang terlihat dingin, fokus, siap. Masing-masing sudah tahu tugasnya, sudah hafal betul sinyal yang akan Dodi berikan.Tim mereka terbagi tiga: sepuluh orang menjaga keadaan sekitar rumah, berjaga agar tak ada yang masuk atau keluar. Delapan orang lainnya menyelinap masuk lewat sisi timur, menargetkan satu sasaran penting yakni Kara. Dan dua belas sisanya termasuk Sean dan
"Aku tidak takut pada ancaman itu, apapun yang terjadi aku tak akan menyerahkan berkas yang dia mau."Leo menatapnya, "Kau yakin pelakunya 'dia'?"Anton mengangguk yakin, "Yakin, 100 persen yakin."Daniel menghela nafas kasar, "Dia tidak mudah menyerah ya?""Dia tak akan menyerah sebelum mendapat yang dia mau, bahkan dengan mengorbankan orang lain," ucap Anton.Leo menatapnya dengan tatapan tak bisa diartikan. Dia tahu apa yang menimpa sahabatnya itu, yang merenggut nyawa istri dan anaknya. Kejadian itu, salah satu kejadian yang membuat Daniel dan Leo cukup trauma. "Dia bilang dalam 48 jam, dia akan melakukan dengan caranya sendiri. Maksudnya dia akan menyerang kita?" tanya Daniel.Leo mengangguk, "Yap, kau pasti sudah tahu.""Lalu sekarang apa?" tanya Raven.Anton dan Leo saling pandang, seolah keduanya berbicara lewat mata. Tak ada satu pun dari mereka yang benar-benar asing terhadap ancaman. Tapi kali ini terasa berbeda, lebih pribadi, lebih mematikan.“Kita harus bersiap,” kata A
"Aku tidak menemukan mereka, sepertinya mereka disembunyikan di suatu tempat," ucap Sean sambil melepas jaketnya.Suasana ruangan itu seperti biasa: remang, penuh asap rokok, dan beberapa berkas yang berserakan di meja besar di tengah ruangan. Dodi duduk di sana, tangannya memegang cangkir kopi yang isinya sudah setengah dingin. Beberapa anak buah mereka duduk di sekeliling, beberapa sibuk sendiri, dan yang lainnya hanya mendengarkan.Sepulang dari rumah Kara, Sean langsung menuju markas. Menceritakan tentang apa yang terjadi di rumah itu."Bahkan sesuatu yang mencurigakan sedikit pun kau tidak menjumpainya?" tanya Dodi, matanya tak lepas dari wajah Sean.Sean menggeleng, lalu menatap lantai. Ia berpikir sejenak, mengingat kembali saat ia di rumah itu."Aku pergi ke ruang bawah tanah, namun pintunya terkunci. Kupikir mereka pasti disekap di sana. Tapi setelah itu, Kaisar menemukanku.""Lalu?" desak Dodi."Dia mencurigaiku, lalu mengusirku. Namun sebelum pergi, aku mendengar sesuatu da
Daniel kembali ke mobilnya dan duduk di balik kemudi. Disampingnya Raven duduk dengan tenang dengan pandangan fokus ke depan. Mesin menyala, Daniel menginjak pedal lalu mobilnya meluncur keluar dari kawasan rumah Anton. Lokasi pembuangan telah disepakati sebelumnya: sebuah tempat pembakaran ilegal di ujung kawasan industri tua, jauh dari pemukiman, tempat orang-orang seperti mereka menghilangkan jejak.Di dalam mobil, mayat itu tergeletak kaku di dalam bungkus plastik, terikat rapi seperti paket yang hendak dikirim jauh, bedanya, paket ini tak akan pernah diterima siapa pun.Selama perjalanan, Daniel tidak menyalakan radio ataupun sekedar berbincang dengan Raven. Ia hanya berkonsentrasi pada jalanan, namun pikirannya melayang jauh. Berapa banyak orang yang harus mati seperti ini? Berapa banyak rahasia yang harus dikubur bersama tubuh-tubuh yang dibakar hingga tak bersisa?Sekitar tiga puluh menit kemudian, mereka tiba di lokasi. Bangunan itu tampak seperti pabrik tua, catnya mengelupa
Daniel kembali datang ke kediaman Anton pada malam harinya. Langit di luar gelap pekat, hanya suara jangkrik dan sesekali lolongan anjing yang memecah keheningan. Malam ini, ia ditugaskan Anton untuk mengurus mayat yang ada di ruang bawah tanah. Selain itu, Anton ingin mendiskusikan langkah selanjutnya dalam menghadapi teror yang semakin menggila, yang mengintai mereka diam-diam.Daniel datang sendirian. Tidak bersama Rei. Gadis itu tak bisa datang karena pekerjaannya menumpuk.Begitu masuk ke area rumah, Daniel langsung menuju ruang tengah. Di sana, ia menemukan Leo sedang duduk santai di sofa dengan secangkir kopi panas yang masih mengepulkan asap."Dimana yang lain?" tanya Daniel tanpa basa-basi."Entah," jawab Leo singkat tanpa memalingkan wajah dari layar TV yang menyala.Daniel mengerutkan dahi, lalu menjatuhkan diri di sofa di sebelah Leo. Ia bersandar, menyandarkan kepalanya ke sandaran sofa sambil mengembuskan napas panjang. Leo meliriknya sekilas, lalu bertanya,"Mana Rei?"
Malam hari yang dingin, Grita merapatkan jaket yang dipakainya. Walaupun ia memakai jaket yang cukup tebal, dinginnya udara tetap saja menusuk kulitnya, seolah-olah menembus lapisan jaket yang membungkus tubuhnya. Nafasnya mengepul kecil setiap kali ia menghembuskan udara, menandakan betapa dinginnya malam itu. Langit di atasnya gelap, tanpa bintang, hanya temaram lampu jalan yang sesekali menyala redup.Taxi yang Grita tumpangi berhenti di pinggir jalan karena tidak bisa mengakses jalan menuju alamat yang Grita tuju. Tempatnya lagi-lagi di pinggiran kota, dan jalan yang harus Grita tempuh adalah gang-gang kecil yang sempit dan gelap. Jalan-jalan setapak itu hanya cukup dilewati oleh satu orang dewasa, dan di beberapa titik bahkan terlihat genangan air kotor yang memantulkan cahaya dari ponselnya.Untungnya dia sudah tidak kaget dengan keadaan seperti ini. Pekerjaan dan situasi-situasi tidak biasa yang sering dia alami membuatnya terbiasa menghadapi tempat dan kondisi yang tidak nyama
Kara dan Sean mengobrol cukup lama di halaman belakang. Topik mereka ringan, hanya tentang materi pelajaran dan beberapa hal lain yang terdengar seperti basa-basi, tapi suasananya tidak benar-benar canggung. Kaisar tetap bertahan di dapur, berdiri bersandar pada meja sambil memandangi mereka lewat jendela. Matanya tak lepas dari pergerakan Sean. Namun setelah hampir setengah jam berlalu tanpa keanehan apa pun, Kaisar mulai ragu dengan perasaannya sendiri. Mungkin dia hanya terlalu overthinking. Kaisar menghela napas, berniat meninggalkan dapur dan kembali ke ruang tamu. Tapi baru saja ia memutar tubuh, suara Sean terdengar dari belakang."Aku ke toilet sebentar ya," ujar Sean lalu melangkah cepat menjauh.Kaisar yang sempat menoleh sekilas, langsung menyipitkan mata. Insting Kaisar kembali aktif. Ia segera menyusul diam-diam, tak membiarkan jarak terlalu jauh. Tapi alih-alih berbelok ke kanan menuju toilet yang berada di sebelah dapur, Sean justru terus berjalan lurus ke arah lorong
Rentetan pesan dari Grita baru saja Dodi baca, ia sudah membukanya tapi tak membacanya sampai akhir. Isi pesannya semua sama, menanyakan apa yang harus gadis itu lakukan karena Anton telah memecatnya. Dodi tentu terkejut, di luar dugaannya Anton malah memecat Grita di saat gadis itu bahkan belum mendapatkan informasi apapun tentang pria itu."Sepertinya aku memang harus melakukan rencana itu," ucap Dodi pada dirinya sendiri.Ia sudah ada rencana, karena ia yakin bahwa Anton tidak akan menyerahkan berkas yang dia mau begitu saja, jadi rencana lain harus terlaksana. Sean sudah melakukan bagian tugasnya dengan datang ke rumah Anton dan mencari tahu apa yang terjadi dengan dua anak buah mereka yang tertangkap. Tapi sekarang, dengan Grita kehilangan posisinya, semua jadi semakin rumit."Aku harus menemui Grita," gumamnya lagi, lalu mengetik pesan.***Sinar matahari menerobos masuk ke dalam kamar Grita melalui tirai tipis yang tak sepenuhnya tertutup. Ponsel di meja kecil di sebelah ranjan
Kaisar dan Vano keluar dari ruang bawah tanah setelah semalaman menginterogasi seorang pria dan seorang mayat. Pria yang masih hidup itu tertidur atau mungkin pingsan, jadi Kaisar dan Vano keluar dan meninggalkannya. Lagipula, berada di ruangan yang sama dengan mayat selama berjam-jam memberikan sensasi aneh yang tidak nyaman. Terutama karena ini adalah kali pertama bagi Kaisar dan Vano merasakannya.Vano menghembuskan napas berat dan langsung berjalan menuju pintu depan, melangkah keluar tanpa sepatah kata. Sementara Kaisar memilih berbalik arah, melangkah ke dapur untuk mengambil minuman. Tenggorokannya terasa kering, seperti gurun setelah semalam yang mencekam.Dapur rumah itu memiliki pintu kayu besar yang langsung menghadap ke halaman belakang. Pintu itu terbuka sedikit, membuat cahaya matahari pagi masuk, mengusir udara dingin dan aroma logam yang masih terasa di hidung Kaisar. Tanpa berniat menguping atau mengintip, pandangannya jatuh pada dua sosok yang duduk di bawah pohon di