Pak Adi berdiri di depan pos mengamati Kaisar dan Vano yang sedang menahan Grita diluar gerbang. Pak Adi berulang kali menoleh ke gerbang lalu ke rumah mengawasi apabila Anton maupun Kara tiba-tiba datang. Apabila salah satu diantara mereka keluar dan melihat Grita, maka keributan pasti akan terjadi lagi."Beliau ga bisa diganggu, silakan pulang saja," ujar Kaisar.Grita tidak percaya, dengan kekeh ia terus meminta untuk masuk kedalam dan bertemu dengan Anton."Eh, santai mbak!" ujar Vano saat Grita hendak maju dan menerobos masuk."Biarin saya masuk, saya mau ngomong sama dia!" desak Grita.Mudah saja bagi Kaisar dan Vano menghalangi jalan dengan tubuh mereka dari Grita yang memaksa ingin masuk. Perempuan ini pantang menyerah, dia bahkan berani mendorong tubuh yang dua kali lebih besar dari tubuhnya. Tapi tetap saja tidak membuat dua pria itu menyingkir."Wah, gila kali ini cewek," ujar Vano sedikit kewalahan karena ulah Grita.Kaisar juga tampaknya kebingungan bagaimana mengatasi pe
Semuanya terdiam, kecuali Grita dan Anton. Ucapannya mampu membuat orang-orang disekitarnya terdiam karena terkejut. Kara marah, Kaisar kecewa, yang lain syok. Kara bisa saja langsung menampar wajah wanita dihadapannya itu andaikan Vano tidak menahannya. Ia benar-benar marah, muak, dan jengkel. Kaisar juga pasti merasakan hal yang sama dengannya, tapi Kaisar lebih kecewa dan sakit hati karena dikhianati dan diselingkuhi secara terang-terangan seperti ini."Jawab jangan diam aja," desak Grita pada Anton yang tak mengatakan apapun.Kara menoleh menatap ayahnya yang terlihat susah mengambil keputusan. "Jawab, kamu pilih aku atau anakmu?" desak Grita.Kara mengernyit heran dengan pertanyaan yang tidak masuk akal itu. Bisa-bisanya dia mengucapkan hal seperti itu."Gila lo?" sinis Kara.Grita menatap sinis, "Gue nggak ngomong sama lo."Kara hendak maju tapi langsung ditahan oleh Anton. Pria itu sudah mengambil keputusan. Ia menghela nafas lalu menatap Grita tanpa ekspresi."Pergi, hubunga
Setelah Grita pergi dengan emosi yang menggebu-gebu, Kara langsung masuk ke dalam rumah tanpa sepatah kata pun. Melewati Kaisar, Vano, dan Pak Adi dengan perasaan yang tidak bisa dijelaskan. Anton masih termangu selama beberapa saat ditempatnya setelah Grita dan Kara pergi, dua perempuan yang berharga baginya. Ia menghela nafas kasar, mengusap wajahnya lalu masuk ke dalam rumah. 3 penjaga rumah itu langsung mengalihkan pandangannya kearah lain tidak menatap ke Anton. Langkah pria itu terasa berat, sesekali ia juga terlihat menyugar rambutnya. Setelah Anton masuk ke dalam rumah, 3 penjaga itu langsung mendekat. "Apa kotaknya lebih baik jangan kita beritahu dulu?" tanya Vano.Pak Adi menyetujui, suasana hati Anton sedang tidak baik, akan lebih baik jika ia menenangkan dirinya dulu."Setuju, kita simpan saja dulu.""Kita perketat keamanan, firasatku akan ada kejadian yang lebih besar lagi terjadi," ujar Kaisar.Vano dan Pak Adi serentak menoleh pada Kaisar, menatap pria itu dengan waja
Di rumah Anton, malam mulai turun. Lampu-lampu menyala, tapi suasananya tetap suram. Kara mengurung diri di kamarnya, menolak makan malam dan bahkan tak menjawab panggilan ayahnya. Anton sendiri hanya duduk di ruang kerjanya, menatap kosong ke arah tumpukan berkas yang tak sempat disentuh. Pikirannya melayang ke Grita, ke cara perempuan itu pergi—marah, terluka, dan kecewa. Dan ia tak bisa menyalahkannya.Pintu ruang kerja diketuk pelan."Masuk," ucap Anton pelan.Pak Adi membuka pintu dan melangkah masuk dengan ragu. "Maaf, Tuan. Saya cuma mau memastikan semuanya aman."Anton mengangguk tanpa menoleh. "Terima kasih."Pak Adi berdiri beberapa detik, lalu berkata pelan, "Kalau butuh sesuatu... kami siap."Anton akhirnya menoleh, menatap satpam setianya itu. "Terima kasih, Pak Adi. Untuk semuanya."Pak Adi membalas dengan anggukan kecil lalu pergi, membiarkan Anton kembali tenggelam dalam pikirannya. Tapi tidak lama setelah itu, ponsel Anton bergetar. Sebuah pesan masuk dari nomor tak d
Pada malam yang gelap dan sunyi, di sudut kompleks perumahan elite tempat Anton tinggal, cahaya temaram dari pos satpam menjadi satu-satunya penerang yang menembus pekatnya malam. Di dalam pos kecil itu, suasana terasa tegang namun penuh semangat. Anton, sang pria dengan wibawa seorang pemimpin, duduk bersandar di kursi plastik yang mulai lapuk. Di hadapannya, tiga pria yang selama ini menjadi perisai sekaligus rekan kepercayaannya: Kaisar, Vano, dan Pak Adi.Kaisar, bertubuh tegap dengan tatapan tajam seperti elang, bersandar di dinding sambil melipat tangan. Ia bukan orang yang banyak bicara, tapi setiap kata yang keluar dari mulutnya selalu berbobot. Di sebelahnya, Vano, si lebih muda dan bersemangat, duduk di tepi meja pos, menggoyang-goyangkan kakinya, ekspresi wajahnya menunjukkan antusiasme yang nyaris tidak terkendali. Lalu ada Pak Adi yang usianya paling tua di antara mereka, tapi justru memiliki insting yang sangat tajam karena pengalaman puluhan tahun menjaga keamanan tempa
Di sebuah ruangan gelap yang hanya diterangi layar monitor dan lampu neon redup, Sean menatap layar dengan sorot mata tegang. Ia baru saja menerima kabar dari salah satu informannya. Dengan cepat, ia menghubungi Dodi.“Dia mulai bergerak,” suara Sean terdengar rendah tapi penuh ketegangan.“Siapa?” tanya Dodi di seberang, meski ia sudah tahu jawabannya.“Anton. Dia mulai melacak asal kiriman kotak hitam itu. Tentu dia akan bersama dengan timnya.”Dodi terdiam sejenak, lalu tertawa pelan. “Bukankah itu bagus? itu yang kita tunggu-tunggu. Kau akan melihat bagaimana gilanya Anton nanti.”“Lalu bagaimana dengan kotak selanjutnya?” ucap Sean sambil menatap sebuah kotak hitam yang tergeletak dihadapannya.“Tetap kirimkan, tapi jangan kau yang mengirimnya. Suruh salah satu dari mereka untuk melakukannya," perintah Dodi.'Mereka' yang dimaksud adalah anak buah Dodi. Mereka berjumlah sekitar 50 orang ada di dalam satu bangunan yang sama dengan Sean saat itu. Mereka beralih ke bangunan kedua un
Langit malam pekat tanpa bintang. Awan gelap menggantung berat, menekan kota dengan hawa dingin yang menusuk. Di sebuah sudut jalan yang remang, sebuah mobil hitam berhenti beberapa meter dari gerbang rumah mewah milik Anton. Mesin menyala pelan, lampu dimatikan. Di dalamnya, duduk seorang pria dengan wajah tenang namun sorot mata tajam, Sean.Ia melihat jam tangannya. Sudah waktunya.Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, ia menoleh ke kursi belakang. Dua pria bertubuh kekar duduk tegap, mengenakan jaket gelap. Anak buah Dodi, pria yang selama ini menjadi perpanjangan tangan Sean untuk urusan lapangan.“Letakkan kotaknya. Jangan banyak gerak,” ucap Sean singkat.Keduanya mengangguk. Mereka keluar dari mobil, masing-masing membawa sebuah kotak hitam seukuran microwave, tanpa tulisan apa pun. Isinya masih misteri, bahkan bagi mereka yang mengantarkannya. Itu bukan pertama kalinya bagi Sean untuk mengantar kotak semacam itu ke rumah Anton. Setiap kali, tanpa penjelasan. Hanya perintah. Tap
Langkah kaki bergema di lorong sempit menuju ruang bawah tanah yang tak pernah digunakan kecuali untuk urusan paling rahasia. Dua pria bermasker hitam itu diseret kasar oleh Kaisar dan Vano, napas mereka tersengal, wajah lebam, namun tetap menyiratkan keteguhan aneh.Anton berjalan di depan dengan mata tajam. Di belakangnya, Leo dan Daniel mengikuti dengan membawa sebuah koper. Raven dan Rei menutup barisan, memastikan tak ada jejak atau celah terbuka dalam pergerakan mereka.Lampu-lampu gantung redup menyala satu per satu ketika mereka memasuki ruang bawah tanah. Ruangan itu dingin, lembap, dengan lantai semen kasar dan dinding baja yang membuat gema terkunci di dalam. Di tengahnya, dua kursi kayu telah disiapkan. Di belakang kursi, tali menggantung.“Dudukkan mereka,” perintah Anton dingin.Kaisar dan Vano menjatuhkan para penyusup itu ke kursi, lalu mengikat tubuh mereka dengan cepat. Tali diperiksa dua kali. Mereka tidak boleh bergerak barang satu inci pun.Salah satu pria masih m
Pintu rumah Anton diketuk oleh seseorang di sore harinya. Di luar, langit mulai berubah warna, rona jingga merambat pelan dari ufuk barat, mewarnai dinding-dinding rumah dengan bayangan panjang. Di dalam, Anton tengah duduk di ruang utama, matanya fokus menelusuri baris-baris tulisan dalam berkas yang sudah ia periksa entah berapa kali. Konsentrasinya buyar oleh suara ketukan itu. Ia meletakkan berkas di meja, berdiri, dan melangkah ke arah pintu.Dengan langkah waspada, ia membuka pintu. Terlihatlah seorang pria paruh baya berdiri di sana. Tubuhnya gemuk, kulit kepala mengilap tanpa sehelai rambut, dan sebuah senyum lebar menampakkan kumis tebal yang ikut bergerak-gerak ketika dia berbicara."Selamat sore," sapa pria itu dengan suara berat namun ramah."Sore," jawab Anton singkat. Matanya memindai pria itu dari atas ke bawah.Pria itu tampak mencuri pandang ke dalam rumah. Matanya cepat menjelajah ke arah ruang tamu, rak buku, dan meja kerja Anton seolah ingin merekam segalanya dalam
"Rumah ibunya Anton, di mana?"Obrolan pesan singkat itu berakhir begitu saja. Hening. Seolah menyisakan gema di benak Dodi yang terus-menerus memutar pertanyaan itu dalam kepalanya. Ia memandangi layar ponsel yang kini sudah padam. Tak ada balasan lagi dari Grita. Hanya itu yang bisa ia dapat. Rumah Anton kosong, sepi, tak ada satu pun tanda kehidupan. Dan ketika Dodi mencoba menekan Grita untuk bicara, satu-satunya informasi yang keluar dari bibir perempuan itu hanyalah bahwa Anton pergi ke rumah ibunya, nenek dari Kara.Masalahnya, Dodi tidak pernah tahu Anton masih memiliki seorang ibu. Ia bahkan tak tahu apakah ibu itu benar-benar masih hidup. Selama ini, latar belakang Anton seperti misteri yang tak pernah bisa dibuka, bahkan oleh orang-orang yang cukup dekat dengannya. Dan kini dengan keadaan yang semakin genting, semua informasi menjadi penting. Termasuk silsilah keluarga.Dodi mendongak dari layar ponselnya dan menatap salah satu anak buahnya yang duduk di kursi sebelah. Tata
Pagi itu juga, dengan berbondong-bondong, Dodi dan antek-anteknya kembali datang ke rumah Anton. Mobil-mobil mereka berderet di halaman depan, mengepulkan debu kering. Dodi yang pertama kali turun dari mobil, mengerutkan kening curiga. Begitu melangkah masuk ke halaman, langkahnya berhenti.Ia mengernyitkan kening. Tidak ada siapa pun di sana. Sunyi.Dodi menyuruh anak buahnya menyebar ke seluruh penjuru rumah untuk mencari keberadaan Anton dan yang lainnya. Suasana terasa aneh. Pintu rumah terkunci rapat, pos satpam kosong tak berpenghuni, bahkan rumah depan untuk karyawan pun tampak sepi."Tidak ada siapapun di sini," lapor salah satu anak buah dengan wajah tegang.Dengan kasar, Dodi menendang sebuah pot bunga yang ada di teras sampai pecah berantakan. Pecahan tanah dan keramik beterbangan, mencerminkan betapa amarah menguasai dirinya."Sialan! Kemana mereka!" Dodi menggeram, suaranya menggetarkan halaman kosong itu.Ia tidak bisa berpikir jernih. Pikirannya dipenuhi rasa frustrasi
Keadaan markas menjadi bak kapal pecah saat Sean kembali pada keesokan harinya. Botol-botol alkohol kosong berserakan di lantai, puntung rokok tersebar di mana-mana, serta orang-orang yang ada di sana tepar di segala penjuru markas. Bau menyengat alkohol, asap rokok basi, dan keringat memenuhi udara, membuat Sean harus menahan napas sejenak sebelum melangkah lebih jauh.Ia berdiri di ambang pintu, mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan. Suara dengkuran dan gumaman orang mabuk terdengar bersahut-sahutan. Beberapa tubuh tergolek di sofa, lantai, bahkan ada yang tidur setengah bergelantungan di atas meja.Sean mengedarkan pandangannya mencari keberadaan Dodi. Ia tak menemukannya di ruang utama, jadi ia beralih mencari ke ruangan Dodi, sebuah ruangan kecil di sudut markas yang biasanya selalu ramai dengan aktivitas. Kini, lorong menuju ruangan itu sepi, hanya langkah sepatu Sean yang terdengar menggema.Begitu pintu dibuka, tak terlihat siapapun ada di sana. Ruangan itu kosong, hanya
Sean memutuskan untuk pulang ke apartemennya. Meninggalkan markas yang kini penuh dengan orang-orang yang mabuk, termasuk Dodi. Sean tidak suka keramaian penuh bau alkohol seperti ini, jadi dia memutuskan untuk pulang saja.Sean menaiki motornya dan melaju di jalanan kota yang sepi. Pikirannya terus terpusat pada peristiwa tadi. Ia khawatir dengan kondisi Kara, ia takut gadis itu kenapa-napa, tapi sekali lagi tak ada yang bisa ia lakukan.Motor Sean melaju kencang hingga sampai ke apartemennya. Ia ingin segera mengistirahatkan tubuhnya yang lelah, lelah secara fisik dan mental.Di kota yang sama namun di tempat yang lain, kediaman Anton masih ramai karena kepindahannya. Malam itu juga Daniel mengantarkan Grita ke rumah Rei, sambil membawa pria yang ada di ruang bawah tanah tadi. Tentu saja dengan tali terikat dan mata ditutup kain. Leo tidak bisa membawanya karena dia memakai sepeda motor, jadi dia meminta Daniel untuk membawannya. Sementara yang lain tetap kembali ke pekerjaannya mem
"Berkas tadi, yang kuserahkan begitu saja pada Dodi, itu adalah berkas palsu."Leo menatapnya tak percaya, menahan napas sejenak seolah memastikan apa ia tak salah dengar. Malam itu udara terasa dingin menusuk kulit, dan bayangan pepohonan yang bergerak di bawah cahaya bulan menambah suasana mencekam."Sungguh?" tanyanya dengan suara pelan, nyaris seperti bisikan.Anton mengangguk pasti. Tatapannya kembali lurus ke depan, seolah menembus gelapnya malam. Dua tangannya dimasukkan ke dalam saku celananya, berusaha menahan dingin yang menggigit. Pohon-pohon di sekitar mereka bergerak pelan mengikuti irama angin, berdesir lembut namun menghadirkan suasana muram."Aku tidak akan pernah menyerahkan apapun yang ku punya pada orang lain. Yang menjadi milikku akan selamanya menjadi milikku," ucap Anton tegas, suaranya berat namun penuh keteguhan.Leo tertawa pelan, nada tawanya lebih mirip helaan napas lega bercampur kekaguman. Anton tetap Anton yang dulu, pikir Leo. Pria yang keras kepala namu
Kara menolak saat Vano mengajaknya ke kamarnya untuk beristirahat. Tubuh mungilnya gemetar, matanya kosong, jelas sekali kejadian mengerikan tadi masih menghantuinya. Vano mengerutkan kening, kebingungan harus bagaimana. Ia tahu dirinya tidak pandai menangani trauma seperti ini, apalagi terhadap seorang perempuan seperti Kara.Kalau saja Bi Ina atau salah satu pembantu perempuan lainnya masih di sini, mereka pasti tahu harus berbuat apa. Sayangnya, tadi pagi Anton memutuskan untuk memulangkan semua staf rumah tangga, agar mereka terhindar dari kemungkinan bahaya. Keputusan yang benar di satu sisi, namun membuat mereka kehilangan sosok-sosok yang biasanya bisa menenangkan Kara."Yaudah, Kara mau di mana?" tanya Vano dengan suara yang dibuat selembut mungkin, berusaha agar gadis itu merasa aman.Kara tidak menjawab. Ia hanya memeluk lututnya sendiri sambil menunduk. Napasnya pendek-pendek, seolah-olah ia berusaha keras menahan ketakutan yang menyeruak dari dalam dirinya.Vano menunggu d
Anton menghela napasnya kasar, ia menoleh pada Raven.”Bawakan berkas di laci mejaku.”Leo menatapnya tak percaya, ia menyentuh bahu Anton."Kau yakin?" tanya Leo."Aku harus menyelamatkan mereka," jawab Anton. Ia lalu kembali menatap Raven, pria itu lalu masuk ke dalam rumah tanpa berkata apa-apa. Detik-detik berlalu terasa begitu lambat. Jantung Anton berdegup keras, seakan menghantam dadanya dari dalam. Ia mengepalkan tangannya erat, menahan emosi yang berkecamuk hebat.Dodi tertawa puas. Akhirnya setelah sekian lama, berkas itu akan menjadi miliknya, dan Anton akan jatuh sejatuh-jatuhnya. Mata Dodi bersinar-sinar, bibirnya terus menyunggingkan senyum kemenangan. Tak lama, Raven muncul dari dalam rumah, membawa sebuah berkas di tangannya, lalu menyerahkannya pada Anton.Anton menatap berkas itu sejenak, hanya karena tumpukan kertas ini ia harus mengorbankan orang-orang yang disayanginya. Luka di hatinya yang lama pun kembali menganga. Ia tak mau kehilangan lagi, cukup istri dan ana
Suara kaca pecah dari arah dalam rumah terdengar jelas di tengah dialog menegangkan. Vano dan Kaisar saling berpandangan cepat, insting mereka menyatu dalam keputusan yang tak perlu diucapkan. Tanpa menunggu aba-aba, keduanya langsung berlari masuk ke dalam rumah melalui pintu utama.“Dari atas!” seru Vano sambil menunjuk ke arah tangga.Kaisar mengangguk dan berlari lebih cepat. Di tangga menuju lantai dua, lima orang terlihat menyusup dengan senjata di tangan. Salah satu dari mereka menoleh dan berteriak, “Mereka di dalam!”“Mereka ke kamar Kara!” teriak Vano.Kaisar mengangguk dan menerobos ke atas tangga. Empat dari lima orang itu kini berdiri di depan kamar Kara, menghalangi jalan mereka. Mereka tidak menembak, tapi malah menyerang secara fisik.Salah satu pria mengayunkan besi panjang ke arah Kaisar. Dengan refleks terlatih, Kaisar menghindar dan membalas dengan tendangan ke arah dada penyerangnya, membuat pria itu terdorong mundur. Sementara Vano sudah beradu pukul dengan dua p