Kara berjalan memasuki rumah sambil tersenyum bahagia. Kegembiraan meliputi seluruh isi hatinya. Ia tak bisa menahan garis senyum untuk tidak terukir di wajahnya. Jiwanya terbang tinggi seolah diberi kekuatan oleh seluruh cinta yang ada di dunia. Gadis bersurai hitam panjang itu bersenandung kecil seraya menari-nari tipis. Kegembiraan seolah meluap dari dalam dirinya. Bi Ina tengah berada di dapur saat ia melihat Kara yang nampak sangat bahagia. Segera ia menghampiri gadis itu. "Hayoo, kenapa senyum-senyum?" goda Bi Ina. Melihat Kara yang tersenyum bahagia membuat Bi Ina juga ikut tersenyum, seolah kebahagiaan itu menular. Gadis itu tersenyum malu-malu tatkala ada seseorang yang memergoki dirinya tengah merasa sangat bahagia. "Kara lagi seneng banget!" Saking senangnya, gadis itu sampai melompat-lompat kecil layaknya anak sekolah dasar. "Kenapa? Coba cerita sini," ucap Bi Ina. Selain menjadi wanita paling dewasa di rumah ini, Bi Ina juga seorang pendengar yang baik. Wanita itu s
Anton duduk tegak di kursinya yang kokoh, memandang keluar jendela kaca besar yang menghadap ke luar kantor. Ruangannya terasa tenang, namun atmosfernya tegang. Dia adalah pemimpin perusahaan yang dihormati, yang memiliki reputasi ketegasan dan keberanian dalam mengambil keputusan sulit. Hari ini, atmosfer itu dipenuhi dengan ketegangan karena dia harus menghadapi situasi yang sebenarnya tidak diinginkannya.Pintu ruangan itu terbuka, dan seorang karyawan wanita masuk dengan langkah ragu. Wajahnya terlihat sedikit pucat, dan matanya memancarkan sedikit rasa ragu. Dia berdiri di depan meja Anton, menunduk dalam sikap permintaan maaf yang tulus."Kamu tahu mengapa kamu dipanggil ke sini?" Anton mulai bicara dengan suara yang tenang namun tegas.Grita mengangguk perlahan. "Maafkan saya, Pak. Saya tahu saya salah."Anton menatapnya dengan tatapan tajam, mencoba menembus kedalaman pikiran Grita. "Kamu tahu bahwa menatap saya tanpa izin adalah pelanggaran serius di perusahaan kita. Dan yang
Tiga lelaki terlihat sedang berunding di dalam pos satpam. Para lelaki beda usia itu mengelilingi sebuah kotak hitam berukuran sedang. Tak ada satupun diantara mereka yang membuka atau bahkan menyentuh benda kotak tersebut. Dua dari tiga lelaki tersebut tengah terlibat dalam sebuah adu mulut yang memanas. Perselisihan yang dimulai dari sebuah kotak hitam yang menjadi pusat perhatian. Kaisar bersikeras ingin menyerahkan kotak hitam itu kepada Anton, sedangkan Vano justru berkeinginan untuk membukanya. Adu mulut itu terjadi karena Kaisar menolak ucapan Vano, karena khawatir isi dari kotak tersebut adalah barang berbahaya. Vano dengan rasa penasarannya merasa bahwa sangat penting untuk membuka kotak tersebut. Baginya, mungkin saja isi dari kotak tersebut adalah barang berharga atau bahkan misteri yang menarik. Namun Kaisar dengan tegas mengatakan bahwa membuka kotak itu bisa berakibat fatal, dan lagipula Anton sudah berpesan kepadanya semenjak kejadian pertama kali ada kotak di rumah i
Anton memang sudah terbiasa pulang malam, tapi entah kenapa hari ini rasanya sangat melelahkan. Tawaran rekan kerjanya untuk ngopi bersama pun ia tolak. Karena ia ingin secepatnya mengistirahatkan tubuhnya. Untung saja Anton masih bisa mengendarai mobilnya. Jalanan malam ini tidak ramai jadi Anton tidak terjebak macet. Satpam perumahaan menyapa Anton dan hanya dibalas dengan klakson, karna Anton benar-benar malas untuk berbicara, energinya sudah habis seharian. Komplek perumahan sudah terlihat sepi, hanya terlihat dua orang lelaki yang berjalan sambil membawa kantong plastik di tangannya. Rumah Anton ada diujung, di sekelilingnya terdapat pohon-pohon besar yang menutupi area rumah. Kalau ada orang baru yang masuk diperumahan ini tak akan tahu jika ada rumah mewah diujung jalan. Letaknya memang lebih terpencil dibanding rumah yang lain. Anton memang sengaja memilih rumah ini karena ia tidak ingin keluarganya terekspos. Bisa dibilang keluarga Anton sangat tertutup dan tidak mau berbau
"Kalian ngapain?"Suara Kara membuat Kaisar dan Vano langsung salah tingkah. Kotak hitam ditangan Vano langsung ia sembunyikan dibelakang tubuhnya. Kaisar dan Vano tampak seperti maling yang tertangkap basah padahal mereka sedang tidak melakukan tindak kejahatan. Mereka mau masuk ke dalam rumah tapi mereka malah berdebat di depan pintu. Kara yang melihat dari balkon kamarnya langsung turun ke bawah. "Ah, itu-""Gapapa. Nona kenapa belum tidur?" potong Kaisar. Vano menoleh ke Kaisar lalu memalingkan wajahnya. Dia pintar juga mengalihkan topik."Belum ngantuk, kalian juga ngapain ribut-ribut depan pintu? Aku lihat dari atas balkon," ucap Kara. "Kami mau menemui tu-""Tukang kebun," potong Kaisar. Vano memandang sinis lelaki disampingnya yang sedaritadi memotong ucapannya. Namun Kaisar bertingkah biasa saja seolah tak ada rasa bersalah. Kara kebingungan. "Nyari pak Rinto?"Kaisar mengangguk. Kara menunjuk gudang yang pintunya terbuka. "Beliau ada digudang,"Kaisar salah tingkah, ia
Heru langsung duduk disofa setelah pulang bekerja. Jas dan dasinya terlempar ke lantai sementara dua kancing kemeja teratasnya dibiarkan terbuka lebar. Heru memejamkan mata saking lelahnya. Seorang wanita yang mengenakan daster merah selutut mendatangi Heru. Tanpa berkata apapun ia langsung memungut jas dan dasi di lantai lalu memasukkannya ke dalam keranjang pakaian kotor. Setelah itu wanita bersurai hitam panjang tersebut pergi ke dapur lalu kembali membawa secangkir teh hangat. Ia meletakkan cangkir itu di meja lalu menoleh ke Heru dan menghela nafas. Lelaki itu merentangkan kedua tangannya pada masing-masing sisi sofa sementara kakinya naik ke atas meja di depannya karena memang meja itu pendek. Entah Heru tertidur atau hanya memejamkan matanya karena saking kecapekan. Wanita itu menyentuh lengan Heru pelan."Teh nya diminum dulu habis itu mandi, udah aku siapin air hangatnya," ucap wanita itu. Heru mengangguk pelan tanpa membuka matanya. Ia tahu siapa yang berada disampingnya,
Pagi-pagi sekali Anton mendapat panggilan telepon dari Wildan, salah satu manager diperusahaannya. Dengan nada kesal Wildan meminta Anton untuk segera datang ke kantor karena ada beberapa masalah yang harus ia tangani. Dan pagi itu juga sekitar pukul setengah 6 pagi, Anton sudah berangkat menuju kantor. Ia tidak tahu masalah sebesar apa sampai Wildan memintanya untuk segera datang ke kantor. Jalanan masih lengang pagi itu, jadi Anton sampai ke kantor dengan cepat. Begitu turun dari mobil Anton langsung disambut dengan Wildan yang berdiri di pintu utama tengah berkacak pinggang. "Kau lupa dengan kegiatan hari ini?" tanya Wildan. "Apa?" balas Anton. Wildan menghela nafas kasar, ia sudah menduga itu. Ia mengikuti Anton yang sudah berjalan lebih dulu masuk ke dalam. "Kau tak ingat yang kukatakan kemarin?" tanya Wildan. Anton menjawab dengan mengendikkan bahunya. "Dasar pikun," lirih Wildan.Entah Anton mendengar atau tidak perkataan Wildan, tapi raut wajahnya terlihat datar seperti
"Kamu mau menjadi sekertarisnya Anton?"Grita terdiam, ia sangat terkejut. Namun dalam hati Grita juga merasa senang karena ia tak perlu lagi memikirkan cara untuk menjadi sekertaris Anton karena malah ada menawarkan langsung kepadanya. Ini kesempatan emas dan Grita tak akan membuangnya. Tapi Grita penasaran kenapa dari sekian banyak pekerja yang ada malah ia yang diminta untuk menjadi sekertaris Anton. "Tapi kenapa saya, Pak?" tanya Grita penasaran. "Seperti yang sudah saya jelaskan tadi, kamu orang yang disiplin dan pekerja keras."Grita tidak menjawab. "Saya tidak akan memaksa, tapi saya harap kamu memberikan jawaban saat ini juga karna saya tidak bisa menunggu," ucap Wildan. Grita sudah menentukan jawabannya. "Baik, saya mau."Wildan tersenyum simpul lalu mengambil ponselnya dan mengetikkan sesuatu lalu mengirimnya pada seseorang. Grita tentu saja tidak akan menolak tawaran emas ini. Ini adalah yang Grita inginkan, semuanya terasa mudah.Langkah awalnya sudah dimulai, saatny
"Iya, dia kekasihku."Baik Kara maupun Pak Adi sama-sama terdiam, sedang mencerna ucapan Kaisar. Kara mengepalkan tangannya di sisi tubuhnya, menatap pria dihadapannya lalu tersenyum sinis. Pak Adi melirik Kaisar dengan tatapan tajam, seolah menuntut penjelasan lebih lanjut. "Pantas saja. Kalian bekerja sama untuk menghancurkan keluarga ku?" sinis Kara.Kaisar menggelengkan kepalanya, "Tidak, sama sekali tidak."Pak Adi melirik Kaisar dengan tatapan tajam, seolah menuntut penjelasan lebih lanjut. Tapi lelaki itu masih terdiam seolah enggan untuk berucap atau menjelaskan barang sepatah kata pun."Kau ingin aku percaya? Setelah semua ini?" Kara tertawa kecil, penuh sindiran. "Kekasihmu itu wanita yang mendekati ayahku dan tiba-tiba saja muncul di sekelilingku? Jangan bilang ini semua kebetulan."Kaisar tetap berdiri tegak, meski sorot matanya menunjukkan kegelisahan, mereka sedang mencurigainya saat ini. "Aku tahu ini sulit dipercaya, tapi aku tidak pernah berkhianat padamu atau keluar
Grita telah benar-benar menghilang dari pandangan Kara. Gadis itu menghela napas kasar, emosinya masih menggebu-gebu. Dua pria yang berdiri di belakangnya tetap terdiam, seakan menimbang kata-kata mereka dengan hati-hati setelah menyaksikan perubahan sikap Kara yang begitu drastis barusan."Siapa yang membiarkan wanita itu masuk?" tanya Kara dengan nada dingin, tatapannya tetap lurus ke depan, tidak sekalipun melirik ke belakang.Pak Adi dan Kaisar saling berpandangan, seolah melempar tanggung jawab satu sama lain. Pak Adi menatap Kaisar dengan isyarat halus, mendorongnya untuk berbicara sebelum amarah Kara semakin memuncak.Namun, Kaisar tetap diam.Pak Adi menghela napas berat. Ia bisa merasakan ketegangan yang semakin menggantung di udara."Maaf, Non. Ini salah Pak Ad—""Saya."Sebuah suara tiba-tiba memotong, membuat Pak Adi terhenti di tengah kalimatnya."Saya yang mengizinkan dia masuk."Kara berbalik cepat, langkahnya mantap saat ia mendekat ke Kaisar. Sorot matanya tajam, penu
Sean kembali mengetukkan jemarinya ke kemudi, kali ini lebih keras dari sebelumnya. Ia mencoba sekali lagi, menekan tombol di alat komunikasinya, berharap ada suara yang menyambutnya di sisi lain. Tapi tetap saja, hanya ada kesunyian yang mengganggu.Ia menghela napas, menatap rumah besar itu dengan mata tajam. Tidak ada tanda-tanda Grita keluar, dan itu membuatnya semakin tidak tenang. Seharusnya, ia bisa mendengar setidaknya suara langkah kaki atau suara samar dari dalam rumah. Tapi sekarang? Tidak ada apa-apa."Brengsek," gumamnya.Sean mengamati alat komunikasinya dengan saksama. Tidak ada indikasi bahwa alat itu mati total, tapi juga tidak menangkap sinyal apa pun. Seakan ada sesuatu yang menghalangi transmisi antara dirinya dan Grita.Matanya beralih ke atas rumah. Mungkinkah ada sistem penghalang sinyal di tempat ini? Anton bukan orang sembarangan, dan jika rumah ini memang memiliki perlindungan khusus, tidak aneh jika alat komunikasi biasa seperti miliknya menjadi tidak bergun
Sean mengetuk-ngetukkan jarinya ke kemudi, matanya tak lepas dari sosok Grita yang masih berdiri di depan pintu rumah besar itu. Sudah hampir sepuluh menit sejak ia masuk, dan bukannya segera melanjutkan rencana mereka, perempuan itu justru larut dalam percakapan dengan seorang pria bernama Kaisar, kalau dia tidak salah ingat.“Harusnya dia sudah bergerak ke dalam,” gumam Sean pelan.Dari balik kaca mobil yang sedikit tertutup embun, ia tida bisa melihat ekspresi Grita karena ia membelakangi nya dan jarak terlalu jauh. Sementara Kaisar, pria itu berdiri dengan sikap yang lebih kaku, tapi tatapannya seakan berusaha membaca sesuatu dari mata Grita.Sean mengerutkan kening. Apa mereka memiliki hubungan? Dia tahu Grita tidak punya riwayat di tempat ini, tapi ia juga tidak menduga ada orang yang bisa membuatnya bertahan selama itu hanya untuk berbicara. Apa dia sedang merayu Kaisar agar lebih mudah mendapatkan informasi? Atau ini sesuatu yang lebih pribadi?Sean mengernyit heran kenapa ala
Suasana pagi masih sepi ketika Grita dan Sean melaju dengan mobil hitam tanpa plat menuju rumah Anton. Jalanan yang mereka lalui masih basah akibat hujan semalam, menciptakan pantulan samar dari lampu jalan yang belum sepenuhnya padam. Embun masih menyelimuti dedaunan di pinggir trotoar, dan hanya sesekali ada kendaraan lain yang melintas.Di dalam mobil, Sean duduk di kursi kemudi dengan santai, tapi matanya penuh waspada. Tangannya yang bersarung kulit menggenggam setir dengan ringan, namun sorot matanya memperhatikan setiap detail di sekitar mereka. Grita duduk di sebelahnya, mengenakan pakaian sederhana yang membuatnya tampak seperti warga biasa yang hendak berkunjung ke suatu tempat. Namun, di balik penampilannya yang biasa itu, ada ketegangan yang hanya bisa dirasakan oleh orang-orang yang tahu tujuan sebenarnya.Grita menyandarkan punggungnya ke kursi, menutup matanya sejenak. "Lo yakin ini bakal berhasil?""Gue ga pernah ragu. Gue tau ini pertama kali lo lakuin hal begini, waj
Dari jendela gedung tua yang hampir seluruh kacanya buram oleh debu, Grita bisa melihat lampu-lampu kota menyala redup, menandakan hari sudah semakin larut. Dia duduk di kursi kayu yang sudah usang, salah satu kakinya terangkat ke atas sandaran kursi, sementara sebelah tangannya bermain-main dengan korek api. Api kecil menyala dan padam berulang kali di antara jarinya, menciptakan cahaya yang sesekali menyorot wajahnya.Di depannya, pria yang menjadi partnernya duduk bersandar di kursinya, tangannya menyilang di dada. Dodi keluar dari ruangan dan membiarkan mereka berdua menyusun rencana. Tatapan partner Grita tak lepas dari beberapa lembar kertas yang tersebar di meja, rumah Anton, foto beberapa sudut penting, dan catatan kecil yang ditulis dengan tergesa-gesa.“Jadi, lo mau masuk lewat mana?” tanyanya akhirnya, tanpa mengalihkan pandangan dari peta.Grita menghentikan permainan koreknya, menutupnya dengan bunyi kecil yang nyaring di ruangan sunyi itu. “Gue masuk lewat gerbang depan.
Pagi itu matahari nampaknya akan bersinar cerah, tapi kantor terasa lebih sunyi dari biasanya. Bukan karena jumlah pegawai berkurang, tapi karena satu orang yang seharusnya duduk di ruangan utama tidak kunjung muncul, Anton.Grita sudah sampai di kantor sejak pukul 07:30, berharap menemukan Anton sudah ada di ruangannya seperti biasa. Namun, meja kerjanya kosong. Ia menunggu hingga pukul 08:00. Lalu 09:00. Hingga akhirnya, waktu menunjukkan pukul 11:00.Tidak ada tanda-tanda Anton akan masuk. Tidak ada panggilan darinya. Tidak ada pesan.Ponselnya mati.Grita sebagai sekretaris pribadinya tidak tahu di mana keberadaan bos mereka.Saat jam makan siang, Grita memilih menuju cafe depan kantor sendirian menikmati segelas kopi dingin. Ia membuka ponselnya dan mengirimkan pesan kepada seseorang.Tak lama kemudian balasan muncul.'Apa yang terjadi?'Balasan pesan dari Dodi. Grita memilih menceritakan semua yang terjadi pada Anton beberapa hari ini, tentang sifatnya yang sedikit berubah hingg
Mobil hitam itu melaju kencang, meninggalkan perumahan mewah di kejauhan. Lampu-lampu kota berkelebat melewati jendela, menciptakan bayangan samar di wajah penyusup yang masih berusaha menormalkan napasnya. Sementara itu, pengemudi tetap fokus di jalan, tak mengucapkan sepatah kata pun.Tak butuh waktu lama sebelum mereka tiba di sebuah bangunan tua di pinggiran kota. Dari luar, tempat itu tampak seperti gudang terbengkalai, tetapi di dalamnya ada aktivitas yang jauh dari kata kosong. Beberapa orang berseliweran di antara tumpukan peti kayu dan meja-meja serta senjata di atasnya.Begitu mereka masuk, suasana langsung berubah. Semua mata tertuju pada si pengirim kotak yang baru saja kembali."Bos sudah menunggu," ucap seseorang, menepuk bahunya.Tanpa bicara, pria ini berjalan melewati lorong sempit, menuju sebuah ruangan dengan lampu redup. Di dalam, duduk seorang pria paruh baya dengan jas hitam, Dodi. Tatapannya tajam, dan ada secangkir kopi yang masih mengepul di mejanya. Disini Do
Malam telah larut. Langit gelap pekat tanpa bintang, hanya diterangi rembulan yang menggantung samar di kejauhan. Udara dingin menyelinap di antara celah-celah bangunan, membawa kesunyian yang sesekali dipecah oleh suara hembusan angin malam. Kota nyaris tertidur, hanya menyisakan beberapa lampu jalan yang berpendar redup, menciptakan bayangan panjang di trotoar yang sepi.Di salah satu sudut kota, tepatnya kompleks perumahan mewah berdiri dengan megah, dikelilingi tembok tinggi yang seolah menjadi batas antara dunia luar dan rahasia yang tersembunyi di dalamnya. Tidak ada suara selain gemerisik dedaunan yang terbawa angin, hingga langkah kaki yang berlari cepat memecah keheningan.Sosok itu berlari secepat mungkin, napasnya memburu di udara malam yang dingin. Langkahnya ringan tapi tergesa, menyeberangi jalann gelap sebelum tiba di tembok tinggi yang membatasi perumahan itu dengan dunia luar.Tanpa ragu, ia meraih tonjolan kecil di tembok dan mulai memanjat. Jari-jarinya bergerak cek