Pagi hari menyapa seorang gadis yang masih terlelap. Waktu sudah hampir beranjak siang, namun gadis itu masih enggan membuka matanya.
Elia baru menyelami mimpi selama tiga jam.
Semalam ia menyusun dan mengoreksi kembali skripsi yang akan ia serahkan pada dosen pembimbing nanti. Pada pukul tiga, Elia baru bisa menutup laptop beserta matanya dan beristirahat. Tapi, hal seperti itu sudah biasa baginya.
Rasa malas menjalar pada setiap sendinya. Tapi, mau tak mau Elia tetap bangun dan memulai harinya. Ia beranjak dari tempat tidur untuk membersihkan diri. Selesai dengan urusan berdandan Elia turun untuk sarapan.
Sunyi. Rumah besar yang ia huni tak menampakkan keramaian sama sekali. Jika dipagi hari beberapa orang wanita sibuk mengurus anak dan suaminya, jangan harap dapat melihat hal seperti itu di rumah Elia.
Elia melihat meja makan kosong. Bukan tidak ada makanan. Tapi, tidak ada yang menduduki kursi kosong di sana. Elia menatap seorang asisten rumah tangga yang berdiri tak jauh dari meja makan tersebut.
"Apa kakek sudah berangkat?" tanya Elia pada gadis itu.
"Sudah, Nona," jawabnya dengan kepala tertunduk.
Elia duduk dan kembali bertanya, "Apa dia meninggalkan pesan?"
Pelayan itu membantu Elia membalik piring. "Tuan hanya berpesan Anda harus sarapan dengan benar, Nona."
"Baiklah, kau boleh pergi."
Pelayan itu menunduk, kemudian melangkah pergi seperti perintah nona mudanya.
Seperti itulah pagi Elia. Tidak ada sambutan hangat, tidak ada sarapan bersama. Hanya ada piring dan kursi dingin yang menemaninya. Seakan memberikan energi dingin untuk gadis itu.
***
Elia memarkirkan mobilnya di parkiran kampus. Ia bergegas mencari dosen pembimbingnya. Meskipun ia sudah memiliki janji dengan dosen tersebut. Elia tetap berusaha menjaga kesopanan dengan tidak datang terlambat.
"Permisi, Pak!" Elia membuka pintu ruangan dosen tersebut setelah mengetuknya.
Senyum dosen itu mengembang. "Kamu sudah datang, El?"
Elia mengangguk. Kemudian duduk di depan Mr. Sanjaya setelah dipersilahkan. Tanpa berbasa-basi lagi, Elia menyerahkan beberapa lembar kertas hasil susunannya senalam dan mereka membahas beberapa hal mengenai skripsi Elia.
Satu jam berlalu. Mereka baru saja menyelesaikan diskusinya. Sebagai gadis cerdas, banyak hal yang El tanyakan pada dosennya itu. Dan dengan senang hati dosen itu menjawab segala pertanyaan Elia sebisanya tanpa menimbulkan perdebatan.
"Kau itu sama seperti ayahmu. Dia dulu juga sangat kritis sepertimu. Kau benar-benar fotokopian ayahmu, El."
Elia menatap Mr. Sanjaya datar. Suasana hatinya berubah seketika.
"Aku harap ayahmu segera... "
"Aku harus segera kembali, Pak." Elia memotong pembicaraan dosennya dengan paksa. Ia paling benci membicarakan ayahnya dengan orang lain. "Terima kasih untuk ilmu yang anda berikan hari ini. Saya permisi!" Tanpa menghilangkan rasa hormat Elia meninggalkan Mr. Sanjaya yang masih diam terpaku.
Ada perasaan bersalah yang menjalar pada diri dosen itu. Ia salah bicara. Ia lupa tidak boleh membicarakan tentang orang tua Elia, meskipun ayah Elia adalah sahabat dekatnya.
***
"Bagaimana keadaanmu?" tanya Elia setelah duduk di dekat ranjang Rafa.
"Lebih baik dari kemarin." Pria itu tersenyum menatap sahabat kecilnya. "Kau sudah menemui Mr. Sanjaya?" tanyanya kemudian.
"Tentu. Aku tidak ada kelas hari ini. Jadi aku putuskan untuk mengunjungimu saja." Mata Elia menatap sekeliling. "Di mana gadis itu?"
"Dia sedang pergi. Mengurus pendaftaran di universitas," jawab Rafa sembari memasukkan sepotong apel ke dalam mulutnya.
"Aku pikir usianya tidak jauh dari kita."
"Dia masih semester dua. Mahasiswa transfer dari kota XX." Elia mengernyitkan keningnya.
"Aku dengar, ayahnya baru saja meninggal. Jadi, dia pulang untuk menemani ibunya, karena kakaknya berada di luar negeri dan tidak mungkin untuk pulang ke sini."
Kening Elia semakin berlipat. Sudut bibirnya sedikit terangkat. "Kau masih satu hari bersamanya, tapi kau sudah tahu banyak hal ternyata." Elia mencondongkan tubuhnya untuk lebih dekat dengan Rafa. "Apa terjadi sesuatu dengan kalian semalam?"
Rafa mendorong kening Elia. "Apa maksudmu Nona Kamelia? Aku bahkan berbicara dengannya hanya saat aku membutuhkan sesuatu."
Elia masih menggoda Rafa dengan menyudutkan pria itu. "Bulshit!"
Rafa berdecak. "Aku tidak sengaja mendengar pembicaraannya dengan dokter yang menanganiku," jelas Rafa dengan malas.
Elia hanya terkekeh melihat raut kesal Rafa. "Apa dia baik padamu?" tanya Elia kemudian.
Mengangguk sekilas. "Sejauh ini kami tidak saling mengobrol. Hanya saja dia selalu melakukan apapun yang aku suruh, termasuk menyuapi ku. Jadi katakan saja dia baik padaku."
"Ah, aku takut lama-lama kau jatuh cinta padanya," cibir Elia.
Seutas senyum kecil tertepis di wajah Rafa. "Kenapa jika aku jatuh cinta padanya? kau cemburu?" Pria itu menaikkan kedua alisnya.
Tawa Elia meledak mendengarkan apa yang baru saja Rafa katakan. "Omong kosong apa itu, Raf? aku? cemburu?" Elia mengibas-ibakan tangannya dan menutupi mulutnya. Tidak ada tanggapan apapun dari Rafa, menghentikan tawa Elia seketika. Ia berdehem.
"Ehm... ehm... "
"Tentu saja tidak Rafael." Gadis itu mengulum bibirnya, berusaha untuk tidak menyemburkan tawanya lagi. "Sejak kapan aku memiliki kata cemburu dalam kamus hidupku?," gumamnya lirih.
"Aku hanya tidak ingin kau berubah karena masalah cinta. Cinta itu membuat hidupmu rumit dan bodoh, Raf." Elia menggelengkan kepalanya. "Sudahlah, kita bahas hal lain saja."
Setelah itu hening, tidak ada percakapan lagi antara mereka berdua. Hanya suara detik jam saja yang terdengar. Mereka larut dalam dunia masing-masing.
***
"Jen, Jen, Jen... " Hayden menepuk-nepuk bahu Jeni berkali-kali saat mereka berjalan menuju tempat parkir.
"Kau ini kenapa Hayden?" Jen berbalik dengan kesal. Rasa kesalnya bertambah saat Hayden sama sekali tak berucap dan malah menatap arah lain. Gadis itu mendengus kasar. Kemudian meninggalkan Hayden sendiri.
"Hei, Jen. Kenapa kau meninggalkanku." Teriak Hayden sambil melangkah cepat mengejar Jeni.
"Aku ingin cepat pulang Hayden." Sungut Jeni, ia semakin kesal karena Hayden kembali menariknya menjauhi area parkir rumah sakit.
"Hayden," Jeni menarik-narik pergelangan tangannya agar terlepas dari pria itu.
"Ikut aku sebentar saja," ucap Hayden tanpa menghentikan langkahnya.
"Katakan dulu ke mana kau akan membawaku." Jeni mengerutkan keningnya. Ia tidak tahu kenapa Hayden membawanya kembali ke lobi rumah sakit.
Hayden tak menjawab pertanyaan sahabatnya. Lambat laun ayunan kakinya melambat, dan berhenti saat mereka sampai di depan sebuah ruangan VIP.
Hayden melongok, menatap ke dalam ruangan tersebut melalui kaca pintu yang begitu kecil.
Jeni merasa aneh dengan apa yang Hayden lakukan. Apalagi saat bibir pria itu tiba-tiba tersenyum. Jen agak terkejut saat Hayden tiba-tiba membalikkan dirinya, membuatnya reflek melangkah mundur.
Senyum Hayden benar-benar aneh, menurut Jeni. Gadis itu hanya menggelengkan kepala. Kemudian mengikuti langkah kaki Hayden kembali.
"Hei, kenapa kau tersenyum seperti itu? dan untuk apa kau mengintip ruangan VIP itu?" tanya Jeni untuk mengurangi rasa penasarannya.
"Aku tadi melihat gadis itu lagi, Jen. Maka dari itu aku mengikutinya. Dan sekarang aku tahu ruangan mana yang digunakan gadis itu," jelas Hayden dengan senyum secerah matahari.
Gadis?
Ah iya, Jen baru ingat. Kemarin Hayden bercerita mengenai gadis yang telah menyelamatkannya beberapa tahun yang lalu. Jadi ternyata benar gadis itu ada di rumah sakit ini.
"Apa gadis itu dirawat?"
"Tidak, Jen-ku sayang. Dia menunggu seseorang. Mungkin temannya. Ah aku harap begitu. Semoga pria yang dia tunggu bukan kekasihnya,"
"Kenapa memangnya jika pria itu kekasihnya?" tanya Jen dengan kening berlipat.
Hayden menatap Jen datar. "Itu artinya aku akan patah hati, Jen."
Jen terkesiap dengan jawaban Hayden. Wajahnya berubah seketika.
"Kau menyukainya, Hayden?"
"Kau menyukainya Hayden?" Pertanyaan itu lolos seketika dari bibir Jen.Hayden berdecak. "Tentu saja, Jen. Dia gadis yang cantik. Siapa yang tidak menyukainya?" jawab Hayden jengah.Mendengar jawaban Hayden membuat Jen kecewa. Bagaimana bisa gadis yang hanya ditemui Hayden satu kali membuat sahabatnya segila itu."Ya, semoga saja gadis itu belum menikah," ucap Jen kemudian berlalu meninggalkan Hayden.Hayden menggaruk kepalanya yang tak gatal. Apa ia salah ucap? Kenapa Jen jadi seperti itu?, atau dia sedang ada masalah?. Tanpa berpikir lebih panjang lagi, Hayden mengejar langkah kaki Jen yang sudah tak terlihat.***Sebuah mobil berwarna hitam memasuki halaman rumah. Pengemudi itu tampak mengernyitkan kening, melihat ada mobil lain yang tak ia kenali berada di halaman rumahnya. Untuk memecahkan rasa penasaran, ia turun dari mobil dan b
"Tidak, Kek. Sampai kapanpun aku tidak akan setuju dengan rencana kakek!"Penolakan yang kesekian kalinya telah Hayden lontarkan pada kakeknya. Ia lantas beranjak dari duduknya, meninggalkan seluruh keluarganya yang masih setia duduk di tempat mereka. Pria itu menggerutu sembari menaiki tangga menuju kamarnya. Tapi, ketika berada pada tangga ke-lima ia berbalik dan kembali untuk turun."Bagaimana kau berubah pikiran?" tanya Gustaf melihat cucunya kembali."Tidak akan pernah. Aku hanya ingin mengambil ponselku saja." Ia mengambil ponselnya yang tergeletak di atas meja. Kemudian kembali berjalan menuju kamarnya."Bagaimana ini, Ayah? anak nakal itu tetap menolak. Apa yang harus kita katakan pada paman Abraham?" Ayah Hayden–Jordan, tampak sangat khawatir. Keluarga mereka memiliki hutang budi kepada Abraham, sahabat Gustaf. Sangat memalukan jika mereka menolak permin
"Hayden, apa kamu bisa mengantarkan El pulang? Ada beberapa hal yang harus aku urus malam ini."Hayden tersenyum senang. Matanya melirik gadis cantik yang baru ia tahu namanya. Kepalanya mengangguk lembut, meskipun dalam hatinya ia bersorak gembira. "Tentu saja, Kek. Dengan senang hati aku akan mengantar cucu cantik Anda dengan selamat."Abraham tertawa, disusul yang lain. "Kamu memang perayu seperti kakekmu," ucap Abraham. Ia sama sekali tak menghiraukan tatapan datar cucunya. Yang ia inginkan sekarang, cucunya dekat dengan dokter muda itu."Kek, aku bisa pulang sendiri," bisik Elia pada kakeknya. Abraham hanya melirik saja."Kamu ingin pulang sekarang, El? Baiklah, tidak masalah." Menatap Hayden, kemudian berucap, "Hayden, antarkan cucuku pulang, dan tolong jaga dia."Elia melebarkan matanya tak percaya. Ia sangat yakin pendengaran kakeknya masih berfungsi den
"Bu ... Ibu di mana?" Seorang gadis kecil berlari memasuki rumahnya. Mengelilingi setiap sudut ruangan. Ia baru saja pulang dari sekolah, dan ia harus menemui ibunya untuk meminta tanda tangan.Gadis itu tak menemukan ibunya di lantai bawah. Dengan tergesa, ia naik ke lantai dua. Tanpa mengetuk pintu gadis kecil itu membuka kamar ibunya. Alangkah terkejutnya gadis itu melihat ibunya telanjang dengan pamannya.Tak bisa berkutik. Gadis kecil itu hanya menegerjapkan matanya. Ia sama sekali tak mengerti apa yang tengah dua orang itu lakukan tanpa busana."Bu," panggil bocah itu lirih.Ibunya terkesiap. Menatap putrinya berada di depan pintu membuat darahnya mendidih. Buru-buru ia mendorong seseorang yang tengah berada di atasnya. Ia mengenakan jubah mandi dengan tergesa-gesa. Kemudian menghampiri putrinya."Kemari kau." Tangannya menyeret tangan kecil pu
Seorang gadis tengah berjalan cepat menyusuri koridor rumah sakit. Lirih, terdengar umpatan keluar dari bibir gadis itu.Sudah sepuluh menit ia berjalan, namun tak menemukan letak ruangan yang ia cari. Langkah kakinya bergerak pelan saat matanya menemukan ruangan yang sedari tadi membuatnya pusing.Gadis itu mendorong pintu agar terbuka. Dan mata hazelnya menemukan seseorang tengah terbaring pada salah satu ranjang yang ada di sana. Gadis itu berdecak kesal. Kenapa harus ruangan yang berisi lebih dari tiga orang. Dan lagi, ruangan itu saat ini lumayan ramai, karena ada satu pasien yang tengah dibesuk oleh sanak saudaranya."Bagaimana bisa kau masuk ke tempat seperti ini." Gadis itu mendengus sembari menarik satu kursi dan mendudukinya."Kenapa kau kemari, El?" Bukannya menjawab, pasien itu malah melemparkan pertanyaan yang membuat gadis itu semakin kesal."Aku akan meminta
"Apa teman anda tidak bisa dipindahkan saja ke ruangan yang tadi?" Gadis itu mencoba untuk menegosiasi. Tapi ia harus menelan rasa kecewa saat Elia menggelengkan kepalanya."Nona, aku sadar aku sangat salah dan aku akan bertanggung jawab. Tapi jika kau menggunakan ruangan ini aku tidak bisa menjamin bisa membayarnya." Gadis itu memelas berharap hati Elia tergerak dan mau memindahkan ruangan pria itu."Begini saja ..." Elia meyilangkan kakinya. "Kau tidak perlu membayar biaya rumah sakit. Tapi, kau harus mau merawat temanku itu sampai dokter mengizinkannya pulang. Bagaimana?"Gadis itu menatap Elia dengan tatapan tak percaya. "Kau tidak bercanda, Nona?" tanyanya dengan wajah polosnya.Elia memiringkan kepalanya. "Apa wajahku terlihat seperti bercanda?" tanyanya dengan raut muka datar seperti biasa."Tidak, tapi...""Oh atau kau memilih untuk membayar biaya rum
Seluruh pegawai rumah sakit menyapa seorang dokter yang baru saja berjalan melewati mereka. Beberapa dari perawat wanita langsung membuat sebuah lingkaran untuk membicarakan dokter tersebut. Pujian demi pujian keluar dari bibir mereka tanpa henti seperti biasa. Mengagumi setiap apa yang ada pada tubuh dan hati pria itu.Dokter tersebut tersenyum miring melihatnya. Dengan sengaja ia mengedipkan sebelah mata pada sekumpulan para perawat wanita tadi dan membuat mereka heboh, la tersenyum geli melihatnya."Pagi dokter," sapa salah seorang resepsionis rumah sakit."Pagi," balasnya dengan satu senyuman yang begitu memabukkan."Hayden!" Suara seorang wanita yang begitu ia kenal menyuruh dirinya untuk berhenti dan berbalik menghadap wanita itu. la tersenyum mendapati sahabat wanitanya yang sudah beberapa hari ini tak terlihat."Hai, Jen!" Mereka berpelukan. "Kau sudah pulang rupanya," ka
"Bu ... Ibu di mana?" Seorang gadis kecil berlari memasuki rumahnya. Mengelilingi setiap sudut ruangan. Ia baru saja pulang dari sekolah, dan ia harus menemui ibunya untuk meminta tanda tangan.Gadis itu tak menemukan ibunya di lantai bawah. Dengan tergesa, ia naik ke lantai dua. Tanpa mengetuk pintu gadis kecil itu membuka kamar ibunya. Alangkah terkejutnya gadis itu melihat ibunya telanjang dengan pamannya.Tak bisa berkutik. Gadis kecil itu hanya menegerjapkan matanya. Ia sama sekali tak mengerti apa yang tengah dua orang itu lakukan tanpa busana."Bu," panggil bocah itu lirih.Ibunya terkesiap. Menatap putrinya berada di depan pintu membuat darahnya mendidih. Buru-buru ia mendorong seseorang yang tengah berada di atasnya. Ia mengenakan jubah mandi dengan tergesa-gesa. Kemudian menghampiri putrinya."Kemari kau." Tangannya menyeret tangan kecil pu
"Hayden, apa kamu bisa mengantarkan El pulang? Ada beberapa hal yang harus aku urus malam ini."Hayden tersenyum senang. Matanya melirik gadis cantik yang baru ia tahu namanya. Kepalanya mengangguk lembut, meskipun dalam hatinya ia bersorak gembira. "Tentu saja, Kek. Dengan senang hati aku akan mengantar cucu cantik Anda dengan selamat."Abraham tertawa, disusul yang lain. "Kamu memang perayu seperti kakekmu," ucap Abraham. Ia sama sekali tak menghiraukan tatapan datar cucunya. Yang ia inginkan sekarang, cucunya dekat dengan dokter muda itu."Kek, aku bisa pulang sendiri," bisik Elia pada kakeknya. Abraham hanya melirik saja."Kamu ingin pulang sekarang, El? Baiklah, tidak masalah." Menatap Hayden, kemudian berucap, "Hayden, antarkan cucuku pulang, dan tolong jaga dia."Elia melebarkan matanya tak percaya. Ia sangat yakin pendengaran kakeknya masih berfungsi den
"Tidak, Kek. Sampai kapanpun aku tidak akan setuju dengan rencana kakek!"Penolakan yang kesekian kalinya telah Hayden lontarkan pada kakeknya. Ia lantas beranjak dari duduknya, meninggalkan seluruh keluarganya yang masih setia duduk di tempat mereka. Pria itu menggerutu sembari menaiki tangga menuju kamarnya. Tapi, ketika berada pada tangga ke-lima ia berbalik dan kembali untuk turun."Bagaimana kau berubah pikiran?" tanya Gustaf melihat cucunya kembali."Tidak akan pernah. Aku hanya ingin mengambil ponselku saja." Ia mengambil ponselnya yang tergeletak di atas meja. Kemudian kembali berjalan menuju kamarnya."Bagaimana ini, Ayah? anak nakal itu tetap menolak. Apa yang harus kita katakan pada paman Abraham?" Ayah Hayden–Jordan, tampak sangat khawatir. Keluarga mereka memiliki hutang budi kepada Abraham, sahabat Gustaf. Sangat memalukan jika mereka menolak permin
"Kau menyukainya Hayden?" Pertanyaan itu lolos seketika dari bibir Jen.Hayden berdecak. "Tentu saja, Jen. Dia gadis yang cantik. Siapa yang tidak menyukainya?" jawab Hayden jengah.Mendengar jawaban Hayden membuat Jen kecewa. Bagaimana bisa gadis yang hanya ditemui Hayden satu kali membuat sahabatnya segila itu."Ya, semoga saja gadis itu belum menikah," ucap Jen kemudian berlalu meninggalkan Hayden.Hayden menggaruk kepalanya yang tak gatal. Apa ia salah ucap? Kenapa Jen jadi seperti itu?, atau dia sedang ada masalah?. Tanpa berpikir lebih panjang lagi, Hayden mengejar langkah kaki Jen yang sudah tak terlihat.***Sebuah mobil berwarna hitam memasuki halaman rumah. Pengemudi itu tampak mengernyitkan kening, melihat ada mobil lain yang tak ia kenali berada di halaman rumahnya. Untuk memecahkan rasa penasaran, ia turun dari mobil dan b
Pagi hari menyapa seorang gadis yang masih terlelap. Waktu sudah hampir beranjak siang, namun gadis itu masih enggan membuka matanya.Elia baru menyelami mimpi selama tiga jam.Semalam ia menyusun dan mengoreksi kembali skripsi yang akan ia serahkan pada dosen pembimbing nanti. Pada pukul tiga, Elia baru bisa menutup laptop beserta matanya dan beristirahat. Tapi, hal seperti itu sudah biasa baginya.Rasa malas menjalar pada setiap sendinya. Tapi, mau tak mau Elia tetap bangun dan memulai harinya. Ia beranjak dari tempat tidur untuk membersihkan diri. Selesai dengan urusan berdandan Elia turun untuk sarapan.Sunyi. Rumah besar yang ia huni tak menampakkan keramaian sama sekali. Jika dipagi hari beberapa orang wanita sibuk mengurus anak dan suaminya, jangan harap dapat melihat hal seperti itu di rumah Elia.Elia melihat meja makan kosong. Bukan tidak a
Seluruh pegawai rumah sakit menyapa seorang dokter yang baru saja berjalan melewati mereka. Beberapa dari perawat wanita langsung membuat sebuah lingkaran untuk membicarakan dokter tersebut. Pujian demi pujian keluar dari bibir mereka tanpa henti seperti biasa. Mengagumi setiap apa yang ada pada tubuh dan hati pria itu.Dokter tersebut tersenyum miring melihatnya. Dengan sengaja ia mengedipkan sebelah mata pada sekumpulan para perawat wanita tadi dan membuat mereka heboh, la tersenyum geli melihatnya."Pagi dokter," sapa salah seorang resepsionis rumah sakit."Pagi," balasnya dengan satu senyuman yang begitu memabukkan."Hayden!" Suara seorang wanita yang begitu ia kenal menyuruh dirinya untuk berhenti dan berbalik menghadap wanita itu. la tersenyum mendapati sahabat wanitanya yang sudah beberapa hari ini tak terlihat."Hai, Jen!" Mereka berpelukan. "Kau sudah pulang rupanya," ka
"Apa teman anda tidak bisa dipindahkan saja ke ruangan yang tadi?" Gadis itu mencoba untuk menegosiasi. Tapi ia harus menelan rasa kecewa saat Elia menggelengkan kepalanya."Nona, aku sadar aku sangat salah dan aku akan bertanggung jawab. Tapi jika kau menggunakan ruangan ini aku tidak bisa menjamin bisa membayarnya." Gadis itu memelas berharap hati Elia tergerak dan mau memindahkan ruangan pria itu."Begini saja ..." Elia meyilangkan kakinya. "Kau tidak perlu membayar biaya rumah sakit. Tapi, kau harus mau merawat temanku itu sampai dokter mengizinkannya pulang. Bagaimana?"Gadis itu menatap Elia dengan tatapan tak percaya. "Kau tidak bercanda, Nona?" tanyanya dengan wajah polosnya.Elia memiringkan kepalanya. "Apa wajahku terlihat seperti bercanda?" tanyanya dengan raut muka datar seperti biasa."Tidak, tapi...""Oh atau kau memilih untuk membayar biaya rum
Seorang gadis tengah berjalan cepat menyusuri koridor rumah sakit. Lirih, terdengar umpatan keluar dari bibir gadis itu.Sudah sepuluh menit ia berjalan, namun tak menemukan letak ruangan yang ia cari. Langkah kakinya bergerak pelan saat matanya menemukan ruangan yang sedari tadi membuatnya pusing.Gadis itu mendorong pintu agar terbuka. Dan mata hazelnya menemukan seseorang tengah terbaring pada salah satu ranjang yang ada di sana. Gadis itu berdecak kesal. Kenapa harus ruangan yang berisi lebih dari tiga orang. Dan lagi, ruangan itu saat ini lumayan ramai, karena ada satu pasien yang tengah dibesuk oleh sanak saudaranya."Bagaimana bisa kau masuk ke tempat seperti ini." Gadis itu mendengus sembari menarik satu kursi dan mendudukinya."Kenapa kau kemari, El?" Bukannya menjawab, pasien itu malah melemparkan pertanyaan yang membuat gadis itu semakin kesal."Aku akan meminta