"Kau menyukainya Hayden?" Pertanyaan itu lolos seketika dari bibir Jen.
Hayden berdecak. "Tentu saja, Jen. Dia gadis yang cantik. Siapa yang tidak menyukainya?" jawab Hayden jengah.
Mendengar jawaban Hayden membuat Jen kecewa. Bagaimana bisa gadis yang hanya ditemui Hayden satu kali membuat sahabatnya segila itu.
"Ya, semoga saja gadis itu belum menikah," ucap Jen kemudian berlalu meninggalkan Hayden.
Hayden menggaruk kepalanya yang tak gatal. Apa ia salah ucap? Kenapa Jen jadi seperti itu?, atau dia sedang ada masalah?. Tanpa berpikir lebih panjang lagi, Hayden mengejar langkah kaki Jen yang sudah tak terlihat.
***
Sebuah mobil berwarna hitam memasuki halaman rumah. Pengemudi itu tampak mengernyitkan kening, melihat ada mobil lain yang tak ia kenali berada di halaman rumahnya. Untuk memecahkan rasa penasaran, ia turun dari mobil dan bergegas masuk ke dalam rumah.
Dari depan pintu pria itu dapat mendengar suara tawa yang begitu ia kenal sekaligus asing di telinganya.
"Itu dia cucuku," ucap seorang pria berusia tujuh puluh tahunan.
"Hayden ke mari," pinta pria itu sembari melambaikan tangannya.
Pria yang tak lain Hayden itu tersenyum kemudian mendekat. Ia duduk di samping kakeknya. Kemudian menatap seseorang yang duduk di seberangnya, yang ia yakini memiliki usia yang sama dengan kakeknya. Hayden menunduk hormat bermaksud menyapa. Dibalas senyuman oleh pria itu
"Jadi ini cucumu yang bekerja sebagai dokter?" tanya pria yang tak Hayden kenali.
"Iya, bagaimana tampan sepertiku bukan?" jawab kakek Hayden disertai tawa jenakanya. Ia kembali menatap cucu laki-lakinya.
"Hayden, perkenalkan ini kakek Abraham. Sahabat kakek saat kuliah dulu."
"Salam kenal, Kek. Saya Hayden," ucap Hayden memperkenalkan diri.
"Aku dengar kamu bekerja di rumah sakit di bagian IGD, apa itu benar?" tanya pria tua itu.
Hayden mengangguk. "Benar sekali, Kek," jawabnya bangga.
"Kenapa kamu tidak mengambil dokter spesialis saja? bukankah gajinya akan semakin besar?"
Sekali lagi Hayden tersenyum. "Menjadi dokter adalah cita-cita saya sejak kecil. Motivasi saya menjadi dokter supaya bisa menolong semua orang. Jika saya mengambil spesialis, saya hanya akan menangani beberapa orang yang memiliki penyakit yang hampir sama saja. Bukankah begitu?"
Kakek itu tersenyum lebar. Ia tidak menyangka, pria semuda Hayden memiliki pemikiran seperti itu. Zaman sekarang jarang sekali ada anak muda yang memikirkan kemaslahatan masyarakat. Mayoritas dari mereka hanya mementingkan gaji dan jabatan. Membuat kaum tua sepertinya hanya bisa menghela napas pasrah ketika mendapatkan karyawan seperti itu.
"Kamu benar sekali, Nak. Aku bangga dengan cita-citamu." Kakek Abraham menampilkan senyumnya yang begitu tua namun masih sangat memesona.
"Ehm, maaf sebelumnya kakekku yang tampan dan kakek Abraham. Saya ingin ke belakang sebentar menemui ibu."
Gelak tawa kakek Hayden yang bernama Gustaf menyembur begitu saja. Selera humornya benar-benar menurun pada sang cucu. Tanpa suara pria yang masih terlihat berwibawa itu mengizinkan Hayden untuk beranjak dari sana.
"Bagaimana menurutmu? kau menyukainya?" tanya kakek Gustaf pada sahabatnya.
Mereka sama-sama memperhatikan Hayden yang tengah berjalan menuju dapur. Mengejutkan ibunya dari arah belakang. Tertawa senang saat rencananya berhasil, kemudian memeluk erat ibunya seakan takut wanita itu menghilang. Tak lama kemudian sebuah ciuman di kening, Hayden daratkan begitu saja, sebelum meninggalkan ibunya memasak sendiri.
"Cucumu benar-benar luar biasa. Dia seperti yang aku bayangkan selama ini," ucap Abraham tanpa melepaskan matanya dari cucu sahabatnya.
Gustaf tersenyum. "Aku senang jika bisa membantumu. Aku harap anak itu akan menerima rencana kita," tuturnya dengan tenang.
"Aku juga berharap seperti itu." Abraham mendongakkan kepalanya, menatap langit-langit ruang tamu. Dalam hatinya berdoa supaya apa yang sedang ia rencanakan berhasil dan membuahkan sesuatu yang baik.
***
Senja berlari meninggalkan malam. Menyisakan gelap tanpa bintang. Menemani Elia bersama secangkir kopi panas dan dinginnya suasana malam.
Gadis itu duduk di balkon kamarnya sembari menatap macbook, memeriksa beberapa laporan dari perusahaannya. Sesuatu yang selalu membuatnya jengah namun tetap ia kerjakan. Sudah sejak ia SMA, Elia memegang kendali perusahaan ayahnya dengan bantuan sang kakek. Tidak ada yang tahu akan hal itu, kecuali para stafnya. Mungkin hanya Rafa satu-satunya teman yang tahu bagaimana kesibukan Elia.
Ya, satu-satunya, karena pria itu memang satu-satunya teman yang Elia miliki.
Sejak saat sekolah menengah pertama, Elia menutup diri. Tidak ingin memiliki teman atau hal semacamnya. Beberapa kali dikhianati membuatnya tak memercayai orang lain, selain kakek dan Rafa, ditambah beberapa pelayan setia keluarga mereka.
Elia melongok ke halaman depan, tatkala suara deru mobil memasuki telinganya. Mobil kakeknya baru saja masuk dan memperlihatkan kakeknya yang sudah tua namun masih berwibawa. Setelah pria itu masuk ke dalam rumah, Elia kembali memfokuskan diri pada laporan yang harus segera ia tangani. Namun, suara ketukan pintu kembali menyita perhatiannya.
Gadis itu berdecak kesal. Ia meletakkan macbooknya, kemudian membuka pintu. Ia sedikit terkejut melihat kakeknya berada di sana. Setelah meredam keterkejutannya, Elia bertanya ada perlu apa. Kemudian ia membuka pintu semakin lebar saat sang kakek ingin berbicara dengannya di dalam kamar.
"Ada apa, Kek?" tanya Elia setelah meletakkan tubuhnya di atas ranjang.
"Bagaimana kabarmu, El?"
Elia mengerutkan keningnya, kemudian tertawa kecil. "Tentu saja aku baik, Kek. Kakek bisa lihat sendiri," jawabnya geli.
Kakek Elia tersenyum menatap cucunya yang begitu cantik. Terbesit rasa tak tega untuk mengatakan niatnya saat ini. Tapi, bagaimanapun juga, ia harus melakukannya. Tega ataupun tidak, ini semua demi kebaikan cucunya.
"El, perusahaan di Spanyol sedang dalam masalah," ujar pria itu membolakan mata Elia.
Seketika itu juga Elia menegakkan posisi duduknya. Raut cemas memenuhi wajah cantiknya. "Bagaimana bisa, Kek?"
"Kakek juga tidak tahu sayang. Kemarin kakek mendapatkan kabar, beberapa orang melakukan korupsi dalam proyek kita yang cukup besar."
"Apa yang harus aku lakukan, Kek?. Apa aku harus ke sana besok?" tanya Elia semakin cemas.
Perusahaan di Spanyol merupakan perusahaan peninggalan mendiang nenek Elia. Namun karena suatu hal, membuat Elia dan kakeknya harus tetap di Indonesia dan menyerahkan perusahaan tersebut pada salah seorang kepercayaannya.
Meskipun Elia dan kakeknya tinggal di Indonesia, mereka tetap melakukan pengawasan secara rutin. Setiap minggu orang-orang terpercaya mereka akan melaporkan apa saja yang terjadi di sana.
"Tidak perlu, El. Kamu selesaikan saja skripsimu di sini. Kakek sendiri yang akan terbang ke sana," tutur kakek Elia.
"Dan kakek meninggalkan aku sendiri?" Tampak raut tak suka dari wajah gadis itu.
Kakek Elia menghela napas sejenak. "Iya. Tapi, kamu tenang saja, kakek akan menyuruh seseorang untuk menjagamu di sini, tapi .... "
"Tapi apa?" tukas Elia tak sabar.
"Tapi kamu harus menikah dengannya, El."
Bagaikan disambar petir. Elia terkesiap mendengar apa yang baru saja keluar dari mulut kakeknya.
Menikah? Huh ...
"Tidak, Kek. Lebih baik aku menunda skripsiku dan ikut kakek ke Canada daripada harus menikah."
Tidak ada kata menikah dalam kamus Elia. Ia benci pernikahan. Menurutnya, pernikahan hanya akan membuat seseorang menderita. Sudah cukup penderitaan yang selama ini ia rasakan, tidak perlu ditambah lagi dengan menikah.
"El, kamu harus tetap berada di sini untuk mengurus perusahaan kita. Dan kamu harus menikah supaya ada yang menjagamu juga," ujar kakek itu.
Elia menggeleng cepat. "Tidak, Kek. Sampai kapanpun aku tidak akan menikah. Serahkan saja perusahaan di sini pada asisten Kakek. Dia sangat berpengalaman, bukan? Dan jika Kakek khawatir padaku, ajak saja aku ke sana."
"El, jika kamu ikut kakek ke Canada, bagaimana dengan ayahmu? apa kamu tega meninggalkan dia sendiri di sini." Ucapan pria itu menyita seluruh pikiran Elia.
Benar. Jika dia dan kakeknya pergi ke Canada, siapa yang akan mengunjungi ayahnya? siapa yang akan mengawasi ayahnya secara langsung. Tapi untuk menikah, Elia sangat keberatan
"Tidak, Kek. Sampai kapanpun aku tidak akan setuju dengan rencana kakek!"Penolakan yang kesekian kalinya telah Hayden lontarkan pada kakeknya. Ia lantas beranjak dari duduknya, meninggalkan seluruh keluarganya yang masih setia duduk di tempat mereka. Pria itu menggerutu sembari menaiki tangga menuju kamarnya. Tapi, ketika berada pada tangga ke-lima ia berbalik dan kembali untuk turun."Bagaimana kau berubah pikiran?" tanya Gustaf melihat cucunya kembali."Tidak akan pernah. Aku hanya ingin mengambil ponselku saja." Ia mengambil ponselnya yang tergeletak di atas meja. Kemudian kembali berjalan menuju kamarnya."Bagaimana ini, Ayah? anak nakal itu tetap menolak. Apa yang harus kita katakan pada paman Abraham?" Ayah Hayden–Jordan, tampak sangat khawatir. Keluarga mereka memiliki hutang budi kepada Abraham, sahabat Gustaf. Sangat memalukan jika mereka menolak permin
"Hayden, apa kamu bisa mengantarkan El pulang? Ada beberapa hal yang harus aku urus malam ini."Hayden tersenyum senang. Matanya melirik gadis cantik yang baru ia tahu namanya. Kepalanya mengangguk lembut, meskipun dalam hatinya ia bersorak gembira. "Tentu saja, Kek. Dengan senang hati aku akan mengantar cucu cantik Anda dengan selamat."Abraham tertawa, disusul yang lain. "Kamu memang perayu seperti kakekmu," ucap Abraham. Ia sama sekali tak menghiraukan tatapan datar cucunya. Yang ia inginkan sekarang, cucunya dekat dengan dokter muda itu."Kek, aku bisa pulang sendiri," bisik Elia pada kakeknya. Abraham hanya melirik saja."Kamu ingin pulang sekarang, El? Baiklah, tidak masalah." Menatap Hayden, kemudian berucap, "Hayden, antarkan cucuku pulang, dan tolong jaga dia."Elia melebarkan matanya tak percaya. Ia sangat yakin pendengaran kakeknya masih berfungsi den
"Bu ... Ibu di mana?" Seorang gadis kecil berlari memasuki rumahnya. Mengelilingi setiap sudut ruangan. Ia baru saja pulang dari sekolah, dan ia harus menemui ibunya untuk meminta tanda tangan.Gadis itu tak menemukan ibunya di lantai bawah. Dengan tergesa, ia naik ke lantai dua. Tanpa mengetuk pintu gadis kecil itu membuka kamar ibunya. Alangkah terkejutnya gadis itu melihat ibunya telanjang dengan pamannya.Tak bisa berkutik. Gadis kecil itu hanya menegerjapkan matanya. Ia sama sekali tak mengerti apa yang tengah dua orang itu lakukan tanpa busana."Bu," panggil bocah itu lirih.Ibunya terkesiap. Menatap putrinya berada di depan pintu membuat darahnya mendidih. Buru-buru ia mendorong seseorang yang tengah berada di atasnya. Ia mengenakan jubah mandi dengan tergesa-gesa. Kemudian menghampiri putrinya."Kemari kau." Tangannya menyeret tangan kecil pu
Seorang gadis tengah berjalan cepat menyusuri koridor rumah sakit. Lirih, terdengar umpatan keluar dari bibir gadis itu.Sudah sepuluh menit ia berjalan, namun tak menemukan letak ruangan yang ia cari. Langkah kakinya bergerak pelan saat matanya menemukan ruangan yang sedari tadi membuatnya pusing.Gadis itu mendorong pintu agar terbuka. Dan mata hazelnya menemukan seseorang tengah terbaring pada salah satu ranjang yang ada di sana. Gadis itu berdecak kesal. Kenapa harus ruangan yang berisi lebih dari tiga orang. Dan lagi, ruangan itu saat ini lumayan ramai, karena ada satu pasien yang tengah dibesuk oleh sanak saudaranya."Bagaimana bisa kau masuk ke tempat seperti ini." Gadis itu mendengus sembari menarik satu kursi dan mendudukinya."Kenapa kau kemari, El?" Bukannya menjawab, pasien itu malah melemparkan pertanyaan yang membuat gadis itu semakin kesal."Aku akan meminta
"Apa teman anda tidak bisa dipindahkan saja ke ruangan yang tadi?" Gadis itu mencoba untuk menegosiasi. Tapi ia harus menelan rasa kecewa saat Elia menggelengkan kepalanya."Nona, aku sadar aku sangat salah dan aku akan bertanggung jawab. Tapi jika kau menggunakan ruangan ini aku tidak bisa menjamin bisa membayarnya." Gadis itu memelas berharap hati Elia tergerak dan mau memindahkan ruangan pria itu."Begini saja ..." Elia meyilangkan kakinya. "Kau tidak perlu membayar biaya rumah sakit. Tapi, kau harus mau merawat temanku itu sampai dokter mengizinkannya pulang. Bagaimana?"Gadis itu menatap Elia dengan tatapan tak percaya. "Kau tidak bercanda, Nona?" tanyanya dengan wajah polosnya.Elia memiringkan kepalanya. "Apa wajahku terlihat seperti bercanda?" tanyanya dengan raut muka datar seperti biasa."Tidak, tapi...""Oh atau kau memilih untuk membayar biaya rum
Seluruh pegawai rumah sakit menyapa seorang dokter yang baru saja berjalan melewati mereka. Beberapa dari perawat wanita langsung membuat sebuah lingkaran untuk membicarakan dokter tersebut. Pujian demi pujian keluar dari bibir mereka tanpa henti seperti biasa. Mengagumi setiap apa yang ada pada tubuh dan hati pria itu.Dokter tersebut tersenyum miring melihatnya. Dengan sengaja ia mengedipkan sebelah mata pada sekumpulan para perawat wanita tadi dan membuat mereka heboh, la tersenyum geli melihatnya."Pagi dokter," sapa salah seorang resepsionis rumah sakit."Pagi," balasnya dengan satu senyuman yang begitu memabukkan."Hayden!" Suara seorang wanita yang begitu ia kenal menyuruh dirinya untuk berhenti dan berbalik menghadap wanita itu. la tersenyum mendapati sahabat wanitanya yang sudah beberapa hari ini tak terlihat."Hai, Jen!" Mereka berpelukan. "Kau sudah pulang rupanya," ka
Pagi hari menyapa seorang gadis yang masih terlelap. Waktu sudah hampir beranjak siang, namun gadis itu masih enggan membuka matanya.Elia baru menyelami mimpi selama tiga jam.Semalam ia menyusun dan mengoreksi kembali skripsi yang akan ia serahkan pada dosen pembimbing nanti. Pada pukul tiga, Elia baru bisa menutup laptop beserta matanya dan beristirahat. Tapi, hal seperti itu sudah biasa baginya.Rasa malas menjalar pada setiap sendinya. Tapi, mau tak mau Elia tetap bangun dan memulai harinya. Ia beranjak dari tempat tidur untuk membersihkan diri. Selesai dengan urusan berdandan Elia turun untuk sarapan.Sunyi. Rumah besar yang ia huni tak menampakkan keramaian sama sekali. Jika dipagi hari beberapa orang wanita sibuk mengurus anak dan suaminya, jangan harap dapat melihat hal seperti itu di rumah Elia.Elia melihat meja makan kosong. Bukan tidak a
"Bu ... Ibu di mana?" Seorang gadis kecil berlari memasuki rumahnya. Mengelilingi setiap sudut ruangan. Ia baru saja pulang dari sekolah, dan ia harus menemui ibunya untuk meminta tanda tangan.Gadis itu tak menemukan ibunya di lantai bawah. Dengan tergesa, ia naik ke lantai dua. Tanpa mengetuk pintu gadis kecil itu membuka kamar ibunya. Alangkah terkejutnya gadis itu melihat ibunya telanjang dengan pamannya.Tak bisa berkutik. Gadis kecil itu hanya menegerjapkan matanya. Ia sama sekali tak mengerti apa yang tengah dua orang itu lakukan tanpa busana."Bu," panggil bocah itu lirih.Ibunya terkesiap. Menatap putrinya berada di depan pintu membuat darahnya mendidih. Buru-buru ia mendorong seseorang yang tengah berada di atasnya. Ia mengenakan jubah mandi dengan tergesa-gesa. Kemudian menghampiri putrinya."Kemari kau." Tangannya menyeret tangan kecil pu
"Hayden, apa kamu bisa mengantarkan El pulang? Ada beberapa hal yang harus aku urus malam ini."Hayden tersenyum senang. Matanya melirik gadis cantik yang baru ia tahu namanya. Kepalanya mengangguk lembut, meskipun dalam hatinya ia bersorak gembira. "Tentu saja, Kek. Dengan senang hati aku akan mengantar cucu cantik Anda dengan selamat."Abraham tertawa, disusul yang lain. "Kamu memang perayu seperti kakekmu," ucap Abraham. Ia sama sekali tak menghiraukan tatapan datar cucunya. Yang ia inginkan sekarang, cucunya dekat dengan dokter muda itu."Kek, aku bisa pulang sendiri," bisik Elia pada kakeknya. Abraham hanya melirik saja."Kamu ingin pulang sekarang, El? Baiklah, tidak masalah." Menatap Hayden, kemudian berucap, "Hayden, antarkan cucuku pulang, dan tolong jaga dia."Elia melebarkan matanya tak percaya. Ia sangat yakin pendengaran kakeknya masih berfungsi den
"Tidak, Kek. Sampai kapanpun aku tidak akan setuju dengan rencana kakek!"Penolakan yang kesekian kalinya telah Hayden lontarkan pada kakeknya. Ia lantas beranjak dari duduknya, meninggalkan seluruh keluarganya yang masih setia duduk di tempat mereka. Pria itu menggerutu sembari menaiki tangga menuju kamarnya. Tapi, ketika berada pada tangga ke-lima ia berbalik dan kembali untuk turun."Bagaimana kau berubah pikiran?" tanya Gustaf melihat cucunya kembali."Tidak akan pernah. Aku hanya ingin mengambil ponselku saja." Ia mengambil ponselnya yang tergeletak di atas meja. Kemudian kembali berjalan menuju kamarnya."Bagaimana ini, Ayah? anak nakal itu tetap menolak. Apa yang harus kita katakan pada paman Abraham?" Ayah Hayden–Jordan, tampak sangat khawatir. Keluarga mereka memiliki hutang budi kepada Abraham, sahabat Gustaf. Sangat memalukan jika mereka menolak permin
"Kau menyukainya Hayden?" Pertanyaan itu lolos seketika dari bibir Jen.Hayden berdecak. "Tentu saja, Jen. Dia gadis yang cantik. Siapa yang tidak menyukainya?" jawab Hayden jengah.Mendengar jawaban Hayden membuat Jen kecewa. Bagaimana bisa gadis yang hanya ditemui Hayden satu kali membuat sahabatnya segila itu."Ya, semoga saja gadis itu belum menikah," ucap Jen kemudian berlalu meninggalkan Hayden.Hayden menggaruk kepalanya yang tak gatal. Apa ia salah ucap? Kenapa Jen jadi seperti itu?, atau dia sedang ada masalah?. Tanpa berpikir lebih panjang lagi, Hayden mengejar langkah kaki Jen yang sudah tak terlihat.***Sebuah mobil berwarna hitam memasuki halaman rumah. Pengemudi itu tampak mengernyitkan kening, melihat ada mobil lain yang tak ia kenali berada di halaman rumahnya. Untuk memecahkan rasa penasaran, ia turun dari mobil dan b
Pagi hari menyapa seorang gadis yang masih terlelap. Waktu sudah hampir beranjak siang, namun gadis itu masih enggan membuka matanya.Elia baru menyelami mimpi selama tiga jam.Semalam ia menyusun dan mengoreksi kembali skripsi yang akan ia serahkan pada dosen pembimbing nanti. Pada pukul tiga, Elia baru bisa menutup laptop beserta matanya dan beristirahat. Tapi, hal seperti itu sudah biasa baginya.Rasa malas menjalar pada setiap sendinya. Tapi, mau tak mau Elia tetap bangun dan memulai harinya. Ia beranjak dari tempat tidur untuk membersihkan diri. Selesai dengan urusan berdandan Elia turun untuk sarapan.Sunyi. Rumah besar yang ia huni tak menampakkan keramaian sama sekali. Jika dipagi hari beberapa orang wanita sibuk mengurus anak dan suaminya, jangan harap dapat melihat hal seperti itu di rumah Elia.Elia melihat meja makan kosong. Bukan tidak a
Seluruh pegawai rumah sakit menyapa seorang dokter yang baru saja berjalan melewati mereka. Beberapa dari perawat wanita langsung membuat sebuah lingkaran untuk membicarakan dokter tersebut. Pujian demi pujian keluar dari bibir mereka tanpa henti seperti biasa. Mengagumi setiap apa yang ada pada tubuh dan hati pria itu.Dokter tersebut tersenyum miring melihatnya. Dengan sengaja ia mengedipkan sebelah mata pada sekumpulan para perawat wanita tadi dan membuat mereka heboh, la tersenyum geli melihatnya."Pagi dokter," sapa salah seorang resepsionis rumah sakit."Pagi," balasnya dengan satu senyuman yang begitu memabukkan."Hayden!" Suara seorang wanita yang begitu ia kenal menyuruh dirinya untuk berhenti dan berbalik menghadap wanita itu. la tersenyum mendapati sahabat wanitanya yang sudah beberapa hari ini tak terlihat."Hai, Jen!" Mereka berpelukan. "Kau sudah pulang rupanya," ka
"Apa teman anda tidak bisa dipindahkan saja ke ruangan yang tadi?" Gadis itu mencoba untuk menegosiasi. Tapi ia harus menelan rasa kecewa saat Elia menggelengkan kepalanya."Nona, aku sadar aku sangat salah dan aku akan bertanggung jawab. Tapi jika kau menggunakan ruangan ini aku tidak bisa menjamin bisa membayarnya." Gadis itu memelas berharap hati Elia tergerak dan mau memindahkan ruangan pria itu."Begini saja ..." Elia meyilangkan kakinya. "Kau tidak perlu membayar biaya rumah sakit. Tapi, kau harus mau merawat temanku itu sampai dokter mengizinkannya pulang. Bagaimana?"Gadis itu menatap Elia dengan tatapan tak percaya. "Kau tidak bercanda, Nona?" tanyanya dengan wajah polosnya.Elia memiringkan kepalanya. "Apa wajahku terlihat seperti bercanda?" tanyanya dengan raut muka datar seperti biasa."Tidak, tapi...""Oh atau kau memilih untuk membayar biaya rum
Seorang gadis tengah berjalan cepat menyusuri koridor rumah sakit. Lirih, terdengar umpatan keluar dari bibir gadis itu.Sudah sepuluh menit ia berjalan, namun tak menemukan letak ruangan yang ia cari. Langkah kakinya bergerak pelan saat matanya menemukan ruangan yang sedari tadi membuatnya pusing.Gadis itu mendorong pintu agar terbuka. Dan mata hazelnya menemukan seseorang tengah terbaring pada salah satu ranjang yang ada di sana. Gadis itu berdecak kesal. Kenapa harus ruangan yang berisi lebih dari tiga orang. Dan lagi, ruangan itu saat ini lumayan ramai, karena ada satu pasien yang tengah dibesuk oleh sanak saudaranya."Bagaimana bisa kau masuk ke tempat seperti ini." Gadis itu mendengus sembari menarik satu kursi dan mendudukinya."Kenapa kau kemari, El?" Bukannya menjawab, pasien itu malah melemparkan pertanyaan yang membuat gadis itu semakin kesal."Aku akan meminta