“Tak ada yang harus Mas pertimbangkan lagi saat itu. Kamu tahu Nun, kedua orang tua Mas telah meninggal saat itu. Memenuhi permintaan Rindu. Itu upaya yang dapat Mas lakukan terakhir kalinya agar dia dapat bahagia. Barangkali orang yang mengetahui masalah ini akan berpikir jika Mas tak lebih seorang pecundang. Suami yang gagal mempertahankan rumah tangganya karena menginginkan kebahagiaan untuk istrinya.”
Hanun meraih botol minuman yang berada di dalam tasnya. Ternyata, butuh banyak energi untuk mampu mendengarkan semua luka yang dibuka Yusuf pada akhirnya. Jujur, Hanun tak menyangka akan melewati hari seperti ini. Semuanya begitu mengejutkan, dalam mimpi pun Hanun tak pernah mengalaminya.“Maaf, jika aku telah berburuk sangka kepada Mas selama ini. Aku telah mengganggap Mas sebagai laki-laki paling picik saat itu. Meninggalkan seorang istri yang tak berdaya karena tak mampu memberikan keturunan untuk suaminya. Dan wanita itu adalah sahabatku kala itu," tutLafaz syukur terucap dari bibir Hanun saat mobilnya memasuki area parkir rumah makan di Jalan Melati itu. Butuh perjuangan yang tak mudah saat harus fokus menyetir dengan pikiran yang mengembara kemana-mana. Menghela napas panjang dan mencoba mengembuskannya perlahan. Ada lara yang menyelinap dalam ruang hati Hanun saat kembali mengingat berbagai kenyataan yang akhirnya keluar dari bibir Yusuf tadi. Mengapa Hanun baru mengetahuinya sekarang? Mengapa Rindu yang pernah dianggapnya sebagai sahabat menutupi hal-hal sepenting itu dari dirinya?Beragam pertanyaan berputar-putar di kepala Hanun. Ada banyak tanya yang membuat seketika di benaknya setelah mendengar semua fakta yang diungkapkan Yusuf tadi. Siapakah lelaki itu? Siapakah sosok yang dicintai Rindu dalam diamnya selama ini?Hanun kembali menghela napasnya. Mengulanginya beberapa kali sampai wanita itu merasa sedikit nyaman dengan himpitan sesak yang tadinya cukup menyiksa. Hanun mencob
Hanun menutup salatnya siang itu dengan zikir, menyampaikan asanya pada Sang Khalik. Berharap diberikan kekuatan untuk menghadapi apa pun dalam rumah tangganya nanti. Tak ada kekuatan yang dimilikinya selain berserah diri kepada Sang Pemilik Jiwa. Walau jika harus jujur, pertemuan dengan Yusuf dan istrinya tadi cukup membuat hatinya porak-poranda. Ada sisi hatinya yang ingin berteriak. Mengapa ada rahasia besar yang harus ditutupi Rindu dari dirinya? Bertahun-tahun Hanun menerima kebohongan Rindu. Pikiran Hanun mengembara di atas hamparan sajadah yang menjadi saksi bisu pengungkapan lukanya. Benarkah hanya ini rahasia yang disimpan Rindu untuknya? Atau masih banyak rahasia lain yang belum terungkap? Kepala Hanun terasa nyeri saat memikirkan kemungkinan jika jangan-jangan Zaidan, suaminya mengetahui semua hal yang ditutupi Rindu dari dirinya. Hanun merasa menjadi manusia yang paling bodoh jika memang hal itu benar-benar terjadi.Perlahan Hanun menyeka
Dering gawai yang berada di genggaman tangan kanan Hanun menyadarkan kembali dunianya. Nama Widya tertera di layar pipih itu. Sepertinya Widya merasa heran saat tak ada respon yang diberikan Hanun pertanyaan yang diajukannya. Hanun tak mampu untuk merangkai kata setelah pengkhianatan itu terpampang jelas di depan matanya. Tak hanya satu, dua pengkhianat sekaligus berhasil membuat pertahanan diri Hanun runtuh seketika.Mengembuskan napas panjang, Hanun menyentuh logo telepon berwarna hijau pada layar pipihnya itu. Widya, hanya wanita ini yang satu-satunya akan menjadi tempatnya untuk berbagi cerita.“Assalamu’alaikum, Wid,” ucap Hanun mendekatkan benda berlayar pipih itu ke dekat telinganya. Matanya jelas mengembun, tapi Hanun akan berusaha kuat menghadapi kenyataan yang ada. Sekali lagi, hanya demi puterinya.“Wa’alaikum salam. Nun, kamu dimana? Kamu baik-baik saja? Maaf aku harus membuatmu terluka dengan foto itu.” Terdenga
Menangkup wajahnya dengan kedua telapak tangan, Hanun benar-benar tak dapat menahan pilunya lagi. Dirinya harus menangis. Hanun butuh melepaskan segala perihnya saat ini. Tangisan akan menjadi bukti jika kekuatannya menahan luka benar-benar teruji saat ini. Teryata Zaidan benar-benar mengkhianatinya. Ternyata wanita itu hanyalah pagar makan tanaman dalam kehidupannya mEntah berapa lama sudah hubungan mereka terjalin. Entah sejauh mana hubungan itu mereka lakukan. Hanun bahkan tak mampu membayangkannya.Tiba-tiba Hanun merasa dirinya menjadi makhluk yang sangat bodoh. Hanun baru menyadari jika pernah mencurahkan segala resahnya pada manusia yang salah. Manusia yang berlagak seakan tak tahu apa-apa di depannya. Manusia yang dengan polosnya memberi berbagai nasihat untuk menjaga keutuhan rumah tangganya. Padahal, belati tajam sedang dihujamkan wanita itu diam-diam kepadanya.Hanun selama ini merasa jika rumah tangganya baik-baik saja. Hanun selalu
Widya hampir tak percaya. Sahabatnya lebih memilih menahan luka demi sebuah rasa yang harus dijaga di depan puterinya. Demi kebahagiaan putrinya, wanita di hadapannya ini sanggup menanggung pilu dalam hidupnya. Apakah ini yang namanya bertahan demi orang yang disayangi? Apakah ini yang namanya pengorbanan untuk orang yang dicintai?“Benar … Almira harus kamu perjuangkan sampai kapan pun, Nun. Namun bukan berarti dengan dalih menjaga Qur'an Almira, kamu bahkan mematikan harga dirimu sendiri, Nun. Ini tidak benar. Rumah tangga tidak akan bertahan di atas kebohongan salah satu pihak. Tinggal menunggu kehancuran saja. Tak peduli seberapa besar usahamu untuk bertahan, Nun.”Widya meraih tangan Hanun. Menggenggamnya dan berusaha mengalirkan kekuatan untuk wanita yang pastinya hatinya sedang berdarah-darah saat ini. Bahkan Widya tak mampu membayangkan jika dirinya berada dalam posisi yang sama seperti sahabatnya.Terluka, kecewa, marah. Semua rasa i
“Kamu masih mencintai Bang Zaidan?” tanya Widya dengan tegas.Hanun diam. Lalu menggelengkan kepalanya berkali-kali."Bahkan aku sendiri tak tahu apakah cinta itu masih ada untuknya atau tidak, Wid," ucap Hanun dengan nada pasrah.Widya kembali mengembuskan napasnya kuat-kuat. Memberi ruang pada paru-parunya untuk mengisi suplai oksigen dalam aliran darahnya.“Kamu siap untuk dimadu oleh Bang Zaidan?” tanya Widya kembali.Hanun memejamkan matanya. Lelehan bening kembali mengalir dari sudut netranya.Gelengan kepala Hanun menjawab pertanyaan yang diajukan Widya itu.“Lantas kenapa kamu tak memilih berpisah saja sekarang, Nun?” cecar Widya selanjutnya.“Kamu tak akan pernah mengerti, Wid! Kamu tak pernah mengalami apa yang kurasakan saat ini!” teriak Hanun sembari menarik tubuhnya dari hadapan Widya dan memilih posisi membelakangi tubuh sahabatnya itu.“Apa yang tak aku mengerti, Nun? Bahkan luka yang k
Netra Hanun memindai area parkir yang baru saja dimasukinya. Mencari tempat kosong untuk memarkirkan mobilnya. Banyak urusan yang harus diselesaikan di Jalan Melati membuat Hanun akhirnya harus datang lebih lambat ke rumah makan yang berlokasi di Jalan Gajah Mada ini. Hari ini Hanun memutuskan untuk menyelesaikan pekerjaannya di Jalan Melati terlebih dahulu. Banyak berkas yang harus diperiksanya di sana. Bahkan Hanun terpaksa melewatkan makan siangnya agar tak terlalu terlambat ke tempat kerjanya yang kedua ini. Bibir Hanun tersenyum saat matanya menemukan area kosong yang terletak di sebelah saung paling ujung kanan rumah makan. Masih cukup untuk dua kendaraan roda empat. Situasi rumah makan di Jalan Gajah Mada ini cukup ramai walaupun jam makan siang harusnya sudah berlalu. Hanun melajukan mobilnya perlahan. Mengambil area yang seminimal mungkin agar tak menutup kesempatan untuk kendaraan lainnya. Memastikan posisi mobilnya masih memberi ruang untu
Pun sama dengan Zaidan, suami Hanun itu. Laki-laki pembohong ulung yang bahkan Hanun sendiri tak tahu kapan itu mulai menjadi sifatnya. Hanun seolah tak mengenal sosok suaminya sendiri. Bukan ini tipikal lelaki halal yang telah menemaninya selama bertahun-tahun.“Gampanglah urusan ke kantor itu. Kalau terlambat satu jam, aku rasa tak ada masalah. Lagi pula kami sudah selesai. Jangan menolak ajakanku ini!” pinta Rindu dengan penuh harap.Hanun menganggukkan kepala lantas mengacungkan jempol kanannya.“Oke! Aku tunggu di meja yang itu," ucap Hanun sembari mengulaskan senyumnya seraya mengarahkan telunjuk kanannya pada salah satu meja kosong yang terletak di sudut kiri. “Sip! Aku beres-beres dulu ya! Nanti aku menyusul," balas Rindu sembari menyatukan jempol dan telunjuk kanannya membentuk huruf O.Kembali Hanun melangkahkan kakinya ke arah meja yang sudah dipilihnya sebagai saksi perjuangannya nanti. Perjuangannya untuk mempertaha