Dering gawai yang berada di genggaman tangan kanan Hanun menyadarkan kembali dunianya. Nama Widya tertera di layar pipih itu.
Sepertinya Widya merasa heran saat tak ada respon yang diberikan Hanun pertanyaan yang diajukannya. Hanun tak mampu untuk merangkai kata setelah pengkhianatan itu terpampang jelas di depan matanya. Tak hanya satu, dua pengkhianat sekaligus berhasil membuat pertahanan diri Hanun runtuh seketika.Mengembuskan napas panjang, Hanun menyentuh logo telepon berwarna hijau pada layar pipihnya itu. Widya, hanya wanita ini yang satu-satunya akan menjadi tempatnya untuk berbagi cerita.“Assalamu’alaikum, Wid,” ucap Hanun mendekatkan benda berlayar pipih itu ke dekat telinganya.Matanya jelas mengembun, tapi Hanun akan berusaha kuat menghadapi kenyataan yang ada. Sekali lagi, hanya demi puterinya.“Wa’alaikum salam. Nun, kamu dimana? Kamu baik-baik saja? Maaf aku harus membuatmu terluka dengan foto itu.”TerdengaMenangkup wajahnya dengan kedua telapak tangan, Hanun benar-benar tak dapat menahan pilunya lagi. Dirinya harus menangis. Hanun butuh melepaskan segala perihnya saat ini. Tangisan akan menjadi bukti jika kekuatannya menahan luka benar-benar teruji saat ini. Teryata Zaidan benar-benar mengkhianatinya. Ternyata wanita itu hanyalah pagar makan tanaman dalam kehidupannya mEntah berapa lama sudah hubungan mereka terjalin. Entah sejauh mana hubungan itu mereka lakukan. Hanun bahkan tak mampu membayangkannya.Tiba-tiba Hanun merasa dirinya menjadi makhluk yang sangat bodoh. Hanun baru menyadari jika pernah mencurahkan segala resahnya pada manusia yang salah. Manusia yang berlagak seakan tak tahu apa-apa di depannya. Manusia yang dengan polosnya memberi berbagai nasihat untuk menjaga keutuhan rumah tangganya. Padahal, belati tajam sedang dihujamkan wanita itu diam-diam kepadanya.Hanun selama ini merasa jika rumah tangganya baik-baik saja. Hanun selalu
Widya hampir tak percaya. Sahabatnya lebih memilih menahan luka demi sebuah rasa yang harus dijaga di depan puterinya. Demi kebahagiaan putrinya, wanita di hadapannya ini sanggup menanggung pilu dalam hidupnya. Apakah ini yang namanya bertahan demi orang yang disayangi? Apakah ini yang namanya pengorbanan untuk orang yang dicintai?“Benar … Almira harus kamu perjuangkan sampai kapan pun, Nun. Namun bukan berarti dengan dalih menjaga Qur'an Almira, kamu bahkan mematikan harga dirimu sendiri, Nun. Ini tidak benar. Rumah tangga tidak akan bertahan di atas kebohongan salah satu pihak. Tinggal menunggu kehancuran saja. Tak peduli seberapa besar usahamu untuk bertahan, Nun.”Widya meraih tangan Hanun. Menggenggamnya dan berusaha mengalirkan kekuatan untuk wanita yang pastinya hatinya sedang berdarah-darah saat ini. Bahkan Widya tak mampu membayangkan jika dirinya berada dalam posisi yang sama seperti sahabatnya.Terluka, kecewa, marah. Semua rasa i
“Kamu masih mencintai Bang Zaidan?” tanya Widya dengan tegas.Hanun diam. Lalu menggelengkan kepalanya berkali-kali."Bahkan aku sendiri tak tahu apakah cinta itu masih ada untuknya atau tidak, Wid," ucap Hanun dengan nada pasrah.Widya kembali mengembuskan napasnya kuat-kuat. Memberi ruang pada paru-parunya untuk mengisi suplai oksigen dalam aliran darahnya.“Kamu siap untuk dimadu oleh Bang Zaidan?” tanya Widya kembali.Hanun memejamkan matanya. Lelehan bening kembali mengalir dari sudut netranya.Gelengan kepala Hanun menjawab pertanyaan yang diajukan Widya itu.“Lantas kenapa kamu tak memilih berpisah saja sekarang, Nun?” cecar Widya selanjutnya.“Kamu tak akan pernah mengerti, Wid! Kamu tak pernah mengalami apa yang kurasakan saat ini!” teriak Hanun sembari menarik tubuhnya dari hadapan Widya dan memilih posisi membelakangi tubuh sahabatnya itu.“Apa yang tak aku mengerti, Nun? Bahkan luka yang k
Netra Hanun memindai area parkir yang baru saja dimasukinya. Mencari tempat kosong untuk memarkirkan mobilnya. Banyak urusan yang harus diselesaikan di Jalan Melati membuat Hanun akhirnya harus datang lebih lambat ke rumah makan yang berlokasi di Jalan Gajah Mada ini. Hari ini Hanun memutuskan untuk menyelesaikan pekerjaannya di Jalan Melati terlebih dahulu. Banyak berkas yang harus diperiksanya di sana. Bahkan Hanun terpaksa melewatkan makan siangnya agar tak terlalu terlambat ke tempat kerjanya yang kedua ini. Bibir Hanun tersenyum saat matanya menemukan area kosong yang terletak di sebelah saung paling ujung kanan rumah makan. Masih cukup untuk dua kendaraan roda empat. Situasi rumah makan di Jalan Gajah Mada ini cukup ramai walaupun jam makan siang harusnya sudah berlalu. Hanun melajukan mobilnya perlahan. Mengambil area yang seminimal mungkin agar tak menutup kesempatan untuk kendaraan lainnya. Memastikan posisi mobilnya masih memberi ruang untu
Pun sama dengan Zaidan, suami Hanun itu. Laki-laki pembohong ulung yang bahkan Hanun sendiri tak tahu kapan itu mulai menjadi sifatnya. Hanun seolah tak mengenal sosok suaminya sendiri. Bukan ini tipikal lelaki halal yang telah menemaninya selama bertahun-tahun.“Gampanglah urusan ke kantor itu. Kalau terlambat satu jam, aku rasa tak ada masalah. Lagi pula kami sudah selesai. Jangan menolak ajakanku ini!” pinta Rindu dengan penuh harap.Hanun menganggukkan kepala lantas mengacungkan jempol kanannya.“Oke! Aku tunggu di meja yang itu," ucap Hanun sembari mengulaskan senyumnya seraya mengarahkan telunjuk kanannya pada salah satu meja kosong yang terletak di sudut kiri. “Sip! Aku beres-beres dulu ya! Nanti aku menyusul," balas Rindu sembari menyatukan jempol dan telunjuk kanannya membentuk huruf O.Kembali Hanun melangkahkan kakinya ke arah meja yang sudah dipilihnya sebagai saksi perjuangannya nanti. Perjuangannya untuk mempertaha
"Nun ... aku menjadi saksi perjalanan cinta kalian. Aku yang menjadi saksi perjuangan kalian untuk mendapatkan restu dari ayahmu. Bagaimana mungkin aku lupa bagaimana Bang Zaidan berjuang keras untuk mendapatkanmu? Rasanya tak mungkin jika Bang Zaidan akan berpaling darimu, Nun. Kamu satu-satunya wanita yang dicintai Bang Zaidan," ujar Rindu dengan tatapan tajam menatap Hanun. Sungguh Hanun merasa semakin mual menatap wajah wanita yang ada di hadapannya ini. Setelah semua yang dilakukannya, masih punya hatikah Rindu berkata seperti itu pada dirinya? Tak adakah rasa malu di hati Rindu lagi? Hanun merasa sungguh tak percaya. Rindu tak merasa bersalah sama sekali. Padahal dengan jelas Hanun menceritakan semuanya. Dengan gamblang Hanun mengungkapkan perih yang ada di hatinya. Apakah Rindu masih memilihi hati nurani?"Aku sendiri sulit untuk percaya, Rin. Tapi aku bisa berkata apa? Kenyataannya memang demikian. Aku diselingkuhi. Aku dikhianati. Mau berkata
Hanun mengernyitkan dahinya. Pertanyaan yang aneh menurut Hanun saat diucapkan oleh seorang wanita seperti Rindu, wanita yang telah merusak kepercayaannya selama ini. Mengapa pertanyaan itu tidak ditujukan Rindu untuk dirinya sendiri? Apakah mereka berdua memang sudah bersepakat untuk menjadikan dirinya sebagai bagian dalam perjalanan cinta mereka selamanya? Apakah semua yang dikatakan Hanun ini sudah pernah menjadi pembahasan di antara mereka berdua?Tak mungkin rasanya Rindu dapat berkata seperti itu begitu saja. Sungguh bagi Hanun ini semua seperti sudah pernah dirancang oleh mereka. Bahkan kemungkinan perpisahan yang akan diminta Hanun pun sudah dapat mereka tebak arahnya. Apakah Zaidan memang tak akan melepaskan dirinya nanti?"Biar pengadilan yang menentukan nantinya saat aku mengajukan gugatan. Saat Bang Zaidan mulai membagi hati, artinya dia tahu dan siap dengan segala konsekuensi yang akan terjadi. Tak mungkin Bang Zaidan tak tahu tipikal wanit
Hanun mematikan mesin mobilnya.Manik matanya memindai keadaan di sekitar area parkir yang mulai dipenuhi para pengunjung rumah makan siang ini.Untung saja semua urusannya di rumah makan yang berada di Jalan Melati lancar hari ini. Hanun dapat dengan cepat meninggalkan rumah makan itu dan bergerak menuju ke rumah makan yang berada di Jalan Gajah Mada ini. Melihat pengunjung yang ramai setiap harinya ditambah omset yang terus meningkat setiap bulan membuat Hanun merasa bahagia. Usahanya tak sia-sia untuk memajukan rumah makan milik Widya ini. Wanita itu bukan hanya memberikan Hanun imbalan rupiah setiap bulannya. Lebih dari itu, di mata Hanun Widya memberikan semangat untuknya agar mampu menghadapi cobaan yang ada. Mengajarkan satu pelajaran hidup yang belum didapatkannya selama ini. Berbagi untuk sesama dan orang-orang yang ada di sekitar mereka. Pertemuannya dengan Rindu beberapa hari yang lalu membuat Hanum semakin yakin jika suami dan wanita yan