"Nun ... aku menjadi saksi perjalanan cinta kalian. Aku yang menjadi saksi perjuangan kalian untuk mendapatkan restu dari ayahmu. Bagaimana mungkin aku lupa bagaimana Bang Zaidan berjuang keras untuk mendapatkanmu? Rasanya tak mungkin jika Bang Zaidan akan berpaling darimu, Nun. Kamu satu-satunya wanita yang dicintai Bang Zaidan," ujar Rindu dengan tatapan tajam menatap Hanun. Sungguh Hanun merasa semakin mual menatap wajah wanita yang ada di hadapannya ini. Setelah semua yang dilakukannya, masih punya hatikah Rindu berkata seperti itu pada dirinya? Tak adakah rasa malu di hati Rindu lagi? Hanun merasa sungguh tak percaya. Rindu tak merasa bersalah sama sekali. Padahal dengan jelas Hanun menceritakan semuanya. Dengan gamblang Hanun mengungkapkan perih yang ada di hatinya. Apakah Rindu masih memilihi hati nurani?"Aku sendiri sulit untuk percaya, Rin. Tapi aku bisa berkata apa? Kenyataannya memang demikian. Aku diselingkuhi. Aku dikhianati. Mau berkata
Hanun mengernyitkan dahinya. Pertanyaan yang aneh menurut Hanun saat diucapkan oleh seorang wanita seperti Rindu, wanita yang telah merusak kepercayaannya selama ini. Mengapa pertanyaan itu tidak ditujukan Rindu untuk dirinya sendiri? Apakah mereka berdua memang sudah bersepakat untuk menjadikan dirinya sebagai bagian dalam perjalanan cinta mereka selamanya? Apakah semua yang dikatakan Hanun ini sudah pernah menjadi pembahasan di antara mereka berdua?Tak mungkin rasanya Rindu dapat berkata seperti itu begitu saja. Sungguh bagi Hanun ini semua seperti sudah pernah dirancang oleh mereka. Bahkan kemungkinan perpisahan yang akan diminta Hanun pun sudah dapat mereka tebak arahnya. Apakah Zaidan memang tak akan melepaskan dirinya nanti?"Biar pengadilan yang menentukan nantinya saat aku mengajukan gugatan. Saat Bang Zaidan mulai membagi hati, artinya dia tahu dan siap dengan segala konsekuensi yang akan terjadi. Tak mungkin Bang Zaidan tak tahu tipikal wanit
Hanun mematikan mesin mobilnya.Manik matanya memindai keadaan di sekitar area parkir yang mulai dipenuhi para pengunjung rumah makan siang ini.Untung saja semua urusannya di rumah makan yang berada di Jalan Melati lancar hari ini. Hanun dapat dengan cepat meninggalkan rumah makan itu dan bergerak menuju ke rumah makan yang berada di Jalan Gajah Mada ini. Melihat pengunjung yang ramai setiap harinya ditambah omset yang terus meningkat setiap bulan membuat Hanun merasa bahagia. Usahanya tak sia-sia untuk memajukan rumah makan milik Widya ini. Wanita itu bukan hanya memberikan Hanun imbalan rupiah setiap bulannya. Lebih dari itu, di mata Hanun Widya memberikan semangat untuknya agar mampu menghadapi cobaan yang ada. Mengajarkan satu pelajaran hidup yang belum didapatkannya selama ini. Berbagi untuk sesama dan orang-orang yang ada di sekitar mereka. Pertemuannya dengan Rindu beberapa hari yang lalu membuat Hanum semakin yakin jika suami dan wanita yan
Terdengar suara di belakang tubuh Hanun. Saat menolehkan kepala, Hanun bertatapan dengan Dian, salah seorang karyawan yang memang sudah lama bekerja di rumah makan ini."Iya. Sudah lapar. Mumpung diajak Bu Hanun makan bareng juga," balas Irma sembari mendudukkan tubuhnya di hadapan Hanun."Dian, nanti tolong antarkan air putih ke meja kami ya!" pinta Hanun sembari mulai melangkahkan kakinya kembali untuk mencuci tangannya di wastafel yang memang disediakan di belakang meja itu.Tampak Dian menganggukkan kepala dan tak lama kembali dengan dua gelas air putih di tangannya."Alhamdulillah ya, Bu. Rumah makan tiap harinya selalu ramai saja," ucap Irma sembari menyuapkan tangannya yang berisi nasi ke dalam mulut. Gadis itu pun memilih menu makanan yang sama seperti Hanun. Kedua wanita itu berhadapan dengan piring nasi di hadapan mereka masing-masing."Ibu juga cukup senang melihat rumah makan yang ramai setiap harinya. Omset kita
Hanun menatap sendu hamparan sajadah yang terbentang di hadapannya. Usai menunaikan sepertiga malamnya, Hanun memilih menumpahkan gundah-gulananya dengan mengadu pada Sang Pemilik Langit. Menyampaikan keluhnya dengan berbagai harap teriring dalam setiap helaan napasnya. Merajut asa dalam pinta. Dirinya hanya makhluk yang lemah, tak ada yang dapat dilakukan selain berserah.Dirinya merasa malu saat akhirnya masalah yang coba disembunyikan dari orang-orang di sekitarnya diketahui Wahyu. Laki-laki itu berhasil mengabadikan kebersamaan suaminya dan Rindu kemarin malam."Siapa bilang suami saya laki-laki yang tak setia?" tanya Hanun sengit."Lantas apa yang akan Ibu katakan saat melihat foto ini?" tanya Wahyu sembari kembali mengulurkan layar pipih itu ke hadapan Hanun."Saya tak kenal laki-laki itu. Bapak salah alamat sepertinya," tukas Hanun dengan senyum sinisnya.Wahyu terkekeh sebelum akhirnya menghela napas panjang."Ibu masih
Hening. Tak ada jawaban atas pertanyaan yang diungkapkan Hanun itu. Zaidan menatap lurus ke depan.“Abang akan mempertahankan wanita yang sekarang ada di dekapan Bang ini dengan sekuat tenaga, dengan segala daya yang Abang miliki.”Hanun memejamkan matanya kala itu. Membayangkan betapa besar rasa cinta yang Zaidan kepada dirinya. Syukur terucap dalam hatinya kala mendapatkan cinta yang begitu sempurna.Kecupan lembut di pipinya mengejutkan Hanun. Wanita itu mendongakkan kepalanya lantas tersenyum kepada suaminya. “Dan bagaimana jika ... tiba-tiba muncul seorang wanita yang sangat mencintai Abang nantinya?” tanya Zaidan kepada Hanun.Hanun terdiam. Tak tahu harus berkata apa. Dirinya sendiri yang memulai. Kesalahannya mengawali pembicaraan dengan tema cinta ke lain hati malam ini. Tak seharusnya malam pertama mereka dihadapkan pada perandaian yang belum pasti. Tapi entah mengapa hatinya tergelitik untuk mengetahui.“Jawab, Dek!
"Ibu? Mengapa tidak memberi kabar dulu kalau mau ke sini? Hanun kan bisa jemput di terminal nantinya,” ucap Hanun sambil membuka pintu pagar rumah mereka dengan cepat.“Coba nanti dulu bertanya. Mendingan cepat bantu angkat kotak makanan itu dulu ke dalam!” jawab wanita yang disapa Hanun sembari memberikan dua helai lembaran uang kepada supir taksi. Hanun meraih tangan wanita yang tak lain adalah Bu Lidya, ibu kandungnya itu dengan takzim. Mengangkat kotak makanan serta tak lupa meraih tas travel yang ada di sampingnya.“Itu buat Almira, bukan buat kalian. Jadi nggak usah ngoceh pagi-pagi, Nun,” ujar sang ibu seraya melangkahkan kakinya memasuki halaman rumah.Wanita itu sangat paham kebiasaan Hanun. Pasti akan mengalir ocehan panjang mempertanyakan alasan mengapa harus repot-repot membawa makanan sebagai oleh-oleh dari mulut Hanun setiap kali menyambut kedatangannya. Padahal datang berkunjung tanpa membawa oleh-oleh itu sangat memalukan untuk adat ketimuran.
"Oh ya, Bang. Nanti tolong bilang ke Almira di kamar. Ada Ibu datang. Tadi Ibu sudah ngoceh soalnya karena sudah lama tak melihat cucunya,” lanjut Hanun sambil mencari bahan makanan yang akan dimasak di kulkasnya.“Iya, nanti habis Abang menyemir sepatu ini. Tanggung, sedikit lagi selesai," sahut Zaidan dengan tetap fokus pada sikat semir dan sepasang sepatu hitamnya itu.Hanun tak melanjutkan pembicaraan mereka. Wanita itu lebih fokus pada bahan makanan yang akan diolahnya. Harus secepat mungkin menyiapkan masakan yang akan menjadi pengisi perut seisi rumah pagi ini.“Nenek … Almira kangen Nenek!” pekik Almira saat melihat wanita yang disapanya nenek itu berjalan menuju ruang makan.Gadis kecil itu segera meletakkan tasnya di dekat kaki kursi dan berlari menghambur ke pelukan wanita yang langsung tersenyum melihat cucu semata wayangnya itu. Tawa girang terdengar dari mulut keduanya. Hanun tersenyum melihat rona kebahagiaan di wajah pasangan nenek dan cucu itu