DARI Bandara, Haidar langsung menuju University Of Sydney untuk mengurus kelengkapan akademik di civitas setempat.
Haidar juga menemui manajemen yang mengurus sewa apartemen yang ia pesan melalui aplikasi online. Biayanya juga sudah ditransfer oleh Dara sebelum ia berangkat kemarin. Haidar hanya perlu datang untuk memperkenalkan diri dan mengambil kunci dari jajaran setempat.
Apartemen yang akan ditempati oleh Haidar ini hanya berjarak sekitar 1 kilometer dari University Of Sydney. Memiliki ruang tidur, kamar mandi serta fasilitas lainnya, seperti jaringan wifi serta fasilitas telepon.
Harga sewanya cukup mahal. Namun karena Haidar memiliki keuangan yang cukup dari hasil ‘warisan’ ayah angkatnya, maka persoalan tadi tak lagi jadi masalah baginya.
Haidar mengirim mail ke Dara untuk memberitahu bahwa ia telah tiba di Sidney. Namun hingga sejam ia menunggu, tak ada balasan dari wanita cantik itu di Jakarta.
“Mungkin ia masih kerja at
5 Tahun Kemudian... Gadis ini seperti ancaman. Hampir semua membicarakan tentangnya, anak-anak perempuan dan guru-guru yang serba salah karenanya. Pertama kali melihatnya, aku sudah menduga ia akan mengacaukanku. Ketika dia membolos atau merundung aku akan bertemu dengannya di ruang konseling dan semua perhatianku menjadi miliknya. Caranya menatap sangat mengintimidasi –entah, padahal dia hanya gadis berusia tujuh belas tahun yang pasti akan gentar kalau aku mengancam akan memanggil ibunya kalau dia terus berulah. Tapi, aku tak pernah berani melakukan itu padanya –tidak juga guru konseling sebelum aku. “Jadi, katakan apa alasan kamu mem-bully Magisa?” “Dia ngambil foto aku tanpa izin,” jawabnya acuh dan justru lebih galak dari aku yang harusnya marah karena dia baru saja dilaporkan membuat seorang siswa perempuan tidak mau ke sekolah karena Saira mengolok-oloknya bersama beberapa anak nakal lain. “Siapa yang tahu dia mau pakai foto itu buat apa.” “Kit
Tidak ada yang bisa kuberikan untuk seorang gadis broken home seperti dirinya. Aku sudah merencanakan masa depanku jauh sebelum dia karena aku benci kegagalan. Kupikir karena terlalu serius dengan apa yang belum terjadi lah yang membuatku kehilangan masa-masa berharga di usia belasan yang kuhabiskan untuk hal-hal membosankan. Lalu ketika sudah terlalu terlambat, aku jatuh cinta layaknya remaja pada seorang remaja. Meskipun itu juga bukan perasaan sepihak, dengan Saira, aku tahu itu adalah kesalahan. Aku memang tidak bisa menyembunyikan betapa seringkali aku berharap dia bukan seorang gadis SMA berseragam ketika dia mendekat Tapi, sebenarnya yang menjadi masalah kemudian bukanlah hubunganku dengannya. Satu sekolah dihebohkan dengan berita tentang Saira. Entah siapa pelakunya, foto-foto Saira tengah bersama pria dewasa berserakan di depan gerbang sekolah. Itu menjawab kegelisahannya tentang a
Kepalaku mendadak berdenyut. Tidak tahan, aku meninggalkan ruangan dan pergi ke halaman belakang untuk merokok. Berharap Saira juga ada di sana. Tapi yang kutemukan malah siswa lain. Magisa –seorang siswa yang mempunyai reputasi sangat baik di sekolah. Dia berdiri di sudut tempat Saira biasa merokok sembunyi-sembunyi seolah sedang menunggu seseorang datang. “Saira nggak masuk hari ini,” katanya dan tentu saja itu membuat sangat terkejut. Lalu ia tersenyum. “Bapak nggak usah khawatir, selain aku nggak ada lagi orang yang tahu kok.” “Apa yang kamu lakukan di sini?” aku berusaha untuk tetap tenang walaupun sebenarnya aku juga melihat dia seperti ancaman yang sama ketika terakhir kali aku bertemu dengan Saira di sini. Magisa adalah teman sekelas Saira. Seorang gadis berkaca mata dan behel yang sering diceritakan Saira padaku se
Foto-foto yang pernah diperlihatkan Magisa padaku sudah tersebar. Ananda adalah salah satu gadis yang ada di foto itu. Magisa sudah mengakui bukan dia pelakunya. Namun, yang disalahkan justru bukan si penyebar foto, melainkan Saira yang dituduh mengajak teman-temannya ikut terseret dalam prostitusi. Karena itu kemudian ada sekelompok anak laki-laki yang iseng mempermainkannya di sekolah. Ananda tewas dengan menggantung dirinya pada langit-langit kamar di rumahnya. Sebelum kematiannya, katanya dia terlihat biasa saja. Tidak menunjukan tanda-tanda bahwa sebelumnya ia dilecehkan oleh beberapa orang siswa lelaki di sekolah. Pelaku pelecehan itu sudah diserahkan ke polisi atas desakan seluruh orang tua murid. Saira juga dikeluarkan dari sekolah dan menghilang. Saat semua orang menyalahkannya, ia bersembunyi seperti pengecut. Saira tidak pernah menjelaskan apa pun. Tidak juga teman-temannya yang
Seminggu setelah misteri tentang Saira terpecahkan, seseorang mengetuk pintu kantorku –Magisa. Dia sudah tidak mengenakan kaca mata dan kawat Magisa yang membuatnya seperti gadis culun dan kutu buku. Aku tidak menyangka ia merubah penampilannya sejak keluar dari rumah sakit. Dengan mengenakan pakaian bebas, ia mendatangiku untuk mengajakku pergi bersamanya. “Kamu mau tau apa yang sebenarnya yang Saira dan teman-temannya lakukan di luar?” tanya dia. Dia belum menceritakan garis besarnya waktu di rumah sakit tapi itu tidak mengurangi keingintahuanku yang besar. Aku memang ingin melihatnya sendiri. Saat itu aku masih berharap juga bisa melihat Saira. Magisa telah memanipulasi sebuah rahasia besar dari kelompok gadis-gadis yang ingin mengatasi masalah yang mereka alami dengan melihat keluar dari kotak di mana mereka hidup. Mereka melihat ke depan untuk menjadi
Di satu malam setelah kejadian-kejadian itu aku bermimpi. Aku melihat Saira dengan bunga matahari menghiasi kepalanya dan iaberjalan di atas pasir menuju matahari terbenam, menyongsong ombak di pinggiran pantai. Di tangannya iamenggenggam setangkai bunga matahari,. “Saira!” aku menyerukan namanya dan ia menoleh lalu tersenyum padaku. Tapi, ia terus berjalan dan aku terpaku di tempat yang sama menyaksikan ia perlahan menjauh lalu tenggelam. Langit tiba-tiba menjadi hitam. Saat akhirnya aku bisa mengejarnya, ia telah mengilang. Ketika terbangun, aku berpikir untuk mendatangi Teluk Jakarta sekali lagi. Para gadis matahari akan menghanyutkan permohonan mereka setiap senja menjelang. Tapi yang kutemukan hanya gadis lain yang tidak diharapkan. Magisa. Dia tengah menghanyutkan permohonanya dalam sebuah botol bers
Dua tahun tahun kemudian…. Warna kota telah berubah. aku kira mungkin aku tidak akan kembali tinggal di Jakarta karena seluruh kehidupanku berada di Sydney setelah kembali ke ayahku dan terjebak dalam dunianya. Dulu, aku pikir Magisa akan setuju untuk tinggal di Australia selamanya mendampingiku. Awalnya, Magisa telah merencanakan semuanya. Dimulai dari pernikahan, di mana kami akan tinggal, bagaimana kami membagi waktu untuk bertemu karena saat itu ia masih berjuang demi gelar sarjana di jurusan arsitektur dan kesibukanku di kantor, lalu turunan dari semua itu adalah anak-anak. Kami membutuhkan rumah yang besar untuk membesarkan beberapa orang anak nantinya. Tapi, tahun berlalu, di rumah sebesar itu selalu hanya kami yang tinggal berdua. Anak-anak yang selalu kami impikan untuk meramaikan suasana tidak pernah datang. Mereka tidak akan pernah datang dalam k
Magisa mengeluarkan isi kopernya lalu mulai mencari sesuatu; sebuah jaket tebal. “Nggak ada selimut jaket pun jadi,” kata dia, entah mengapa masih terlihat riang di malam selarut ini dan aku sudah menguap berkali-kali sejak tadi. Magisa mulai menyusun baju-bajunya sebagai alas tidur di sudut ruangan. Dia melemparku sebuah jaket berbulu miliknya yang berwarna merah maroon. Serius dia menyuruhku tidur di lantai hanya dengan selimut beralaskan tumpukan baju-baju di antara koper kami? Aku menggeleng, menolak memakai jaket itu. Magisa mendengus. “Lantainya dingin, kalau kamu nggak mau masuk angin lebih baik dipakai,” dia memperingatkan. Aku membuka lipatan jaket merah marun Magisa yang berbulu-bulu itu. “Ini?” aku meyakinkannya sekali lagi bahwa aku tidak mau memakai jaket perempuan dan warnanya merah pula.
Aku menginginkan sebuah keluarga yang normal. Sementara yang kumiliki hanyalah seorang ayah bajingan dan ibu yang bekerja sebagai pengasuh di rumah keluarga kaya, juga seorang kakak perempuan yang berusaha mati-matian untuk bisa pergi dari rumah kami yang terkutuk. Nggak ada seorang pun yang memperhatikanku.Satu kali aku pernah mencari ibuku ke tempat kerjanya –di sebuah rumah besar dengan pagar tinggi. Dari luar aku melihat ibuku bermain dengan tiga orang anak yang usianya lebih besar dariku di teras rumah. Mereka tertawa bahagia. Lalu aku pulang dengan sedih dan bertanya pada Ruby, “Apa Mama nggak sayang sama kita sampai dia nggak mau jagain kita dan malah jagain anak orang lain?”Usiaku sembilan tahun dan Ruby, enam belas tahun. Aku rasa Ruby tahu apa yang harus dikatakannya padaku agar aku nggak bersedih. Mungkin dia bisa menjawab dengan yakin bahwa Mama hanya bekerja a
“Bell?”Suara Nial kedengaran panik. Aku bergegas meninggalkan dapur dan menemukan dia baru keluar dari kamar dengan terburu-buru.“Ya?” sahutku.Dia agak terkejut. Dan entah mengapa menghembuskan nafas panjajng.“Kenapa?” tanyaku, heran.“Aku kira kamu kabur lagi,” jawabnya, sambil mengusap wajahnya dan rasa lelah itu masih kelihatan di sana.Logikanya, nggak mungkin aku kabur setelah semua yang terjadi di antara kami beberapa hari ini dan dia menjadikanku gadis paling bahagia sedunia dalam sekejap mata. Sekaligus menjadi matrealistis.“Kamu mimpi?”Dia nggak menjawab. Hanya bergerak menuju kursi meja makan dan duduk di sana sambil mengge
Nial sudah berangkat pagi-pagi sekali hingga aku bahkan nggak sempat bertemu dengannya. Seperti biasa, sarapan sudah ada di meja –waffle madu. Sepertinya dia tahu kalau dari semua menu sarapan sehatnya yang rata-rata menyisipkan sayur, waffle madu pilihan yang nggak bisa kutolak.Setelah sarapan aku kembali ke depan TV, memutar Fox Movies lagi. Film Transcendence sudah main sekitar sepuluh menit –aku juga sudah nonton film ini dengan Ruby. Jadi ingat Johnny Depp aktor favoritnya. Ruby selalu beranggapan hampir semua filmnya bagus. What’s Eating Gilbert Grape tahun 1993 adalah yang terbaik dari semuanya dan dia menontonnya berulang-ulang.Saat itu hobi menontonku sudah mulai berkurang karena ketegangan antara aku dan Ruby soal Alex. Aku mulai jarang menghabiskan waktu bersamanya karena Alex sering berkunjung. Ketika Ruby menonton film itu entah untuk yang ke berapa kalinya, A
Hari Kamis pagi, nggak biasanya aku dengar dia menelpon dengan seseorang di dapur dan mengenakan setelan jas lengkap warna hitam. Di meja makan sudah ada roti isi daging yang kelihatan lezat. Aku menguping tapi sama sekali nggak mengerti apa topik yang sedang dia bicarakan. Dan begitu melihatku, dia langsung menyudahi teleponnya.“Aku mau pergi,” katanya dengan cepat. Dia nggak akan duduk bersamaku di meja makan.Aku nggak menjawabnya. Itu artinya aku akan sendirian –dia pernah bilang kalau dia bukan pengangguran. Ya memang, selama di sini aku juga nggak merasa kalau dia ada sampai aku bosan dan harus mencuri kesempatan untuk kabur sejenak cuma buat mengobrol dengan Valde.“Pokoknya jangan bukain pintu untuk orang asing sampai aku pulang,” ia berpesan. “Dan jangan keluar sendirian.”
“Bellisa? Kamu kenapa?” Valde menatapku khawatir ketika dia menemukanku duduk sendirian di lorong nggak jauh dari kantor pengelola apartemen.Aku sengaja karena dalam pikiranku hanya itu yang ingin kulakukan saat ini. Bukannya pulang ke tempat asalku. Aku nggak mengerti dengan diriku saat ini. Apartemen ini bukan rumahku, tapi aku nggak mau pergi.“Kenapa kamu nangis?” tanya Valde lagi karena aku nggak juga menjawabnya. “Kamu dimarahin Nial lagi?”Aku mengangguk. Ya, dia selalu marah-marah. Namun, kali ini aku bertengkar dengannya. Padahal selama ini aku nggak mau begitu. Karena... kadang-kadang aku merasa dia sebenarnya memperhatikanku. Dia melarangku mandi air hangat tiap hari karena nggak ingin aku tergelincir. Dia menyuruh aku makan sayur –persis seperti Mamaku dulu. Semua keinginannya itu, aku tahu, kalau itu untu
Nial sudah masuk ke ruangan rahasianya dan aku memilih nonton TV. Namun satu jam kemudian aku langsung bosan. Aku butuh cemilan tapi Nial nggak mengizinkanku keluar sendiri. Aku terpaksa menurut karena nggak mau disalahkan gara-gara hari itu aku nggak beli apa pun di supermarket.Aku pergi ke dapur untuk mengambil minuman –sebotol jus jeruk dengan bulir asli di dalamnya. Aku mengambil satu dan kulihat tempat sampah di dekat wastafel sudah hampir penuh. Itu harus segera dibuang sebelum menyebabkan bau busuk. Apartemen memiliki tempat pembuangan sampah umum di lantai satu. Setiap pagi petugas kebersihan kota akan menjemput sampah-sampah itu dengan truk besar.Begitu teraturnya tempat ini, pikirku setelah melempar kantong plastik besar itu ke tumpukan sampah yang bau itu.“Bellisa?” seseorang menegurku dan itu membuat jantungku nyaris copot.
Aku mengangkat tubuhku dari dalam air; nafasku sesak. Aku sempat nyaris hilang kesadaran. Mungkin karena panasnya cukup membuatku pusing. Tapi, aku merasa mendengar seseorang memanggil-manggil namaku.Nial?Tapi, itu nggak mungkin. Dia nggak pernah memanggil namaku –karena dia bahkan nggak pernah memulai percakapan denganku. Kalaupun dia perlu untuk memberitahuku sesuatu dia menyebutku dengan ‘hei’.Setelah selesai mandi aku langsung teringat pada cucianku dipantry. Itu terlupa begitu saja gara-gara pesan ‘Aku kangen kamu’ yang kubaca di handphone-nya.Aku benci harus merasa cemburu. Dan harusnya aku nggak cemburu. Aku nggak berhak untuk cemburu. Cemburu nggak akan mengubah apa pun. Aku bukan siapa-siapanya.Aku
Dia baik –sudah cukup baik untuk orang judes dan ketus seperti dirinya. Dia memasak makanan yang enak setiap hari. Dia juga langsung membelikan mesin cuci agar aku bisa pakai baju bersih. Dia mengizinkan aku nonton TV seharian. Yah, walaupun dia bukan teman bicara yang asyik seperti Wanda atau Lulu. Tapi, dia nggak pernah menggangguku, malah sebaliknya. Dia bilang aku berisik dan terlalu banyak tanya. “Dia menelpon ke tempat kerjaku dan bilang kalau aku berhenti,” jawabku. “Dia sampai sejauh itu?” Aku mengangguk-angguk. “Aku masih bingung, Kak. Kalau sudah aman dan aku pergi dari sini, aku harus nyari kerjaan baru lagi.” Wanda nggak menjawabku. “Aku nggak mungkin tinggal di sini selamanya,” sambungku. “Semuanya bakal baik-b
“Aku pikir kamu kabur karena segitunya ingin pulang,” Nial marah karena aku memutuskan untuk menunggunya selesai di parkiran. Rupanya dia nggak suka karena itu membuatnya harus mencariku ke sana kemari. Dia terus memasang tampang masam setelah kami naik ke mobil dan siap-siap untuk pulang. “Kamu lama...,” kataku membela diri. “Aku juga nyariin kamu di tempat bahan pokok tapi nggak ketemu.” Bukankah dia cumamau belanja bahan makanan? Kenapa dia malah ke mana-mana? Ah sudahlah, orang kaya mah bebas! “Aku pergi ke toko elektronik. Mau lihat mesin cuci seperti yang ada di laundry itu.” “Kamu mau beli mesin cuci?” Entah mengapa aku jadi sedikit bersemangat. Nial mengangguk pelan tanp